Jumat, 19 Agustus 2016

WARA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian Jum’at malam dan Sabtu sore membahas tentang wara dari kitab Al luma karya Syaikh Abu Nashr as Sarraj,qs. Yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengawalinya dengan memuji Allah SWT dan bershalawat atas manusia teragung sepanjang masa sayidina Muhammad Rasulullah,saw., lalu mengucap syukur atas terbentuknya qolaqoh dzikir dan di akhiri dengan mengajak murid-muridnya untuk memulai wara agar di kemudian hari Allah SWT berkenan menjadikannya sebuah keteguhan atau maqom.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Mari kita periksa sudah sampai dimana tingkat wara kita?’ Wejangan ini merupakan sindirian yang tajam, tetapi banyak murid yang tidak menyadarinya, malah wajahnya berbinar-binar tatkala mendengar itu, seolah-olah ia sudah berada pada tingkatan ini. Salah satu syarat wara adalah mengetahui dan memahami ilmu fiqih secara baik, sehingga dapat menempatkan segala sesuatu sesuai dengan kedudukan hukum agama. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Kuasailah ilmu syariat terlebih dahulu baru kemudian bertasawuf.’ Wara termasuk maqom yang tinggi didalam bertasawuf, sebagaimana nama tasawuf itu sendiri yang dimulai dengan huruf 't' yang maksudnya adalah taubat sebagai syarat wajib untuk mengawali alam kesucian, lalu huruf 's' yang maksudnya syukur yaitu tidak menggunakan seluruh failitas dari Allah SWT untuk berbuat maksiat, lalu 'w' yaitu wara yang akan dirinci di bab ini dan kemudian huruf ‘f’ yang berarti fana atau musnah dari sifat kedirian atau sifat ego. Ujung daripada pencapaian bertasawuf adalah fana, namun ada beberapa syaikh yang menyebut ‘ridho’. Sehingga dapat diketahui jarak yang jauh antara wara dengan ridho. Tidaklah mungkin menjelaskan wara dicampur dengan ridho. Insya Allah bila cukup umur di bab berikutnya akan diterangkan mengenai fana dan ridho.

Semua tingkatan dalam bertasawuf berkaitan dengan mujahadah, oleh karenanya wara adalah salah satu bentuk mujahadah atau salah satu bentuk perjuangan melawan diri sendiri dari meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apa pun yang berlebihan, baik secara lahir maupun batin. secara lahir wara adalah meninggalkan segala penglihatan yang tidak mengingatkannya kepada Allah, menutup telinga dari segala bentuk penjelasan yang tidak membicarakan Allah, dan ia juga menjauhkan tangan dari segala hal yang tidak memiliki arti di hadapan Allah. Sedangkan secara batiniyah wara dapat dikatakan menjauhkan diri dari segala pikiran yang tidak dapat membuat mencapai Allah, termasuk didalamnya meninggalkan cakap-cakap hati selain Allah. Nah, setelah mengetahui wara secara ilmu pengetahuan, sekarang pada gilirannya memeriksa tingkat wara kita, sebagaimana yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pertanyakan di awal bab ini. Jangankan meninggalkan yang meragukan (syubhat) yang dilarang agama saja masih kita langgar. Contohnya, kita masih suka berbohong guna pencitraan agar dianggap orang alim, untuk mempertahankan sanjungan dari makhluk. Kita masih senang menggunjing, kita masih tidak memperdulikan saudara-saudara yang dalam keadaan perang, tidak menolong saudara-saudara kita yang terusir dari tanah airnya. Kita tidak membantu sahabat yang sedang susah, tetangga yang mengeluh dan anak-anak yatim yang perlu biaya sekolah dan makan ataupun orang tua jompo yang perlu perawatan. Kita masih senang membakar uang, menonton acara tv berlebihan, pergi plesiran, makan banyak, tidur lama, menumpuk uang dan harta benda serta benda-benda kesenangan dan masih banyak lagi. Melepas topeng kepura-puraan adalah sebagian dari wara namun sulit dilakukan, agar Allah SWT tidak melucutinya dihadapan semua makhluk, agar menyadari betapa rendahnya kita, betapa tinggi kedudukan para syaikh sufi dan betapa Maha Tingginya Allah SWT.

Merupakan sesuatu yang janggal bila seseorang mengaku mencapai maqom wara tetapi masih berharap dan meminta sesuatu kebutuhan dunia kepada makhluk bukan kepada Allah, baik secara secara terang-terangan atau pun dengan cara isyarat-isyarat. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.’
Khawatir terjerumus kedalam hal-hal yang haram biasanya para akhli tasawuf mengurangi atau membatasi makan, minum, tidur, dan berkata-kata dan mengutamakan ibadah yang bersifat ruhani, seperti berdzikir khafi, menghindari pikiran, perasaan, dan prasangka negatif. Dua di antara tiga pembatasan itu, yakni makan dan tidur, merupakan satu paket. Sebab, orang yang banyak makan biasanya banyak tidur pula. Karena itu dalam laku wara biasanya kedua hal tersebut dihindari. Yang sangat diajurkan dalam wara adalah perilaku sedikit bicara. Sebab, orang yang banyak bicara akan semakin banyak pula salah dan khilafnya. Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq,ra., memberi keteladanan dengan mengulum batu setelah mendengar sabda Rasulullah SAW, "Man kana yu’minu billahi wal yaumil akhir, falyaqul khairan au liyashmut (Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, bicaralah yang baik-baik saja, atau lebih baik diam).”

Kisah, seorang ulama sedang berjalan melintasi sebuah jalan di Basrah dan dilihatnya beberapa orang syaikh sedang duduk, sementara beberapa pemuda bermain di dekatnya. Bertanyalah ulama itu: ‘Apakah kalian tidak malu bermain di depan para syaikh?’ Salah satu pemuda itu menjawab : ‘Wara para syaikh ini demikian kecil hingga kami memandang kecil mereka.’ Bagaimana mungkin para pemuda ini dapat melihat yang demikian? Karena pemilik wara akan terlihat pada perilaku kesehariannya. Semakin hebat kualitas waranya, maka semakin tinggi pula kualitas ketaatan beribadahnya dan berlaku sebaliknya. Orang yang wara tentu akan meninggalkan keraguan bukan menciptakan keraguan yang disebabkan oleh bicara dan perilakunya berbeda, karena keadaan batinnya berlawanan dengan perilaku lahirnya. Sebagaimana sabda Rasulullah,saw., : ‘Bersikaplah wara, dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah di antara umat manusia.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bahwa wara adalah bersikap waspada atau bersikap hati-hati terhadap kehidupan ini.’ Kemudian beliau juga berkata bahwa hasil daripada puasa adalah sikap wara. Puasa adalah keberpantangan dari yang halal pada siang hari, sedangkan wara meninggalkan yang meragukan, yang tidak berarti dan yang berlebihan pada setiap waktu, baik secara lahir ataupun batin. Jika demikian dapat dikatakan bahwa wara adalah bentuk dari pada keadaan khalwat yang terus menerus. Syaikh Hasan al Basri,qs., berkata bahwa : ‘Bobot sebutir wara yang cacat adalah lebih baik ketimbang bobot seribu hari berpuasa dan shalat.’

Semoga Allah menolong kita untuk dapat belajar menjalankan wara dengan benar dan istiqomah, agar tidak menjadi pengetahuan saja. Karena pengetahuan bisa lupa, sedangkan perbuatan wara seperti menanam sebuah bibit yang akan tumbuh menjadi pohon zuhud dan buah ketaatan. Jika bibit tidak ditanam akan percuma seperti pengetahuan yang tidak diamalkan. Oleh karenanya Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengutip sebuah hadis yang mengatakan bahwa : ‘Barang siapa mengamalkan ilmu yang diketahuinya, maka Allah akan mewariskan ilmu yang belum diketahuinya.’

Demikian para sahabat semoga ada manfaatnya.