Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Rasulullah,saw., bersabda : 'Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu, barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.'
Apapun yang diniatkan dan dikehendaki oleh seorang murid, ditangan seorang Syaikh akan menjadi sebaliknya. Seorang Syaikh tidak menginginkan pemberian dari para salik, sebaliknya yang diinginkannya adalah kesiapan diri seorang salik untuk menerima apa yang akan ia berikan. Seperti kisah seorang tua dari desa Bedouin yang senasib dengan pesuruh ratu Bilqis, dua-duanya mengalami wajah yang memerah karena malu, jika pesuruh ratu Bilqis terheran-heran melihat anak tangga tahta Nabiyullah Sulaiman,as., terbuat dari emas murni, padahal dia datang membawa emas batangan untuk dihadiahkan kepada sang Nabi, sedangkan orang tua dari desa Bedouin melihat sungai tigris yang sangat besar dan dipenuhi dengan air yang deras mengalir, padahal dia datang ke Iraq untuk mendapatkan hadiah dari sang Sultan yang akan ditukar dengan kendi yang dibawanya berisi air hujan yang ditampungnya, karena ia berpikiran bahwa di Iraq tidak ada air sama sekali.
Riwayat yang shohih diatas tampak lucu, begitulah sesungguhnya kita semua sebagai salik dihadapan seorang Syaikh. Semua salik merasa telah memberi, padahal seorang Syaikh tidak pernah menerima, justru ia yang memberi. Karena ia telah putus dari ikatan duniawi, bukan emas dan bukan pula air kendi yang ia inginkan, melainkan mendekatkan diri sang salik kepada Tuhan. Bisa jadi, emas dan air laksana ilmu pengetahuan, dan banyak orang berpikiran bawa Tuhan dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, ketahuilah bahwa bagi-Nya, ilmu dan pengetahuan tidak berarti sama sekali.
Jin ifrit menawarkan jasa kepada Nabiyullah Sulaiman,as., untuk memindahkan istana ratu Bilqis, namun beliau menolaknya. Asaf, salah seorang menteri menanggapinya, ‘Dengan Nama Allah, istana itu bisa berada disini dalam sekejap.’ Maka Nabi,as., membiarkan Asaf untuk memindahkan istana itu, tawaran jin ifrit tidak digubrisnya. Milihat istana itu berhasil dipindahkan, sang Nabi bersyukur kepada Allah dan berkata : ‘Hanya orang-orang yang bodoh yang tertarik kepadamu.’ Kemudian Sang Nabi berseru kepada ratu Bilqis : ‘Sadarlah Bilqis, apa arti sebuah istana? Lepaskanlah keterikatanmu dan masuklah kekerajaan Allah.’
Riwayat ini amat elok, jin ifrit mewakili suara-suara seperti nyanyian keruhanian dan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk membersihkan hati, sedangkan Asaf mewakili dzikir-dzikir (jahr dan lathif) untuk membongkar penyakit-penyakit hati. Tentunya gagal, membersihkan hati dengan nyanyian dan ilmu pengetahuan, karena nyanyian dan ilmu pengetahuan laksana ‘pikiran’. Bagaimana bisa ‘pikiran’ memindahkan istana ratu Bilqis? Seseorang dengan ‘pikirannya’ hanya sesaat mampu mengatasi masalah batin, dalam sekejap masalah itu akan kembali lagi. Keberingasan nafs hanya bisa ditundukkan oleh Allah sendiri, dengan Kasih Sayang-Nya, dengan Basmallah. Para syaikh sufi sepakat bahwa metode shahihnya dengan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya (dawamudz dzikri) secara berkesinambungan dan dengan cara-cara tertentu (kaifiat).
Evolusi nafs sungguh sangat dasyat, jika sebuah kamar berisi ruh dan nafs secara bersama-sama, maka ruh akan bertekuk lutut, karena tempat asal ruh bukan di dunia ini, akan tetapi di alam amr (alam perintah). Sedangkan jiwa telah bersatu dengan badan, sehingga unsur-unsur dunia ini, yang berupa air, bumi, angin dan api bersenyawa dengannya. Ego yang ada dipermukaan bisa dihanguskan oleh dzikir jahr, namun lapisan kedua, ketiga dan seterusnya sungguh sangat halus gerakkannya. Oleh sebab itu selain dzikir jahr, yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) membekali murid-muridnya dengan dzikir yang lembut, yakni dzikir lathif. Namun jangan pernah lupa, bahwa ada pihak ketiga yang membatu nafs, yakni syaithon yang terlaknat itu, pada awalnya ia akan membisikkan bahwa syaikhmu sungguh hebat, tidak ada seorang pun di dunia ini yang lebih baik darinya. Al hasil sang salik akan meremehkan setiap pembicaraan mengenai agama oleh para da’i, ‘Tidak .. tidak demikian, syaikhku lebih hebat, seharusnya begini dan begitu…’ begitulah gumannya. Hal ini berlangsung lama, seolah-olah membanding-bandingkan para da’i dengan syaikhnya adalah perbuatan baik. Padahal egonya sedang berkibar, perbuatan yang seperti itu membuat Allah SWT murka karenanya, yakni tatkala Iblis berkata ‘Aku lebih baik dari Adam, karena aku terbuat dari api sedangkan ia dari tanah.’ Meskipun demikian para salik akan merasa nyaman dalam peribatannya, ia mempunyai semangat yang luar biasa dalam melaksanakannya. Jika ia sembuh dari penyakit yang awal ini, ia akan tercebur kedalam lautan riya, peribadatannya ingin diketahui oleh orang lain. Lalu merasa bangga dan puas atas peribadatannya selama ini, dan sering memberitakan kepada orang lain bahwa aku adalah orang yang rajin berdzikir. Disini saja, banyak para salik yang tersungkur. Karenanya, ia harus merapat kepada syaikhnya, guna mendapatkan terapi yang tepat untuk mengikis penyakit yang demikian.
Selanjutnya, jika ia telah menerima limpahan ilmu dari dzikir-dzikirnya, dan kesadarannya muncul dengan baik, maka penyakit baru yang sangat dasyat muncul kembali, yakni menilai-nilai kebijaksanaan syaikhnya, ini celaka! Karena penyakit ini sifatnya seperti awan, yang menghalangi cahaya kewalian seorang syaikh hinggap didalam hati sang salik. Dan karena hal ini, syaithon makin getol bercokol didalam hatinya. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain, ia harus mandi didalam lautan kasih sayang Syaikhnya, dan terus menerus berlindung kepada Allah SWT.
Cinta kepada syaikhnya merupakan sayap laron yang membawa para salik terbang menuju cahaya, oleh karenanya semua salik wajib menjaga minyak lenteranya masing-masing, agar tidak pernah redup. Kecintaan seorang salik kepada Syaikhnya yang seperti ini, tidak bisa diterima oleh ulama dzahiran, mereka banyak melayangkan kritik bahwa beragama tidak harus seperti itu. Mereka lupa bahwa di dunia ini merupakan analogi untuk kehidupan mendatang, seperti panas, dingin, gelap, cahaya yang telah dipakai dalam bahasa wahyu Ilahi untuk memberikan gambaran-gambaran tentang kehidupan di alam lain. Bagaimana wahyu dapat mengatakan panasnya api neraka bila manusia belum mengetahui tentang panasnya api di dunia ini. Begitu juga cinta yang meluap seorang salik kepada syaikhnya, bagaimana orang bisa merasakan cinta yang meluap kepada Tuhannya, bilamana dia belum pernah merasakan cinta yang seperti ini? Tugas seorang syaikh sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Ibrahim Bin Adham,qs., ia akan melemparkan jarum kedirian seorang salik kedalam lautan ilmu ketuhanan, yang akan melebur segala ke-ego-annya (jarum usang) dan menggantinya dengan adab yang indah (jarum emas) untuk kehidupan diatas bumi ini, sehingga ia bermanfaat bagi makhluk lainnya dan amal-amalnya bersih mengangkasa, karena ia bertindak, berfikir menggunakan ilmu yang tiada tara tingginya.
Setelah Syaikhuna (semoga allah merahmatinya) membimbing jiwa para muridnya agar bersih dari sifat imarah dan lawamah, maka pekerjaan selanjutnya adalah mewarnai ruh dengan cara meditasi (muroqobah) agar selalu merasa telah berkumpul atau kembali ketempat asalnya (alam amr), agar selalu merasa diawasi dan bersama-sama dengan Tuhannya dimanapun ia berada. Agar Asma-Nya yang mencerminkan Sifat-sifat-Nya melebur kedalam hati sang salik, agar ia ‘tiada’. Begitulah sekelumit tentang evolusi jiwa, semoga ada manfaat bagi para sahabat, dan semoga Allah mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita semua, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.