Rabu, 09 Desember 2009

THAHAROH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Wahai sahabat-sahabatku, tetaplah dalam keadaan berwudlu kapanpun dan dimanapun engkau berada.’ Ajakan ini dalam sekali maknanya, agar para murid belajar bermujahadah dari hal yang paling sederhana. Karena pensucian lahiriyah sekecil apapun akan mensucikan batiniyah, demikian pula sebaliknya pensucian batiniyah akan mensucikan lahiriyah. Kesempurnaan pensucian terletak pada besar kecilnya tindak mujahadah, dan tindak mujahadah tanpa berbekal ilmu yang benar tidak berbekas apa pun. Secara umum pengertian mujahadah adalah berpantang terhadap kesenangan jiwa. Maka, seseorang mesti waspada terhadap permainan jiwanya sendiri, tatkala akan menyempurnakan wudlunya, apakah dikarenakan ingin memperoleh kenyamanan sebab udara panas? Atau menghilangkan minyak dan debu pada wajah? Dan mengira sudah termasuk diantara orang-orang yang menyempurnakan wudlu demi ibadah? Tipuan jiwa ini membelokkan niat suci, sehingga wudlunya tak lain hanyalah untuk dirinya bukan untuk Allah SWT. Nah, jika nafs sedang menguasai diri dan menciptakan sebuah rasa nyaman, disaat ingin memperbaharui wudlu, maka perasaan yang demikian wajib diperangi terlebih dahulu, baru kemudian berwudlu dengan niat yang lurus. Tindak mujahadah yang tampak sederhana ini, termasuk didalam pengawasan terhadap gerak-gerik qolbi. Kemampuan yang demikian itu, termasuk maqom yang sangat luhur. Dikatakan bahwa sesuatu yang menggembirakan jiwa akan menggelapkan hati dan sebaliknya, sesuatu yang tidak meng-enak-kan jiwa akan mencahayai hati. Oleh karenanya, semua bentuk peribadatan dan selama disebut sebagai ibadat pastilah tidak akan meng-enak-kan bagi jiwa, karena disitulah letak mujahadahnya. Berbeda bagi seseorang yang ditengah malam dalam cuaca yang sedemikian dingin mesti memperbaharui wudlunya. Dengan menyempurnakan wudlu dalam keadaan yang tidak disukai (mujahadah) oleh jiwa, maka Allah SWT akan mengangkat derajat hamba-Nya dan menghapus segala kesalahannya. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Maukah aku kabarkan kepadamu tentang sesuatu yang dengannya Allah SWT menghapus segala kesalahan dan mengangkat derajat? Yaitu menyempurnakan wudlu disaat yang tidak disukai. Dan memperbanyak langkah ke masjid dan menunggu waktu shalat tiba.’ Hadis yang mulia ini menyebutkan, wudlu, perjalanan dan penantian. Wudlu berarti penghapus kesalahan, pembersih dan pensucian, sedangkan perjalanan berarti pengangkatan derajat, dan penantian berarti pengikat secara kukuh. Rasulullah, saw., menyebut penantian ini sebagai rabith dan diucap selama tiga kali, berarti mempunyai keutamaan yang sangat tinggi. Oleh karenanya, orang-orang yang menanti shalat di masjid dalam keadaan telah bersuci, nilainya sama dengan shalatnya selama masa penantian itu, sebagaimana pengikat yang terbuat dari tali yang kokoh. Para pejalan menyebutnya ‘rabithoh’, sebagai tali penghubung antara murid dengan mursyidnya, jika penantian shalat sama nilainya dengan shalat, maka sang murid mengenakan jubah ilmu pengetahuan sang ‘mursyid’ tatkala ia robithoh.

Terlihat jelas bahwa keutamaan memerangi kesenangan diri (mujahadah) dalam kasus diatas menandingi keutamaan berwudlunya. Meskipun kelihatannya tindak mujahadahnya sesederhana itu, namun termasuk didalam jihad akbar, yakni jihad melawan hawa nafsu, karena hawa nafsu adalah musuh yang paling besar dan yang paling dekat mengelilingi sosok manusia. Ia ada dalam setiap tarikan nafas, dan mengingkari nikmat Allah. Perintah untuk memerangi hawa nafsu secara implisit terdapat pada firman Allah SWT : ‘Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa. (QS 009 : 123).’ Jika seseorang berjihad melawan dirinya sendiri dengan jihad yang dapat membebaskannya, maka inilah jihad terakhir melawan musuh-musuhnya. Jika ia terbunuh dalam jihad ini, maka ia termasuk diantara para syuhada yang hidup dan memperoleh rizki disisi Allah SWT. Mereka senang dengan apa yang Allah berikan kepadanya berupa karunia-Nya, dan mereka memperoleh kabar gembira tentang orang-orang yang akan menyusulnya kemudian.

Sebelum niat dilantunkan untuk melakukan tindak peribadatan, seseorang mesti memeriksa gerak gerik jiwanya terlebih dahulu, untuk apa dan kepada siapa peribadatan ini tertuju, untuk kesenangan dirinya kah, atau hanya untuk Allah semata. Jangan pernah sekalipun meremehkan pekerjaan ini, karena didepan pintu tindak peribadatan yang diwajibkan atau yang disunatkan, terdapat ladang jihad akbar, yang keutamaannya melampaui bentuk peribadatan apapun, baik puasa ataupun shalat, bahkan berperang melawan kaum kafir dan terbunuh sekalipun. Oleh karenanya, bagi para pejalan sejati, setelah memeriksa gerak gerik jiwanya, dan memerangi tipu dayanya, guna meluruskan dan membersihkan niatnya agar tepat tertuju kepada Allah SWT, lalu melantunkan doa munajat ‘Ilahii anta maqsudi waridhoka matlubi, ‘atini mahabbataka wa marifataka yaa Arhamar Rohimiin,’ dirinya menjadi sirna kedalam samudera ke-esa-an-Nya. Hal ini telah diriwayatkan dalam hadis-hadis shahih. Oleh karenanya, jihad akbar ini menjadi jihad wajib yang ditentukan bagi orang-orang yang mengaku beriman, dan meninggalkannya berarti berbuat kemaksiatan. Demikian semoga Allah mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita semua, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

Selasa, 24 November 2009

SYUKUR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian Jum’at malam beberapa waktu yang lalu, membahas tentang makna syukur, kemudian membandingkan keutamaan antara syukur dengan sabar, yang bersumber dari kitab Qutul Qulub karya Syaikh abu Thalib al Makki,ra. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bagi saya, tidak peduli, mana yang lebih utama antara sabar dan syukur, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menggapai kedua maqom yang mulia itu, dengan mengerjakan dengan sungguh-sungguh dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, daripada hanya pandai berbicara tetapi tidak pandai bekerja.’ Ujaran ini dalam sekali maknanya, bahwa bukan perkara mudah untuk bisa sampai pada maqom syukur dan sabar. Seorang salik harus mawas diri dan sering merapat kepada sang guru dan memohon petuah tentang cara-cara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam perjalanannya, agar kedua maqom yang luhur itu dapat dicapainya. Semakin seorang murid giat bekerja atau berdzikir pada lathifahnya, maka semakin ia sadar, bahwa ia semakin jauh dari kesempurnaan, semakin merasa tidak lebih baik dari orang lain, lidahnya menjadi kelu dihadapan para sahabatnya apalagi dihadapan gurunya. Oleh karenanya, bila guru memerintahkan untuk berbicara, serasa ada dua buah gunung membebani pundaknya, karenanya, gunakan kesempatan yang berharga itu untuk bertanya kepada sang guru. Sebaliknya, jika ia merasa lebih baik dari murid-murid yang lain, dan merasa pantas memberikan 'tauziah' atau nasihat dihadapan guru, maka ia terperosok kedalam jurang yang dalam. Seseorang yang hatinya masih terkait dengan dunia, bicaranya tak akan membekas dihati pendengarnya. Berbicara kosong akan merendahkan harkat ilmu kalam dan menghina hukum suci. Yang boleh memberikan tauziah hanyalah dia yang diamnya menganiaya agama, dan yang bicaranya akan menyingkirkan kezaliman. Berbicara harus demi keagungan Islam bukan dirinya, keselamatan jiwa manusia bukan mencari kemasyhuran sendiri, dan keridhaan Tuhan Yang Maha Pengasih bukan suka cita manusia semata-mata. Barang siapa berbicara menurut kehendak Tuhan dan karena Tuhan, kata-katanya mempunyai kekuatan dan wibawa yang berkesan pada orang-orang durjana, tetapi jika seseorang berbicara menurut kemauannya sendiri, kata-katanya lemah dan tak berbobot serta tidak bermanfaat bagi pendengarnya. Ilmu kesufian adalah ilmu tahapan yang diperoleh dari melakukan riyadhah dan mujahadah. Bisa saja seseorang memasuki maqom syukur terlebih dahulu, baru kemudian memasuki maqom sabar, ada juga yang sebaliknya, dan demikian pula ada yang kedua maqom itu berdatang silih berganti, terserah bagaimana Allah SWT mengaturnya. Akan tetapi semua syaikh sufi sepakat, bahwa memasuki alam kesucian wajib hukumnya melakukan pertaubatan terlebih dahulu sampai orang itu kukuh didalamnya dan tidak menyia-nyiakan kewajiban yang timbul akibat pertaubatannya, maka ia telah mencapai maqom taubat.

Tentang sabar sudah disampaikan pada bab terdahulu, pada prinsipnya sabar terbentuk dari ketegaran dalam menghadapi sasaran bidikan anak panah kesulitan-kesulitan, tekanan atau kesempitan kehidupan, yang kesemuanya ada dalam ketetapan-Nya. Jika ia tetap berdiri teguh dihadapan-Nya seraya tetap mematuhi dan menaati hukum-Nya, ia telah masuk dalam maqom sabar. Sedangkan bila ia lari ketika panah takdir-Nya menembus dadanya, lalu ia membangkang terhadap perintah dan larangan-Nya, karena dirasakan begitu berat tekanan itu, berarti ia meninggalkan kedudukannya yang selama ini ia jaga dan pelihara. Allah SWT berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.’ (QS 002 : 153) Dikatakan bahwa Allah beserta orang yang sabar namun tidak demikian kepada yang shalat, karena begitu sulitnya orang mampu bersabar dalam menghadapi panah takdir-Nya. Oleh sebab itu, orang-orang yang sabar masih memerlukan pertolongan dan peneguhan, sebagaimana tercermin pada ayat berikut : ‘Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.’ (QS 016 : 127). Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana menyongsong pertolongan Allah SWT? Tidak ada jalan lain kecuali dengan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, atau seseorang dapat berpedoman kepada sebuah ayat al Qur’an : ‘Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (qs 002 : 152) Dan juga dapat berpedoman pada sebuah hadis qudsi : ‘Aku seperti apa yang dipikirkan hamba-Ku mengenai-Ku, dan Aku bersamanya seandainya ia mengingat-Ku. Seandainya ia mengingat-Ku didalam dirinya, Aku pun mengingatnya di dalam diri-Ku, seandainya ia mengingat-Ku di dalam kelompok orang, maka Aku akan mengingatnya di hadapan kelompok yang lebih baik dari mereka, seandainya ia mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sedepa, dan seandainya ia mendekati-Ku sedepa, Aku akan mendekatinya selangkah. Jika ia berjalan mendekati-Ku, Aku berlari mendekatinya.’

Sedangkan syukur adalah keterbukaan hati, terbentuk dari kegembiraan, karena melihat kemurahan, kebaikan, kasih sayang, karunia dan nikmat-nikmat-Nya. Shalat merupakan perwujudan syukur, sebagaimana yang terdapat pada hadist shahih bahwa Rasulullah,saw., melakukan shalat malam sampai kakinya yang diberkahi itu bengkak sebagai tanda syukur atas nikmat-nikmat yang ia peroleh dari Allah SWT. Atau sebuah riwayat mengatakan bahwa, Malaikat mendatangi Nabiyullah Idris,as., menyampaikan berita bahwa Allah telah ridha terhadapnya. Nabiyullah Idris,as., menangis mendengar itu, kemudian ia meminta kepada Allah supaya membiarkannya tetap hidup, ditanya alasannya, beliau menjawab bahwa : ‘Sebelumnya aku beramal untuk diriku sendiri. Kini aku ingin tetap hidup, supaya aku bisa beramal untuk-Nya sebagai rasa syukurku atas keridhaan-Nya terhadapku.’ Kemudian malaikat itu membentangkan sayapnya dan berkata : ‘Duduklah! Idris,as., pun duduk diatas sayap malaikat, lalu malaikat itu membawanya naik ke langit.” Dari kedua riwayat shahih itu, tercermin bahwa syukur sebagai perwujudan amal setelah Allah ridha terhadapnya.

Dipandang dari sudut lain, yakni lawan dari sabar adalah keluh kesah sedangkan lawan daripada syukur adalah kufur. Orang yang berkeluh kesah dalam menghadapi takdir-Nya adalah dosa, sedangkan orang yang kufur terhadap nikmat-nikmat dari Allah menjadikan murka-Nya. Demikian pula bila dilihat dari quantitas, bahwa sesuatu yang jumlahnya sedikit akan lebih baik dari yang jumlahnya banyak. Dari seluruh manusia, jumlah orang yang beriman tentu lebih sedikit, yang berpangkat wali lebih sedikit dari yang mukmin, dan jumlah para nabi lebih sedikit dari para wali, lalu jumlah rasul lebih sedikit dari jumlah nabi. Begitu pula bahwa orang yang bersyukur itu sangat sedikit jumlahnya, oleh sebab itu baginya kedudukan yang teramat mulia disisi Tuhannya, sebagaimana firman-Nya : ‘Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.’ (QS 032 : 9)

Pada umumnya, awalnya adalah sabar, kemudian diikuti oleh syukur, seperti telah dikisahkan pada bab sabar terdahulu, bahwa Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) malah bersyukur tatkala seorang dokter memvonis bahwa ia mengindap suatu penyakit yang sangat membahayakan. Syukurnya tampak jelas dari kesabarannya, karena syukur itu tersembunyi, sebagaimana api yang tersembunyi didalam batu. Sewaktu kecil kita sering bermain batu berwarna putih yang terdapat disekitar rel kereta api, bila kedua batu itu digesekkan dengan keras akan menimbulkan percikan api, lalu dengan mendekatkan kertas koran pada percikan api itu, terciptalah api. Demikian halnya dengan syukur, yaitu mengakui karunia dan nikmat-Nya, memuji Sang Pemberi nikmat, tunduk dan merendahkan diri pada keagungan-Nya, serta memasrahkan jiwa kepada-Nya. Semua ini tersimpan didalam hati (qolbu), seperti api yang tersimpan didalam batu putih tadi. Untuk mengeluarkan api syukur didalam hati, harus ada gesekan yang keras, serta harus tersedia kertas koran agar api dapat menyala. Nah, gesekan yang keras adalah ujian atau cobaan, sedangkan kertas koran adalah nikmat dan karunia-Nya. Dengan ujian dan cobaan saja, api syukur tidak akan bisa dinyalakan, karena yang keluar bukan api syukur melainkan sabar dan pasrah. Supaya api syukur dapat menyala, maka harus ada kertas koran, yaitu nikmat dan karunia-Nya. Sebagaimana yang termaktub didalam firman-Nya : ‘Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi Setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.’ (QS 014 : 5)

Dalam ilmu kesufian, masa diujinya hati para wali dengan bermacam-macam penderitaan yang datang kepada mereka dari Allah SWT, seperti kesedihan, kesempitan, keseganan disebut Imtihan, Allah SWT berfirman : 'Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.' (QS 049 : 3) Sedangkan bila yang diuji adalah hati dan badan mereka dalam bentuk penyakit dan kemalangan disebut bala. Makin berat penderitaan seseorang maka semakin ia dekat dengan Tuhan, karena penderitaan adalah pakaian mereka dan tempat penggodokan orang-orang suci serta santapan para nabi-nabi. Rasulullah,saw., bersabda : 'Kami, nabi-nabi adalah yang paling banyak menderita diantara manusia.' Juga beliau bersabda : 'Nabi-nabi adalah yang paling banyak menderita diantara manusia, kemudian wali-wali, dan kemudian orang-orang lain menurut peringkat mereka masing-masing.' Oleh sebab itu, baik Imtihan ataupun bala pada hakikatnya adalah rahmat, makanya mereka orang-orang suci itu menerimanya dengan rasa syukur, sebagaimana guru tercinta kita dalam memandang dan menghadapi penyakit yang seorang dokter menyebutnya sangat membahayakan itu.

Seseorang mesti jeli melihat ketetapan Allah SWT dan perintah-Nya, ketetapan-Nya melibatkan sedih atau gembira, senang atau susah, sehat atau sakit, kaya atau miskin, serta kesempitan dada atau kelapangan bagi seseorang, yang ketetapan-Nya itu tertulis didalam lembaran yang terpelihara (lauh mahfud) jauh hari sebelum ruh dan jasad manusia dicipta. Begitu di tampakkan pada seseorang, ia tidak akan mampu menghidar, dan seseorang tidak mempunyai pilihan. Sedangkan perintah-Nya sangat jelas, bila panah ketetapan-Nya yang berkenaan dengan kesulitan datang kepada seseorang, maka diperintahkan untuk bersabar, dan sebaliknya bila yang datang adalah panah ketetapan-Nya berupa kesenangan atau kelapangan maka diperintahkan untuk bersyukur, dan seseorang mempunyai pilihan untuk taat atau membangkang. Dan barang siapa mampu berdiri kukuh menjalani dengan teguh perintah-Nya dalam menghadapi ketetapan-Nya maka ia telah masuk kedalam maqon syabar dan syukur, atau mukmin.

Demikian, semoga apa-apa yang diperoleh oleh guru tercinta kita, Allah SWT berkenan melimpahkan kedalam dada kita, amiin yaa Allah ya Rabbal Alamiin.

Minggu, 22 November 2009

EVOLUSI JIWA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Mungkin sudah ratusan buku tasawuf membicarakan tentang evolusi jiwa, dan memang inilah yang menjadi pokok pembicaraan para syaikh sufi. Mereka melihat dan merasakan perubahan-perubahan jiwa dalam perjalanan ‘menuju’ Allah SWT, bahkan mereka berhenti sejenak (wuquf) pada setiap pemberhentian itu (stasiun) meneliti dan menulisnya atau berbagi pengalaman ruhaninya kepada murid-muridnya, khususnya cara-cara atau kaifiat untuk mencapainya. Agar diketahui ciri-ciri, sifat dan rasa yang hakiki, supaya para murid dapat memahami dan bilamana disuatu kelak mengalaminya, maka ia dapat dengan tepat mengetahui kebenarannya. Mereka menyebutnya ilmu tahapan, atau ilmu maqom-maqom. Pada umumnya untuk mencapai maqom-maqom itu, mereka melakukan praktik wirid, dzikir, tafakur, muroqobah, muhasabah, sedangkan ibadah yang wajib tidak dibahas disini, karena bersifat umum bagi setiap orang yang mengaku beriman, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Meskipun pada tahapan tertentu, maqom menjadi hijab, karena setiap maqom berkaitan dengan upayanya dalam melakukan riyadhah dan mujahadah, sedangkan keberserahan setelah keberupayaan, fana dari upayanya, atau fana dari dirinya dan baqo bersama Tuhanya menjadi akhir perjalanan. Setiap kelompok syaikh sufi mempunyai kaifiat yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama, oleh sebab itu, munculah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pembimbing ruhani, diantaranya tarekat Qodiriyah, Naqsyabandiyah, Chistiyah, Sanusiyah, Samaniyah, Tijaniyah, Sadziliyah dan masih banyak lagi. Seperti praktik dzikir, ada kelompok tarekat yang melakukannya secara berbunyi dan menggunakan gerakan-gerakan serta hitungan tertentu, ada pula kelompok lain yang praktik dzikirnya diam dan tidak bergerak, demikian pula tentang praktik muroqobah, ada yang duduk seperti tahiyatul akhir dan ada yang duduk sebaliknya, ada yang mencapai tingkatan dua puluh dan ada pula yang hanya empat. Nah, praktik-praktik itu hanyalah sebuah sarana bukan tujuan, dan merupakah ciri khas dari kelompok sebuah tarekat. Akan tetapi menjadi wajib hukumnya untuk taat dan mengikuti secara tepat kaifiatnya bagi orang-orang yang menganutnya. Tentunya praktik-praktik itu dicontohkan oleh para masyaikh terdahulu yang berpedoman kepada Abu Bakar as Siddiq,ra., dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., yang menerimanya langsung dari Rasulullah,saw., yang bersifat khusus.

Pengajian secara informal bersama seorang mursyid merupakan hal yang langka di era yang serba materialistk ini. Keajaiban-keajaiban (karomah, bagi para waliyullah) atau maunah (bagi para mukmin) sering terlihat dan terasa, walaupun murid-murid yang awam beranggapan bahwa karomah atau maunah itu mestilah dapat dilihat oleh panca indera, sebagaimana mu’jizat para nabi. Pendapat ini salah, karena karomah berbeda dengan mu’jizat, yang pertama datang dan pergi atas kehendak Tuhan, dan diperuntukkan hanya untuk wali-Nya saja, dan bukan konsumsi orang lain, sehingga bentuk karomahnya bisa bersifat lahir dan batin, dan Allah berkehendak untuk dapat disaksikan dan dirasakan oleh murid-murid tertentu saja. Sedangkan yang kedua, datang karena doa seorang nabi dan memang tujuannya untuk diperlihatkan kepada orang lain guna mengukuhkan keimanannya. Dalam kesempatan itu, seorang salik dapat bertanya secara langsung tentang keadaan dirinya atau kesulitan-kesulitan didalam perjalan spiritualnya. Karena, pada umunya pengajian tarekat yang diadakan secara formal, belangsung secara monologis, tidak ada kesempatan bagi seorang salik mengajukan pertanyaan. Meskipun, tanpa pertanyaan pun, seorang mursyid dapat memahami warna jiwa dari murid-muridnya yang hadir. Sehingga ujaran-ujarannya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan bisu murid-muridnya itu. Hal ini merupakan salah satu ciri yang wajib yang ada pada pembimbing ruhani, sebagaimana ucapan Imam Junayd,ra., : ‘Seorang pembimbing ruhani pasti mengetahui semua yang terjadi pada salah seorang muridnya.’ Diriwayatkan bahwa, terpikir oleh Khayr Nassaj bahwa Imam Junayd,ra., sedang menunggu didepan pintunya, dan ia ingin mengusir pikiran itu, karena dalam tradisi tarekat, nyaris mustahil seorang mursyid berkunjung kerumah muridnya. Pikiran yang sama terulang dua dan tiga kali, sehingga ia pergi keluar dan mendapati Imam Junayd,ra., yang mengatakan : ‘Jika engkau mengikuti apa yang terlintas dalam benakmu, tidak perlu bagiku berdiri berlama-lama disini.’ Begitu pula tatkala beberapa orang murid sedang ngariung bersama Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), tiba-tiba beliau memekik : ‘Ruh saudara kita, H Memed, yang sedang sakit berkunjung kesini, sebuah isyarat ia akan segera berpulang keharibaan-Nya.’ Segera murid-murid yang mendengar itu begegas berziarah dan mendapati keadaanya yang sudah payah. Tiga hari setelah kejadian ini, H Memed menghembuskan nafasnya yang terakhir (semoga Allah mensucikan, mengampuni semua dosanya dan menyayanginya).

Disebut buah kelapa, bilamana ia terdiri dari kulit, batok, buah dan air. Tidak tepat, jika kulit dan batok kelapanya saja disebut kelapa, meskipun keduanya adalah bagian darinya. Demikian juga sosok manusia, ia akan disebut manusia manakala lengkap terdiri dari materi yang lahir dan materi yang batin. Materi yang lahir berupa badan, Syaikh (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya cangkang, sedangkan materi yang batin terdiri dari hati, ruh dan jiwa. Ruh mempunyai penasihat bernama akal dan jiwa mempunyai panglima bernama syahwat. Para syaikh sufi sepakat bahwa hati (qolbu) adalah tempat (lokus) ruh dan jiwa. Kata ‘tempat’ atau ‘lokus’ untuk materi-materi yang halus menjadi pokok perbedaan pendapat, khususnya yang berkenaan dengan letak hati (qolbu) pada sosok manusia. Memang, sejak dahulu kala orang-orang kafir Quraysy sudah bertanya kepada Rasulullah,saw., tentang sifat dan hakikat ruh, Allah SWT berfirman : ‘Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS 017 : 85) Rasulullah,saw., bersabda : ‘Ruh-ruh adalah tentara, mereka yang mengenal satu sama lain bersepakat dan mereka yang tidak mengenal satu sama lain berselisih.’ Ruh adalah substansi dan bukan atribut, karena , selama ia masih berkaitan dengan badan, Allah SWT terus menerus mencipta kehidupan baginya, dan kehidupan itu adalah atribut dan dengannya ia hidup. Ruh meliput atau ada yang mengatakan tersimpan dalam badan dan bisa dipisahkan darinya sewaktu ia masih hidup, seperti dalam keadaan tidur. Tapi bilamana ruh meninggalkan badan, akal-pikiran dan pengetahuan tidak lagi bisa ada dalam dirinya, karena itu Rasulullah,saw., mengatakan bahwa ruh-ruh para syahid berada dalam tembolok burung. Dengan demikian, ruh itu tentu substansi (dzat) atau materi yang halus, yang datang dan pergi menurut perintah Allah. Dan ruh itu bisa dilihat oleh mata hati dan bisa menempati tembolok burung atau bisa menjadi tentara yang bergerak kesana-kemari, sebagaimana hadis diatas. Oleh karenanya disaat Mi’raj, Rasulullah,saw., melihat di langit, nabiyullah Adam,as., Yusuf,as., Musa,as., Harun,as., Isa.,as., dan nabiyullah Ibrahim,as. Dan tidak heran bilamana Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dapat merasakan dan mengenal kehadiran ruh murid-muridnya. Dan diriwayatkan bahwa Imam Uways al Qarani,ra., berkata kepada seseorang yang menziarahinya : ‘Assalamulaikum, wahai Harim bin Hayyan!’ Harim berseru : ‘Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah Harim?’ Imam Uways al Qarai,as., menjawab : ‘Ruhku telah mengenal ruhmu.’
Tarekat merupakan paguyuban, yang dipimpin oleh seorang mursyid sebagai pembimbing ruhani bagi para murid-muridnya. Didalamnya terdapat aturan-aturan yang sangat ketat, khususnya pelaksanaan cara-cara (kaifiat) melakukan peribadatan, hal ini merupakan pondasi yang kokoh, karena barang siapa salah menjalankan kaifiatnya, maka hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, dan mungkin saja berbahaya bagi perkembangan jiwanya. Seorang mursyid mempunyai metodologi khusus yang diterima turun temurun dari para masyaikh terdahulu, guna mengantar murid-muridnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT secara benar, cepat dan tepat. Metode, cara-cara atau kaifiatnya shahih dan telah terbukti mujarob, hampir semua metodenya tidak terlepas dari melakukan tindakan riyadhah dan mujahadah, atau dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah. Sehingga maqom-maqom diraih, kesucian demi kesucian tergapai, tahap demi tahap mencapai kedekatan dengan Tuhannya. Semua syaikh sufi sepakat bahwa tempat tambang makrifat adalah hati (qolbu). Oleh karenannya, hampir semua bentuk peribadatannya dipusatkan atau diarahkan kepada hati (qolbu) ini. Maka yang diperlukan bagi seorang salik, adalah patuh terhadap bimbingan mursyidnya, dan mengerti serta memahami mengapa ia ditakdirkan masuk dalam orang-orang yang bertarekat, orang-orang yang mensucikan dirinya, sebagaimana doa yang ia lantunkan dalam setiap kesempatan “Yaa Allah, Engkaulah yang aku maksud, ridho-Mu yang aku harapkan, karuniakan kepadaku rasa cinta kepada-Mu dan sebenar-benar mengenal-Mu, Wahai Yang Maha Belas Kasih, Ilahii anta maqsudi waridhoka matlubi ‘atini mahabbataka wa ma’rifataka ya arhamar rohimiin.”

Yang selalu ditilik oleh Allah SWT pada diri manusia adalah materi yang batin, yakni hati (qolbu), bukan materi yang lahir, oleh karenanya ia menjadi pusat perhatian para syaikh sufi, dan menjadi wajib hukumnya untuk selalu mewaspadai terhadap pengaruh-pengaruh yang buruk. Jika hati (qolbi) diperumpamakan sebagai sebuah ruangan, maka penghuni dalam ruangan itu, bersama-sama antara ruh (cahaya) dan jiwa (kegelapan). Ruh dicipta di alam amr, dan mengenal Tuhan sebagai Tuhan harus dikenal, ia menyerap sifat-sifat Tuhan, oleh karenanya sangat tepat bila diperumpamakan cahaya, sedangkan jiwa tercipta manakala ruh telah menyatu dengan badan, dan karena berada di dunia ini, maka sifat-sifatnya dominan seperti sifat dunia, yakni kegelapan. Oleh sebab itu, hati bisa terkadang bercahaya dan terkadang gelap, tergantung pihak mana yang mempengaruhinya. Sekarang! ruangan itu berada didalam rumah (badan manusia), dan rumah ini dibuat dari empat unsur alam semesta, yakni tanah, air, api dan angin, yang secara keseluruhan bersifat kegelapan, persis seperti sifat jiwa. Karena sifat dan unsurnya sama, rumah dan jiwa menjadi menyatu dan sulit dipisahkan, laksana sepasang kekasih yang mabuk asmara. Sedangkan ruh menyatu dengan ruangan itu, karena asalnya memang bukan pada rumah itu, dan bukan pula di tempat dimana rumah itu berdiri, melainkan dari alam yang tinggi, alam kesucian, atau alam amr. Al hasil, ruangan menjadi gelap, ruh (cahaya) kalah dominan dibanding kegelapan. Lama kelaman jika tidak waspada, dan tidak memberi suplemen pada ruh (cahaya) maka ruangan seluruhnya menjadi gelap gulita. Jika sudah demikian, yang memancar dari rumah tadi adalah kegelapan, tak sedikitpun ada cahaya. Maka dari itu, manusia yang demikian tidak dapat melihat kebenaran-kebenaran dan segala sesuatu gerak gerik dan ucapannya hanyalah kepalsuan belaka.

Mursyid adalah pembimbing ruhani, karena ruangan pada rumahnya bercahaya, yang menjadikan rumahnya pun bercahaya. Oleh sebab itu, menjadi tepat jika ia membimbing murid-muridnya mengembalikan ruangan tadi menjadi bercahaya, walaupun sangat sulit namun bukan hal yang mustahil. Yang pertama dan wajib bagi seseorang adalah memperoleh taufik dan hidayah-Nya, lalu patuh dan taat menjalankan pekerjaan tarekat, atas bimbingan dari seorang mursyid. Praktik dzikir menjadi pekerjaan yang dominan, dengan selalu menyebut asma Allah sebagai pemberi cahaya langit dan bumi, maka ruh tadi akan semakin bercahaya, dan menggeser sedikit demi sedikit kegelapan pada ruangan, sebagaimana yang termaktub didalam al Qur’an : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.’ (QS 024 : 35) Lalu setelah ruangan itu bercahaya, pekerjaan selanjutnya adalah muroqobah atau meditasi untuk mempengaruhi hati (qolbu) agar selalu merasa kehadiran Tuhan (Hudur al-Haq), merasa diawasi dan bersama-sama dengan-Nya, serta merasa diliput oleh-Nya terus menerus sepanjang kehidupannya, dalam keadaan terjaga ataupun tertidur.

Tarekat Qodiriyah, melakukan ritual peribadatannya dikhususkan pada hati (qolbu) baik dzikir, tafakur (kontemplasi) atau muroqobah (meditasi). Demikian pula tarekat Naqsyabandiyah, akan tetapi, tarekat ini mempunyai keyakinan bahwa didalam ruangan tadi masih tedapat ruangan-ruangan yang lain sebanyak tujuh ruangan. Atau dengan kata lain bahwa didalam hati (qolbu) masih terdapat materi-materi halus (lathifah) yang lain, dan hati (qalbu) sebagai ummul lathifah atau ibu dari pada lathifah. Kedua tarekat ini mempunyai metodologi yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama. Oleh sebab itu, Syaikh Ahmad Khatib as Sambasi (semoga Allah mensucikan ruhnya), menggabungkan ke dua tarekat ini menjadi tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sebagai pewaris mutiara ilmu kesufian dari tarekat ini mengatakan bahwa letak hati (qolbu) sebagai tambang makrifat ini, berada pada dua jari dibawah susu sebelah kiri. Ditempat inilah terdapat harta karun yang tidak ternilai harganya dan dijaga sangat ketat oleh sifat binatang ternak dan buas, sifat rububiyah dan sifat syaithoniyah, serta didepan ‘pintu’ hati dijaga oleh para syaithon yang berusaha menyesatkan anak cucu Adam. Nah, jika hati (qolbu) menjadi lokus dari pada dua entitas yang saling tarik menarik, ruh mengajak kearah kesucian dan kembali keasal muasalnya, yakni ‘dekat’ dengan Pencipta-Nya, dan jiwa mengajak kepada hal-hal yang kotor (buruk) agar terjerambab di alam dunia ini, agar manusia semakin tertabiri dari Tuhan, sesuai dengan keterkaitannya terhadap anasir, tanah, air, api dan angin. Oleh karenanya, jiwa dan badan menyatu dan lengket, sulit dipisahkan, dan selalu bertindak mengarah kepada kejahatan, melanggar hukum suci, syariat agama. Maka dari itu, orang-orang yang mencari Tuhan tidak akan pernah mengendorkan perjuangannya melawan jiwa rendahnya, sehingga dengan demikian mereka bisa menggunakan kekuatan ruh dan akal, yang menjadi rumah bagi rahasia Ilahi. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bahwa jiwa dapat dipengaruhi.’ Yakni, melalui bimbingan dari seorang mursyid dalam melaksanakan pekerjaan tarekat, maka tahap demi tahap jiwa akan terpengaruhi oleh sifat-sifat Tuhan dan sedikit demi sedikit akan selaras dengan anasir alam semesta ini.

Kelompok syaikh sufi, mempunyai terminologi dalam menyampaikan pengalaman ruhaninya. Setelah bersungguh-sungguh melakukan praktik-praktik riyadhah dan mujahdah sesuai dengan metodologi masing-masing, jiwa mengalami evolusi, bergerak sedikit demi sedkit, atau tahap demi tahap menggugurkan sifat buruk (majmumah) dan terbukanya sifat-sifat yang terpuji (mahmudah). Perubahan-perubahan pada jiwa (evolusi) ini ada yang menyebut maqom-maqom, yang dimulai dari maqom taubat, sabar, syukur, tawakal dan sampai pada maqom ridha. Ada pula yang menyebutnya dari nafsul imarah, nafsul lawwamah, nafsul mulhimah, nafsul muthmainah, nafsul mardiyah, nafusl radiyah dan yang tertinggi adalah nafsul kamilah. Meskipun cara penyampaiannya berbeda namun mempunyai arti yang sama, terserah mana yang akan digunakannya. Begitu pula letak daripada materi-materi yang halus pada manusia, berbeda tempat namun mempunyai tujuan yang sama pula. Semoga Allah SWT meridhoi ktia semua, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

Minggu, 01 November 2009

UJARAN PERTAMA SULTHONUL AULIYA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Para sahabat tercinta, sebelum membaca ceramah pertama dari pemimpin tarekat Qodiriyah, Sulthonul Auliya Sayyidi Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir al Jailani al Bagdadi,qs., pada hari Jum’at 15 Syawal 545 H, mari bersama-sama kita bacakan Suratul Fatihah, Al Fatihah ........... Amiin.

Hati para waliyullah adalah suci dan bersih. Mereka adalah orang-orang yang sudah bercerai dari makhluk dan tenggelam dalam cinta kepada Sang Pencipta. Mereka telah menceraikan dunia dan mempersiapkan diri untuk Hari Kemudian. Kau tidak akan bisa mengenali mereka, karena kau tersesat dalam dunia ini. Terbentang jarak yang amat jauh antara kau dengan mereka. Jika ada saudaramu mukmin memberimu nasihat, jangan melakukan hal yang bertentangan dengan perkataannya, karena dia bisa melihat hal-hal pada dirimu yang tidak bisa kau lihat. Nabi,saw., bersabda : ‘Seorang mukmin adalah cermin bagi muslim lainnya.’ Seorang mukmin sejati akan selalu memberi nasihat kepada saudaranya sesama muslim, tulus dari dasar hatinya. Dengan terbuka dia katakan kelemahan dari kekurangan saudaranya. Allah Yang Mahasuci telah meletakkan di hati muslim semangat untuk menasihati saudaranya, termasuk nasihat dan menyampaikan kebenaran kepadamu, dan menjelaskan kepadamu apa yang dia pahami. Sebagai imbalannya, dia tidak menginginkan apa pun dari dunia ini maupun di dunia nanti. Yang dia inginkan hanyalah ridho Kekasihnya dan inilah yang menjadi doanya.

Ya, aku sangat berbahagia ketika umatku mencapai keberhasilan dan kemakmuran, dan kemunduran kaumku terasa olehku laksana panah-panah yang menusuk hatiku. Bila salah satu muridku mencapai keberhasilan, maka hati merasa sangat bahagia, sehingga ketundukkan hati dan kepalaku ke hadirat Sang Penciptaku. Wahai hamba Allah! Perbaikan keadaanmulah yang menjadi tujuanku. Aku tidak memiliki pamrih pribadi, karena jenjang itu telah kutaklukkan. Aku ingin menggandeng tanganmu dan membimbingmu menuju jalan yang lurus, maka jangan segan meminta pertolongan dan bantuanku di jalan ini, sehingga engkau dapat mencapai keberhasilan. Aku dapat memperindah dirimu di hadapan Allah dan bukan dalam pandangan manusia, yang kuinginkan adalah menunjukkan padamu siapakah dirimu sesungguhnya. Seperti apakah keadaanmu? Apakah seperti setititk air dalam segumpal daging yang mati, atau laksana sepotong bangkai yang dipenuhi belatung dan ulat, dibiarkan untuk burung pemakan bangkai dan hewan-hewan lain?

Engkau harus paham bahwa orang yang mengajakmu taat dan menjadi hamba para raja dunia ini, dan menuangkan pada hatimu ketamakan dunia, emas dan perak, yang kau anggap lebih berharga daripada harta kekayaanmu yang sejati (iman), sesungguhnya ia sedang menyesatkanmu. Dia tidak lain adalah syaithoon.

Ingatlah pada Allah! Balasan atas ketamakan ini tidak lain adalah hilangnya kemuliaan dan timbulnya kehinaan. Rasulullah,saw., tercinta telah menyatakan : ‘Orang yang paling pantas menerima murka Allah adalah orang yang menghasratkan hal-hal dunia melebihi kebutuhan dirinya, karena tamak.’ Jika kau berpikir manusia dapat memberimu keuntungan berlimpah, sehingga akan menelan segala sesuatu, maka sesungguhnya kau belum mengerti inti rahasia. Ini adalah bisikan syaithon dalam hatimu. Sesungguhnya kau bukanlah hamba Allah, tetapi kau adalah hamba nafsumu dan pembantu-pembantu syaithoon.

Ceraikan kecintaan pada uang dan harta benda dan cobalah bebaskan dirimu dari penjara dunia ini. Jika kau ingin merdeka darinya, maka kau memerlukan bimbingan seseorang. Maka kau harus mencari seorang pembimbing. Ingatlah, bahwa jika kau mencari bimbingan semacam itu dengan mata jasmanimu, itu tak ada bedanya dengan mencari-cari sesuatu dalam gelap. Bimbingan ini hanya bisa ditemukkan dengan menggunakan mata hati dan pandangan ruhani. Jika kau ingin menjumpai bimbingan itu, maka syaratnya adalah iman. Jika kau tidak memiliki iman, maka kau tidak akan pernah memiliki pandangan batin. Allah SWT., berfirman: ‘Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.’ (QS 22 : 46).

Perumpamaan ketamakan terhadap dunia adalah ibarat seseorang yang memberikan uang dinar untuk ditukar dengan jerami. Jerami akan segera terbakar dan musnah, sedangkan dinar yang sebelumnya kau miliki, hilang sudah. Jika imanmu lemah, pastilah kau akan memburu dunia. Cobalah perkuat imanmu sehingga derajatmu dapat terangkat dan memiliki keyakinan sejati kepada Allah. Bila imanmu bertambah kuat, maka kau akan melihat bahwa keyakinanmu kepada Allah bertambah kokoh pula, dan kau akan menyaksikan kebutuhanmu dipenuhi-Nya bahkan tanpa sepengetahuanmu. Bila kau menjauhi keramaian orang, kau akan menyadari bahwa kau mencapai tingkat di mana kau siap dan rela memberikan hidupmu ke tangan Malaikat Maut. Kau tidak akan memikirkan hal itu, juga mengenai ke mana gelombang Laut Kebenaran Sejati akan membawamu.

Maka, kekhawatiran dan kesenangan duniawi sama sekali tidak akan mempengaruhi pikiranmu dan mengganggu jiwamu. Nabi,saw., bersabda : ‘Ceraikanlah pikiranmu dari dunia ini semampu kalian.’ Wahai hamba Allah! Cobalah bebaskan dirimu dari belenggu dunia ini. Tambatkan dirimu dengan tali kokoh rahmat Allah, yang dengan mantap akan menarik bahtera hatimu menuju pantai sejati Samudera Cinta. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Dia Sang Mahatahu. Segala sesuatu ada di dalam kendali-Nya. Jika kau mendambakkan Dia, pertama-tama mintalah kebersihan bagi hatimu, mohonlah iman dan makrifat. Mohonlah ilmu. Mohonlah keridhoan hati. Mohonlah cahaya hati. Mohonlah cinta dan Kasih Sayang-Nya. Mintalah semua ini dari-Nya.

Jika engkau memperoleh ini semua, maka kau telah memiliki segalanya. Jangan tadahkan tanganmu kepada yang lain. Tujuanmu hanyalah Dia. Tidak ada guna memohon pada orang sombong dan angkuh di dunia ini. Wahai hamba Allah! Jika kau hanya mengucapkan kalimat syahadat dengan lidahmu, dan hatimu tidak memunculkan kesaksianmu ini dalam perbuatanmu, maka sesungguhnya kau belum bergerak selangkah pun menuju Sang Pencipta.

Kesungguhan perjalanan menuju Allah tergantung pada laju ruhani dan kekuatan hati. Kedekatan sejati adalah kedekatan jiwa. Amal saleh sejati adalah amal yang disertai jiwa, atau dengan kata lain, keikhlasan. Perbuatan baik ini hanya dapat dilaksanakan jika kau tetap berada di dalam batas-batas yang ditetapkan syariat dan disertai perlindungan syariat. Ini semua hanya bisa dicapai oleh hamba Allah yang sejati dan saleh. Ini harus menjadi mistar pengukurmu. Jika manusia tidak mempergunakan jiwanya sebagai mistar, maka dia tidak akan berhasil. Tindakan atau amalan yang dilakukan untuk memamerkan kesalehan diri, bukanlah amal saleh yang sejati. Amal kebaikan yang sejati dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Orang hanya wajib melaksanakan fa’idl-nya secara terbuka, karena memang diharuskan. Amalan seseorang tergantung kepada tauhid dan keikhlasannya. Jika dua hal ini tidak ada, maka amalan seseorang tidak ubahnya laksana sebuah bangunan tanpa pondasi yang kokoh. Tidak akan lama waktunya bagi bangunan itu untuk rubuh dan runtuh. Pertama-tama bangun dan perkokoh pondasi ini, setelah itu dirikanlah bangunan yang megah. Jika Allah berkehendak, maka bangunan semacam itu tidak akan pernah ambruk atau hancur, karena bangunan ini memiliki pondasi yang kokoh. Hanya dengan menerima Ke-Esa-an Allah, amal-amalmu akan dapat bercahaya di angkasa ruhani sebagaimana bulan purnama dan akan mencurahkan sinar sebagaimana matahari.

Jumat, 30 Oktober 2009

HATI (QOLBU)

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS 013 : 28)’

Seorang salik terkejut mendengar celotehan bocah kecil yang masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar yang berkomentar tentang gempa bumi yang sedang melanda di beberapa kota di Indonesia, bahwa gempa bumi itu, bumi bergoyang-goyang mengikuti tingkah laku orang-orang masa kini, yang suka bernyanyi dan bergoyang-goyang mengikuti irama lagu. Makanya banyak-banyak shalat dan puasa agar bumi menjadi tenang. Bocah kecil itu begitu tajam ucapannya, tanpa disadarinya ia telah berbicara tentang anasir, insya Allah pada bab mendatang akan disampaikan pengajian tentang anasir, yakni hubungan antara Sang Pencipta, alam semesta (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos).

Ayat diatas jelas sekali maknanya, yakni ketenangan seseorang terletak pada hatinya, dan ketenangan hati diperoleh dari hasil dzikir-dzikirnya, tentunya dzikir kepada Allah (dzikrullah) bukan dzikir dunia. Seseorang boleh melihat kedalam dirinya apakah ketenangannya diperoleh disaat angka rekening tabungan banknya banyak atau sebaliknya kegundahannya datang tatkala angka rekening banknya menipis. Jika ketenangannya dikarenakan cahaya ketuhanan yang menguasai hatinya karena dzikir-dzikirnya, maka ia termasuk golongan orang-orang yang berbahagia di dunia ini dan akhirat nantinya, sebaliknya jika ketenangannya disebabkan karena adanya harta bendawi yang menumpuk didalam rekeningnya atau uangnya menjadi banyak maka ia termasuk golongan orang-orang yang tertipu, meskipun ia juga telah melakukan dzikir-dzikir, namun jelas ia telah salah dalam mematuhi kaifiat dzikir yang benar, dan tidak melakukan tindak mujahadah. Yang pertama, ruhnya telah mendominasi jiwanya, lalu cahaya ketuhanan memenuhi ruang hatinya, sehinga keimanannya bertambah-tambah kuat, dan tuhannya adalah Allah SWT semata, sedangkan yang kedua jiwanya telah mendominasi ruhnya dan kegelapan telah memenuhi hatinya, sehingga keimanannya merosot tajam, dan tuhannya adalah harta bendawi dunia, naudzubillah mindzalik.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Seseorang menjadi mulia tatkala ia mampu mewaspadai gerak gerik hatinya.'

Hati (Qolbu) menjadi pusat perhatian para syaikh sufi, karena merupakan tambang makrifatullah, jika ia baik maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Hati yang dimaksud adalah suatu yang halus yang terdapat pada manusia bukan hati organ tubuh. Hati (Qolbu) secara etimologis berarti membalik, mengalihkan, mengubah. Jika sebuah gelas diisi penuh dengan anggur, maka ia akan berwarna merah atau putih, tergantung dari pada warna anggurnya. Jika gelasnya tenang maka isinya juga akan tenang, demikian pula jika isinya tenang maka gelasnya akan tenang pula. Demikian pula dengan hati manusia, sebagai tempat (lokus) antara ruh dan jiwa, lokus dari kebaikan dan keburukan, keimanan dan kemunafikan, kebenaran dan kepalsuan. Ketika Allah SWT menciptakan hati (qolbu), malaikat Ridhwan (penjaga surga) berkata : ‘Berikan kepadaku, sebab didalamnya ada madu keakraban dan anggur kesucian.’ Malaikat Malik (penjaga neraka) berkata : ‘Berikan kepadaku, sebab didalamnya ada gejolak api hasrat dan api nafsu.’ Para malaikat muqorobin (penyangga Arasy) berkata : ‘Berikan kepada kami, sebab ia adalah arasy cinta mulia dan hamparan luas kebaikan.’ Malaikat yang lain berkata : ‘Berikan kepada kami, sebab ia adalah langit penuh hiasan, pikiran-pikirannya mengalir bagaikan bintang-gemintang yang melesat cepat.’ Lalu Allah SWT membubarkan mereka dan berkata : ‘Qalbu itu berada diantara dua jari-jari Dzat Yang Maha Pengasih.’ Rasulullah,saw., sering melantunkan sebuah doa : ‘Wahai Dia yang membuat hati berubah-ubah, tetapkan hatiku pada agama-Mu.’ Yakni, ‘Tidak ada putra Adam yang hatinya tidak berada diantara dua jari Tuhan. Siapa pun yang Dia inginkan, dibuat-Nya berjalan lurus, dan siapa pun yang Dia inginkan, dibuat-Nya berjalan bengkok.’ Hati berada diantara dua jari Tuhan, diantara keridhoan-Nya dan kemurkaan-Nya, Rahmat-Nya dan Keadilan-Nya. Hati juga bisa selembut malaikat dan segelap syaithon. Kadang-kadang angin rahmat berhembus yang membuatnya senang, dan kadang-kadang angin panas menerjangnya yang membuatnya lelah. Hati menjadi bingung diantara kedua jenis sifat dan kedua keadaan ini. Oleh karenanya hati merupakan pusat seorang manusia. Allah menaruh perhatian khusus kepadanya, dan yang ditilik dari manusia adalah hatinya bukan yang lain, bahkan tindakan-tindakan jawarih manusia yang tidak dibarengi dengan hati bukan merupakan dosa : ‘Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. (QS 033 : 5). ‘Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.’ (QS 002 : 25) demikian pula terdapat hadits yang mengatakan bahwa : ‘Allah tidak melihat badanmu atau bentukmu, melainkan kedalam hatimu.’

Sifat ruh adalah Ilahiyah, bercahaya dan tinggi sedangkan sifat jiwa adalah duniawi, rendah, gelap dan syaithoniyah. Hati sebagai lokus dari keduanya, menjadi berubah-ubah mengikuti angin yang membawanya. Kadang-kadang ia menuju yang tinggi dan menjadi satu dengan ruh dan kadang-kadang ia mendatangi yang rendah dan menjadi satu dengan jiwa. Ketika ia menjadi satu dengan ruh, ia mendominasi jiwa. Selanjutnya tidak ada lagi yang muncul kecuali kesesuaian dan kepatuhan. Ketika menjadi satu dengan jiwa, ia mendominasi ruh. Selanjutnya tidak ada lagi yang muncul kecuali penentangan dan ketidakpatuhan. Berubah-rubahnya hati adalah seperti berubah-ubahnya lingkaran langit, berubahnya peredaran planet-lanet atau galaksi. kadang-kadang ia membawa matahari kebawah dunia dan dunia menjadi gelap, dan kadang-kadang ia membawa dunia kebawah matahari dan membuatnya bercahaya. Ruh itu laksana matahari, jiwa itu seperti bumi dan hati itu seperti lingkaran langit.

Tugas para Syaikh sufi adalah terpusat pada pembersihan hati dari noda bawaan dan noda dunia. Jika dijelaskan metodologi Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah dalam upayanya untuk membersihkan hati, maka kitab ini akan menjadi tebal sekali dan membosankan untuk dibaca. Pendeknya, pendidikan keruhanian dan kejiwaan yang shahih hanya dipunyai oleh guru mursyid, seorang syaikh yang mendapat otoritas untuk menyebarkannya. Hati, ruh dan jiwa merupakan sesuatu yang halus yang ada pada manusia, dan hati menjadi tempat (lokus) ruh dan jiwa secara bersama-sama. Sesuatu yang halus hanya bisa dilihat dan dirasakan oleh indera yang halus pula, sedangkan sesuatu yang kasar hanya bisa didengar dan dilihat oleh indera yang kasar pula, seperti telinga dan mata. Pandangan para syaikh dari tarekat ini terhadap sesuatu yang halus pada manusia (lathifah), terdapat tujuh tingkatan kelembutan, sebagaimana langit diciptakan tujuh lapis, dan demikian pula bumi, serta surga diciptakan tujuh lapis demikian pula neraka. Namun demikian telah dikatakan pada bab-bab terdahulu bahwa hakikat angka tujuh mewakili sesuatu yang banyak dan mendekati tak terhingga. Ketujuh tingkatan kelembutan itu yang pertama adalah Latifatul Qolbi, didalam Latifatul Qolbi ada Latifatul Ruh, didalam Latifatul Ruh ada Latifatul Sirri, didalam Latifatul Siiri ada Latifatul Khofi, didalam Latifatul Khofi ada Latifatul Akhfa, kelima tingkatan kelembutan (lathifah) ini dicipta di alam amr (alam perintah) tanpa evolusi dan terletak disekitar dada manusia. Lalu didalam Latifatul Akhfa ada Latifatul Nafsun Natiqo, didalam Latifatul Nafsun Natiqo ada Latifatul Kullu Jasad. Kedua lathifah yang terakhir disebut ini letaknya disekitar kepala manusia dan mempunyai hubungan dengan anasir, tanah, air, api dan angin. Didalam ketujuh lathifah ini bersama-sama berkumpul sifat-sifat yang mahmudah (terpuji) dan sifat-sifat yang majmumah (tercela), sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat syaithoniyah, sifat-sifat binatang jinak dan binatang buas. Nah, lokasi tambang kesempurnaan manusia ada pada ketujuh tempat ini, aktifitas menambangannya harus dengan dzikir dan muroqobah. Setiap harinya, paling tidak pada ketujuh tingkatan kelembutan (lathifah) ini berdzikir menyebut ismudzat Allah … Allah … Allah sebanyak 11.000, atau khusus pada latifatul qolbi melakukan muroqobah sebanyak dua puluh (20) tingkatan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Barang siapa mampu masuk dengan benar dua (2) muroqobah awal, yakni ahadiyah dan maiyah maka orang itu telah memasuki awal kewalian, dan bila berhasil memasuki muroqobah yang ke tiga (3), aqrobiyah, maka ia telah memperoleh kewalian sugro atau kewalian kecil. Sedangkan barang siapa mampu memasuki muroqobah ke empat (4), muroqobah al-mahabbat fi al-dairat al-ula, sampai ke tujuh(7), maka ia akan memperoleh kewalian Qubro atau kewalian besar, dan seterusnya bila ia dapat memasuki muroqobah ke delapan (8) sampai ke dua puluh (20) maka ia telah memperoleh kewalian ulya atau kewalian malaikat.’ Yang dimaksud dengan masuk dengan benar dalam muroqobah adalah ia akan merasa dirinya sirna dan berada dalam Haribaan-Nya, dalam lingkaran Kasih dan Sayang-Nya, terus menerus dalam Kehadiran-Nya (Hudurul Haq) dan bersama-Nya. Yang dimaksud dengan kebersamaan dengan-Nya, adalah Allah SWT akan senantiasa menjaga pendengaran, penglihatan dan seluruh tindak tanduknya. Disamping itu Allah SWT akan senantiasa mengabulkan doa dan permintaannya yang terkait dengan urusan dunia atau urusan akhirat. Bukanlah kebersamaan Allah berarti Dzat-Nya menyatu dengan dirinya. Karena kebesaran dan keagungan Dzat Allah mustahil untuk menyatu pada dzat makhluk yang sangat kecil dan hina.

Jika pangkat kewalian tercermin pada tingkatan pekerjaan muroqobah, maka muroqobah bukan pekerjaan biasa, melainkan sebuah anugerah dari Allah SWT. Seorang Syaikh menjadi pena Tuhan tatkala mengijazahkan pekerjaan ini, tak sedikitpun campur tangan darinya, terkecuali doa-doanya saja, yang membuat Allah meridhoi orang-orang yang dimaksud oleh syaikhnya. Sungguh sangat memprihatinkan, saat ini ada sebuah tarekat yang dengan mudah mengijazahkan muroqobah satu (1) hingga dua puluh (20) tingkatan, padahal tak satupun tingkatan muroqobah dapat dimasukinya dengan mudah dan dalam waktu yang singkat, melainkan harus dilakukan dengan riyadhah yang terus menerus dan dibawah pengawasan seorang mursyid, ini wajib hukumnya. Ijazah dzikir-dzikir dan muroqobah hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah khirkoh dalam tarekatnya, bilamana seorang syaikh memberikan izin kepada wakil talqin, hal ini berlaku selama syaikhnya masih hidup, dan jika syaikhnya telah wafat, maka haram hukumnya seorang wakil talqin mengijazahkan pekerjaan tarekat, hal ini berlaku diseluruh tarekat di dunia fana ini. Maka jika ada yang melanggar peraturan keras ini, pekerjaan tarekatnya tidak menghasilkan buah melainkan hanya menuai kelelahan phisik dan menghancurkan keimanan serta menutup pintu amal. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Barang siapa mampu memasuki satu tingkatan muroqobah dengan benar dalam waktu enam bulan, maka ia termasuk manusia yang jenius.' Karena jelas, bahwa jumlah wali itu terbatas dan sangat sedikit serta tidak akan berubah jumlahnya dari saat penciptaan hingga akhir zaman nantinya, kecuali jika Allah berkehendak lain. Dan sangat nyata, bahwa kewalian itu niscaya bisa diperoleh dengan mempersiapkan hati (qolbu) yang bersih nan bercahaya dengan jalan melakukan dzikir-dzikir dan muroqobah. Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah,ra., yang berkata: "Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, 'Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku lindungi.'" Ciri-ciri waliyullah sebagaimana firman-Nya : ‘Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’ QS 010 : 62) dan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Tanda-tanda kewalian melekat pada seseorang, ialah, manakala engkau melihatnya lantas Allah diingat. Dan bila engkau berdekat dengannya, maka seluruh beban yang membelenggu qolbu menjadi sirna.' Semoga Allah SWT mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita semua, Amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

Senin, 26 Oktober 2009

LAA ILAAHA ILLALLAAH

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfiman : 'Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, (QS 015 : 92)'

Begitu banyak ayat Al Qur’an dan al Hadits yang mengutamakan orang-orang yang berdzikir, meskipun demikian sedikit sekali orang-orang yang mengerjakannya. Tidak mengherankan jika orang-orang yang berdzikir itu mendapatkan keistimewaan. Ini sebuah bukti bahwa sesuatu yang bersifat istimewa berjumlah sedikit walaupun mempunyai fadhilah yang banyak, seperti sebuah ayat didalam Al Qur’an yang menyatakan bahwa ‘Amat sedikitlah kamu bersyukur.’ (QS 007 : 10) walaupun balasan syukur ini adalah bertambah-tambah nikmat dari-Nya dan sebaliknya ancaman bagi orang-orang yang tidak bersyukur adalah azab. (QS 014 : 7). Demikian pula dikatakan bahwa orang-orang yang tidak berdzikir itu adalah golongan yang melampaui batas sebagaimana firman-Nya : ‘Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.’ (QS 018 : 28)

Dalam perjalanan mengaji dari Bogor ke Jakarta, Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menyampaikan penjelasan berkenaan dengan ayat diatas, bahwasanya seseorang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah suatu kelak akan dimintai pertanggung jawaban, apakah ia telah mengucapkannya dengan tulus dan telah mengamalkan semua tuntutannya. Sebagaimana sabda Rasulullah,saw : “Kebaikan para pemilik Laa Ilaaha Illallaah senantiasa diterima, sementara kesalahan mereka selalu diampuni dan mereka senantiasa dihindarkan dari musibah berkat Laa Ilaaha Illallaah yang mereka ucapkan, selama mereka tidak berpaling kepada urusan dunia yang dapat mengurangi kesempurnaan agama mereka. Jika mereka berpaling, maka ucapan Laa Ilaaha Illallaah ditolak oleh para malaikat, yang kemudian berkata kepada mereka : ‘Kalian telah berdusta. Kalian bukan ahli Laa Ilaaha Illallaah, kalian mengucapkannya tanpa ketulusan dan tidak benar.’” Ketulusan berarti, melindunginya dari perkara-perkara yang diharamkan, tidak rakus akan dunia, kikir dan menumpuk-numpuk harta, serta berucap dengan ucapan para ulama namun berbuat dengan perbuatan para pendosa. Murid-murid yang mendengar hanya terdiam, seakan-akan kehidupannya berhenti, karena tak satu pun yang mampu memelihara amanah kalimat laa ilaaha illallaah yang telah mereka ucap, semakin banyak dzikir yang dilakukan maka semakin besar pula kebohongan yang telah dibuatnya, bukankah ini sebuah tanda kemunafikan? Sedangkan disuatu kesempatan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa untuk mengikis kemunafikan adalah dengan banyak menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Perjalanan menuju kepada-Nya mestilah didahului oleh sebuah hidayah, dan diperlukan seorang pemandu, karena perjalanannya sangat sulit, licin dan terjal serta banyak musuh menghadang. Manusia tidak ada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya, termasuk didalamnya ketaatan, riydadhah dan mujahadah. Syaikhuna (semoga Allah merhamatinya) berkata : ‘Tidak ada satu pun jalan untuk menuju kepada-Nya, melainkan dengan menafikan atau meniadakan segala sesuatu ciptaan (Laa Ilaaha) dan mengisbatkan atau mengkukuhkan Allah saja (Illallaah) didalam hati, Laa Ilaaha Illallaah.’ Oleh karenanya, tidak ada jalan lain, para murid wajib mendawamkan dzikir ini dengan sekuat tenaganya, setelah itu berjuang untuk memelihara ketulusannya dan berserah kepada-Nya. Terbunuh selagi dimedan juang adalah syuhada, dan sebaliknya berserah tapa didahului oleh upaya yang gigih adalah kebohongan belaka.

Inilah satu-satunya kalimat yang menembus ciptaan-ciptaan dan sampai bersih kepada Sang Pencipta. Laa Ilaaha Illallaah, segala sesuatu selain Allah adalah realitas palsu, dari dahulu hingga kini dan akan tetap demikian adanya sampai kapanpun, bahkan sebelum waktu itu ada dan sampai dengan waktu itu tidak ada, yang ada hanya Dia. Laa Ilaaha Illallaah, segala sesuatu selain Allah adalah tabir-tabir, atau hijab-hijab. Laa Ilaaha Illallaah, segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan (kosmos) dan kosmos meliputi langit dan bumi beserta isinya, baik yang terinderawi maupun yang tidak, baik berupa alam-alam ghaib, makhluk-makhluk ghaib ataupun alam nyata dan makhluk nyata, termasuk gerak gerik lahiriyah maupun batiniyah. Dzat yang mempunyai sifat Wujud, Qidam dan Baqa hanyalah Allah saja, selainnya hanyalah fenomena. Betapa kalimat thoyibah ini mempunyai makna yang sedemikian tinggi dan tuntutan yang sedemikian beratnya. Si pengucap harus bermujadah terus menerus sampai ajal menjemputnya, melawan dengan sungguh-sungguh tabiat alamiahnya, memberhangus nafs dan syahwatnya, agar fana darinya, agar merasa ‘tiada’, dan bersatu dengan-Nya laksana sungai yang bermuara kelautan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) nyaris tak sadarkan diri tatkala memberikan tauziah tentang tauhid, tiba-tiba beliau berhenti berkata-kata dan memekik Hu .. Hu … Hu… tubuhnya gemetar dan terlihat terhuyung-huyung, nyaris pingsan. Keadaan atau maqom kebersatuan ini sangat sulit dicapai, namun bukan hal yang mustahil, pintu untuk memasukinya sangat jelas namun sekilas, laksana kilat dimalam hari. Pintu satu-satunya untuk mencapai kedudukan ruhaniyah yang sedemikian tingginya itu, mewajibkan menyebut-nyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya dan pada setiap kesempatan serta berperang melawan hawa nafsu sepanjang kehidupannya. Menyebutnya dimulai dengan lidah, lalu bersama-sama antara lidah dengan hati, lalu hati saja dan pada akhirnya seluruh unsur yang ada pada sosok manusia (kullu jasad), baik yang lahir maupun batin, semua menyebut kalimat terbaik dialam semesta ini, Laa Ilaaha Illallaah.

Analoginya, seseorang yang tinggal disebuah desa selalu berkata dengan lantangnya bahwa, tidak ada seorang raja pun diatas dunia kecuali engkau. Mendengar dari menterinya bahwa ada seseorang yang selalu berkata seperti itu, sang raja ingin menguji kebenaran ucapannya, dengan memberikan hadiah berupa sebuah pedang, seekor kuda dan sebuah kitab yang berisi perintah dan larangan sebagai bekal untuk mencapai istana raja. Semakin sering orang itu menyebut-nyebutnya maka semakin tajam pedangnya dan semakin gagah kudanya. Meskipun sang raja mengetahui dengan pasti, apakah orang itu berdusta dengan banyak berbuat maksiat, apakah pedang dan kudanya itu digunakan untuk mengikuti hawa nafsunya, apakah pedangnya itu telah digunakan untuk merobek-robek kitab yang diterimanya dan kudanya digunakan untuk menginjak-injaknya, atau sebaliknya, yakni digunakan untuk menebas semua alang-alang, membunuh semua penghadang dijalannya guna mencapai istana raja.

Semua ikrar yang diucap dibutuhkan bukti-bukti, karena ikrar yang tidak diikuti oleh bukti tindakan yang mendukungnya adalah kepalsuan belaka, begitu pula ikrar Laa Ilaaha Illallaah. Bukti ikrar pada tingkat pemula adalah bahwa seluruh jawarihnya tidak digunakan untuk menentang perintah-Nya, lalu tidak melanggar semua yang dilarang-Nya. Sedangkan pada tahapan tertentu, bukti ikrarnya berupa ketenangan dalam menghadapi qadha dan qadar-Nya. Sehingga diharapkan kematiannya dalam keadaan tenang pula, demikian yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw.,: ‘Siapa yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah dengan tulus ikhlas, niscaya ia masuk surga,’ dan ‘Barangsiapa diakhir perkataannya Laa Ilaaha Illallaah, maka ia masuk surga,’ dan ‘Laa Ilaaha Illallaah adalah kunci surga.’

Jika penafiannya sempurna, maka siaplah hati untuk dipahat sedikit demi sedikit dengan ismudzat … Allah … Allah … Allah, sebagaimana firman-Nya : ‘Katakanlah, Allah saja, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.’ (QS 006 : 91). Imam Sybli,ra., mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mengatakan Allah melainkan Allah sendiri. Dikarenakan setiap orang yang mengatakannya telah mengikuti ucapannya sesuai dengan tingkat intelektualitasnya sesuai dengan maqomnya, sedangkan esensinya jauh sekali dari yang dapat dicapai oleh pendapat pribadinya. Dzikir makhluk kepada-Nya tidak sebagaimana dzikir Allah kepada Dzat-Nya sendiri Yang Maha Suci. Imam Junaid,ra., pernah berkata kepada Imam Nuri,ra., : ‘Wahai Aba al-Husain, cobalah anda teliti apakah ucapanmu (Allah … Allah … Allah) itu dengan Allah ataukah dengan perkataanmu sendiri ? Jika dengan Allah berarti bukanlah anda yang mengatakan kepada-Nya, dan jika dengan perkataanmu, berarti untuk dirimu dan seharusnyalah anda bersama dirimu.’

Namun demikian Syaikh abu Sa’id al-Kharaz,ra., berkata : ‘Diantara orang-orang yang berdzikir ada yang melampaui kadar dirinya hingga mencapai tingkat sirna diri (fana) dan lupa ingatan, menyatu kepada Allah Yang Maha Tinggi, lupa pada kebutuhan dirinya, karena berhadapan dengan Yang Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan. Hingga seandainya tiap-tiap anggota tubuhnya dapat berkata-kata, tentu saja yang diucapkannya ialah Allah … Allah … Allah. Keadaan ini pernah menimpa seorang yang kejatuhan batu besar hingga kepalanya mengucurkan darah. Darah tersebut menggenang di tanah membentuk tulisan Allah.’ Disuatu kesempatan beliau bertanya kepada sebagian sufi : ‘Apakah kesudahan persoalan itu?’ dijawab : ‘Allah.’ Lalu apakah makna jawabanmu (Allah) itu ?’ mereka menerangkan : ‘Yaa Allah, bimbinglah aku kepada-Mu dan jadikanlah agar aku berada disisi-Mu, dan jangan Engkau jadikan aku termasuk orang-orang yang rela dengan sesuatu selain-Mu sebagai pengganti-Mu, dan tetapkanlah hatiku disisi pertemuan-Mu.’

Rabu, 07 Oktober 2009

SABAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman :
Dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,’ (QS 016 : 127)

Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sabar itu sebagian dari Iman.’ Dan Ali bin Abi Thalib,ra., berkata : ‘Hubungan antara sabar dan iman, laksana kepala dan badan, badan tidak ada artinya tanpa kepala.’ Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Sabar melekat pada setiap tahapan maqom ilmu kesufian.’Ujaran ini indah sekali, karena berkenaan dengan pokok-pokok tasawuf, makanya tak heran, bila pengajian tentang sabar selalu diulang-ulang dalam perspektif yang berbeda-beda dan dalam tahapan yang belainan pula. Sebagaimana makna daripada sabar itu sendiri, yakni ‘memenjarakan’. Jika yang dimaksud adalah memenjarakan nafsu dari segala syahwat, atau mengekang keinginan-keinginan diri (mujahadah), maka tepat sekali bilamana sabar melekat kepada seluruh tahapan maqom-maqom. Dan pada setiap perubahan peningkatan maqom, akan meningkat pula tingkat kesabaran dan tingkat keimanannya. Sehingga tampak bahwa kesabaran dan keimanan selalu berjalan beriringan, laksana kepala dan badan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) juga pernah berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah peperangan melawan hawa nafsu sepanjang kehidupan.’ Nah, bila seseorang memperoleh kemenangan didalam pertempuran melawan musuh besarnya, maka ia akan memenjarakan para tawanannya, agar tidak kembali menyerangnya, atau paling tidak, bila ia kembali berkhianat ia telah menguasai jurus-jurus untuk menundukkannya. Imam Qusyairi al-Naisaburi,ra., berkata : ‘Kesabaran yang diwajibkan kepada seorang hamba adalah kesabaran menerima perintah Allah SWT terhadap dirinya dengan penuh ketaatan, sabar atas apa yang dilarang dan diharamkan, dan bersikap tenang menerima qadha dan takdir-Nya.’ Bukankah apa yang dikatakan oleh Imam yang mulia ini selaras dengan apa yang Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) katakan berkenaan dengan tasawufan rajulu? Yakni, yang pertama menjalankan seluruh perintah Allah SWT dengan keteguhan, yang kedua menarik garis yang tebal terhadap semua larangan-Nya dan yang ketiga ridha terhadap qadha dan qadar-Nya. Lalu yang kedua dijadikan nomor satu, karena banyak manusia yang mampu mengerjakan perintah-Nya, namun sedikit sekali yang meninggalkan larangan-larangan-Nya, atau dengan kata lain bahwa, manusia mampu sabar dalam ketaatan namun tidak mampu sabar dalam kemaksiatan. Dengan ketawadhuannya Syaikh Hasan al-Basri,ra., berkata kepada seorang Badui, bahwa :‘Kesabaranku tak lain kecuali hilangnya kekuatan.’ Karena Rasulullah,saw., telah bersabda bahwa : ‘Sabar yang sebenarnya itu adalah pada saat menghadapi cobaan yang pertama.’ Kesabarannya dalam menghadapi kemalangan dan kepasrahannya menyatakan rasa takutnya kepada api neraka bukan demi Allah semata.

Imam al-Ghazali,ra., pernah mengatakan bahwa Ash-Shabur (Yang Mahasabar) adalah satu sifat Allah SWT, adalah Dia yang tidak tergesa-gesa bertindak sebelum waktunya, namun memutuskan segala persoalan menurut rencana yang pasti, dan mewujudkannya dengan cara-cara yang terlukiskan, tidak menundanya seperti seorang pemalas yang selalu menunda-nunda pekerjaan, tetapi menempatkan setiap sesuatu pada waktu yang tepat, pada saat diperlukan dan sesuai dengan kebutuhannya. Dan semua itu tanpa adanya kuasa yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hakikat kesabaran adalah tidak terbatas, karena Allah SWT tidak terbatas dan karena sifat-sifat-Nya bersatu dengan Dzat-Nya yang Qadim, tanpa pemisahan. Bagi manusia, kesabaran menjadi terbatas karena dzat dan sifat manusia terbatas, maka sabar bagi manusia adalah diperlukannya ketahanan terhadap dorongan yang menyebabkan tergesa-gesa dan bertindak gegabah, baik dalam mengerjakan perintah Allah SWT (ketaatan), menjauhi larangan-Nya (kemaksiatan) atau dalam menerima qadha dan qadar-Nya.

Kebanyakan orang memahami sabar adalah, menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diingini, ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi. Faktanya, tidaklah demikian, Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) begitu divonis oleh dokter bahwa, didalam darahnya terdapat virus hepatitis, malah bersuka cita, dan sebaliknya, tidak ada seorang murid pun, yang tidak berduka dan turut prihatin mendengar sang guru terjangkit penyakit yang pelan tapi mematikan itu. Para murid berlomba memberikan informasi dan mendatangkan dokter spesialis yang akhli dalam menangani penyakit ini. Sikap dan gerak hati seorang syaikh yang demikian itu terdengar absurb bagi orang awam, namun biasa bagi para sufi, sehingga sabarnya orang awam didalam menghadapi penderitaan, adalah syukurnya bagi para sufi. Dikarenakan, mereka mempunyai keyakinan bahwa, penderitaan adalah salah satu tindakan Tuhan guna menarik seseorang untuk berdekat kepada-Nya. Banyak murid yang tidak meyadari keadaan gurunya ini, bahkan ada yang mengajaknya berziarah ke Yerusalem dan Turki, meskipun syaikh dalam keadaan yang demikian itu dan harus menyuntikkan obat pada setiap seminggu sekali. Jadi, ini bukan tindakan menyembunyikan rasa sakit yang dideritanya dari penglihatan orang lain, tetapi keadaan ruhaninya memang demikian adanya. Syaikh selalu mementingkan kepentingan murid-muridnya dan tidak berpikir untuk mementingkan kesenangan dirinya, dan ini bukan derajat sabar biasa, melainkan kesempurnaan penafian diri, sehingga bagi awam adalah rintihan, sedangkan baginya adalah pujian kepada Tuhan. Karena merintih bagi seorang syaikh adalah tabu, sebagaimana Nabiyullah Ayyub,as., pernah menerima wahyu dari Allah SWT : ‘Hai Ayyub! Mengapa engkau mengadukan Daku?’ Nabi Ayyub,as., bertanya : ‘Ilahi! Kepada siapa daku mengadukan perihal-Mu, sedangkan suara rintihanku tidak pernah terdengar oleh orang lain?’ Allah SWT menjawab : ‘Engkau mengadukan diri-Ku kepada musuhmu yang paling besar, yaitu dirimu sendiri.’ Setelah beberapa lama dalam perawatan dokter dan kemudian dinyatakan sehat, seorang salik memekik dan berkata kepada Syaikhuna : ‘Sungguh tiada kegembiraan seperti yang kualami pada hari ini, bahwa syaikh telah sehat kembali.’ Mendengar itu, Syaikhuna hanya terdiam, lalu setelah diucap yang ketiga kalinya oleh sang salik, beliau berkata : ‘Apakah saya juga harus bergembira seperti engkau, padahal hatiku menangis karena kesempatan itu pergi.’

Kisah diatas dapat dipahami bahwa sabar itu bertingkat-tingkat dan dapat diupayakan. Menjadi luas maknanya dan tidak saja dikaitkan kepada hal-hal yang berkenaan dengan penderitaan, melainkan keteguhannya didalam mengekang segala bentuk keinginan-keinginannya yang menggebu-gebu (syahwat). Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sungguh aku lebih khawatir jika kalian mendapatkan fitnah (ujian) yang menyenangkan dibanding ujian yang menyengsarakan.’ Abdurrahman bin ‘Awf,ra., berkata : ‘Ketika kami mendapat ujian yang menyulitkan, kami dapat bersabar, tetapi ketika kami mendapat ujian yang menyenangkan, kami tidak kuasa bersabar.’ Syaikh Abu Sulaiman,ra., berkata : ‘Demi Allah, kita tidak dapat bersabar dengan apa yang kita sukai, jadi bagaimana pula halnya dengan apa yang tidak kita sukai.’ Orang yang keluar dari kesenangan dalam keadaan istiqomah dijalan yang benar, maka derajatnya lebih tinggi daripada orang yang keluar dari kesulitan dalam keadaan istiqomah. Karenanya para syaikh sufi mengelompokkan sabar kedalam kategori maqom, sesuatu yang para salik dapat teguh didalam kesabaran, dengan selalu memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan dari maqom sabar ini, tanpa sekalipun menyia-nyiakannya. Didalam al-Qur’an banyak dijumpai perintah untuk bersabar, namun bila dicermati perintah sabar itu ditujukan bagi orang biasa dan orang khusus, jika dijumpai dalam firman-Nya perintah : ‘Dan bersabarlah’ maka ini ditujukan untuk semua orang yang beriman sebagai perintah untuk beribadat, dan bisa dikatakan sebagai ‘tafriqah’ atau ‘pemisahan’ karena melibatkan perbuatan-perbuatan manusia, sedangkan firman-Nya : ‘Dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,’ (QS 016 : 127) ini ditujukan kepada kelompok orang mukmim sebagai bukti ubudiyahnya dan dapat dikatakan sebagai ‘jam’ atau persatuan, yakni tanpa melibatkan perbuatan manusia melainkan karena karunia-karunia Ilahi.

Selasa, 22 September 2009

SEDIH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikh Fudhail bin Iyad,ra., berkata bahwa : ‘Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat hati adalah kesedihan yang panjang.’

Semua manusia tentu pernah merasakan kesedihan, lalu dengan apa kualitas kesedihan itu bisa diukur? Pertanyaan ini terdengar absurb, namun seseorang bisa melihat apakah dalam kesedihannya ada ratapan kepada Tuhan atau terhadap dunia. Nah, bilamana ratapan kepada Tuhan mendominasi kesedihannya maka kualitasnya semakin baik, dan sebaliknya, semakin buruk bila ratapan tertuju kepada dunia. Oleh karenanya, tatkala Yusuf,as., dikabarkan wafat oleh saudara-saudaranya, orang tuanya, yakni Nabiyullah Yakub,as., meratap dengan kerasnya dan membuat matanya menjadi rabun, sebagaimana firman Allah SWT : 'Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena Kesedihan dan Dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).’ (QS 012 : 84)

Penderitaan, penyakit, kesedihan atau rasa sakit yang merisaukan adalah tentara-tentara Allah SWT guna mengampuni dosa-dosa manusia, anehnya, setiap manusia yang terjangkit salah satu darinya malah memohon kepada Allah untuk segera melenyapkannya. Seperti anak kecil yang menolak minum air susu ibundanya, padahal itu untuk kesehatannya, untuk pertumbuhannya dan untuk kekebalannya terhadap serangan penyakit. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Semakin engkau banyak melakukan dzikir-dzikir semakin sering engkau dihinggapi rasa sedih dan semakin banyak pula air mata bercucuran.’ Dan beliau berkata : ‘Berdzikir Jahr-lah diwaktu Subuh sebanyak 2000X dan diwaktu Magrib sekurang-kurangnya 2000X, lalu rasakan perubahan didalam jiwamu.’ Sudah banyak murid yang melaksanakan perintah ini, dan benar! Jiwa ini mudah tersentuh dan mata ini mudah sekali meneteskan air mata, khususnya bila menyebut atau mendengar Ismudzat (Allah) atau berbagai nama lain yang indah dari Rasul Allah, serta nama para masyaikh terdahulu dan tentunya nama guru tercinta, Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya). Ini sebuah bukti bahwa, kesedihan bisa diusahakan, oleh karenanya para sufi mengelompokkannya kedalam sebuah 'maqom' bukan 'hal'.

Kesedihan adalah sifat para akhli penempuh jalan keruhanian, sedangkan kealpaan adalah sifat manusia awam pada umumnya. Dengan kesedihan, Allah SWT bermaksud menyelamatkan hati orang-orang mukmin dari lembah kealpaan. Sedangkan orang awam semakin jauh tersesat karena yang dicari adalah kesenangan. Kesedihan adalah kendaraan untuk menempuh perjalanan dalam waktu satu hari yang biasa ditempuh oleh orang awam dalam waktu satu tahun. Dalam Kitab Taurat disebutkan : ‘Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menempatkan sesuatu penyedih dalam hatinya, dan jika Dia membenci seorang hamba, maka ditempatkan-Nya sebuah seruling dalam hatinya (keinginan untuk bernyanyi).’ Sedih bagaikan raja, bilamana ia menduduki tahta kerajaan hati, maka tidak ada lagi ruang yang tinggal bersamanya. Jika raja meninggalkan tahta, maka lambat laun kekuatan ruhaninya akan roboh.

Jika diperumpamakan bahwa ruh adalah makrokosmos dan badan ini adalah mikrokosmos, maka mendung adalah kesedihan, meskipun alam semesta tampak gelap dan berduka, namun air hujannya ditunggu bumi, guna menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menghidupi semua makhluk. Begitu pula kesedihan, walaupun menyesakkan dada namun setiap airmata yang menetes Allah akan mengampuni setiap dosa-dosa yang dibuatnya. Imam Sary as-Saqoti,ra., berkata : ‘Aku ingin seandainya, kesedihan seluruh manusia dimuka bumi ini ditimpakan kepadaku.’ Dikatakan bahwa Rasulullah,saw., selalu berada dalam keadaan bersedih dan merenung sepanjang kehidupannya, sebagaimana firman Allah SWT : ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.'(QS 009 : 128) Begitu pula Syaikh Hasan al-Basri,ra., dan Syaikh Fudhail bin Iyad,ra., sehingga tatkala mereka wafat, sahabat-sahabatnya berkata : ‘Hari ini kesedihan telah lenyap dari muka bumi.’

Senin, 21 September 2009

TIDUR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Rasulullah,saw., bersabda : ‘Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.’

Setelah bulan Ramadhon berlalu, orang awam akan berusaha mengganti waktu tidur dan makannya yang berkurang selama satu bulan penuh, karena merasa berat badannya turun dan wajahnya agak memucat. Jarang sekali yang mempertahankan pekerjaan malamnya, yakni shalat dan tidur sedikit, lalu disiang harinya berpuasa. Meskipun Rasulullah,saw., mengingatkan agar tidak mengendur bermujahadah dibulan Syawal, dengan mengerjakan puasa sunat paling tidak enam hari lamanya, boleh dikerjakan berturut-turut sejak hari lebaran kedua, ataupun dihari lainnya. Rasulullah,saw., juga bersabda bahwa orang yang mengerjakan puasa sunat dibulan Syawal enam hari lamanya, nilainya sama dengan berpuasa selama satu tahun penuh. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Beberapa rukun kewalian tercermin pada pekerjaan dibulan Ramadhon, yakni terjaga dimalam hari, shalat malam, sedikit bicara, dzikir yang terus menerus dan berpuasa disiang hari.’ Maka orang-orang yang istiqomah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ini, tidak saja dibulan Ramadhon, tetapi juga dibulan-bulan lain, maka ia telah bersender kepada kewalian. Para syaikh, pemimpin tarekat sufi, biasa membimbing murid-muridnya untuk selalu tidak lengah dalam melakukan serangkaian tindak ibadah ini. Agar mereka merasakan kegaiban hatinya tatkala tersinari oleh cahaya kewalian, agar merasakan musyahadat, agar merasakan kehadiran Tuhan (hudurul Haq), agar merasakan selalu diawasi oleh Allah SWT, dan merasakan kebersamaan dengan-Nya. Tetapi awas! jangan pernah berburuk sangka, bahwa dengan memberitakan sebagian tentang rukun kewalian, ingin diakui bahwa ia yang memberitakannya adalah seorang wali Allah, seperti halnya hadits yang mengatakan bahwa mimpi yang benar adalah satu dari empat puluh enam tanda kenabian, dan bukan berarti orang yang telah mimpi kebenaran itu adalah seorang nabi.

Dua sifat yang tidak ada pada Allah SWT namun dominan pada manusia adalah makan dan tidur, Allah tidak makan malah Dia yang memberi makan semua makhluk, dan juga Allah tidak tidur tapi Dia yang menidurkan semua makhluk. Semua syaikh sufi sepakah bahwa makan banyak adalah tindakan tidak terpuji, dan orang yang hanya berpikir tentang apa yang masuk kedalam perutnya, hanya seharga dengan apa yang keluar darinya (kotoran). Maka makan berlebihan adalah tindakan paling berbahaya bagi penempuh jalan tasawuf, khususnya bagi pemula, karena bila perutnya penuh ia menginginkan kebodohan dan nafsunya bertambah besar, serta jiwa rendahnya bangkit mencari kesenangan-kesenangan.

Seseorang mestilah melihat kedalam diri, apakah ia pernah berperang kepada musuh yang paling nyata baginya, yakni syaithon, apakah ia pernah membuat syaithon bersedih karena tindakannya? Tanpa disadari, ketika ia ‘tidur’, syaithon jengkel dan geram kepadanya, oleh sebab itu, ia mengganggu orang awam dalam tidurnya dengan mimpi-mimpi yang buruk, agar segera bangun dan berbuat kejahatan. Karena bila orang awam tidur, orang-orang akan terhindar dari tingkah laku kejahatannya, yang berarti ia berhenti mendurhakai Tuhannya. Jadi jelas sekali bahwa bagi orang awam, tidur lebih baik dari terjaganya, karena ada hadist yang meriwayatkan bahwa pena tidak mencatat (kelakuan-kelakuan buruk) orang yang tidur hingga ia bangun. Sedangkan tidurnya orang arif adalah suatu tindak ibadah, karena hati orang arif terkendalikan oleh Tuhan baik ketika dia tidur atau bangun, dan bilamana hati terkendalikan, badan pun terkendalikan juga. Karena itu, kalbu yang dikendalikan oleh kuasa Tuhan lebih baik daripada hawa nafsu manusia yang mengendalikan gerakan-gerakan lahiriyahnya dan tindak-tindak peniadaan nafsu diri. Bukankah saat Nabiyullah Adam,as., tertidur tiba-tiba Hawa sudah ada disamping kirinya, dan hawa adalah sumber semua penderitaannya. Secara simbolik kisah ini dikaitkan dengan terciptanya ‘jiwa (nafs)’ mewakili Hawa manakala ‘Ruh’ mewakili Adam,as., tertidur. Dan ‘jiwa (nafs)’ ini dipercaya sebagai tempat berkumpulnya semua keinginan-keinginan manusia yang selanjutnya oleh masyarakat Islam identik dengan sebutan ‘hawa nafsu’ atau keinginan diri.

Pada tingkat mujahadah bagi pemula, tidur dibolehkan tatkala rasa kantuk yang berat mengusiknya, atau paling tidak ia sudah beberapa kali tertidur disaat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tarekatnya, meskipun para syaikh menyebutnya sebagai mujahadahnya anak kecil. Tetapi lebih baik tertidur dalam keadaan berperang daripada tidur tanpa berperang. Dikatakan bahwa tidur adalah saudara kematian, dan Allah SWT menggenggam ruh orang yang tidur. Maka orang yang mengharapkan musyahadat merasa malu jika tidur tanpa didahului oleh tindak mujahadah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata : ‘Pada awalnya, penjelajahan kedalam 18.000 alam ghaib terjadi disaat antara tertidur dan terjaga.’ Tertidur dalam peperangan adalah keberserahan diri kepada Tuhan, karena keinginannya adalah tetap dalam keadaan terjaga, namun kehendak Tuhan menggantikan kehendaknya, sedangkan tidur sebelum perang adalah menuruti hawa nafsunya, karena keinginannya adalah tidur. Oleh sebab itu, meskipun dalam keadaan mengantuk, para pejalan tetap mengambil air wudlu lalu shalat malam dan mengerjakan dzikir-dzikirnya khususnya dzikir yang tidak berbunyi dengan menyebut ismudzat Allah ... Allah .... sampai ia tertidur dalam keadaan duduk bersila. Dalam hal ini Rasulullah,saw., pernah bersabda : ‘Barang siapa tidur dalam keadaan bersuci (berwudhlu), ruhnya diperkenankan mengelilingi singasana (Arasy) dan bersujud dihadapan Tuhan.’ Dan “Sesungguhnya Allah bangga dengan hamba-Nya yang tidur selagi ia bersujud dalam shalat. Dan Dia mengatakan kepada para malaikat-Nya, ‘Lihatlah hamba-Ku, yang ruhnya ada ditempat keramah tamahan rahasia (najwa) sementara badannya ada di atas sajadah.’” Seseorang bisa bercermin dari keterangan diatas, apakah ia termasuk orang yang tidurnya lebih baik dari terjaganya, atau sebaliknya terjaganya lebih baik dari tidurnya, yakni tidurnya akan menganiaya agama dan terjaganya akan menyingkirkan kezaliman.

Kisah, seorang syaikh selalu dalam keadaan terjaga diamalam hari selama empat puluh tahun, namun ia belum juga ‘bertemu’ dengan Tuhannya. Lalu Syaikh Dzun Nun al-Mishri,qs., memerintahkan ia untuk tidur dimalam hari, perintah ini dikerjakannya, dan pada saat ia tertidur, ia bermimpi ‘bertemu’ dengan Tuhan dan ia bertanya kepada Tuhan : ‘Yaa Tuhan mengapa selama empat puluh tahun aku bermujahadah dengan terjaga dimalam hari untuk bertemu dengan-Mu namun tak kunjung tiba, tetapi begitu aku tertidur dimalam hari ini saja justru engkau berkenan menemuiku? Tuhan menjawab : ‘Engkau tidak akan menemui-Ku disini jika tidak mencari-Ku disana.’ Ini sebuah bukti bahwa keberserahan kepada Tuhan mestilah diawali dengan tindak mujahadah yang sungguh-sungguh, dan jika seseorang berserah kepada Tuhan tanpa tindak mujahadah adalah sia-sia. Nah, bila seseorang menyadari bahwa ia adalah pemula dijalan tasawuf, maka ia wajib bermujahadah terlebih dahulu sebelum tidur, paling tidak ia dalam keadaan berwudlu dan telah menyelesaikan pekerjaan yang fardhu dan dzikir jaharnya.

Jumat, 18 September 2009

IDUL FITRI

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Hampir semua orang merasa gembira tatkala shalat hampir selesai, tatkala waktu berbuka puasa tiba, tatkala menjelang hari Raya Idul Fitri, berarti manusia senang berpisah dari Allah SWT, karena kembali kepada tabiat asalnya bukan kembali kepada fitrah manusia yang suci itu, yakni enggan melakukan mujahadah, malas memenuhi hak-hak Allah. Padahal shalat dan puasa adalah perisai yang kokoh guna menghadang pasukan yang bengis dari nafs dan syaithon, dan keberpalingan dari dunia. Orang yang berpaling dari dunia ini akan berpaling kepada Allah SWT. Ironisnya begitu bulan Ramadhon berakhir mereka malah bersuka cita, dan mengatakan sebagai ‘hari kemenangan’, kemenangan dari apa? Tak satu hari pun manusia awam mampu menaklukkan nafsnya, ia tak peduli dengan sifat hakiki jiwa rendahnya, malah bersahabat dengannya, lalu bagaimana ia dapat melakukan shalat dan puasa yang benar? Syaithon saja mengganggu manusia dengan sembunyi-sembunyi, sedangkan manusia malah mengganggu manusia yang lain dengan terang-terangan, dibulan Ramadhon yang suci itu, mereka bersenang-senang, bernyanyi, berjingkrak-jingkrak, tanda mengikuti jiwa rendahnya yang seharusnya ia perangi. Allah SWT berfirman : ‘Dirikanlah shalat untuk berdzikir kepada-Ku,’ dan didalam hadits qudsi Rasulullah,saw., bersabda bahwa Allah SWT berfirman : ‘Puasa adalah untuk-Ku.’ Shalat manusia awam pastilah mengingat dunia bukan mengingat Allah SWT, dan puasanya untuk dirinya bukan untuk Allah SWT, jadi sangatlah jauh dari kesempurnaan. Semua sahabat Rasulullah,saw., meneteskan air mata dan merasa bersedih berpisah dengan bulan yang penuh berkah ini. Karena mereka harus berpisah dari kesempatan emas (golden opportunity) untuk pencapaian pensucian diri, meskipun dengan ibadah yang sedikit dan kualitas yang jauh dari kesempurnaan, Allah SWT akan melipat gandakan amal-amalnya, mempercepat pendakian untuk berdekat kepada-Nya. waktu yang demikian berharganya itu berlalu, mereka merasa bagai kehilangan pedang dan kuda saat berperang. Para pejalan sejati akan merasakan hal sama tatkala berpisah dengan bulan Ramadhon, tak kuasa mendekapnya, menjadikan apa-apa yang dilihat, didengarnya menjadi air mata kesedihan. Mereka berdoa : 'Yaa Allah berikan aku umur untuk dapat memasuki semerbak harumnya bulan Ramadhon tahun depan, terimalah puasaku, sucikan dan ampunilah dosa-dosaku.'

Keterangan diatas membuktikan bahwa semua manusia terhalangi (terhijab) dari kebenaran ruhani, kecuali para Aulia Allah dan sahabat-sahabat-Nya yang terpilih. Ada dua macam hijab pada diri manusia, yang pertama adalah sebagai ‘penutup’ yang tidak mungkin bisa dicampakkan, karena sudah menyatu dengan dzatnya, sehingga dalam pandangannya kebenaran dan kepalsuan sama saja baginya. Sebagaimana firman Allah SWT : ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. (QS 083 : 14).’ Kemudian Allah SWT menjelaskan makna hal ini :‘Sesungguhnya orang-orang yang ingkar itu, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.' (QS 002 : 6) Kemudian Dia menerangkan sebabnya : 'Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang Amat berat. (QS 002 : 7) Pendeknya, tidak mungkin membuat cermin dari besi, meskipun digosok ribuan kali dan oleh ribuan orang. Sedangkan yang kedua, adalah hijab sebagai ‘pengabur’ yang segera bisa dicampakkan. Ia terhalang dari kebenaran oleh sifat-sifatnya bukan karena dzatnya, sehingga tabiat dan hatinya terus mencari kebenaran dan menjauhkan diri dari kepalsuan. Karena perubahan sifat adalah mungkin sedangkan perubahan dzat adalah tidak mungkin. Sebagaimana cermin yang berkarat bisa menjadi bening dengan digosok terus menerus. Imam Junayd,ra., berkata bahwa : ‘Hijab penutup termasuk kelompok yang tetap, sedangkan hijab pengabur termasuk yang bisa berubah.’ Sebagaimana watak besi adalah kegelapan dan watak cermin adalah kecermelangan, karena dzat itu langgeng dan sifat itu sementara.

Oleh sebab itu, menggosok atau penghapusan (mahw) karat pada cermin hati merupakan kewajiban manusia agar kembali kepada fitrahnya, yakni tempat bersemayamnya Tuhan penguasa semesta alam. Sehingga terasakan hakikat Idul Fitri, dan tidak hanya dibicarakan saja. Karena bicara itu penuh kepalsuan, sedangkan merasakan hakikat itu sebuah kebenaran, dan orang-orang yang masuk kedalam hakikat akan 'diam'. Penghapusan atau peniadaan atau pe-nafy-an terhadap sifat-sifat yang tercela (hijab pengabur), dan pengkukuhan (itsbat) terhadap kualitas-kualitas terpuji, atau peniadaan pilihan sendiri dan pengkukuhan pilihan Tuhan, atau peniadaan yang lain dan pengkukuhan hanya Allah saja, merupakan pekerjaan wajib bagi para pejalan. Laa Ilaaha adalah pe-nafy-an sedangkan Illallaah adalah peng-itsbat-an. Mereka meyakini bahwa berdzikir dengan menyebut kalimat thoyibah ‘Laa Ilaaha Illallaah’ dengan cara-cara tertentu dan jumlah tertentu pula merupakan cara yang jitu dan tercepat guna menghancurkan hijab pengabur. Kaifiat dzikir yang shahih itu, hanya bisa diperoleh dari seorang Mursyid, seorang guru tarekat, seorang syaikh dengan cara bai'at yang hukumnya sunat nabawiyah. Maka bila dikerjakan secara sungguh-sungguh, kepalsuan akan lenyap dan terjelaskan kebenaran-kebenaran. Ia akan merasa sedih tatkala berpisah dengan bulan Ramadhon, dan merasa gembira tatkala memasukinya. Sehingga kemenangannya bukan di dunia fana ini, karena dunia ini adalah tempat medan juang mujahadahnya, tempat menginjak-nginjak hawfa nafsu, melainkan kemenangan di akhirat nantinya, insya Allah. Jadi dihari Idul Fitri ini yang ingin bergembira ya bergembiralah sebagai syiar agama bukan sebagai kemenangan. Karena manusia tetap harus melakukan peperangan melawan nafs-nya sampai ajal menjemputnya, agar ia dikelompokkan kedalam orang-orang yang melakukan jihad akbar, dan bila ia gugur didalam peperangannya, Allah SWT berkenan memasukkannya kedalam kelompok syuhada. Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H, mohon maaf lahir dan bathin.

Rabu, 16 September 2009

27 RAMADHON - AL UNS

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata : ‘Para sufi sepakat, bahwa malam Laitul Qadar itu jatuh pada malam 27 Ramadhon.’

Malam 27 Ramadhon adalah malam teristimewa bagi para penempuh jalan keruhanian, karena dimalam itu dipercaya sebagai sebaik-baik hari diantara hari yang baik, nilainya lebih baik dari seribu bulan. Seorang salik menuturkan mimpinya : “‘Aku berada di atas bukit yang tinggi, menikmati indahnya kedekatan dengan sang guru, semua yang terlihat hanyalah keindahannya saja, tiba-tiba aku merasakan ada cahaya kuning dan putih masuk kedalam hatiku, lalu aku terkuasai oleh rasa suka cita yang demikian hebatnya, aku tak mau berpaling dari keadaan ini, akan tetapi ada bisikan yang memalingkan pandanganku ketaman-taman hijau yang penuh dengan pepohonan, terlihat ada makhluk hitam sembunyi disebuah pohon yang besar, makhluk itu sangat mengganggu pikiranku. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengetahui apa yang sedang aku pikirkan, lalu beliau berkata kepadaku : ‘Engkau harus mengusirnya dengan sekuat tenagamu, bila tidak, makhluk itu akan merusak seluruh tanaman yang ada ditamanmu ini.’” Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering menyampaikan lambang dan makna mimpi-mimpi kepada murid-muridnya. Demikian pula tentang mimpi sang salik itu, bukit melambangkan kewalian, karena kebaikan sang guru dan memang sang salik cukup kukuh dijalan ini, ia merasakan bias kewalian gurunya, yang pertama-tama dilihat adalah keindahan keadaan spiritual sang guru yang sedang terbakar oleh keagungan-Nya dalam api cinta, lalu menaik kepada keindahan yang mulia Rasulullah,saw., dan pada akhirnya hatinya terkuasai oleh sinar keindahan Tuhan (Jamal) dalam cahaya musyahadat. Hal ini biasa terjadi di jalan tasawuf, seolah-olah sang salik diperkenankan memakai jubah bertambal gurunya. Taman-taman hijau yang dipenuhi oleh pepohonan melambangkan amal-amalnya, khususnya dzikir-dzikirnya, sedangkan makhluk hitam adalah sifat buruk yang masih tersisa, yang mempunyai potensi untuk memberhangus seluruh amal-amalnya tanpa tersisa. Oleh karenanya, guru memerintahkan untuk segera memeranginya. Sang salik tidak akan pernah berhasil mengusir makhluk itu tanpa pedang kasih sayang gurunya, tanpa memetik barokah-barokahnya. Karena setinggi-tinggi derajat pemula dijalan tasawuf adalah serendah-redah derajat gurunya. Maka al-uns yang bermakna kedekatan, lalu karena dekat ia memandang keindahan Tuhan (Jamal), tentunya melalui perantara sang guru dan yang mulia Rasulullah,saw., lalu ia merasakan suka cita yang hebat, seperti yang dirasakan oleh sang salik dalam mimpi itu, adalah derajat pemula, sehingga sang salik tidak boleh cepat merasa puas diri. Ia harus tetap istiqomah mengamalkan pekerjaan tarekatnya. Seorang salik tidak akan pernah mengerti apa yang sedang dirasakan oleh gurunya, kecuali bila sang guru menceritakan keadaannya, agar dikemudian hari bila sang salik mengalami pengalaman ruhani yang demikian itu, tidak lagi terkesima karenanya.

Kejelasan-kejelasan keadaan ruhani atau isyarat-isyarat keruhanian terkadang muncul dengat sangat jelas seperti terbitnya matahari, dan terkadang agak samar sebagaimana terbitnya bulan, hal ini silih berganti mencahayai hati ini, kecuali bila terhalang awan gelap oleh prasangka-prasangka buruk. Isyarat ini merupakan keniscayaan bagi para salik yang teguh berpegang kepada tali agama, kukuh menjalankan semua amalan yang diperintahkan oleh gurunya. Karena tidak ada sebuah maqom pun yang tidak mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus selalu dipenuhi oleh sang salik. Dan jelas, salik tidak boleh sekalipun menyia-yiakan kewajiban ini, guna melestarikan maqomnya, guna mempersiapkan datangnya sebuah ‘hal’ seperti ‘al uns’ tadi . Dan isyarat ini bukan untuk salik yang bermalas-malasan, yang mengharapkan datangnya Laitul Qadar hanya dengan melakukan wiridan pada malam-malam ganjil saja, sedangkan dihari yang lain ia malas.

Senin, 14 September 2009

ADIL - ADL

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Meskipun terdengar absurb, memberikan analog adil sebagai jalan tol memang kurang tepat, namun tidaklah mengapa, guna memudahkan pembahasan lebih lanjut. Jika adil diibaratkan jalan tol, maka tidak ada bedanya seseorang yang baru mengambil karcis tol dengan orang yang berada diujung jalan tol. Keduanya berada dijalur adil, walaupun tingkatannya berbeda-beda. Yang satu baru melangkah sudah mengaku adil, sedangkan yang lainnya, harus melakukan keber-upaya-an yang sungguh-sungguh terlebih dahulu. Demikian sifat manusia, apa yang ia telah lakukan diangggapnya telah berlaku adil. Bagi manusia, adil menjadi sangat relative, bisa jadi yang satu menganggap adil, sedangkan yang yang lain menolak. Oleh karenanya sulit bagi seorang pemimpin untuk berlaku adil, padahal adil adalah syarat utamanya. Seorang salik menuturkan bahwa sudah banyak buku ditulis oleh profesor tentang keadilan, namun yang satu dengan yang lain tampak berbantahan. Seorang keturunan dari India, Amartya Sen, mendapatkan hadiah nobel lantaran memberikan gambaran tentang teori keadilan. Pada awalnya keadilan itu dinilai sebagai keadilan mendapatkan peluang (equal opportunity), kenyataannya peluang yang sama bermuara pada penghasilan yang berbeda, karena kemampuan manusia berbeda-beda. Lalu muncul teori keadilan pendapatan (equal income), kenyataannya pendapatan yang sama berujung pada kekayaan yang tidak sama, karena kebutuhan manusia berbeda-beda. Lalu muncul teori keadilan kekayaan (equal wealthiness), kenyataannya kekayaan yang sama berujung pada kebahagiaan yang tidak sama, karena materi ternyata tidak menjamin kebahagiaan. Teori tahapan keadilan bagi kaum intelektualitas ini bagus, walaupun pada akhirnya berujung pada kesalahan yang mendasar, yakni, 'kebahagiaan' sebagai ujung keadilan, sedangkan dalam ilmu kesufian 'kebahagiaan' atau 'suka cita' atau 'uns' dalam istilah tasawufnya, merupakan awal perjalanan, karena merupakan sebuah rasa yang masih bisa berubah-rubah dan belum menetap (tamkin). Uns (suka cita) kedudukannya diatas basth (kelapangan), dan basth diatas raja (harap). Teori 'kebahagiaan' sebagai akibat dari materi, ini mustahil, karena materi justru mendatangkan kesulitan, ketamakan dan kesombongan serta menjauhkannya dari Tuhan. Orang yang jauh dari Tuhan mustahil ada setitik kebahagiaan pada dirinya. Didalam al Qur'an ada beberapa kisah yang menuturkan bahwa orang-orang yang kaya itu menjadi sesat, yakni qorun dan fir'aun, sedangkan orang yang kaya namun shaleh hanyalah seorang nabi, yakni Nabiyullah Sulaiman,as. Seseorang bisa mengambil pelajaran disini, betapa kekayaan itu menjerat jiwa untuk berbuat sewenang-wenang, kecuali bagi orang yang ruh, jiwa, hati dan badannya dicipta dari lempung kenabian. Orang yang fakir, selamanya akan membutuhkan Tuhan, sedangkan orang yang banyak materi keduniawian, meskipun ia setiap saat berpikir membagikan hartanya kepada kaum miskin, menjadikan jauh dari tuhannya, karena ia sibuk dengan makhluk dan rencana-rencananya, keduanya merupakan dzikir dunia bukan dzikrullah, dan merupakan hijab-hijab sejati. Karena yang pertama sibuk dengan selainnya sedangkan yang kedua sibuk dengan Tuhannya. Para syaikh sufi sepakat, justru jalan untuk mendapatkan kebahagiaan sejati adalah berpaling dari 'kekayaan materi'. Karena orang yang bergantung kepada Tuhannya, tidak mungkin bergantung kepada selainnya. Sedangkan kekayaan adalah kendali syaithon yang utama selain wanita, guna menjerumuskan manusia kejurang kedzaliman yang paling dalam. Khususnya materi yang membuat orang bergantung kepadanya.

Adil adalah salah satu asma-Nya, sifat daripada Dzat-Nya, artinya Dia yang adil, dan Dialah yang selalu bentindak adil. Dan karena Allah itu Qadim, maka Dia tidak terbatas, karena Dia tidak terbatas maka demikian pula sifat-sifat-Nya. Nah, karena adil tidak terbatas, maka tak satupun manusia dapat berlaku adil, sebab manusia dicipta terbatas, sehingga keadilannya pun terbatas, sesuai dengan sifat dzatnya. Semakin besar pengakuan terhadap keadilannya atas apa yang telah ia lakukan, maka semakin besar pula kebohongannya, semakin besar egonya dan semakin jauh ia dari Tuhannya. Oleh karenanya, bila engkau sebagai seorang pemimpin ditanya, sudah adilkah engkau? Maka sebaiknya diam, Bila dijawab 'ya' engkau telah berbohong, dan jika dijawab 'tidak' engkau seorang pemimpin dan syarat untuk menjadi pemimpin adalah 'adil'.

Seorang sufi mengatakan bahwa adil itu meletakkan setiap sesuatu pada tempatnya, dan yang mempunyai kemampuan melakukan ini hanyalah Allah saja. Sebagai contoh Allah telah menciptakan alam semesta sedemikian luasnya dan mengaturnya dengan sempurna, bumi ditempatkan yang paling bawah, diatasnya ada air, diatas air ada udara dan langit diatas udara. Dan jika salah satu susunannya terbalik, maka tatanannya tidak dapat dipertahankan. Lalu kita lihat pada diri manusia, ada tulang, daging dan kulit. Dia menciptakan tulang sebagai penopang, daging sebagai pembukusnya untuk melindungi tulang dan kulit yang membukus daging. Jika tatanan ini dibalik, maka susunannya tidak dapat dipertahankan. Demikian pula penempatan jawarih pada diri manusia, yakni, mata, hidung, telinga, mulut, tangan dan kaki. Dengan menempatkan anggota tubuh dengan tepat, maka Dia itu adil. Pendeknya tidak ada yang diciptakan kecuali ditempat yang memang dimaksudkan untuk apa yang diciptakan itu. Tidak bisa dibayangkan bila, hidung ditempatkan didahi dan mulut dibelakang kepala, maka kecacatannya itu akan mengurangi kemanfaatanya. Maka segala sesuatu ciptaan-Nya tidak ada yang tidak seimbang, oleh sebab itu ada kelompok yang menggambarkan keadilan itu dengan lambang timbangan, mungkin ini yang mereka maksud.

Apakah keadilan itu harus memberikan manfaat kepada pihak lain? Jawabnya tidak! Karena bila buku-buku diberikan kepada tentara atau senjata kepada para ulama, maka ia telah meletakkan segala sesuatunya bukan pada tempatnya, dan ini bukanlah keadilan melainkan kedzaliman. Sebaliknya, bisa jadi memberikan kemudaratan merupakan keadilan, seperti memberi hukuman mati kepada penjahat, atau memotong salah satu anggota tubuh mereka atau dengan mencambuk mereka. Karena ia telah menempatkan mereka pada tempatnya yang tepat.

Tingkat tertinggi keadilan bagi manusia, bila susunan yang halus (lathif) pada diri manusia sudah berada ditempat sebagaimana ia harus berada, yakni, jiwa (nafs) dibawah bimbingan akal (aql), sehingga syahwatnya (tabiat) tidak lagi beringas dan tidak ditaati lagi oleh jiwanya (nafsnya), serta ruhnya tidak kuatir lagi akan pemberontakan oleh jiwanya (nafsnya), sehingga pada akhirnya iderawi manusia bergerak sesuai dengan ketentuan hukum agama. Susunan yang demikian bisa diupayakan, dengan melakukan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah secara berkesinambungan dan wajib hukumnya dibawah bimbingan seorang mursyid. Seseorang yang tenggelam didalam dzikir-dzikirnya ia akan menyerap sifat-sifat Tuhan, sifat-sifat manusia menjadi sirna dan tergantikan dengan sifat-sifat-Nya. Nah, bila sudah demikian, adil berada di genggamannya. Seseorang yang mempunyai kedudukan yang demikian sudah tidak mau lagi menjadi pemimpin bangsa, kecuali bagi dirinya dan murid-muridnya saja. Karena baginya, kegembiraannya terletak pada memimpin manusia berdekat kepada pencipta-Nya. Jadi untuk para pemimpin bangsa ini bila ingin berlaku adil, seringlah mengunjungi para guru mursyid, datangi mereka dan pasanglah rasa takzim. Jangan banyak bicara dihadapannya dan jangan pernah mengundang untuk datang ke istana negara, karena, kalau ia benar-benar sorang mursyid pastilah ditolaknya, tetapi datanglah ke rubatnya yang sederhana itu, karena rumah Tuhan yang hakiki berada disana, bersama-sama dengan para guru mursyid. Dan keadilan ada pada khazanah hatinya, datang .. datanglah.