Minggu, 30 Agustus 2009

KEHENDAK

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS 008 : 24)

Campolai, sebuah benda yang sebelumnya tidak terpahami, menjadi terpahami oleh murid-murid setelah Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) meletakkan dalam bentuk analogi. Seperti seorang arsitek, yang membayangkan sebuah bangunan nan indah didalam pikirannya sendiri. Sebelum arsitek itu menggambarkannya pada secarik kertas, tak satupun manusia dapat memahaminya. Maka, semua yang tidak dapat dipahami jadi dapat dipahami dan dapat dilihat melalui analogi. Di dalam al Qur’an banyak sekali analogi, dan dikatakan bahwa analogi tersebut hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang berakal. Di alam lain, buku-buku ‘terbang’, sebagian ketangan kanan dan sebagian lagi ketangan kiri. Disana juga ada malaikat, bidadari, arsy, neraka, surga, mizan, perhitungan dan pembalasan. Tidak satu pun dari hal itu dapat dipahami kecuali dikatakan dengan kiasan (analogi). Oleh karenanya, Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam memahami Al Qur'an, karena AL Qur’an adalah brokat dengan dua sisi. Sejumlah orang memperoleh manfaat dari satu sisi dan sejumlah lagi dari sisi lain, karena Tuhan menginginkan kedua kelompok itu memperoleh manfaat. Seperti perempuan yang memiliki suami dan juga merawat anak kecil. Masing-masing memperoleh kenikmatan berbeda dari dirinya. Anak kecil dari susu didalam payudaranya dan suami memperoleh kenikmatan karena menjadi pasangannya. Orang yang mengambil kenikmatan luar dari al Qur’an dan ‘meminum susunya’ adalah ‘anak kecil dari jalan,’ tetapi mereka yang memperoleh kesempurnaan, memiliki kenikmatan berbeda dan memahami makna Al Qur’an dengan cara yang berbeda.

Hampir semua manusia diatas bumi ini, yang berjumlah kira-kira dua milyar telah mengikuti pikiran dan pilihannya sendiri. Mereka telah membuktikan bahwa harapan dan rencananya telah terjadi dalam kekosongan belaka. Semuanya tidak membuat kemajuan apapun terhadap keinginannya. Akan tetapi kejadian yang demikian tidak dijadikannya sebagai pelajaran dalam kehidupannya. Memang, manusia dicipta condong terhadap hal-hal keduniawian, dan bersifat tergesa-gesa. Begitu gagal mencapainya ia bangkit dan mencoba meraihnya kembali dengan upaya yang baru. Upayanya yang gigih itu, tidak diimbangi dengan usahanya dalam meraih kehidupan yang baik di akhirat nantinya, mereka malas, karena balasan yang akan didapat masih berupa janji-janji saja. Tanpa disadarinya, bahwa Allah telah menciptakan waktu yang melahap umur mereka, tiba-tiba saja rambut telah memutih, gigi mulai tanggal dan pandangan rabun. Walaupun kadang-kadang kesadarannya muncul, namun syahwatnya meronta untuk selalu mengedepankan urusan dunia. Harapannya selalu ingin hidup senang, aman dan sentausa. Meski demikian, maksud Tuhan bisa jadi sesuatu yang lain seluruhnya. Demikian banyak ide-ide dan kiat-kiat dibuat manusia, tapi tidak satu pun yang bisa dicapainya dengan memuaskan. Meski demikian, mereka akan terus mengandalkan strategi dan kebebasannya untuk memilih. Mesipun Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Hidup ini silih berganti antara mengelus dada dan air mata.’

Ketika masih mejadi sultan Balkh, Syaikh Ibrahim Bin Adham,qs., pergi berburu, beliau terpisah dari pasukannya karena keasyikan mengejar rusa. Tak peduli kudanya letih, terus dipacunya sampai melewati akhir daratan, rusa itu berbalik dan berkata : ‘Engkau diciptakan bukan untuk hal semacam ini! Engkau tidak dibawa dari dunia ketidak beradaan menuju dunia keberadaan hanya untuk memburuku. Anggaplah engkau telah menangkap aku, kemudian apa yang akan engkau lakukan?’ Mendengar hal itu, ia menjerit dan loncat dari atas kudanya. Lalu melepaskan atribut-atribut kerajaannya yang berupa jubah yang bertabur permata, senjata dan kuda, dan ditukar dengan mantel tebal milik seorang gembala. Dengan memakai mantel kasarnya, dia berangkat diatas jalannya sendiri. Syaikh Ibrahim Bin Adham,qs., ingin menjadikan rusa sebagai mangsanya, tetapi Tuhan menjadikan dia sebagai mangsa rusa. Apa pun yang terjadi di dunia, semuanya adalah kehendak Tuhan.

Begitu juga kisah tentang Umar Bin Khatab,ra., suatu saat, sebelum menjadi muslim, beliau pergi kerumah adik perempuannya. Saat tiba disana, adiknya sedang melantunkan surah Thaha dari al-Qur’an dengan keras-keras. Melihat Umar,ra., datang, dia berdiam diri dan menyembunyikan al-Qur’an. Umar.ra., menghunus pedangnya dan berkata : ‘Katakan kepadaku, apa yang sedang engkau baca dan kenapa engkau langsung menyembunyikannya ketika aku datang. Atau aku akan langsung memotong kepalamu dengan pedangku dan tidak memberimu ampun!’ Mengetahui kesungguhan ancaman dan kekejaman Umar,ra., adiknya, yang merasa takut atas kehidupannya, akhirnya mengaku, ‘Aku sedang membaca ayat-ayat yang telah diwahyukan Tuhan diwaktu terakhir kepada Muhammad,saw.’ ‘Bacalah lagi apa yang tadi engkau baca dan aku akan mendengarkannya,’ katanya. Maka adiknya kembali membaca surah Thaha. Maka ketika mendengarnya, Umar,ra., menangis dan merasakan sebuah anak panah hidayah terbang dan menikam hatinya. Pedang yang tadinya diperuntukkan untuk memenggal kepala adiknya, Allah SWT menjadikan dia terpenggal kekafirannya oleh pedang keimanan. Apa artinya kehendak Umar,ra., yang perkasa itu? bahwa segala hal ternyata berjalan atas kehendak Tuhan.

Bagaimana semua ini bisa terjadi? Tuhan selalu mengawasi dan bersama manusia tetapi manusia tidak bisa merasakannya. Semua terjadi karena kehendak Tuhan, manusia menyangkalnya dan berkata yang ini kehendak Tuhan dan yang lain karena upaya sendiri. Apa benar demikian adanya? Seperti yang termaktub ayat al Qur'an diatas, bahwa Allah membatasi antara manusia dan hatinya, yakni manusia milik dirinya sendiri dan hati milik Allah. Oleh karenanya wahyu diturunkan kepada yang manusia dan hatinya milik Allah SWT. Selama sisa kedirian masih ada maka tauhid af'alnya belum bersih, konflik batin antara kehendak dirinya dan kehendak Tuhannya silih berganti mengganggunya.

Syaikh Ibrahim Bin Adham,qs., sedang beristirahat ditepi pantai, dan melepaskan mantel yang diperoleh dari gembala, mantelnya sudah mulai usang dan koyak. Beliau mulai menjahit bagian yang robek. Seorang yang pernah menjadi pelayannya melihatnya dan berkata dalam hatinya : 'Sungguh luar biasa, menakjubkan! Demi mantel yang usang dan koyak itu, dia rela melepaskan tahta.'Syaikh Ibrahim Bin Adham,qs., dapat membaca pikirannya, maka jarum yang sedang dia gunakan dilemparkannya kedalam laut. Sesaat kemudian, dia berteriak keras memanggil jarum itu untuk kembali ketepi. Ajaib, ratusan bahkan ribuan ikan bermunculan pada saat yang sama. Terjepit diantara bibir mereka sebuah jarum emas, 'Ini jarummu, Syaikh, ambillah.'Melihat kejadian itu, matan pelayan tercengang. Syaikh menatap wajahnya, 'Katakan kawan, mana yang lebih mulia, lebih berharga, kerajaan dunia yang telah kulepaskan atau kerajaan ruhani ini?' Beliau melanjutkan : 'Dan sesungguhnya ini pun masih belum apa-apa, bila engkau meniti jalan kedalam diri, dalam istana hatimu itu engkau akan menemukan harta karun. Khazanah ruhani yang tak terhingga nilainya.'Mendengar kata-kata itu, si mantan pelayan mengalami ekstase, 'Ah, sungguh beruntung ikan-ikan didalam laut. Mereka mengenal para Syaikh. Sebaliknya manusia sulit mengenali mereka.' Dia bersujud untuk menghormati Syaikh dan meninggalkan tempat itu dalam mabuk cinta Ilahi.

Allah SWT memerintahkan Iblis bersujud dihadapan Adam, namun Dia berkehendak lain. Lalu Allah SWT memerintahkan Adam agar tidak memakan buah kuldi, namun Dia berkehendak sebaliknya. Kemudian Allah SWT memerintahkan Adam untuk turun ke dunia untuk menjalani hukuman, namun Dia justru berkehendak memuliakannya. Agar bisa memahami kehendak Tuhan, seseorang harus menjadi 'pengantin' Tuhan. Untuk bisa menjadi 'pengantin' haruslah terlebih dahulu menyelami sifat-sifat-Nya. Lalu untuk bisa menyelami sifat-sifat-Nya tidak ada jalan lain, kecuali membangun kehidupan persahabatan dengan seorang Syaikh. Ditangan seorang Syaikh, jarum usang bisa berubah menjadi jarum emas. Untuk bisa membangun kehidupan persahabatan dengan seorang Syaikh haruslah sudah menjadi mantan pelayan, mantan pelayan apa? Yakni, mantan pelayan hawa nafsu, maka analog selembut apapun akan mudah dicernanya. Haruslah sudah 'selesai' dengan kemewahan dan kesenangan duniawi. Sebelum itu, jangan berharap bisa 'bertemu' dengan seorang Syaikh, meskipun engkau serumah dengannya. Lalu apa harus miskin terlebih dahulu? Tidak! kemiskinan dan kekayaan pun semua atas kehendak Tuhan, akan tetapi keterikatan hati ini yang harus dilenyapkan dari sesuatu selain-Nya. Lalu bila ia bernasib mujur, Tuhan akan menolongnya dengan mencahayai hatinya, sehingga dapat merasakan secara hakiki bahwa segala sesuatu terjadi atas Kehendak-Nya.

Minggu, 23 Agustus 2009

KESADARAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Seorang salik bertanya kepada salik yang lain : ‘Apa kriteria menjadi salik yang baik, saya merasa telah begitu banyak bermaksiat kepada Syaikhuna.’ Salik yang lain menjawab : ‘Pertanyaanmu terlalu luas, karena mencakup seluruh perilaku yang baik (hus al-adab) dalam bertarekat, sedangkan adab adalah bagian dari iman, dan adab bergantung kepada kedisiplinan diri dalam menjalankan riyadhah dan mujahadah. Karena keindahan adab bersumber dari dalam diri, yang mengejewantah didalam tindak tanduk lahiriyah (jawarih).’ Tidaklah diperlukan orang yang membungkukkan badan dan menundukkan kepala dihadapan Syaikhnya, namun sesungguhnya hatinya menolak dan tidak ada rasa takzim. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Seorang salik dapat bercermin kepada sebuah riwayat yang dikatakan oleh Rasulullah,saw., kepada Umar bin Khatab,ra., bahwa cintanya kepada Rasulullah,saw., wajib melebihi cintanya kepada dirinya sendiri.’ Cinta adalah ujung perjalanan dan sangat didambakkan oleh semua pejalan. Akan tetapi, cinta mempunyai sebuah tanda, yakni kepatuhan. Nah, salah satu tanda Salik yang baik adalah patuh karena cinta didalam mengamalkan pekerjaan tarekat, mendisiplinkan diri dalam memenuhi amanah dari gurunya, dan kepatuhannya melibatkan penghurmatan yang hakiki. Hal inipun banyak yang salah mengartikannya, beberapa orang salik bahkan, enggan untuk memakai gamis dan sorban tatkala waktu mengaji tiba, hal ini berlangsung lebih dari sepuluh tahun lamanya, meskipun Syaikh sering menegurnya, ia tetap tidak bergeming dengan sikapnya, angkuh dan arogan. Alasannya sederhana, ia beranggapan bahwa memakai gamis dan sorban adalah tanda kemunafikan, tanda kepura-puraan, karena tidak sesuai dengan perilaku kesehariannya, tidak sesuai dengan keadaan jiwanya, lantas jiwanya menolak! Pendapat ini salah kaprah, kepatuhan justru menanggalkan kebiasaan-kebiasaan, orang yang mendirikan shalat walaupun terasa berat karena jiwa tidak menyukainya, bukan berarti munafik. Melawan keengganan jiwa rendah atas pelaksanaan suatu perintah suci adalah tindak mujahadah, dan tindak mujahadah akan dibayar kontan oleh Allah SWT, berupa musyahadah. Semua bentuk kewajiban pastilah tidak mengenakkan bagi jiwa, namun mencahayai hati bila dilaksanakan secara istiqomah.

Seorang salik tidak boleh menilai kebijaksanaan seorang Syaikh dari segi luarnya, karena kebijaksanaannya itu sangat halus dan tersembunyi maknanya. Bisa saja ia memuji seorang salik, padahal sesungguhnya ia mengujinya, atau bisa saja ia mengizinkan seorang salik berguru kepada Syaikh yang lain, padahal itu tanda keberpisahannya, dan bisa saja ia memarahi seorang salik padahal ia sedang menyiraminya dengan barokah-barokah. Seperti kejadian pada peringatan mawlid yang lalu, Syaikhuna memberikan kesempatan kepada kelompok dzikir dari salah satu daerah untuk mengisi acara, agar kelompok itu merasa mendapatkan perhatian yang khusus. Dengan antusias mereka memainkan rebana sambil mengalunkan Qashidah Barzanji, setelah selesai Syaikhuna memujinya, meskipun banyak jamaah yang menggerutu karena tidak bisa mengikuti Qasidhah Barzanji yang masyhur itu. Karena sejak awal berdirinya pengajian, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu mengisi peringatan maulid dengan membaca asroqol dari kitab Qasidhah Syaraf al-Anam karya Ahmad Ibn al-Qasim al-Hariri,ra. Disamping itu, beliau sering mengulang-ngulang sebuah riwayat tatkala Imam Syafi’i berziarah kepada gurunya, Imam Abu Hanifah,ra., beliau shalat subuh dengan tidak melakukan doa qunut, seperti yang biasa dilakukan oleh Imam Abu Hanifah,ra., padahal beliau telah memerintahkan murid-muridnya untuk melakukannya. Ini sebuah tanda bahwa, dihadapan guru, seorang murid dilarang memperlihatkan perbedaan-perbedaan. Seorang murid wajib mengikuti apa yang gurunya biasa lakukan, wajib menanggalkan keakuan, melepaskan egonya, tidak boleh merasa lebih baik dalam hal apapun. ikutilah guru tanpa keraguan, karena dia ‘hidup’. Seorang murid bagaikan kegelapan malam, meskipun ia sarjana agama, walaupun ia hafiz al-Qur’an, maupun ia pejabat negara. Syaikh adalah bulan yang meneranginya. Syaikhuna khirkoh sejak usia muda namun sesungguhnya beliau ‘Tua’, ‘Tua’ karena kebenaran, bukan karena waktu. Anggur tua dinilai lebih tinggi mutunya. Syaikh adalah pemandu jalan bagi para murid-murid. Dengan adanya pemandu, perjalanan akan menjadi lebih cepat dan tepat. Yang perlu disadari adalah bahwa, perjalanan ini baru pertama kali ditempuh. Jangan pernah mengabaikan panduan sang pemandu, jika tidak ingin tersesat. Seperti keledai yang tergiur oleh rerumputan dipinggir jalan, begitu pula kenikmatan duniawi bisa menyibukkan, sampai lupa menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh. Pada saat tersesat, hanya seorang pemandu yang bisa menyadarkan diri. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada murid-muridnya yang tersesat : ‘Segera merapatlah kepadaku.’ Nabi,saw., pernah bersabda kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib,ra., : ‘Dekatkan dirimu dengan para pengabdi Allah yang terpilih dan bijak, maka kau akan lebih awal sampai ditujuan.’ Lalu sabdanya lagi : ‘Ali, engkau adalah seorang pemberani yang bernyali. Kendati demikian jangan terlalu percaya pada nyali. Turutilah nasihat seorang pemandu yang bisa menemanimu dalam perjalanan. Sebagaimana Nabiyullah Musa,as., menuruti nasihat Nabiyullah Khidir,as. Jangan menyangsikan kebijakannya, seperti Nabiyullah Musa,as., menyangsikan kebijakan Nabiyullah Khidir,as. Jangan sampai pemandumu meninggalkan kamu, seperti Nabiyullah Musa,as., ditinggalkan Nabiyullah Khidir,as.’
Awam berpendapat bahwa bisa saja sampai ketujuan tanpa pemandu, seperti Imam Uways al-Qurni,ra., dan Syaikh Ibrahim bin Adham,ra. Pendapat ini salah, karena kepada Imam Uways,ra., Nabiyullah Muhammad,saw., pernah berkata : ‘Aku mencium Nafas al-Rahman dari Yaman.’ Ini adalah bentuk hubungan secara ruhaniyah, wujud bimbingan secara spiritual, dalam istilah tasawuf disebut ‘uwaysi’. Sedangkan para syaikh sufi mengatakan bahwa Syaikh Ibrahim bin Adham,ra., dibimbing secara langsung oleh Nabiyullah Khidir,as., dan Syaikh Fudhail Bin Iyad,ra.
Kembali kepada peringatan mawlid, pujian Syaikh atas pelaksanaan Qasidhah Barzanji berarti petaka bagi sang murid, karena pujian akan merusak amal, seorang murid bisa besar kepala bila dipuji, biasanya Syaikh akan menyimpan pujian itu yang ditukar dengan doa-doa mustajabnya, agar amal sang murid bersih mengangkasa. Seperti yang beliau lakukan terhadap para murid yang hampir tiga hari tiga malam tinggal di Masjid guna mempersiapkan kelancaran pelaksanaan Maulid. Kepada murid-murid ini Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang salik yang lain : ‘Aku akan simpan pujian untuk mereka didalam hatiku, semoga Allah meridhoinya.’Semoga saja, perilaku kita yang secara sengaja ataupun tidak sengaja telah melanggar adab-adab dalam bertarekat, khususnya adab kepada guru tercinta kita, maka dengan Qasidhah Barzanji yang telah dibacakan secara apik oleh para sahabat, Allah SWT berkenan mensucikan dan mengampuni semua dosa kita.

Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., mengatakan dalam matsnawinya : ‘Salju dan es tidak membahayakan tanaman anggur yang siap panen, tetapi sangat membahayakan buah yang belum matang.’ Peringatan yang keras datang dari Syaikh Rumi,ra., bagi murid-murid yang ingin cepat-cepat menjadi bunga teratai, namun tidak pernah melihat bahwa dirinya berada di tumpukan jerami bukan ditengah lumpur. Tidaklah mungkin tumbuh bunga teratai diatas jerami melainkan diatas lumpur. Jerami ego mudah terbakar sedangkan lumpur kesabaran yang tampaknya kotor menjadi tempat tumbuhnya teratai. Semoga dengan pujian kepada Habibullah yang telah menghiasi peringatan mawlid, khususnya bait dibawah ini, Allah SWT berkenan melapangkan dada kita :
Purnama Muhammad telah bersinar kepada kami, maka semua cahaya lain menjadi redup. Tidak pernah sama-sekali kami melihat orang sebagus engkau, wahai wajah berseri-seri menggembirakan. Engkau adalah matahari, engkau adalah bulan purnama, engkau adalah cahaya diatas cahaya. Engkau adalah emas dan lebih berharga. Engkau adalah penerang dada.

Kebijaksanaan Syaikh laksana doa Nabiyullah Sulaiman,as., : ‘Yaa Allah jangan sampai ada orang lain yang memiliki kekuasaan serta kerajaan seperti yang aku miliki.’ Doa ini tampaknya egois, tidak boleh ada orang lain yang menyamainya, padahal tidak demikian, karena Nabiyullah Sulaiman,as., mempunyai kesadaran yang teramat tinggi bahwa tahta dan kekuasaan sangat berbahaya, bahwa rasa angkuh yang muncul oleh karenanya bisa mempengaruhi imannya. Sekuat-kuat iman, kadang-kadang masih saja terhanyutkan oleh arus keduniawian. Kesadarannya bisa terkubur bersamaan dengan sanjungan-sanjungan dari orang lain, dengan begitu dunia semakin kuat mengikatnya. Doa Nabiyullah Sulaiman,as., tidak muncul dari hati yang dangkal, yang penuh dengan rasa iri, tetapi dari jiwa dan hati yang bersih, yang penuh dengan belas kasih. Permohonannya kepada Allah muncul dari kepeduliannya terhadap orang lain. jangan sampai ada yang merosot kesadarannya, imannya, hanya karena tahta dan kekuasaan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah kesadaran.’ Yakni, membongkar kesadaran yang terkubur rapat-rapat oleh nafs, yang letaknya berada didalam latifatul qolbi, ruh, sir, khofi dan akhfa, yang dijaga sangat ketat oleh binatang-binatang buas serta ular yang sangat mematikan bisanya (racunnya). Oleh karenanya mari bersama-sama kita berharap agar Allah SWT berkenan memberikan kepada kita semangat dan ketangguhan didalam melaksanakan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah, dan semoga Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) meridhoi kita semua, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

MENGINGAT ATAU MELUPAKAN DOSA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sebelum umroh berkata kepadaku : ‘Gus, berikan mutholaah atas pengajian minggu lalu mengenai mana yang lebih baik mengingat atau melupakan dosa. Jangan seluruh perkataanku ditulis tanpa adanya mutholaah darimu, karena perkataanku sesuai dengan keadaan, baik kondisi murid-murid yang hadir ataupun kecenderungan anasir yang membias saat itu.’ Masya Allah, ini amanah yang sungguh berat, dengan memohon pertolongan dari Allah SWT, insya Allah akan diganti bab yang sama terdahulu dengan yang terurai dibawah ini.

Didalam kitab tasawuf banyak dijumpai bab tentang taubat, karena mustahil menyajikan ilmu tahapan untuk mencapai kesucian tanpa pertaubatan terlebih dahulu, karena taubat laksana thaharah dalam sholat. Tak ada kesucian tanpa bertaubat demikian pula tidak ada shalat tanpa thaharah. Dari sekian banyak bab taubat, terlihat berbeda cara penyajiannya, sebagian syaikh sufi mengatakan bahwa taubat itu mengingat dosa-dosa sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa taubat justru melupakan dosa-dosa. Lalu apa benar bahwa syaikh-syaikh sufi mempunyai pandangan yang bebeda tentang taubat? Apa mungkin seseorang yang berada pada jalan yang sama mempunyai pandangan yang berbeda? Jawabnya tidak mungkin! Sebagaimana seorang yang akhli dalam melakukan pendakian gunung, akan menyampaikan pengalamannya secara hati-hati, kepada siapa ia berbicara, jika kepada pemula ia akan banyak berbicara tentang keperkasaan alam, sehingga mewajibkan membawa bekal-bekal yang memadai dan menegakkan kepatuhan, agar rasa takutnya dapat berkurang, berbeda bila berbicara kepada yang sudah berpengalaman ia akan bercerita tentang keindahan alamnya, agar tidak sedikit pun diabaikannya. Demikian pula tentang taubat, Syaikh Dzun Nun al-Misri,qs., berkata : ‘Orang awam bertaubat dari dosa-dosa mereka, tapi orang pilihan bertaubat dari kelalaian mereka.’ Karena orang awam akan ditanya mengenai perbuatan lahiriyah mereka, tetapi orang pilihan akan ditanya mengenai sifat hakiki perbuatan mereka. Kelalaian, yang bagi orang awam merupakan kesenangan, adalah tabir bagi orang pilihan. Tatkala Imam Sari as-Saqoti,ra., berbicara kepada seorang pemuda, beliau mengatakan bahwa taubat adalah tidak melupakan dosa-dosa, hal yang sama dilakukan oleh Syaikh Sahl bin Abdallah Al-Tustari,qs., disaat berbicara kepada murid-muridnya, ia mengatakan bahwa taubat itu adalah bukan melupakan dosa tetapi senantiasa menyesalinya, sehingga tidak akan merasa puas dalam berbuat kebajikan. Karena perbuatan-perbuatan baik itu tidak lebih baik daripada menyesali suatu tindakan yang buruk, dan orang yang tidak pernah melupakan dosa-dosanya, tidak akan pernah menjadi sombong. Begitu pula Syaikh Abul Hasan Busyanji,qs., mengatakan : ‘Bila engkau tidak merasa enak ketika ingat dosa, itulah taubat.’ Ujaran ini bagus sekali, untuk mengukur apakah benar perbuatan dosa telah disesalinya, jangan-jangan malah bangga bila menceritakannya kepada orang lain. Orang yang menyesal bahwa ia telah berbuat dosa adalah orang yang bertaubat. Sementara orang yang ingin berbuat dosa adalah orang yang berdosa. Dosa itu sebenarnya tidak seburuk mengiginkannya, karena tindakan bersifat sementara, tetapi keinginan bersifat abadi.
Akan tetapi, tatkala Imam Junayd,ra., bertemu dengan pamannya yang juga gurunya, yakni Imam Sari as-Saqoti,ra., beliau mengatakan bahwa taubat adalah melupakan dosa-dosa. Perkataan Imam Junayd,ra., ini adalah cerminan pertaubatan disebabkan cintanya kepada Tuhan, sedang pecinta Tuhan itu senantiasa berada dalam meditasi tentang Tuhan (muroqobah), dan dalam muroqobah tidak dibenarkan mengenang dosa, karena mengenang dosa adalah tabir atas kehadiran Tuhan (huddur al-Haq) bagi orang yang sedang melakukan muroqobah.

Pada umumnya, seorang pemula akan berpendapat bahwa orang yang bertaubat itu bergantung pada diri sendiri, sehingga melupakan dosa-dosa sebagai tindak kelalaian. Sedangkan yang lain beranggapan bahwa ia bergantung kepada Tuhan, memandang bahwa mengingat dosa itu sebagai tindakan tercela. Nabiyullah Musa,as., sementara sifat-sifatnya masih ada, berkata , ‘Aku bertaubat kepada-Mu’ (QS 007 : 143), tetapi Rasulullah,saw., sementara sifat-sifatnya sirna, bersabda : ‘Aku tak bisa mengungkapkan pujian kepada-MU.’ Karena orang yang bertaubat tidak boleh ingat akan kediriannya sendiri, bagaimana ia akan mengingat dosanya? Sesungguhnya mengenang dosa adalah dosa, karena dosa adalah saat berpaling dari Tuhan, dan begitu pula mengenangnya atau melupakannya, karena mengenang dan melupakan berkaitan dengan diri. Hal ini senada dengan wejangan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) yang mengatakan bahwa : ‘Taubat adalah tidak melupakan ataupun mengingat dosa-dosa, akan tetapi tidak teringat lagi dosa-dosa, hatinya telah masuk kedalam sebuah keadaan yang disebut ‘hub’, ia telah memasuki maqom ‘mahabah’. Seorang yang memiliki keadaan yang seperti ini, berturut-turut antara ‘maqom’ dan ‘hal’ beriringan, ‘hal’ adanya diatas dan ‘maqom’ dibawahnya, setiap maqom naik Allah SWT menghibahkan ‘hal’ yang baru didalam dada, berupa meningkatnya kecintaan kepada Allah SWT, berupa terjabarnya ilmu-ilmu yang dihibahkan oleh Allah SWT, dan berupa kepatuhan yang lebih baik dari sebelumnya. Sehingga sudah tidak mengingat yang lain, tidak mengingat atau pun melupakan dosa, karena Ia berada dijalur sebuah keadaan, jalur kesucian, ia terus menerus menetap didalam dawawudz dzikri dan dawamun ubudiyah, ia mabuk didalam peribadatannya kepada Allah SWT, ingatannya hanya kepada Allah SWT, sehingga dengan sebuah peribadatan yang terpaut seperti itu, yang ada adalah sifat Allah SWT yang mengejawantah didalam dirinya.’

Imam Junayd,ra., mengatakan : ‘Aku telah membaca banyak buku, tetapi aku tidak pernah menjumpai sesuatu yang begitu mengandung ajaran seperti bait puisi ini : “Ketika kukatakan : ‘Apakah dosaku? Ia (wanita) menjawab : ‘Keberadaan adalah dosa yang tidak tertandingi oleh dosa lain.’”

Abu Hafs Haddad,qs., juga mengatakan : ‘Manusia tidak berperan apa-apa dalam taubat, karena taubat itu dari Tuhan kepada manusia, bukan dari manusia kepada Tuhan.’ Jadi, taubat bukan merupakan tindak upaya manusia, melainkan merupakan anugerah Allah SWT. Seperti pemula yang naik gunung, ia takut lantaran keperkasaan alam, sedangkan para akhli ia tidak ingin sedikitpun lalai dalam menikmati keindahan alamnya. Taubat karena takut disebabkan oleh terkuaknya keperkasaan Tuhan, sementara taubat karena malu disebabkan oleh penglihatan akan keindahan Tuhan.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Didalam pertaubatan atau melupakan dosa-dosa tadi, bukan lupa akan dosa yang dibawanya di masa lalu, tetapi disamping tidak teringat lagi, memang Allah telah menyita jiwa dan raganya serta pikirnya hanya untuk Allah SWT, setelah masuk kedalam genggaman kasih sayang-Nya serta karena ia berada dalam maqom Mahabah, Allah menjaganya, orang yang seperti itu disebut para arif billah, para waliyullah.’

Mengingat dosa diperlukan untuk maqom awal, untuk tahap keberangkatan, agar selalu ada dalam keadaan bersedih, karena banyak melakukan dosa, lalu bersegera menggantinya dengan peribadatan, dengan banyak bertaubat, banyak istigfar, banyak berdzikir, banyak bershodaqoh. Lalu yang kedua tentang melupakan dosa, bukanlah melupakan, namun memang Allah yang membuatnya lupa, karena jiwa, fikir dan raganya tersita hanya tertuju kepada Allah saja dengan keikhlasan ibadatnya.
Nah, mengingat dosa diperlukan bagi pemula, lalu melupakan dosa juga dibutuhkan oleh para salik, sedangkan tidak melupakan ataupun tidak mengingat dosa adalah busana para Waliyullah, lalu dimana kedudukan kita? Tidak mengingat dosa bahkan memang lupa terhadap dosa-dosa lantaran fikir disibukan oleh hiruk pikuknya dunia ini, naudzubillah min dzalik. Semoga Allah mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita, amiin Yaa Allah yaa Rabbal alamiin.

Jumat, 21 Agustus 2009

BURDAH - KHIRQOH

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Burdah atau khirqoh adalah dua kata yang sama artinya, sekaligus mempunyai makna yang berbeda. Burdah bisa menunjuk kepada jubah kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atributnya (kekhalifahan). Dikenakan bilamana ada acara kenegaraan dan acara-acara resmi lainnya, agar bisa tampak berbeda dari pemimpin-pemimpin negara lainnya, pejabat-pejabat pemerintahannya, dan kelihatan berwibawa dihadapan sahabat-sahabatnya, teman-teman dan rakyatnya. Burdah juga bisa bermakna, sebuah qasidhah yang dipersembahkan kepada Nabi,saw. Sedangkan khirqoh atau burdah dalam tradisi kesufian, bermakna penyematan jubah oleh seorang mursyid kepada muridnya, sebagai tanda bahwa ia telah diridhoi gurunya.

Para sultan terdahulu percaya, bahwa merawat dengan baik dan mengenakan burdah, jubah mulia Nabi,saw., (khirqa-i syarif), akan mengantarkannya kepada kejayaan. Dan demikian pula dengan membaca burdah (qasidhah) dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, melapangkan dada dari kesempitan, dan melancarkan rizki, serta menjauhkan musuh dan terhindar dari orang-orang yang iri dan dengki. Sejarah mencatat bahwa Nabi,saw., pernah memberikan burdah kepada seorang penyair yang bertaubat. Atas karyanya yang fenomenal, berjudul banat su’ad (Su’ad telah pergi), berisi syair sanjungan kepada Nabi,saw., dan para sahabatnya, terdiri dari 59 bait ada yang mencatatnya sebanyak 58 bait. Tadinya ia kafir dan banyak membuat syair yang menentang Islam dan pemeluknya. Orang yang sangat beruntung itu bernama Ka’ab Ibn Zuhair,ra. Tidak saja jubah yang ia terima, bahkan tangannya pernah bersentuhan dengan tangan Nabi Muhammad,saw., yang suci. Setelah ia wafat, Muawiyah bin Abu Sufyan (sultan pertama dari dinasti umayyah) membeli Jubah dimaksud dari akhli warisnya dengan nilai yang sangat tinggi, dan selalu dipakainya dalam acara kenegaraan. Tradisi ini berlangsung hingga kesultanan Abbasiyah dan berakhir pada Kesultanan Ottoman. Burdah ini telah dipakai oleh para sultan atau penguasa Islam hampir 1.300 tahun lamanya. Sangat disayangkan setelah usai perang dunia pertama dan kedinastian Ottoman berganti menjadi republik, burdah ini tidak pernah dipakai lagi dan tersimpan rapi di Meseum Topkavi, Istanbul, Turki. Nasib burdah ini, persis seperti kejayaan Islam yang tinggal menyisakan cerita-cerita panjang, pemeluknya saling berebut ketenaran dan merasa benar sendiri, naluri dikedepankan sedangkan ruhani terpenjara rapat didalam hati. Semoga saja dikemudian hari, kepala negara Turki berkenan memakainya kembali, khususnya diacara kenegaraan agar dunia bisa melihatnya, bahwa Islam akan tetap besar dan murni sampai akhir zaman nantinya, agar Islam bisa bangkit kembali layaknya dinasti Ottoman terdahulu yang hampir menguasai setengah dunia.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) nyaris pingsan saat melihat burdah yang dimuliakan ini, tak kuasa menahan sebuah rasa yang datang secara tiba-tiba, beliau berlari kecil meninggalkan murid-muridnya dan menangis dengan kerasnya. Didekatnya ada pakaian yang biasa dipakai oleh Sayyidah Fatimah,ra., dan kedua puteranya, Sayyidina Hasan,ra., dan Sayyidina Husain,ra. Tidak masuk akal, anak dan cucu dari penguasa dua dunia, pemimpin para manusia dan Jin serta pemimpin Arab dan bukan Arab, mengenakan pakaian yang teramat sederhana. Seorang salik bahkan mendekap wajahnya karena malu disaat melihatnya, lalu berkata kepada salik yang lain : ‘Sungguh mengagumkan mereka yang diberkahi itu, pakaiannya amatlah sederhana,namun indah dan kokoh keimanannya. Sedangkan kita sebaliknya, memakai pakaian yang indah-indah namun lemah keimanan kita.’ Lalu ia menangis tersendu-sendu dan hampir-hampir ruhnya lepas dari jasadnya. Orang-orang yang hadir terheran-heran melihat kejadian yang demikian itu.

Peristiwa pemberiaan burdah oleh Nabi,saw., menjadi inspirasi bagi para sufi untuk menulis puisi, guna mengekspresikan rasa yang meluap-luap didalam dadanya atas kecintaan dan kekagumannya kepada Nabi,saw., yang sangat dihurmatinya itu (fana’u Rasul). Nyaris tidak ada kitab yang ditulis para sufi melainkan didalamnya terdapat puisi-puisi. Tidak ada bahasa yang dapat digunakan untuk mewakili pengalaman ruhani, alasan inilah mengapa mereka menuangkan dalam bentuk syair-syair yang elok. Yang tentunya hanya bisa diartikan dengan tepat oleh orang-orang yang menapaki jalan kesucian. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bahasa ruh berbeda dengan bahasa alam syahadah, oleh karenanya isyarat dalam mimpi yang dialami para pejalan wajib hukumnya disampaikan kepada gurunya, syaikhnya, guna mendapatkan penjelasan yang memadai.’

Kisah, di Mesir kira-kira tahun 608 H/1213, seorang yang berperawakan kecil dan kurus, mempunyai talenta menulis pujian berupa syair yang indah. Keakhliannya digunakan untuk mencari nafkah dengan menulis pujian kepada para pejabat. Allah SWT membuatnya terkena penyakit lumpuh total, dan harus terbaring ditempat tidur. Dalam keadaan yang demikian, ia baiat kepada tarekat Sadziliyah dibawah bimbingan seorang mursyid yang agung, Syaikh Abu al-Abbas al-Mursyi,qs., murid dari Imam Abu al-Hasan al-Sadzili,qs. Ia melakukan dengan ketat latihan-latihan spiritual, riyadhah dan mujahadah dilakukannya dengan gigih meskipun ia lumpuh. Di saat rasa kecintaan kepada Nabi,saw., meluap-luap (fana’u Rasul), beliau tuangkan didalam puisi yang demikian indahnya, yang diberi judul Al Kawakib ad-Durriyyah fi al-Madh alaa Khair al-Barriyah (Bintang-bintang gemerlap tentang pujian terhadap sang Manusia Terbaik). Suatu malam beliau bermimpi, ubun-ubun kepalanya diusap oleh Nabi,saw., dan menyelimuti tubuhnya dengan burdah. Penghargaan yang sedemikian tingginya itu, diperolehnya atas karyanya tentang puji-pujian dalam bentuk puisi itu. Ajaib, keesokan paginya segala macam penyakitnya lenyap, beliau dapat berjalan layaknya anak muda. Masyarakat disana menjadi gempar, dan tersiarlah ihwal mimpinya itu. Sejak saat itu, kitab beliau lebih dikenal dengan nama burdah. Lalu kaum muslimin percaya bahwa, dengan membaca burdah dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik penyakit lahiriyah ataupun penyakit batiniyah. Orang yang sangat mulia dan ditakdirkan menulis burdah itu, bernama Abu Abdillah Syaraf ad-Din Muhammad Ibn Sa’id Ibn Hammad Ibn Muhsin Ibn Abdillah Ibn Shanhaj Ibn Mallal al-Bushiri, dikenal dengan nama Imam Bushiri,qs. Di lingkungan tarekat Sadziliyah, beliau hidup sejaman dengan Syaikh Ibnu Athaillah,qs., penulis karya agung al-Hikam.

Di Indonesia burdah sangat dikenal luas, tidak saja masyhur dilingkungan pesantren, melainkan juga di sejumlah besar kalangan masyarakat. Karena syair-syairnya indah, berisi shalawat dan kisah tentang keagungan Nabi,saw., serta sarat dengan pelajaran tasawuf, khususnya tentang nafs. Kakek buyut Syaikhuna dari garis ibundanya, mendapatkan gelar dari masyarakat di Banjarsari, Jawa Barat sebagai Ajengan Burdah, karena begitu piawainya melantunkan burdah ini dan karomahnya sangatlah menonjol. Jumlah syair burdah 163 bait, setiap baitnya berkahir dengan huruf ‘mim’. Dikalangan komunitas pesantren mempunyai tradisi yang sudah mendarah daging dalam pembacaan sejarah hidup (tarikh), shalawat dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad,saw., yang mereka sebut dengan istilah syi'iran. Semua sufi sepakat bahwa didalamnya terkandung nilai sastra yang sangat tinggi. Keistimewaan lain dari burdah ini, adalah dapat dibaca dengan irama tertentu, dimana masyarakat Indonesia gemar akan bunyi-bunyian yang seperti ini. Setiap malam Jum’at syair ini dibaca secara berjamaah dengan nada yang indah. Masyarakat kota pun masih membacanya, khususnya bila menempati rumah baru, atau adanya bencana banjir, atau penyakit yang mewabah, maka burdah ini dibaca sebagai wirid ataupun hizib yang diyakini mujarab. Kepopuleran burdah ini hanya bisa disamai dengan Qashidah Barzanji, Qashidah Diba'iyyah, Qashidah Syaraf al-Anam dan Dalail al-Khairat. Beliau wafat di Iskandaria dan dimakamkan di dekat bukit al-Mughaththam tidak jauh dari Cairo, Mesir. Makam beliau berdekatan dengan makam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i atau dikenal dengan nama Imam Syafi’i.ra. Jika makam Imam Syafi’i,ra., menyimpan qadam syarif (jejak kaki yang mulia) atau kadang disebut qadam Rasul, maka makam Imam Bushiri dipenuhi dengan kaligrafi burdah.Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya)pernah berziarah ke makam kedua Imam yang mulia ini. Bersama sahabatnya melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an serta dzikir jahr (dzikir yang berbunyi) dihadapan pusara Imam Syafi'i, sedangkan di hadapan pusara Imam Bushiri, beliau terlihat diam seribu bahasa, dan hanya meninggalkan butir-butir air mata sucinya sebagai hahasa syair yang tinggi nan elok yang dihadiahkan teruntuk Imam Bushiri.qs.

Kamis, 06 Agustus 2009

KHALWAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dan telah kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. (QS 7 : 142)

Khalwat secara etimologi dapat diartikan menyendiri, lawan kata daripada ‘ngariung’, berkumpul, shohbet, atau shuhbah. Di beberapa daerah di Indonesia, mereka menyebutnya suluk, dan orang yang sedang atau telah mengikuti suluk, disebut salik. Sulit menemukan kitab yang menjelaskan tentang khalwat, dari sekian banyak kitab-kitab tasawuf yang ada, hanya dapat ditemui didalam karya Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi,qs., yang berjudul Awarif al-Maarif. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah mengatakan bahwa bab terakhir dari kitab yang fenomenal ‘Ihya Ulumiddin’ karya Imam al-Ghazali,ra., adalah tentang khalwat, namun inipun karya Guru beliau yang disatukan didalam kitab tersebut, sangat disayangkan, bab khalwat ini tidak lagi dapat ditemukan didalam kitab yang mulia ini, lenyap, entah apa alasanya.

Sebelum masa kenabian kira-kira usia yang mulia Sayyidina Muhammad,saw., menjelang empat puluh tahun, beliau senang menyendiri atau melakukan khalwat ke gua hira di Jabal Nur, jaraknya kira-kira dua mil dari mekah, gua itu tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Sampai saat ini, gua tersebut masih dapat dilihat, jemaah haji dari Indonesia banyak yang menyempatkan diri berziarah ketempat ini. Sejarah mengatakan bahwa di bulan Ramadhan pada tahun ketiga dari masa pengasingan di gua hira, wahyu yang pertama turun. Ini bukti bahwa, beliau berkhalwat dalam kurun waktu yang lama. Juga didalam al-Qur’an dapat dijumpai kisah Nabi Musa,as., yang melakukan khalwat selama tiga puluh hari, lalu Allah SWT menambahnya sepuluh hari lagi, maka genaplah menjadi empat puluh hari lamanya seperti yang termaktub pada ayat diatas. Para Syaikh sufi mengatakan bahwa masa khalwat yang sempurna adalah empat puluh hari lamanya. Kelompok yang mengatakan bahwa khalwat bukan ajaran dari Nabi Muhammad,saw., adalah salah besar! Justru orang-orang yang mengaku dirinya ulama, namun tidak pernah melakukan khalwat, maka pengakuannya mengada-ada dan sia-sia. Karena jalan pintas untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah khalwat atau suluk. Nyaris tidak ada riwayat yang mengisahkan bahwa ketinggian ruhani seseorang, khususnya para syaikh sufi didapat tanpa melakukan khalwat. Jadi khalwat hukumnya wajib bagi orang-orang yang mendambakkan kesucian lahir ataupun batinnya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tidak banyak berguna orang yang bertarekat namun tidak melakukan khalwat, karena ibadah yang sejati ada pada khalwat.’

Mengasingkan diri atau menyendiri untuk sesaat lamanya, sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun harus berhati-hati, banyak riwayat mengatakan bahwa teman daripada orang yang menyendiri adalah syaithoon, oleh karenanya, seseorang harus mempunyai pengetahuan agama yang prima terlebih dahulu. Mengasingkan diri dari khalayak ramai dalam masa yang panjang atau untuk menghabiskan masa tuanya, dalam istilah tasawuf disebut ‘uzlah’, sedangkan memisahkan diri atau menyendiri untuk sementara waktu dari segala sesuatu yang bukan Tuhan adalah ‘Khalwat’. Sikap seseorang yang layak ketika memutuskan untuk beruzlah atau berkhalwat adalah, merasa bahwa masyarakat akan terhindar dari kejahatannya, bukan merasa bahwa ia akan terhindar dari kejahatan mereka. Yang pertama, adalah hasil daripada memandang rendah dirinya sendiri, sedangkan sikap yang kedua adalah merasa bahwa dirinya lebih baik dari orang lain. Orang yang memandang dirinya tidak berharga adalah rendah hati, sedangkan orang yang menganggap dirinya lebih berharga ketimbang orang lain adalah takabur. Didalam tradisi tarekat, menyendiri itu harus atas perintah Mursyidnya atau perintah Syaikhnya dan selalu didalam pengawasannya baik lahir atau batinnya. Kira-kira usia muda, yang mulia Syaikhuna pernah meminta izin dari gurunya untuk melakukan khalwat didalam hutan, segala sesuatu perbekalan telah dipersiapkan, namun tidak diperkenankan oleh sang guru. Hal ini menunjukkan bahwa, khalwat adalah pekerjaan khusus, dan diperuntukkan bagi para suci yang memang benar-benar membutuhkan, guna kemajuan spiritualnya, bukan untuk hal lain dan atas kehendak gurunya dan bukan kehendak dirinya sendiri. Pada saat berkhalwat, seorang Syaikh tidak saja menjadi pembimbing dan pengawas bagi para saliknya, melainkan turut serta mengerjakannya dan patuh atas segala sesuatu yang diwajibkan dalam berkhalwat kepada saliknya. Dikatakan, ‘Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan, dan mampu melihat kekurangan dirinya. Barang siapa telah dianugerahai semua ini, berarti telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.’

Hadrat Sayyidi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (semoga Allah mensucikan Ruhnya) berkata : “Menyendiri merupakan sesuatu yang mesti engkau alami. Ketika ajal datang menjemput, semua sahabat dekat akan memutuskan hubungan denganmu, dan semua keluarga akan berpisah darimu. Maka dari itu, berpisahlah dari mereka, dan putuskan hubungan dengan mereka, sebelum mereka meninggalkanmu dalam kesulitan. Kubur akan menjadi jalan kecil menuju Allah SWT., menjadi koridor. Matilah engkau, sebelum engkau mati (mutu qabla antamutu). Matilah terhadap dirimu, dan terhadap mereka, maka engkau akan hidup didalam Dia. Engkau akan menjadi seperti orang mati, yang dimanipulasi oleh tangan takdir, menerima bagiannya dengan sepi ing pamrih.” Dan beliau berkata : “Memegang teguh tauhid adalah menyingkirkan semua makhluk, menjauhkan diri dari pergolakan tabiat untuk menuju alam malaikat, kemudian meninggalkan alam malaikat dan berhubungan dengan Allah SWT.”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Salah satu rukun dalam berkhalwat adalah kemauan yang teguh atau niat yang keras.’ Tanpa bermodalkan kemauan yang membaja sebaiknya jangan coba-coba ikut berkhalwat, bisa jadi seseorang akan berputus asa, karena berkhalwat adalah berpantang dari segala sesuatu selain Allah SWT., Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Khalwat adalah menghadirkan rasa terus menerus seolah-olah menjemput kematian.’ Dan : ‘Khalwat dapat dilakukan selama sepuluh, dua puluh dan empat puluh hari lamanya.’ Rasulullah,saw., bersabda : ‘Barangsiapa (beramal) dengan ikhlas karena Allah selama 40 hari (pagi), niscaya terpancarlah sumber-sumber hikmah dari hatinya kelidahnya.’

Dalam pelaksanaannya, Syaikhuna sering melatih murid-muridnya untuk berkhalwat selama tiga, lima, tujuh hari dan sepuluh hari. Itupan membuat beliau banyak meneteskan airmata, melihat murid-murid masa kini menjadi pucat dan kurus, sering mengeluh dan merintih karena hampir semua persendian merasa ngilu, dan menu makannya sangatlah sederhana. Oleh karenanya, ditengah malam syaikhuna terkadang memberikan bonus berupa ‘teh manis’ kepada para salik, walaupun dibalik ini ada pelajaran yang tersembunyi, adakah kebahagiaan atau penyesalan setelah meminumnya,setelah keberpantangannya luntur? Hal ini akan terpancar dari mata dan jawarih (indera) yang lain, sehingga yang mulia Syaikhuna akan segera mengetahuinya. Seharusnya para salik malu jika sang guru mengambil kebijaksanaan seperti ini. Tekad untuk mendekatkan diri kepada Allah,swt., tidak boleh kendur, jika dirasa lapar, haus, ngantuk, pegal dan linu persendian, jenuh adalah hal biasa, dan memang itulah ujian untuk lahiriyah, sedangkan ujian batiniyah lebih dasyat, berupa cakap-cakap hati, menerawang dunia dan kekhawatiran terhadap keluarga dan perdagangan, sehingga Allah SWT tersingkirkan. Hanya dengan menjaga kondisi-kondisinya saja manfaat khalwat bisa muncul kepermukaan. Allah SWT berfirman : ‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya. (QS 18 : 110) Para mutashowif menafsirkan ‘amal yang saleh’ adalah berkhalwat dengan cara-cara tertentu.

Seorang murid berkata : ‘Kecil hati ini, gentar bercampur bahagia, tatkala Syaikhuna menunjuk untuk berkhalwat.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Khalwat adalah ibadah yang bermutu tinggi.’ Seorang sahabat menangis, ketika melihat labu yang berukuran kecil, teringat bagaimana indahnya pada saat berkhalwat, labu itu menjadi makanan yang terlezat tiada duanya. Betapa tidak, berbuka dan makan sahur, dengan nasi dan air yang ditakar, nasi sekepal dengan lauknya labu siam yang kecil atau tempe, minumnya air putih kira-kira lima kali teguk. Setiap makanan atau minuman yang masuk kemulut, sebelum ditelan diwajibkan dikunyah atau dikumur-kumur terlebih dahulu selama tiga puluh tiga kali, sambil berdzikir membaca Laa Ilaaha Illallaah. Lamanya berpuasa dua puluh dua jam sehari, karena setelah sholat Isya tidak diperkenankan lagi makan atau minum sampai waktu sahur, kecuali bilah Syaikhuna memperkenankannya. Duduk tidak boleh menyender dan wajib duduk bersimpuh atau bersila serta terus menghadap kiblat. Tidak diperkenankan tidur kecuali bila ngantuk menyerang, dan tidurnya wajib tetap menghadap kiblat dan tanpa alaskan bantal. Tidak diperkenankan bicara dengan manusia baik secara lisan atau isyarat. Harus selalu berdzikir dalam setiap keadaan, dan harus menyelesaikan menu khalwat yang diramu oleh Syaikhuna, disamping menyelesaikan pekerjaan tarekatnya masing-masing. Shalat fardu wajib berjamaah dan berpakaian serba putih.

Seorang murid bertanya : ‘Apa beda bertapa dan khalwat ?’ Syaikhuna menjawab : ‘Bertapa juga berpantang dari dunia, akan tetapi niat dari bertapa bermacam-macam, ada yang ingin kesaktian, kekayaan dan kehormatan sedangkan berkhalwat hanya untuk Allah semata, segala sesuatu yang berkenaan dengan keberpantangan dan ketekunan akan membuahkan hasil, baik itu untuk kejahatan ataupun sebaliknya untuk kebaikan.’ Barang siapa menginginkan hakikat sesuatu agar terungkap dalam berkhalwat dan latihan ruhani , khususnya agar memperoleh keajaiban-keajaiban dan bukan kedekatan kepada Allah SWT, maka yang demikian itu adalah inti daripada penipuan terhadap diri sendiri. Itulah penyebab kejauhan bukannya kedekatan, dan akar daripada keangkuhan. Dalam pensucian dari noda, agar hati cemerlang dan bercahaya, maka mengurangi makan dan minum serta terus menerus dalam berdzikir mempunyai pengaruh yang sempurna. Seorang salik sejati adalah yang tidak dilemahkan oleh keinginan untuk memperoleh berbagai macam keajaiban. Sebab bagi sebagian orang yang melakukan ‘pertapaan’ tanpa pembimbing, apalagi yang tidak berpegang pada tali syariat agama Islam, lalu seolah-olah telah mengalami keajaiban-keajaiban dalam kesendiriannya, maka semakin hari akan semakin sombong dan jauh menyimpang dari jalan keselamatan serta tuli dari mendengar Kalam Allah. Jika keajaiban atau penyingkapan ini jatuh dijalan orang-orang yang benar dan tulus, tanpa mereka mengharapkannya, maka yang demikian ini adalah sebuah berkah yang besar, karena inilah sebab yang memperkuat keyakinan dan meningkatkan amal ibadah.

Didalam delapan prinsip tarekat Naqsyabandiyah dikenal istilah ‘khalwat dar ajuman’ atau menyepi ditengah keramaian. Keadaan ini merupakan buah daripada melakukan khalwat, orang itu akan merasa selalu bersama-sama dengan Tuhanya, walaupun ia berada ditengah-tengah keramaian, atau jasadnya dibumi dan ruhnya berada dilangit, itulah sebaik-baik keadaan.

Suasana menjelang memasuki ruang khalwat sangat ‘mencekam’, diawali dengan mandi sunat, lalu mendengarkan Syaikhuna menyampaikan wejangan, dan berjuta rasa meliputi hati saat beliau mengumandangkan azan, tanda menjemput kematian tiba, isyarat dimulainya keberpantangan dari yang lain kecuali Allah SWT. Biasanya, pada hari ketiga tatkala tubuh mulai gontai, keajaiban mulai mendekat. Phisik sudah melemah, menaiki satu anak tangga bagai seribu anak tangga, berjalan dua puluh meter ke Mas’jid bagai dua ratus kilometer. Keinginan untuk makan sahur dan berbuka sudah tertinggal jatuh kebelakang, yang ada hanyalah makanan keruhanian, yaitu dzikir-dzikir, karena makanan yang hakiki adalah yang didalamnya tidak ada keharaman sama sekali yakni dzikir. Saat mulai lupa terhadap keberadaan, lalu pandangan agak buram dan wajah mulai pucat, maka pikiran menjadi jernih, hati terbuka hanya kepada Allah semata, tafakur (kontemplasi) menjadi-jadi, muroqobah (meditasi) berjalan dengan sendirinya, rasa ‘Hudur Al-Haq’ datang dalam waktu yang lama. Di saat seperti ini, kewaspadaan harus tetap dijaga, kerendahan diri dihadapan Tuhan harus berlaku terus menerus, robithoh (ini yang fundamental) harus dikerjakan secara berkala, agar mendapatkan kekuatan lahir dan batin disamping memperoleh jembatan untuk menyeberangi taman-taman yang indah.

Allah SWT berfirman : ‘Berkata Zakariya, berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung), Allah berfirman : ‘Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbilah di waktu petang dan pagi hari. (QS 3 : 41)Inilah sebuah bukti bahwa barang siapa tidak berbicara dengan manusia selama tiga hari, lalu diisinya dengan berdzikir hanya kepada Allah SWT maka hikmah akan mengalir kedalam dadanya.

Hakikat berkhalwat ini harus dibawa kedalam kehidupan sehari-hari, jasad ini harus ‘disiksa’ dan jiwa harus diputus dari kesenangan duniawi, agar hati menjadi bening, tidak lagi gaduh seperti suasana pasar. Segala sesuatu yang enak bagi jiwa ini adalah racun bagi hati dan sebaliknya segala sesuatu yang tidak mengenakan bagi jiwa ini adalah kehidupan bagi hati. Jika seseorang sudah dapat memahami keutamaan keberpantangan, maka ia akan meraihnya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemapuannya. Karena sesungguhnya ibadat tidaklah lestari bila masih berkumpul dengan orang banyak, kemesraan akan didapat dalam kesendirian dan hanya berdua-dua-an dengan kekasih tanpa adanya yang lain, oleh karenanya, tidak ada seorang wali atau nabi pun yang tidak mengalami kesendirian baik sebelum ataupun sesudahnya.

Kalau sudah minum air telaga
Malampun terjaga
Diterangi lentera yang terus menyala
Mencari diri yang ditelan dunia

Mata terpejam hati memandang
Beroleh cahaya yang gilang gemilang
Tenggelam di kedalaman samudera nan terang
Dada yang sesak pun menjadi lapang

Terisak-isak, menangis menanggung duka
Menyesali sayap-sayap yang lenyap terbakar dosa
Tinggalah suara kerinduan tanpa daya
Terus berdzikir sampai ‘aku’ lupa

Terombang-ambing ditelan waktu
Seperti orang tolol ditengah-tengah orang bisu
Sesekali kutinggalkan waktu, di belakang atau didepan mataku
Agar hati mampu selalu menghadap, Kepada Dzat yang tak tersentuh waktu

Khalwat adalah obat rasa duka
Diliputi oleh rahasia dalam rahasia-Nya
Perjalanan ini membuatku takjub akan ke Agungan-Nya
Yang terbuka satu persatu karena belas kasih-Nya

Imam Abul Qosim Al Junaid Al Bagdad (semoga Allah meridhoinya) berkata : ‘Barang siapa mengingingkan agamanya sehat dan raga serta jiwanya tentram, lebih baik ia memisahkan diri dari orang banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang memilih kesendiriannya.’

Imam Al-Qusyairy An-Naisabury (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan dan mampu melihat kekurangan dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.

Rabu, 05 Agustus 2009

PUASA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibakan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. 002 : 183)

Bulan Ramadhon hampir tiba, Rasulullah,saw., bersabda ‘bulan umatku.’ Para syaikh sufi menyebutnya ‘bulan suci’, ucapan ini tersirat sebuah perintah, agar memasuki bulan suci dengan mensucikan diri terlebih dahulu. Tidaklah mungkin kesucian bercampur dengan kekotoran, keduanya mustahil bisa bercampur, laksana air dengan minyak. Pastilah tertolak bila memasuki bulan suci dengan biasa-biasa saja, dengan tidak mempersiapkan sebaik-baik kesucian diri. Oleh karenanya ada hadits yang mengatakan bahwa sungguh beruntung orang-orang yang hatinya merasa gembira bila bulan Ramadhon tiba. Setelah Nisfu Sya’ban berlalu, dan lembaran baru ‘takdir’ manusia telah dihamparkan untuk satu tahun kedepan, maka barometer untuk melihat apakah lembaran takdir itu penuh dengan ‘kebajikan’, adalah menjalankan ibadat puasa dengan sebaik-baiknya, dengan kualitas yang tinggi. Ada kelompok yang pergi berziarah terlebih dahulu ke makam Rasulullah,saw., di Madinah al Munawaroh, lalu dilanjutkan dengan umroh, ini adalah sebaik-baik kelompok karena ‘takdir’ membawanya demikian. Ada pula yang berziarah ke makam para waliyullah, para ulama dan pemuka agama lainnya. Jika puasa hanya untuk menahan lapar dan haus saja, maka tidak ada bedanya dengan puasanya anak kecil, umur meningkat namun kualitas keruhanian merosot, dan ini tanda-tanda ‘kemunduran’ spiritual, al hasil tidak ada sedikitpun rasa malu kepada Allah SWT. Dan orang yang hatinya tidak pernah hinggap rasa malu kepada Allah SWT, jelas bahwa ia tidak sedikit pun mengenal-Nya, dan orang yang tidak mengenal-Nya berarti ia tersesat, meskipun ia merasa mulia karena banyaknya harta dan tingginya kedudukan di dunia fana ini.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata: ‘Tasawuf adalah puasa.’ Bukan berarti orang yang berpuasa sudah bertasawuf, akan tetapi hakikat puasa mewakili kehidupan bertasawuf. Berpantang dari dunia adalah inti berpuasa, dan keberpantangan mencakup semua pokok tasawuf, sesuatu yang halal diharamkan disiang hari, seluruh panca indra dijaga untuk melakukan tindakan-tindakan yang bermanfaat untuk akhirat, gerak gerik hati diteliti setiap saat agar tidak ada sesuatupun selain Allah SWT. Perbandingannya jelas satu dari dua belas bulan dipakainya untuk hijrah dari kehidupan biasa masuk kedalam kehidupan kesucian. Jika demikian, sangatlah beruntung para ahli dzikir yang melakukan keberpantangan pada setiap hari sampai matinya.

Berbeda orang yang lapar lalu menangis dengan orang yang menangis karena lapar. Yang pertama lapar yang diniatkan lalu dijadikan tiang mujahadahnya, agar ditemukan mata air kebijaksanaan, tiada yang tahu akan pahala ibadah seperti ini kecuali hanya Allah semata, ia menangis karena mendapatkan kunci akhirat (lapar) sedangkan yang kedua lapar yang tidak diniatkan dan tidak ada makanan sedikitpun untuk dimakannya, dia menangis karena tidak mendapatkan kunci dunia (makan) dan mengabdi kepada jiwa rendahnya yang menyuruhnya agar segera melepaskan syahwat untuk makan, ini tidak bermanfaat bagi olah batin dan tidak berpahala sama sekali. Manfaat lapar itu adalah milik orang yang berpantang dari makan, bukan orang yang dicegah dari makan, walaupun rasa lapar itu merupakan penyiksaan bagi badaniyah, ia mencahayai hati dan membersihkan jiwa, sedangkan makan banyak merupakan kebiasaan binatang.

Orang yang terus-menerus melakukan latihan ruhaninya dengan lapar, yang bertujuan mendapatkan ridha dari Allah SWT dan melepaskan diri dari ikatan duniawi derajatnya tidak sama dengan orang biasa. Kekotoran, kerusakan akhlak ini disebabkan karena manusia mengejar kesenangan-kesenangan. Masih ingatkah karena secuil makanan Nabiyullah Adam, a.s., jatuh kebumi.

Puasa telah diperintahkan kepada Nabi, saw beserta umatnya dan nabi-nabi terdahulu ini adalah perintah suci yang datang dari Yang Maha Suci dan diwajibkan pada bulan yang suci (Ramadhon). Puasa membuat manusia rendah hati dan mawas diri, sebaliknya ketika kenyang, manusia akan merasa angkuh dan sombong, sesungguhnya makhluk tidak mempunyai hak untuk itu. Itulah sebabnya puasa adalah ibadah yang paling utama. Rasulullah saw bersabda : “Segala sesuatu mempunyai pintu, dan pintunya ibadah adalah puasa.” Dan sabdanya lagi : ‘Jika umatku mengetahui keutamaan bulan Ramadhon maka mereka menghendaki setiap bulannya adalah bulan Ramadhon.’ Hubungan puasa dengan bulan suci Ramadhon laksana sebuah gudang yang berisi khasanah Rahmat, maghfirah, dan itqun minan-naar (kebebasan dari api neraka), dan pintunya adalah puasa. Semua khasanah yang tak terhingga nilainya itu disediakan oleh Allah SWT bagi manusia yang berpuasa. Janji Allah pasti ditetapi tidak seperti janji manusia, untuk itu pergunakanlah bulan yang penuh berkah ini dengan berpuasa sebaik-baiknya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) juga berkata di awal bulan Ramadhon : ‘Kita memasuki bulan keberpantangan kecuali satu hal, yaitu kepada fakir miskin, dekaplah mereka lalu berbagi rasa dan harta kepadanya.’ Didalam bulan Ramadhon juga ada kewajiban membayar zakat fitrah, ini menunjukan adanya pintu lain yang mempercepat sampainya kepada khasanah tadi, bayangkan zakat fitrah yang diterima oleh para fakir miskin lalu menggembirakan hati mereka, bias itu akan terpendar kepada sipembayar zakat, qolbunya akan semakin bercahaya, dan kebahagian akan terus menyelimuti jiwanya. Para sahabat Rasulullah saw., sangat memahami akan keutamaan berpuasa di bulan ramadhon, sehingga air mata mereka bercucuran tatkala berpisah dengan bulan yang teramat suci ini.

Tanpa berpuasa, mustahil, seseorang menjadi seorang pelaku ibadah yang tangguh, mengapa? Karena jiwa rendah tidak akan memperkenankannya. Pertama dia akan menyangkal, lalu keberatan dan menolaknya. Itulah betapa buruknya prilaku jiwa rendah. Dia adalah makhluk terburuk yang pernah diciptakan, gerakannya sangat halus, dia bisa menyelinap seolah-olah bersahabat dengan akal dan tanpa terasa menjerumuskan seseorang. Tujuan utamanya adalah menghalangi seseorang untuk menjadi hamba yang patuh dan taat. Allah SWT berfirman : ‘Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ (QS 12: 53).

Manusia zaman kini, mempunyai persepsi bahwa jiwa rendah adalah hamba yang patuh, ini bisa dilihat dari prilaku kehidupannya yang hanya digunakan untuk mengejar kesenangan, atau sama artinya dengan memberi makan jiwa rendahnya, tanpa adanya kesadaran bahwa jiwa rendah selalu menyangkal dan menolak untuk berpuasa, membayar zakat, shodaqoh dan shalat. Lihatlah di tv pada saat menjelang sahur, hampir semuanya mengumbar obrolan sia-sia dan banyak tawa, itulah golongan penghibur, yang hakikatnya adalah penghibur jiwa rendah dan ketahuilah bahwa penghibur jiwa rendah ini adalah golongan syaithon. Dunia ini ada karena ketidaksadaran mereka, karena mereka telah melupakan Tuhan, serta mengajak orang lain turut melupakan-Nya, hanya sekedar untuk mendapatkan uang receh. Bila mereka sadar dan kembali mengingat Tuhan, maka dunia ini akan lenyap. Semoga Allah SWT menunjukinya jalan yang benar. Lebih ironis, ada golongan atau sekelompok orang yang mengaku beriman dan beragama Islam, gencar mengikuti HAM (Hak Azazi Manusia), bahkan dinegri tercinta kita ini marak sekali bermunculan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengatas namakan HAM, yang berlandaskan kebebasan, bahkan seorang tokoh tatkala menjadi pejabat pemerintah, bersumpah tidak akan menerapkan syariat Islam, naudzubillah mindzalik ! Itulah pengakuan jiwa rendah, mereka tidak ingin berada di bawah kendali atau perintah siapa pun, mereka ingin benar-benar bebas. Itu artinya mereka berkata, “Engkau ya engkau dan aku ya aku, atau di sana Allah, dan aku di sini!.” HAM sesungguhnya sangat mulia sejauh berpagar pada hukum suci atau syariat Islam. Siapa sebenarnya kalian berani-beraninya membelakangi hukum suci?. Masih ingatkah bagaimana Abu Bakar as Siddiq,r.a., dan Umar bin Khatab, r.a., memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat dan murtad dari agama Islam ? apakah ini melanggar HAM ? pahamilah para sahabat !

Yang paling efektif untuk membuat jiwa rendah menjadi lemah adalah lapar. Seorang Syaikh berkata : ‘Ketika Allah menciptakan jiwa rendah, Dia bertanya, “Siapa kamu dan siapa Aku?” Jiwa rendah menjawab, “Engkau ya engkau, aku ya aku.” Dia tidak berkata, “Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu!” Kemudian Allah memerintahkan jiwa rendah untuk terjun ke dalam Api Neraka selama 1000 tahun. Setelah itu jiwa rendah ditanya dengan pertanyaan yang sama dan dia menjawab dengan jawaban yang sama. Dia lalu diperintahkan untuk masuk ke Neraka yang dingin selama 1000 tahun, lagi-lagi dia memberikan jawaban yang sama. Kemudian dia diperintahkan untuk pergi ke lembah kelaparan selama 1000 tahun. Ketika dia dikeluarkan dan ditanya, “Siapa Aku dan siapa dirimu?”, lalu jiwa rendah menjawab, “Engkau adalah Tuhanku, Tuhan yang Mahakuasa, dan aku adalah hamba-Mu yang lemah.” Dia menjawab dengan gemetar.’

Tak ada sesuatupun, kecuali lapar yang membuat jiwa rendah menyatakan penghambaannya. Puasa adalah sebaik-baik tameng untuk berperang, dan puasa adalah penjagaan terbaik dari serangan-serangan yang dasyat. Itulah sebabnya, sejak manusia pertama telah diperintah oleh-Nya untuk berpuasa. Perintah berpuasa itu dapat ditemui di dalam kitab Injil, Taurat, Zabur dan di dalam al Qur’an yang diturunkan oleh Allah SWT. Puasa yang paling ringan sesungguhnya diberikan kepada ummat Muhammad Saw., terkemudian. Karena, beberapa periode awal kenabian, para sahabat Rasulullah Saw hanya diperbolehkan membatalkan puasanya antara Maghrib dan ‘Isya, setelah ‘Isya mereka diperintahkan untuk berpuasa kembali, sehingga waktu berpuasanya selama dua puluh dua jam. Kemudian Allah SWT membuatnya lebih ringan, diperkenankan makan, minum dan mendatangi istri pada waktu malam hingga menjelang waktu subuh. Walaupun itu adalah puasa yang ter-ringan, banyak orang yang tidak melaksanakannya. Padahal puasa adalah pintu khasanah tadi dan adalah obat dari segala obat serta mempunyai pengaruh yang sangat baik terhadap tubuh dan jiwa seseorang. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengutip sebuah hadis riwayat Bukhari Muslim, yakni : ‘Al-shawm li wa-ana ajza bihi, Puasa adalah milik-Ku dan Aku yang paling berhak memberikan ganjarannya.’ Yakni, Puasa itu harus ditujukan untuk Allah semata baik lahir ataupun batinnya.

Hadrat Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyaband, (semoga Allah mensucikan ruhnya) berkata : ‘Sebenar-benar puasa adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah.’

Al Imam Abul Qosim al Junaidi (semoga Allah meridhoinya), mengatakan : ‘Puasa adalah separuh jalan.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Ada sesuatu didalam dirimu yang selalu meronta-ronta untuk segera dilaksanakan, ketahuilah bahwa itu adalah syahwat.’ Syahwat adalah kendali syaithon, biang keladi robohnya bangunan iman. Barangsiapa dapat dikendalikan, maka dialah budaknya. Oleh sebab itu, bukan golongan orang biasa yang mampu mengalahkan syahwatnya, latihan untuk mengekang syahwat yang paling jitu adalah puasa, diawali dengan menahan syahwat ingin makan dan minum, lalu melawan syahwat mengantuk yang mengajak segera tidur, kemudian syahwat mata bila mamandang lawan jenisnya, syahwat telinga yang ingin mendengar pergunjingan, syahwat hidung yang ingin segera melontarkan kekejian, dan syahwat mulut yang segera ingin berbicara bak orang yang terpandai. Lalu menahan syahwat dari cakap-cakap hati yang tidak berguna, dan hanya untuk Allah semata. Menahan syahwat bagi orang-orang yang bertasawuf dikenal dengan istilah mujahadah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Barang siapa seseorang melakukan mujahadah maka Allah akan membayarnya secara kontan.’

Syaikh Abu Sulaiman ad-Darany, r.a., mengatakan : ‘Bahwa meninggalkan sepotong daging diwaktu makan malam lebih aku sukai dari pada berdiri melakukan shalat sepanjang malam.’

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Dibolehkan membatalkan puasanya tatkala sedang melakukan safar, akan tetapi sebaik-baik puasa adalah dalam keadaan safar.’ Safar mempunyai arti lahir dan arti batin, keduanya berprinsip kepada riyadhah dan mujahadah, arti lahirnya adalah melakukan perjalanan dari suatu tempat menuju ketempat lain untuk tujuan mendapatkan manfaat batin, dibuatnya jasad ini letih sambil terus menerus berdzikir dan berharap mendapatkan musyahadah, sedangkan arti batinnya adalah berniat hijrah dari kehidupan biasa masuk kedalam kehidupan kesucian.

Para salik terbiasa melakukan puasa sunah disetiap hari Senin dan Kamis atau disetiap hari Selasa, Rabu dan Kamis. Jika Syaikhuna menawarkan teh atau sesuatu untuk dimakan maka sudah merupakan adab bahwa para salik akan membatalkan puasanya, dan duduk bersama Syaikh menemani dan mendengarkan wejangan yang bermanfaat bagi kehidupan hati. Hal ini juga biasa dilakukan oleh para sahabat Rasulullah, saw., Seorang Syaikh berkata : ‘Mengerjakan puasa selain dibulan Ramadhon adalah sunah sedangkan memuliakan tamu adalah wajib apalagi memuliakan seorang guru.’

Syaikh Abul Hasan al-Kharqani, r.a., berkata : ‘Jagalah keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa’. Ini memberikan pengertian bahwa jika seorang sahabat berkunjung atau bertamu sedangkan tuan rumah sedang berpuasa, maka ia harus duduk bersamanya dan makan bersamanya demi menjaga adab dalam persahabatan dengannya. Salah satu prinsip dalam berpuasa dan ibadah lainnya adalah menyembunyikannya dari penglihatan orang dan makhluk lain. Jika seseorang tetap berpuasa dan menyampaikan kepada sahabatnya bahwa ia sedang berpuasa, maka kebanggaan bisa menyelinap masuk ke dalam hati (riya) yang akan menghancurkan kualitas puasanya. Inilah alasan di balik prinsip tersebut.

Penasihat ruh adalah akal dan panglima hawa nafsu adalah jiwa rendah, sifat akal adalah cahaya (nuur) dan sifat jiwa rendah adalah kegelapan (dhulumaat), bilamana seseorang tidak mampu menahan makan sebanyak-banyaknya maka akan bertambah kuatlah jiwa rendahnya, semakin kelamlah kegelapan jiwanya, dan semakin kokohlah ikatan duniawinya, sedangkan bila seseorang berpantang dari makan (berpuasa) maka jiwa rendah menjadi lemah dan ikatan duniawai menjadi longgar, sehingga akal mendapatkan kekuatan (cahaya) dan rahasia-rahasia dan bukti Illahi menjadi tampak, dan setiap saat benaknya dipenuhi oleh perenungan tentang Tuhan. Ketahuilah para sahabat, bahwa puasa yang sempurna dikala seseorang menjalani khalwat, adab berkhalwat ini mencerminkan penghambaan yang sejati.

DOA NISFU SYA'BAN

Selasa, 04 Agustus 2009

15 SYA'BAN - NISFU SYA'BAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) biasa membuka Kholaqoh Dzikir dengan membaca shalawat Fatih dan shalawat Ibrahimiyah lalu dilanjutkan dengan melantunkan doa munajat dan membaca surat Al-Ikhlas. Kemudian beliau berkata : “Alhamdulillah wa syukru alaa nia’millah, dengan Kegagahan-Nya (Jalal) dengan Kemahakuasaan-Nya bahwa Allah SWT telah menunjuk orang-orang yang diinginkan-Nya, untuk memasuki kholaqoh dzikir, agar tersucikan, agar bertaubat, padahal mungkin dalam hati orang-orang yang ditunjuk itu, tidak berniat untuk bertaubat, tetapi jika Allah berkehendak digiringnya orang-orang masuk kedalam kholaqoh dzikir yang Nabi,saw., menyebutnya ‘Raudhah min riyadhil jannah, taman dari pada taman-taman surgawi,’ dan diberinya sebesar-besar pahala, diampuni segala dosanya, begitulah kekuasaan Allah yang harus kita sadari dan kita syukuri.” Setelah diam sejenak beliau melanjutkan : “Sebentar lagi akan tiba malam Nisfu Sya’ban, dianjurkan untuk memperbanyak peribadatan pada malam hari, khususnya masalah pensucian diri dan pengampunan dari dosa-dosa, lalu banyak melakukan sholat sunat, syukur kalau bisa mendirikan sholat tasbih, berdzikir dan membaca Al-Qur’an, lalu keesokan harinya berpuasa sunat. Setelah itu tidak ada lagi puasa sunat yang dianjurkan sampai memasuki Bulan Ramadhon, kecuali bagi yang mewiridkannya.”

Begitulah Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) membuka kholaqoh dzikir, yang didalamnya terdapat barokah-barokah yang tidak pernah habis, ‘ilmu pengetahuan’ dan keutamaan-keutamaan dari ‘dzikir bersama’, yang banyak hadits shahih meriwayatkan keunggulan berdzikir dibanding dengan ibadat lainnya, dan juga terdapat pada ayat suci Al-Qur’an : ‘Dan Sesungguhnya mengingat Allah (dzikir) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (QS 029 : 45) Itulah sebabnya kholaqoh dzikir menjadi sebaik-baik tempat untuk didatangi diatas bumi ini.

Malam Nisfu Sya’ban mempunyai keutamaan tersendiri, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Siti Aisyah,ra., yang menuturkan bahwa Rasulullah,saw., pernah berkata : ‘Pada malam nisfu Sya’ban Allah mengampuni orang-orang yang mohon ampunan dan merahmati mereka yang mohon rahmat, serta menangguhkan akibat kedengkian orang-orang yang dengki.’ Menurut sebuah riwayat bahwa doa Nisfu Sya’ban berasal dari Ibnu Mas’ud,ra., yang didalamnya terdapat permohonan dihapus atau ditetapkannya apa yang termaktub pada Lauh Mahfudz., lalu atas hal ini banyak kaum muslimin terjebak didalam perdebatan mengenai apakah suratan takdir atau sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah dapat terhapus. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Bersegeralah melakukan kebaikan, karena kebaikan akan mengganti keburukan-keburukan yang telah kita lakukan.’ Hal tersebut sesuai dengan firman allah SWT : ‘Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.’ (QS 011 : 114) ‘Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ (QS 025 : 70) ‘Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang Kamipun telah merasai penderitaan dan kesenangan", Maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.’ (QS 007 : 95)

Diriwayatkan bahwa pada malam Nisfu Sya’ban, diantara waktu Magrib dan Isya kaum muslimin terdahulu, melakukan shalat sunat awwabin sebanyak enam rakaat, lalu dilanjutkan dengan mendirikan shalat sunat Nisfu Sya’ban dua rakaat banyaknya, setelah itu membaca surat Yaa Siin tiga kali, baru kemudian memanjatkan doa Nisfu Sya’ban yang masyhur itu.

Memperhatikan wejangan Syaikhuna diatas, terdapat dua keadaan yang sangat jauh jaraknya, serta berbeda peruntukkannya, sebagaimana jauhnya jarak antara timur dan barat. Beliau menyebut orang-orang yang memasuki kholaqoh dzikir termasuk yang mulia dirinya sendiri, dengan : ‘Atas Kehendak Allah SWT’, sebaliknya bila menyebut pekerjaan malam Nisfu Sya’ban yang diperuntukkan bagi murid-muridnya, beliau menganjurkan agar para murid melakukan riyadhah dan mujahadah pada malam itu. Yang pertama, memperlihatkan kesempurnaan keadaan, yakni gugurnya upaya dan eksistensi diri, gugurnya pengakuan terhadap upayanya sendiri sehingga ia bisa sampai dan memasuki kholaqoh dzikir, meskipun didalamnya ada tindakan riyadhah dan mujahadah kecil, yakni adanya niat yang kuat, mengalahkan kemalasan, mengeluarkan pembiayaan, dan meninggalkan keluarga untuk sesaat, namun semua itu sirna, yang ada didalam rasa adalah karena kemurahan Tuhanlah, bukan karena upayanya, karena sifat Ar-Rahmaan dan bukan karena kemauannya maka ia sampai kedalam kholaqoh dzikir. Inilah ujung daripada maqom-maqom, inilah fana dari diri dan baqo bersama Tuhannya. Sedangkan yang kedua, adalah anjuran untuk melakukan peribadatan dimalam Nisfu Sya’ban ditujukan teruntuk murid-murid terkasihnya, karena beliau ingin memberikan penghargaan yang tinggi kepada murid-murid yang memasuki medan mujahadah, yang tentunya masih ada konflik didalam jiwanya dalam mempermasalahkan sebab-akibat.
Ada orang-orang yang berkat Kemurahan Allah SWT sampai pada ketaatan kepada-Nya dan ada pula kelompok lain yang berkat ketaatannya kepada Allah sampai kepada Kemurahan-Nya. Yang pertama sesuai dengan firman-Nya : ‘Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).’ (QS 042 : 13) Pertolongan Allah (taufik) datang secara tiba-tiba, padahal ia tidak memintanya dan amal-amalnya masih sedikit, serta tidak mempersiapkan diri. Akan tetapi, orang-orang yang mendapatkan karunia yang demikian sangatlah sedikit. Dan yang kedua sesuai dengan firman-Nya : ‘Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS 029 : 69) Pada awalnya, menapaki jalan tasawuf, kehendak bebas (free will) merupakan faktor utama, karena seorang murid masih mengalami konflik-konflik dalam dirinya. Pada tingkatan ini, nalurinya masih dominan dibandingkan dengan ruhaninya, sehingga pengaruh bisikan-bisikan naluri masih menguasai diri, hingga dalam dirinya masih muncul sifat-sifat individual. Sehingga peribadatannya diakui sebagai tindak upayanya sendiri, sesuai dengan firman Allah SWT : ‘Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.’ (QS 053 : 39) Jika seorang murid teguh menjalankan pekerjaan tarekatnya, khususnya pada dzikir jahr dan dzikir khofi pada latifatul qolbi, maka qolbinya akan aktif, qolbinya akan tercerahkan, apa-apa yang tidak terlihat oleh orang awam menjadi terlihat olehnya, beroleh kejelasan-kejelasan, sehingga akan melepaskan secara perlahan tapi pasti terhadap ikatan egonya (nafsnya) dan telah siap menerima limpahan sifat-sifat Ketuhanan. Sifat-sifat majmumah (sifat tercela) berganti dengan sifat-sifat mahmudah (sifat terpuji). Proses ini hanya dapat terwujud melalui usaha yang kuat, dibawah asuhan seorang Mursyid, seorang Syaikh. Yang pada akhirnya, sifat-sifat individualnya gugur, pengakuan terhadap upaya dengan kekuatan sendiri sirna, dan akan tumbuh rasa yang hakiki didalam hatinya bahwa segala sesuatu itu merupakan perbuatan Tuhan semata (tauhid af’al) tanpa adanya campur tangan (upaya) dari makhluk.

Nah, perbedaan pendapat mengenai doa Nisfu Sya’ban, apakah takdir bisa dirubah dengan sebuah doa dan sebaliknya, menjadi terjelaskan, semua tergantung dari pada keadaan ruhani seseorang, pada maqom apa ia berbusana. Sehingga tidak perlu mempermasalahkan lagi, dan dengan jujur dapat melihat keadaan dirinya sendiri, apakah masih 'merasakan'bahwa peribadatannya di-aku-i sebagai upayanya sendiri ataukah sebaliknya. Semoga Allah mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita semua, amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Senin, 03 Agustus 2009

MENDENGAR (SAMA) - NYANYIAN - MUSIK

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS 017 : 36)

Seorang salik terkejut melihat acara tv yang menampilkan nyanyian, musik dan tarian untuk memperingati mi’raj. Ada yang mengatakan bahwa 'agama’ sebagian besar kaum muda saat ini adalah Nyanian dan musik, terlihat mereka sangat patuh ketika mengikuti acaranya, apa yang diperintah oleh penyanyinya, maka seketika diikutinya. Lirik dan syairnya dihafal dan didendangkan terus menerus baik dari lisannya maupun hatinya, sebagaimana orang-orang yang beriman melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Bukankah modal utama suatu agama adalah kepatuhan? Allah SWT berfirman : “Dan (ingatlah), ketika aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: ‘Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku’. mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)". (QS 005 : 111) Mereka rela menunggu berjam-jam dan mengeluarkan uang guna menghadiri acara musik, mereka berjingkrak sambil meneriakkan yel-yel. Pakaian penyanyinya seronoh, sambil melenggak lenggokan badannya dan berjalan seperti unta. Bahkan, sang penyanyi berteriak, tahukah kalian hari apa ini? dijawab ‘mi’raj’! Pengikut mereka teramat banyak, semakin hari semakin bertambah jumlahnya, tidak luput wanita-wanita muda bahkan tua yang memakai jilbab, mereka pun larut dalam pesta musik ini. Sungguh ironis, mi’raj diperjuangkan dari mengekang syahwat dan jiwa rendah serta penafian terhadap eksistensinya, sedangkan dimasa kini, peringatannya justru mengumbar birahi. Seolah-olah mereka merasa telah berbakti kepada Tuhan dan mencintai Nabinya dengan cara yang demikian itu. Padahal sebaliknya, itulah kelompok yang menghormati Rajanya sambil mengepalkan tangan, itulah seruling-seruling syaithoon diatas dunia ini. Jika bermain musik, menyanyi dan menari dapat membersihkan jiwa, tentunya Rasulullah,saw., memerintahkan orang-orang yang beriman untuk melakukannya. Lalu apakah mendengar musik yang demikian itu diperbolehkan oleh agama?

Siapapun yang mendengarkan nyanyian dan musik akan memperoleh kesenangan, kecuali orang-orang yang rusak atau terganggu pancainderawinya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengatakan bahwa : ‘Mendengarkan alat-alat musik bisa diperbolehkan dan bisa juga dilarang, tergantung siapa penunggangnya, seperti Kanjeng Dalem Cikundul, disiang hari beliau meminta diperdengarkan musik cianjuran, begitu mendengarnya, dipakailah bunyi-bunyian itu untuk muroqobah kepada Tuhannya, lalu langit berubah menjadi gelap dan binatang-binatang malam pun bersuka cita, bernyanyi layaknya malam hari.’ Seperti juga yang dialami oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) disaat usia muda, tatkala beliau mendengar suara-suara hujan, hati beliau bergetar karena gembira, kegairahan menjadi semakin kuat, dan gelora ekstase tampak dan bentuk-bentuk eksistensi hilang, sehingga beliau keluar rumah dan melakukan sujud berulang-ulang meskipun dalam keadaan hujan deras dan tanah beliau pijak menjadi lumpur. Tetangga yang melihatnya (Ibu. Lubis namanya, dan setelah 30 tahun berselang, seorang salik berjumpa dengannya disaat berhaji, sambil jari telunjuknya diarahkan kepada Syaikh dan Ibu Lubis berkata ‘itu anakku!’) mengatakan bahwa ‘Cecep (nama Syaikh waktu muda)sudah gila’. Jadi bentuk tarian ataupun gerak gerik para syaikh dikala ekstase adalah gelora perasaan yang sangat kuat kepada Tuhannya, sama sekali bukanlah tarian dan gerak gerik biasa melainkan suatu peluruhan jiwa.

Jika mendengar untuk tujuan yang menyimpang dilarang, dan jika jiwa tidak menjadi buruk karenanya, diperbolehkan. Ada sebuah riwayat bahwa Aisyah,ra., berkata : ‘Seorang gadis budak sedang menyanyi dirumahku ketika Umar,ra., minta izin untuk masuk. Begitu mendengar langkah Umar,ra., gadis budak itu lari. Umar,ra., masuk dan Rasulullah,saw., tersenyum. ‘Ya Rasulullah,’ seru Umar,ra, ‘Apa gerangan yang membuatmu tersenyum?’ Rasul menjawab, ‘seorang gadis budak sedang menyanyi disini, tapi ia lari begitu mendengar langkah kakimu.’ ‘Aku tak akan meninggalkan rumah ini, sampai aku mendengar apa yang Rasul dengarkan,’ kata Umar,ra. Lalu Rasulullah,saw., menyuruh gadis itu agar kembali. Gadis itupun segera menyanyi lagi dan Rasulullah,saw., mendengarkannya. Syaikh Abdur Rahman Al-Sulami,ra., mengatakan bahwa : ‘Yang diinginkan kaum sufi dalam mendengarkan ialah untuk memperoleh manfaat-manfaat ruhani, tidak seperti orang awam. Kebebasan itu cocok bagi binatang, tapi manusia yang terkena kewajiban-kewajiban agama harus mencari manfaat ruhani dari tindakan-tindakan mereka.’ Imam al Hujwiri,ra., sedang berada di Merw, salah seorang pemuka hadis (Ustadz) mengatakan : ‘Aku telah menyusun sebuah karya mengenai dibolehkannya mendengarkan (sama).’ Beliau menjawab : ‘Suatu bencana besar bagi agama jika Ustadz menghalalkan suatu hiburan yang menjadi akar bagi semua kerusakan akhlak.’ Lalu sang ustadz bertanya : ‘Jika engkau tidak menghalalkannya, mengapa engkau melakukannya?’ Beliau menjawab : ‘Kehalalannya tergantung pada keadaan-keadaan. Tidak bisa dinyatakan secara mutlak. Jika mendengar musik menghasilkan pengaruh yang baik pada jiwa, maka itu halal. Diharamkan jika pengaruhnya tidak baik.’

Satu-satunya perintah untuk semua orang dan jin, baik yang beriman ataupun kafir adalah mendengarkan Kalam Allah. Karena Al-Qur’an mempunyai kualitas yang menakjubkan sehingga orang tidak pernah bosan membaca dan mendengarnya. Sehingga orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an akan memperoleh manfaat bagi kalbu, pikiran dan kenikmatan bagi telinganya. Allah SWT berfirman : ‘Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.’ (QS 007 : 204). Sebagaimana orang-orang Qurasy yang kagum terhadap bacaan shalat yang dilakukan oleh Rasulullah,saw., yang mereka dengar secara sembunyi-sembunyi dimalam hari. Bahkan Utbah pingsan ketika mendengar Rasul membaca sebuah surat Al-Qur’an, dan berkata kepada Abu Jahl : ‘Aku yakin bahwa ini semua bukanlah kata-kata makhluk.’ Para Jin juga datang dan mendengarkan Kalam Allah dan berkata : ‘Sesungguhnya kami mendengarkan suatu bacaan yang mengaggumkan, yang menunjuki kejalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya, dan kami tidak akan mempersekutukan apa pun dengan Tuhan kami.’ (QS 072 : 1-2) Diriwayatkan bahwa Imam Sybli,ra., mengatakan, setelah mendengar ayat : ‘Dan ingat kepada Tuhanmu apabila engkau lupa’ (QS 018 : 24) Ingat kepada Allah membuat lupa kepada diri sendiri dan seluruh dunia berhenti ketika mengingat-Nya. Kemudian ia berteriak dan jatuh tak sadarkan diri. Zurarah bin Abi Awfa,ra., salah seorang sahabat terkemuka Rasul, selagi ia memimpin shalat berjamaah, membaca salah satu ayat Al-Qur’an dengan keras, lalu meninggal dunia. Ahmad bin Abil Hawari,ra., meriwayatkan kisah berikut ini : Aku melihat seorang pemuda di padang pasir, memakai jubah kasar, berdiri dimulut oase. Ia berkata kepadaku : ‘Wahai Ahmad, engkau datang pada saat yang baik, karena aku perlu mendengarkan Al-Qur’an, agar aku bisa melepaskan jiwaku. Bacalah satu ayat kepadaku.’ Tuhan mendorongku untuk membaca : ‘Sesungguhnya, orang-orang yang mengatakan,’Allah adalah Tuhan kami, dan kemudian meneguhkan pendirian mereka.’ (QS 041 : 30). ’Wahai Ahmad,’ katanya, ‘demi Tuhannya Ka’bah, engkau telah membaca aya yang sama seperti yang malaikat bacakan kepadaku baru saja,’ dan setelah berkata-kata begini, lepaslah jiwanya. Abu Ja’far Juhani,ra., seorang tabi’in terpandang, ketika mendengar ayat yang dibacakan Shalih Murri,ra., kepadanya, menangis keras dan lalu meninggal dunia. Ibrahim Nakha’i,ra., meriwayatkan bahwa selagi ia melewati sebuah kampung di Kufah, ia melihat seorang wanita tua sedang shalat, karena tampak nyata tanda-tanda kesucian pada wajahnya, dia menunggu sampai wanita tua itu selesai shalat. Kemudian ia memberi salam kepadanya agar memperoleh berkahnya. Wanita tua itu berkata kepadanya : ‘Tahukah engkau Al-Qur’an?’ Dia menjawab : ‘Ya.’ Perempuan tua itu mengatakan : ‘Bacakan satu ayat.’ Dia pun membacanya. Perempuan tua itu pun menjerit mendengar Al-Qur’an dibaca dan mengantarkan jiwanya untuk melihat Tuhan.

Selepas shalat magrib, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada murid-muridnya : ‘Semua sepakat bahwa bacaan Ustadz Marwan sebagai Imam shalat hari ini sangatlah indah, akan tetapi barang siapa hanyut dalam mendengarnya maka shalatnya sampai kepada sang Imam, begitu pula sang Imam bila hatinya mengharapkan pujian dari makmum atas keindahan suaranya, maka shalatnya hanya sampai ke makmum bukan kepada Allah SWT.’ Para murid yang mendengarnya tertunduk sedih, meratapi keadaannya, teramat sulit memang untuk mencapai shalat yang ‘khusyu’, meskipun mendengarkan ayat-ayat suci itu pun sudah merupakan kebaikan. Mendengar bacaan sang Imam bisa membuat salik terpecah kosentrasinya, terkadang tertuju kepada Allah SWT dan terkadang tertuju kepada bacaan sang Imam, dilain pihak pengaruh baik dalam mendengar bacaan shalat adalah ‘menunggangi’ suara itu untuk terbang mendekati Allah SWT, namun keadaan ini hanya dimiliki oleh para syaikh saja. Sehingga genaplah pelaksanaan mendirikan shalat guna mengingat Allah SWT, yakni : ‘Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.’ (QS 020 : 14)

Sebagaimana pengaruh baik dalam mendengarkan Kalam Allah, maka ada pula pengaruh buruk dalam mendengar nyanyian dan musik. Bahkan seseorang setelah mengambil air wudlu pun masih sempat-sempatnya mendendangkan lagu-lagu disaat menuju keruang shalatnya. Ini sebuah bukti bahwa nyanyian dan musik itu melekat kepada jiwa, karena memang jiwa sangat senang terhadap hal ini, dan dijadikannya nyanyian dan musik itu sebagai ornamen-ornamen bangunan istana jiwanya dan di pihak lain tanpa disadarinya qolbu menjadi gelap karenanya. Itulah kehebatan indera pendengaran, karena yang pertama kali dilakukan oleh manusia, sebelum maupun sesudah dilahirkan di atas dunia ini adalah ‘mendengar’, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS 007 : 172) Untuk menghilangkan ornamen-ornamen buruk yang melekat pada jiwa dan mengotori qalbu, maka Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata sebelum melakukan dzikir jahr dengan suara yang keras, bahwa : ‘Allah Maha Mendengar, Dia tidak butuh suara keras ataupun lembut dari manusia, akan tetapi hati ini yang sudah kadung tuli, oleh karenanya dilakukan dzikir Jahr, dzikir dengan suara keras agar hati ini menjadi bersih dan mampu mendengar ke-esa-an Tuhannya, ‘Laa Ilahaa Illallaah’.

Mendengarkan nyanyian dan musik membuat jiwa bergelora, menjadi benar (haqq) jika keadaan jiwa seseorang telah mencapai ‘ketenangan’, jiwa yang tenang ‘muthmainah’, karena semua yang didengar adalah makna ruhainya dan menjadi palsu (bathil) jika keadaan jiwa seseorang masih menyerupai binatang, jiwa yang mengajak kepada kejahatan (nafsul imarah) dan jiwa yang menyesali dirinya sendiri (nafsul lawamah), karena yang didengar adalah makna materialnya saja. Sehingga untuk kehidupan ruhani dan karena keadaan jiwa kita masih buruk, maka yang dicari dalam mendengar adalah bukan suara-suaranya melainkan pemilik suaranya. Jika suara itu berasal dari manusia kebanyakan maka tinggalkan saja, karena subtansi yang buruk akan menjadi buruk pula bagi yang mendengarnya, dan jika suara itu keluar dari mulut seorang Syaikh yang diberkahi maka dengarkan dan simaklah, karena akan mencahayai keruhanian. Hal tersebut tercermin dalam kisah nabiyullah Dawud,as., yang telah dikaruniai suara dan tenggorokan menjadi seruling yang merdu, sehingga semua binatang ternak, binatang liar berdatangan untuk mendengarkannya, serta air berhenti mengalir dan burung-burung yang terbang berjatuhan. Orang-orang yang berkumpul disekitarnya dipadang pasir tidak makan apa-apa selama sebulan. Para bayi berhenti menangis dan menyusu. Banyak orang yang mati disebabkan perasaannya terhanyut, jumlah yang mati pernah mencapai tujuh ratus orang gadis dan dua belas ribu orang tua. Kemudian Allah SWT memperkenankan iblis melakukan tipu muslihat dengan memperagakan mandolin dan seruling serta mengambil tempat berhadapan dengan tempat dimana nabi Dawud,as., sedang menyanyi. Pendengar suara nabi Dawud,as., lalu terbagi menjadi dua golongan, orang yang diberi rahmat dan orang yang dilaknat. Orang-orang yang dilaknat mendengarkan musik iblis dan sementara orang-orang yang menerima kebahagiaan tetap mendengarkan suara nabi Dawud,as.
Imam Sybli,ra., berkata : ‘Mendengar itu secara lahiriyah adalah godaan (fitnah) dan secara batiniah pelajaran (ibarat). Ia yang mengenal tanda mistikus (isyarat) boleh mendengarkan pelajaran itu. Jiak tidak, ia mengundang godaan dan membiarkan dirinya terkena bencana,’ Artinya bahwa mendengar itu bersifat merusak dan sumber keburukan bagi seseorang yang segenap hatinya tidak tenggelam dalam tafakur tentang Tuhan.

Karena manfaat ruhani dalam mendengar nyanyian dan musik hanya bisa dilakukan oleh para Syaikh, maka dengan mengharapkan pertolongan dari Allah SWT kita wajib menghindarinya. Rasulullah,saw., pernah mengecam Syirin, budak perempuan Hasan bin Tsabit, Beliau melarangnya menyanyi. Umar bin Khatab,ra., juga mengecam sahabat-sahabat yang yang biasa mendengarkan musik. Sayyidina Ali bin Abi Thalib,ra., pernah menegur Muawiyah karena memelihara gadis-gadis penyanyi. Juga beliau tidak memperkenankan putranya Sayyidina Hasan,ra., melihat wanita Habsyah (Etiopia) yang biasa menyanyi. Sayyidina Ali,ra., menyebutnya ‘teman setan’. Seorang Syaikh melarang murid-muridnya untuk mendengarkan nyanyian dan musik serta mengisahkan : ‘Suatu malam seseorang datang ketempat penyepianku dan mengatakan bahwa sejumlah pendamba Tuhan ingin bertemu denganku. Aku pergi bersamanya dan tak lama kemudian tiba di tempat sejumlah pendamba Tuhan itu. Mereka menerimaku dengan penghormatan yang luar biasa. Seorang laki-laki tua, yang mereka kelilingi berkata kepadaku : ‘Dengan perkenanmu, akan kubacakan puisi’. Aku setuju. Lalu salah seorang dari mereka mulai menyanyikan bait-bait puisi tentang masalah keterpisahan dari sang kekasih. Mereka semua bangkit dalam ekstasi, melontarkan pekik-pekik melodius dan membuat isyarat-isyarat yang amat menarik, sementara aku terpesona pada tingkah laku mereka. Mereka terus melakukannya dengan penuh semangat hingga menjelang fajar. Kemudian laki-laki tua itu berkata : ‘wahai Syaikh, apakah engkau tidak ingin mengetahui siapakah aku dan sahabat-sahabatku ini? Aku menjawab bahwa penghormatanku yang kurasakan terhadapnya mencegahku dari menanyakan persoalan itu. Orang tua itu berkata : ‘Aku sendiri, dulu adalah Azra’il dan sekarang Iblis, dan yang lainnya itu adalah anak-anakku. Kupetik dua keuntungan dari pertunjukkan-pertunjukkan semacam itu, pertama, aku meratapi keterpisahanku dari Tuhan dan mengenang hari-hari kemujuaranku, dan kedua, aku telah menyesatkan orang-orang suci dan mencampakkan mereka kedalam lembah kekeliruan.’