Minggu, 08 Agustus 2021

DOA DAN HIJAB

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang selalu memancarkan cahaya-Nya kepada manusia untuk menyaksikan perkenalan-Nya dengan cara yang sangat misterius. Sehingga tidak semua manusia mampu menterjemahkan hikmah yang terkandung dibalik bentuk perbuatan-Nya. Sesungguhnya Allah menghendaki bahwa manusia mesti menyaksikan bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah jelmaan dari kehendak (irodah) Allah. Sehingga manusia tidak merasa ada atau turut campur dalam mengurus kehidupan ini. Ilustrasi cahaya Allah itu seperti matahari yang menyinari segala seuatu di bumi ini, namun kita tidak membuka pintu dan jendela rumah ruhani kita, sehingga cahaya ini tidak masuk, yang menyebabkan didalam rumah ruhani kita selalu gelap dan tidak dapat membaca hikmah-hikmah kehidupan ini. Seperti kebanyakan manusia selalu melantukan doa akan tetapi yang terjadi adalah tertangguhnya waktu pengkabulan atas doa yang telah dipanjatkan, lalu berputus asa. Orang berdoa mengharapkan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya, ada yang meminta diperolehnya harta benda dan ada pula yang memohon diperolehnya akhlak yang mulia atau nurullah atau sifat-sifat mulia Allah.

Manusia melakukan sholat, puasa, zakat dan haji bisa meniru orang lain, dan begitupun kita sejak kecil melakukannya dengan meniru, akan tetapi apakah bisa meniru sabar, ridho, khusyuk, wara dan kemudian tawakal? Jawabnya tidak bisa, padahal hal ini pun dituntut atau diperintahkan juga didalam Al Qur’an. Ini membuktikan bahwa Al Qur’an adalah pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyah) bagi manusia. Yang berarti bahwa kehidupan kita ini sejak kecil hingga mati sesungguhnya adalah tarbiyah dari Allah, namun kita ingin hidup sesuai dengan apa yang kita ingini bukan apa yang dinginkan Allah. Kita beri makan jasmani kita agar sehat namun kita diamkan ruhani kita atau kita tidak siapkan untuk dapat menerima pancaran cahaya dari Allah.

Manusia menghadapi musibah tetapi tidak mampu bersabar, meskipun sudah banyak sholat, puasa, zakat, dzikir, mujahadah, bergaul dengan ulama, katakan sudah masuk kelompok pengajian selama lima belas tahun, tetapi belum mampu bersabar juga. Orang tidak sabar berarti tidak punya sifat sabar, tidak ridho berarti tidak punya sifat ridho, pelit berarti tidak punya sifat dermawan, karena seperti mata tidak harus disuruh melihat otomatis akan melihat, karena mata mempunyai sifat melihat, begitu pula telinga yang mempunyai sifat mendengar maka otomatis akan mendengar tidak perlu disuruh. Maka apabila manusia mempunyai sifat sabar maka jika ditimpa musibah akan otomatis sabar dan tidak bertingkah yang aneh, tidak marah-marah tidak keluar dari mulutnya caci maki, melainkan hadir pemahaman bahwa musibah ini adalah perbuatan Allah dan merupakan ujian baginya. Penyakit buruk akhlaq itu berbeda dengan penyakit phisik, obatnya adalah tauhid, Allah, syuhud, tidak ada yang lain. Orang yang punya sifat sabar maka dijanjikan oleh Allah tanpa hisab, artinya tanpa mengikuti proses yang panjang di yaumil akhir.

Ditangguhkannya pengabulan doa agar manusia itu merengek, memohon, menangis itu disebut ilhah dan Allah menyenangi-Nya, dalam hadist Rasulullah,saw menjelaskan bahwa Allah ingin mendengar dari hambanya bahwa dirinya merasa perlu Allah, itu yang Allah inginkan, karena Allah berfirman dalam Al Qur’an : ”Antum al-fuqara ilallah, Kamulah yang memerlukan Allah,” (QS 35 : 15) bahwasanya Allah ingin mendengar suara hambanya dalam meminta dan jangan putus asa atas tertundanya dipenuhinya doa, Allah berfirman : “Ud’uni astajib lakum, berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan.” (QS Al Ghafir : 60) Artinya tidak ada doa yang tidak dikabulkan, jika tidak, maka kita akan keluar dari kaidah aqidah bahwa Allah selalu menepati janji, karena yang menakdirkan doa adalah Allah. Orang tertimpa musibah lalu lahirlah keperluan, itu Allah yang buat agar hamba itu sendiri merasakan perlu kepada Allah, dan sesungguhnya Allah pasti mengabulkan-Nya, akan tetapi pengkabulannya ikut kehendak Allah bukan ikut kehendak kita, karena kita tidak tahu kemaslahatan kita yang sebenarnya itu, kapan dan apa, itu yang terkadang Allah ingin mengajarkan bahwa apa yang terjadi itu yang terbaik.

Sesuatu yang datang bukan dari keinginan kita itu dari Allah, padahal semua dari Allah, yang dimaksud bahwa kekuatan itu ada pada Allah, jika kamu pasrah kepada kehendak-Nya, maka beratnya pun Allah akan menangani, tetapi pada apa yang Allah pilihkan untukmu, bukan apa yang engkau pilihkan untuk dirimu, jadi jangan keluar dari apa yang terjadi pada diri kita, karena mungkin tidak terkabulkannya keinginan kita adalah yang terbaik, artinya mungkin saja kegagalan itu yang terbaik. Atau dalam istilah lain berarti di hijab justru itu lebih baik, ini kalau kita maknakan kepada makna tarbiyah ruhiyah, bahwa ditangguhnya waktu pemberian yang kita ingini, karena kita sudah melakukan ilhah dalam doa dan sebagainya, tidak membuat kita putus asa, karena Allah pasti menjamin, ijabah, pengkabulan doa itu, namun pada apa yang Allah kehendaki, artinya ketika Allah tidak menghendaki kita masih di hijab lagi, maka itu yang terbaik agar kita terus berusaha sungguh-sungguh dalam beramal, dan dawam. Coba bagaimana orang mau disingkapkan hijab tetapi dia belum takut kepada Allah, karena banyak peristiwa manakala seseorang disingkapkan hijab tetapi belum mempunyai rasa takut kepada Allah, maka akan menjadi dukun atau pengaku-ngaku nabi atau wali. Maka kita betul-betul harus terus berusaha mengikut kehendak-Nya, Allah berfirman dalam Al Qur’an : “Wa 'asā an takrahụ syai`an wa huwa khairul lakum, wa 'asā an tuḥibbụ syai`an wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya'lamu wa antum lā ta'lamụn, Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah : 216) Artinya kita tidak tahu bahwasanya belum diijabahnya doa itu boleh jadi kebaikan, karena orang yang akan disingkapkan hijab adalah merupakan pemberian yang luar biasa ‘atho azim’ pemberian yang agung, mesti di terima oleh jiwa yang memang siap, oleh sebab itu Allah ingin siapkan kita untuk menerima yang agung, yang besar. Kapan dikabulkannya doa itu adalah Allah yang memilih bukan kita, berapanya, apanya, waktunya itupun Allah yang memilih, begitulah cara Allah mempersaksikan diri-Nya kepada kita atau dapat dikatakan begitulah cara mengenal Allah.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

PUJIAN

Bismillaahir Rahmanirr Rahiim

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menjadikan semua makhluk memuji-Nya, ada yang benar-benar memuji yaitu memuji dengan segenap ruhaninya dan ada yang hanya memuji dengan ucapan lahirnya saja, keduanya tidak ada bedanya jika dilihat dari tampilan jahirnya, padahal perbedaannya seperti jarak timur dan barat. Oleh karena itu memandang orang hanya dari tampilan lahirnya saja dapat terperdaya. Orang memuji disebabkan apa yang mereka sangkakan yang ada pada diri kita, orang yang menyangka kita sholeh mereka akan memuji kita orang sholeh, orang yang menyangka kita dermawan akan mengatakan kita orang baik, sebaliknya orang yang menyangka kita buruk akan menghina kita, orang yang meminta tidak kita beri akan mengatakan kita kikir, jadi persoalannya kita ini orang baik atau buruk? Oleh karenanya jika ada orang memuji jangan lantas tinggi hati dan begitu pula sebaliknya jika ada orang yang membenci lantas jangan balas membecinya.

Jika ada orang memuji kita, maka ternyata yang mulia adalah orang memuji dan bukan kita, karena orang yang memberi itu pastilah punya sesuatu apa yang ingin diberikan dan orang yang tidak punya bagaimana dia mau memberi, dalam hal ini orang itu punya kemuliaan, itu sebab dia memberi kemuliaan dengan memuji orang lain. Cobalah berbaur kepada orang yang tidak punya sifat mulia atau yang sifatnya buruk, maka orang itu akan memburukkan orang, karena yang dia punya keburukan maka yang dia bisa berikan kepada orang lain adalah keburukan pula, bagaimana dia mau memberi kebaikan wong dia tidak punya. Jika Allah membuka apa-apa yang ada didalam diri kita, maka orang akan menghindar, karena keburukan kita sebesar langit dan kebaikan kita hanya sebesar biji sawi. Oleh karena itu, Allah menutup keburukan kita dengan cinta dan hormat-Nya agar orang lain mau berdekat dengan kita. Sekali-kali tanyakan kepada diri kita masing-masing, kenapa ada orang yang benci kepada kita tetapi dilain pihak ada orang lain yang suka sama kita, nah kita ini objek yang dibenci atau yang disukai, dan hal ini terus terjadi selama kita hidup di dunia ini. Ternyata orang itu adalah cermin kita, kalau kitanya baik orang itu baik pula kepada kita, maka kalau ada orang melihat kita lalu merengut itu berarti kita kurang berlaku baik kepadanya, maka rubahlah perlakuan kita kepadanya dan jangan menuntut orang agar merubah perilakunya kepada kita. Maka para sufi mengatakan jangan mencaci orang lain tetapi cacilah dirimu sendiri, karena kita tahu apa yang ada pada diri kita dan kita tidak tahu apa yang ada pada diri orang lain.

Banyak orang jatuh karena pujian dari orang lain, hal itu disebut maghrur, terpedaya oleh perkataan orang, apalagi kalau sampai di aku pujian itu padahal dirinya tidak punya. Hati-hati, begitu dipuji orang dan jika pujian itu tidak ada pada diri kita sendiri, atau dihina orang padahal tidak ada pada diri kita, maka kedua-duanya adalah ujian dari Allah, maka Nabi,saw pernah mengatakan begini ‘lemparkan debu ke muka orang yang memuji,’ artinya ketika ada orang memuji, kita jangan sombong segera lihat kepada diri, kalau memang ada sebagaimana apa yang disangkakan, lantas pujilah Allah, karena semua akhlak mulia itu adalah jelmaan sifat-sifat Allah kepada kita, misalnya sifat sabar, syukur, dermawan, tawakal, wara, ridho dan lain sebagainya, disebut sifatul Jamal. Tanda bahwa orang itu memperoleh akhlak yang mulia, akan selalu merasakan keagungan Allah dan bukan keagungan dirinya, kewujudan Allah dan ketiadaan dirinya, keindahan Allah dan kehinaan dirinya, kebesaran Allah dan kekerdilan dirinya, jika seorang ulama mengaku mempunyai akhlak mulia tetapi sombong itu pengaku-ngaku, tinggalkanlah dia.

Maka jadilah kamu pencaci dirimu, ini kan perintah, memang mula-mulanya kita mesti melatih diri. Ketika kita mendapat musibah, kita ingin sabar tetapi tidak bisa, oleh karenanya kita ingin mempunyai sifat sabar tetapi tidak punya, jika tidak dapat, lalu bagaimana mau menyabarin, meskipun kita mengetahui bahwa setiap ada musibah Allah menyuruh sabar, sebagaimana dalam Al Qur’an : “Yā ayyuhallażīna āmanuṣbirụ wa ṣābirụ wa rābiṭụ, wattaqullāha la'allakum tufliḥụn, Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung." (QS Ali Imran: 200) Ayat tersebut menyuruh kita sabar dan sabarilah, bertahanlah, nah maka cobaan atau musibah itu adalah bentuk tarbiyah dari Allah kepada kita agar mempunyai peluang mendapatkan sifat sabar. Faktanya untuk sabar itu teramat sulit, misalnya fitnah yang menimpa kita, atau cacian dan hinaan, maka suasana jiwa lantas berubah, jantung berdetak keras, mata dan telinga pun berubah, persis seperti proses kimia, maka ada istilah pegangan apa pun bisa patah saking menahan amarah. Sayyidatuna Aisyah,ra disaat diliputi rasa cemburu berkata bahkan telor ditangan pun bisa matang, tatkala Nabi,saw memuji-muji Sayyidatuna Khodijah,ra dihadapannya. Karena hakikatnya, kita itu tidak ada, karena kita ini mungkin dan karena kita ini ilusi atau katakan kita hanyalah majla Allah, maka sifat-sifat mulia atau akhakul karimah adalah hak Allah untuk memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki, inilah pendidikan tauhid dan sebetulnya aqidah, tauhid dengan akhlak itu serupa meskipun tidak sama.

Orang kalau sudah beriman bertauhid kepada Allah kalau dipuji dia malu, karena sesungguhnya sifat Allah Yang dipuji, ya Allah sifat yang Engkau berikan kepadaku dia memujinya, padahal saya tidak punya apa-apa, begitulah bahasa jiwanya yang otomatis keluar. Nah itulah sifat seorang mukmin, mukmin di sini adalah mukmin yang Hakiki, mukmin yang kamil. Seumpama kita diberi perintah oleh raja untuk membagi-bagi sandang dan pangan, lalu kita membaginya maka yang dipuji kita padahal dari sang raja. Kita mengetahui itu bukan punya kita, maka kita tidak akan mengaku, seharusnya seperti itu. Sedangkan para wali ketika dia mempunyai sifat baik lantas dia berbuat baik, dia menyadari betul bahwa itu sifat Allah, artinya orang itu selalu bersama Allah, kalau orang selalu bersama Allah bagaimana mau mengaku dirinya kecuali Allah.

Para Aulia Allah itu ingat Allah terus menerus tidak terputus, kenapa? Karena baginya durasi ingat didunia ini itu cuma satu detik, karena pemahamannya tentang kehidupan ini seperti film, bahwa cerita film dilayar itu berasal dari jutaan klise yang diputar oleh proyektor, baginya durasi hidup itu seperti satu klise, begitu proyektor dihidupkan maka klise-klise itu akan berputar menjadi film kehidupan. Itu sebab dia selalu ingat, karena di dunia ini waktunya tidak panjang. Contohnya begini orang sholat dari takbir sampai salam, mustahil bagi orang biasa mampu mengingat Allah, karena orang yang memang tidak biasa dzikir tidak ingat maksudnya bukan dzikir ucapan, maka dia tidak dapat membayangkan bagaimana shalat dalam keadaan terus menerus mengingat Allah, itu tidak akan terbayangkan yang memang bukan ahli dzikir, tetapi jangan berprasangka bahwa jika tidak bisa melakukan maka hal itu tidak ada, ini menyalahi aqidah. Itu sebab kata orang sufi kalau aku lupa kepada Allah rasanya kafir, kenapa karena dosa melanggar syariah akan diampuni oleh Allah, tetapi jika dosa karena tidak ingat kepada Allah itu tidak ada ampunannya, pahami hal ini dan jangan salah paham. Karena ingat itu Allah yang memberi dan kalau Allah tidak memberi ‘ingat’ dimana mencarinya, gantinya apa, karena detik berikutnya adalah ingat untuk hak waktu itu, jika shalat karena ketiduran dan terlewat maka kita bisa ganti di waktu lain, tetapi kalau ingat bagaimana, seperti tertinggal kereta yang tidak ada kereta selanjutnya, karena ingat itu hak waktu, itu sebab dikatakan sufi ibn waqt (putra waktu), dia bisa ingat sepanjang-panjangnya, dia hanya ingat kepada Allah. Di jawa tengah ada istilah yang penting ingat, sebenarnya ini bukan agama eling, yang penting eling tapi tidak shalat, tidak puasa, bukan seperti itu, tetapi itu hakikat ibadah. Mereka ingat 24 jam atau selama dia tidak tidur, dia ingat terus sampai dia tidak terucap dalam bibirnya dzikir, orang kalau sudah cinta tidak lagi menyebut namanya, tetapi otomatis ingat, makanya kata mereka bagaimana aku mengingatmu sedangkan aku tidak pernah lupa kepadamu. Adapun yang kita lakukan dengan menyebut ismudzat Allah Allah atau kalimat thoyibah laa ilahaa illallaah itu sedang merapikan pikiran, melatih konsentrasi agar tidak melantur kemana-mana, karena hati memang senang ngelantur kemana-mana meskipun sedang mengucap. Maka ketika dipuji dia tidak menyaksikan bawa itu punya dia, karena dia punya Allah. Sama juga orang tadi yang bagi-bagi duit, rajanya datang mendapinginya, orang kan tidak kenal dengan rajanya yang dikenal kan dia, yang dipuji-puji dia, yang diangkat-angkat dia, rajanya dibiarkan saja, coba bayangkan hal ini jika menimpa kita, seketika kita akan malu dan mengatakan bukan aku, bukan aku, bukan aku, begitulah perasaan para Aulia ketika dipuji, itulah adab yang tinggi, inilah yang ingin di bentuk oleh tasawuf di dalam diri umat Islam agar menjadi hamba Allah bukan menjadi Tuhan.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

INSAN KAMIL

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali.” (QS 2 : 156)

Ayat Al Qur’an diatas selalu disebut oleh umat sebagai ungkapan duka atas kehilangan yang dicintainya, akan tetapi sedikit sekali yang mengetahui makna dan memetik hikmahnya. Sesungguhnya ayat ini bukan saja kalimat berita melainkan perintah, kita diingatkan bahwa kepada Allah jugalah kita akan kembali. Dikatakan ‘kembali’ bilamana diketahui asal mulanya, bila tidak, ingin kembali kemana? Sebagai contoh, kita berangkat mendaki gunung Pangrango melalui Cibodas, kita mengetahui Cibodas karena sering berada disana, maka disaat kita sudah berada dipuncak gunung atau ditempat yang dituju ataupun tersasar maka akan dikatakan kembali. Artinya bahwa kembali ketempat yang sudah betul-betul diketahuinya. Oleh sebab itu ayat diatas seolah-olah mengharuskan manusia mengetahui atau mengenal Allah sebagai yang dituju untuk kembali. Akan tetapi kebanyakan manusia merasa cukup mengucap saja tanpa memahami maknanya apalagi berusaha untuk mengenal-Nya, jadilah ayat ini sebagai kebiasaan untuk menyatakan turut berduka atau sebagai cerminan budaya saja. Padahal jika diselami maknanya akan membuat gemetar dan sulit memejamkan mata, karena kita tidak mengetahui dan mengenal jalan kembali disamping usia kita yang sudah tergolong tua, ironisnya kita biasa-biasa saja seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi, jika keadaannya seperti ini, lalu jika sewaktu-waktu ruh kita dicabut dan meninggalkan jasad, ingin kembali kemana? Sesungguhnya Allah hanya bisa dikenali dengan ilmu bukan jahl dan hanyalah insanul kamil yang mengetahui jalan pulang dan tempat kembali.

Sedikit sekali ulama sufi yang mau menjelaskan pengalaman ruhaninya kedalam bahasa yang mudah dipahami oleh akal manusia. Khawatir disalah pahami dan menimbulkan fitnah, karena pengalaman ruhani tidak memerlukan bahasa melainkan rasa. Salah satunya adalah Imam Ibnu Arabi, qs, yang mengalami kasyaf atau syuhud atau penyaksian akan ketunggalan Tuhan. Belum ada seorang ulama pun seperti beliau yang begitu banyak ulama yang kontra dengan pendapatnya dan tidak sedikit pula yang mendukungnya. Membuktikkan bahwa tidak mudah memahami kitab-kitab karya beliau, sebagai contoh kitab syajartul al kaun, al-tajalliyat, al-wujudiyah, futuhat al-makiyah dan karya master piecenya fushush al-hikam, kesemuanya sangat sulit dipahami, kecuali bila ada ulama shahih yang menuntun dan mendidiknya. Berikut ini adalah setitik makna dari salah satu kitab karya beliau yang berjudul al insanul kamil yang tidak kalah menakjubkan dari kitab-kitab yang lain.

Maksud dari Insanul kamil adalah bersatunya antara insan dan kamil didalam diri manusia. Apakah setiap individu manusia ini bisa disebut insan kamil? Jawabannya sangat jelas yaitu, tidak! Mudahnya begini, Allah ingin dikenal, dan yang hanya bisa mengenal Allah adalah Allah sendiri, oleh sebab itu diciptakan manusia yang seolah-olah merupakan “jelmaannya” ini istilah saja untuk memudahkan pemahaman, seperti yang bercermin dengan yang ada didalam cermin, yang bercermin akan mengatakan bahwa Aku adalah engkau, akan tetapi yang didalam cermin tidak bisa mengatakan bahwa engkau adalah aku, tetapi boleh mengatakan bahwa aku bukan engkau tetapi bukan selain engkau. Sehingga yang bisa mengenal sesuatu yang bercermin adalah yang berada didalam cermin, dengan catatan bahwa cerminnya bersih dan bening. Atau dalam pemahaman lain bahwa Allah dalam kesendirian-Nya ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Lalu dijadikan alam ini yang merupakan cermin bagi-Nya, maka ketika Allah ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam, penampakkan Diri-Nya melalui penyingkapan diri disebut tajalli atau dalam bahasa lain disebut sebagai jelmaan. Oleh sebab itu tujuan diciptakan insan kamil ini tidak lain untuk mengenal Allah dan diberi tugas mengajak manusia yang tidak kamil untuk dapat mengenal Allah, agar bisa kembali kepada-Nya, sarananya adalah wahyu atau din (agama), oleh karenanya seluruh akhlak nabi Muhammad.saw adalah wahyu atau al Qur’an, sehingga beliau berkata: “Innama bu'istu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk membangun akhlak.”

Bahan penciptaan manusia terdiri dari wujud yang terpisah-pisah menjadi wujud yang bersatu. Oleh sebab itu ketika Nabi Adam,as diciptakan, dunia dan akhirat beserta isinya itu sudah lebih dahulu ada, akan tetapi meskipun manusia itu yang terakhir, namun Allah SWT memilihnya sebagai wakil Tuhan untuk mengurus alam semesta beserta isinya. Maka dapat dipahami bahwa bahan ciptaan manusia itu adalah seluruh unsur alam semesta ini, yang berarti manusia memiliki sifat alam semesta yang komprehensif dan universal sebagai bukti bahwa manusia merupakan ringkasan alam semesta, atau dalam bahasa filsafatnya alam semesta ini disebut makro kosmos atau alam besar sedangkan manusia adalah mikro kosmos atau alam kecil. Sebagai contoh bahwa sifat kerbau tidak ada pada anjing dan sebaliknya sifat anjing pun tidak ada pada kerbau, maka jika kerbau dengan anjing berkomunikasi tidak akan pernah sepaham sampai kapanpun, yang satu malas dan yang satu galak, akan tetapi jika anjing dan kerbau melihat manusia, mereka akan menyaksikan bahwa ada sifatnya pada diri manusia dan ada sifat-sifat lain yang tidak mereka kenal. Oleh sebab itu jika alam semesta ini menghadap kepada manusia atau katakan duduk di depan manusia (alam yang kecil ini), mereka akan berdecak kagum dan akan berkata tidak ada diantara kita yang setara dengan manusia. Itu sebab manusia punya kualitas energi atau potensi adaptasi yang tinggi dan eksploitasi yang mumpuni. Maka manusia secara fisik atau secara kauniah telah lengkap.

Disamping manusia itu terdiri dari sifat-sifat sesuatu yang bisa dilihat oleh mata indrawi atau benda, terdapat juga bahan dari sifat yang wujudnya tidak terlihat diantaranya adalah malaikat yang dibuat dari nur (cahaya) dan jin yang dibuat dari nar (api). Oleh karenanya dari segi kewujudan baik wujud yang berbenda dan tidak berbenda semuanya ada pada diri manusia, sehingga jika manusia ingin menjadi iblis maka akan lebih hebat dari iblis dan bila ingin menjadi malaikat akan lebih hebat dari malaikat, begitu pula bila ingin menjadi binatang manapun akan lebih hebat, bisa lebih buas (sabuiyah), bisa lebih serakah (ananiyah), oleh sebab itu sifat makan, minum, kawin, tidur itu adalah sifat manusia yang sama dengan binatang (hayawaniyah). Di dalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa: “Ulaaa'ika kal an'aami bal hum adhallu, mereka seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.” (QS, Al A’raf :179). Ini menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari wujud yang terpisah-pisah menjadi wujud yang bersatu. Timbulah pertanyaan, apakah manusia dalam tahap ini mempunyai kemampuan untuk mengenal Allah? Jawabnya tidak! Meskipun ia melakukan peribadatan, tetapi mesti hanya untuk kemaslahatan dirinya bukan untuk Allah. Walapun mulutnya berkata untuk Allah tetapi jiwanya mengikarinya, semua perbuatan ibadahnya untuk dirinya, sehingga tidak mewarnai ruhaninya. Meskipun paham tentang ilmu kesabaran, ridho, wara, zuhud dan piawai dalam penyampaiannya, akan tetapi bila musibah datang menimpanya maka tidak mampu bersabar, bahkan keluar dari mulutnya cacian, ini membuktikan bahwa ruhaninya belum ada sifat sabar, belum memperoleh tajalli Asma Illahi, belum ada maqomat ruhiyah, tidak mempunyai asror ilahiyah, apalah istilahnya.

Untuk apa dunia diciptakan serta isinya termasuk manusia dan untuk apa akhirat diciptakan termasuk neraka dan surganya? Jawabnya adalah tidak lain hanyalah untuk Insan Kamil. Pemahaman ini berangkat dari ayat al Qur’an “Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya'budun, tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS, Adz Dzariyat :56) Dan terdapat hadits Qudsi yang dhaif tetapi dipegang erat oleh sufi dan tidak mau dilepas, karena maknanya sangat berkesesuaian dengan seluruh isi al Qur’an yaitu: “Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fa khalaqtul khalqa li kai u’raf, Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk, agar Aku dikenal.” Mereka mengatakan “Kanallahu walam yakun ma’ahu syaiun,” maksudnya bahwa Allah ada dan tidak ada ‘ada’ yang bersamanya, sesuatu pun tidak ada yang bersamanya, jadi sifat ada hanya Allah, dan wujud Allah ghaib mutlak, tetapi jika tidak ada ‘ada’ maka siapa yang melihat Ada ini, maka karena hanya Dia yang ada berarti Dia ini kanzun makhfi tersembunyi tidak dapat diketahui, maka uridu an u’raf Aku ingin diketahui fa khalaqtul khalqa maka Aku ciptakan makhluk, li kai u’raf agar Aku dikenal. Maka pemahaman penciptaan bagi orang sufi adalah tajalliyat yang artinya jelmaan. Oleh sebab itu tujuan utama penciptaan ini adalah mengenal Allah, karena tadi fa khalaqtul khalqa Aku ciptakan makhluk li kai u’raf agar Aku dikenal, maka liya'budun, untuk beribadah ditafsirkan sebagai liya’rifun, untuk mengenal, sehingga dapat dipahami bahwa yang paling mengenal Allah adalah yang paling serupa dengan-Nya. Siapa yang serupa dengan-Nya?

Rasulullah,saw bersabda : “Innalloha kholaqol Adama ala surotihi, Allah menciptakan Adam berdasarkan citra Tuhan (rupa Tuhan).” Hadist ini mencerminkan bahwa manusia itu adalah sebagai jalan untuk mengenal-Nya, karena dicipta sesuai dengan citra-Nya atau rupa-Nya. Misalnya sifat Tuhan itu hidup (hayat), mengetahui (Ilmu), berkehendak (iradat), berkuasa (qudrat), berbicara (kalam), melihat (basar), mendengar (sama) maka semua sifat ini ada pada diri manusia, oleh sebab itu ada hadist yang mengatakan: “Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya.” Maka manusia ini adalah definisi yang Allah kenalkan, ini Aku, seolah-olah begitu, ini shuroh-Ku, maka manusia Aku pilih menjadi khalifah untuk mengenal-Ku. Jadi tugas manusia sangat jelas harus mengenal dirinya sebagai jalan mengenal Tuhan.

Nah jika insan hayawaniyah belum bisa mengenal Allah, maka kemudian Allah berikan atau tajallikan Asma-Nya, “Wa allama adamal asma, dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama,” (QS 2 : 31) seolah-olah Allah berkata: ‘Ini lo paket untuk mengenal-Ku melalui dirimu, maka hidupmu, suratanmu, takdirmu, lauhil mahfudzmu, ketentuan-Ku tentangmu itu adalah definisi-Ku untukmu, engkau perlu Aku kepada paket pengenalan-Ku pada dirimu.’

Berarti tujuan penciptaan itu mengenal Allah dan yang paling mengenal adalah insan yang paling banyak menerima Asma Illahiyah, yaitu Sayyidina Muhammad,saw maka berarti tujuan diciptakannya alam semesta ini adalah Rasulullah,saw, terdapat hadits yang mendukung pemahaman tentang hal ini : ”Lawlaka lawlaka maa kholaqktul aflaq, kalau bukan karena engkau (wahai Muhammad) tidak aku ciptakan alam semesta ini.” Ilustrasinya begini, kalau dalam film ada peran utama, dan peran utama mesti satu, maka yang berhubungan dengan peran utama disebut peran pembantu, nah kita ini adalah peran pembantu, meskipun demikian peran pembantu akan memperoleh bayaran juga. Peran utama inilah yang menjadi judul kisah hidup ini, yaitu Sayyidina Muhammad,saw, jadi sangat jelas bahwa tujuan penciptaan alam adalah (Insan Kamil) manusia sempurna, dan karena manusia sempurna hanya satu, lalu diciptakan manusia yang tidak sempurna sebagai pasangan, karena kalau tidak ada pasangan, tidak akan diketahui nilai sesuatu itu, misalnya bahagia akan mempunyai makna manakala ada derita, jika kita tidak pernah merasakan derita maka bahagia tidak ada artinya, atau cahaya tidak akan bermakna manakala tidak ada gelap, jika tidak ada gelap maka cahaya kehilangan makna, oleh sebab itu tidak ada dosa atau salah yang abadi, semua itu hikmah, pendosa atau orang yang berbuat salah tidak bisa dicibir dan dikutuk, tetapi harus kembali kepada Allah, atau taubat. Tidaklah mungkin manusia mampu bersabar sebelum Allah tajallikan sifat sabar-Nya kepadanya, dan mustahil manusia bisa memberi sebelum sifat dermawan Allah ditajallikan kepada ruhaninya.

Jadi singkatnya bahwa manusia diciptakan dari wujud yang terpisah-pisah artinya mutafadiddah, mutafariqoh, berserakan, terpisah-pisah di seluruh alam semesta, maka di dalam diri kita ini ada neraka ada surga, ada malaikat ada jin, ada dunia ada akhirat, ada seluruh sifat binatang, sifat tumbuh-tumbuhan yang kelihatan dan tidak kelihatan, itulah manusia berarti sangat mulia, kemudian bagi yang beruntung akan memperoleh tajalli sifat-sifat Mulia-Nya, itu barangkali orang sufi memuja-muja manusia, karena dinyatakan oleh Al Qur’an sebagai khalifatulloh, yang malaikat saja tidak diangkat, berarti manusia inilah makhluk yang paling mulia, lebih mulia dari akhirat serta isinya, lebih mulia dari dunia serta isinya. Gara-gara Allah berkeinginan menciptakan manusia, maka disediakan semuanya itu, berarti dosa dan taat pun Allah ciptakan untuk kita, malaikat dan jin nya juga diciptakan untuk kita, dengan begitu seharusnya kita dapat mengenal kita, karena semua sifat yang ada pada kita ada disekitar kita, maka kita mampu beradaptasi dan mampu mengenal Tuhan, maka misi mengenal Tuhan itu hanya ada pada manusia, itu sebabnya yang menyakiti manusia sama artinya dengan menyakiti Tuhan, meskipun manusia itu non-muslim, karena tidak ada satu manusia pun diciptaan oleh tuhan lain, semuanya Allah yang menciptakan. Dan sama sempurnanya secara fisik antara manusia yang satu dengan yang lainnya atau dengan wali sekalipun. Nah, perbedaannya ada pada kesempurnaan ruhani, untuk itulah syariah agama diturunkan, karena syariah itu bajunya, perilakunya, perilaku hakekat ruhani ini, maka barang siapa memperoleh Asma Ilahiyah didalam ruhaninya, maka makin ringan melaksanakan syariat, karena sesungguhnya hakikat dan syariat itu satu kesatuan, seperti durian dengan baunya, jika hanya ada bau durian sedangkan duriannya tidak ada ini cuma perasa, sehingga manusia yang tidak punya hakekat sama kualitasnya seperti perasa, bahkan kalau kebanyakan jadi penyakit, maka syariat dengan hakikat umpama sinar dengan cahayanya, tidak bisa dipisahkan, oleh sebab itu jika manusia tidak mempunyai hakekat memang berat melaksanakan syariat, karena akan selalu merasa dirinya yang melaksanakannya, akan tetapi apabila mempunyai hakikat, mempunyai asma Ilahiyah dalam rohani itu, maka akan ringan melakukan peribadatan dan akan berkata “araftu rabbi birabbi, aku kenal Tuhan dengan Tuhan” atau “al abid wal ma’bud, yang menyembah adalah yang disembah,” karena ada qudroh ruhiyah, ada kemampuan rohani itulah yang disebut orang hidup didalam Tuhan, ini istilah saja, kalau sudah paham buang istilah ini. Maka berarti manusia ini adalah khasanah alam semesta, didalam diri kita ini tersimpan seluruh sifat alam semesta, maka manusia mudah sekali mengenal Allah, karena ciptaan itu sebuah jelmaan Asma dan Sifat Allah, ilustrinya bercermin tadi, kalau manusia memiliki Asma dan Sifat Tuhan maka kapasitas untuk mengenal Tuhan sangat efektif, sangat mudah, itu sebab Allah tidak membebankan di luar kemampuan kita, kalau Allah membebankan binatang untuk mengenal Allah maka tidak akan mampu, tapi manusia memang tepat, karena manusia ini khasanah alam semesta ini, maka wajah seluruh alam semesta itu menghadap kekhasanah kemanusiaan ini. Itu sebab alam semesta mudah ditundukkan oleh manusia dan setiap bagian dari alam semesta ini akan mengatakan “laisa kamislihi syaiun, tidak ada yang serupa dengannya.” Nah jika alam semesta melihat manusia dan mampu berkata seperti itu, lantaran manusia itu sempurna, maka seharusnya manusia pun mampu berkata yang sama disaat menyaksikan Tuhan.

Orang sufi meyakini bahwa suratan hidupnya dari a sampai z, takdir yang dia alami hari demi hari sampai mati, itu adalah definisi atau penjelasan Tuhan tentang diri-Nya, maka semuamu itu adalah tema penjelasan Tuhan tentang diri Tuhan kepadamu, maka kita tidak boleh ikut campur orang lain, meskipun istri, suami atau anak, kita tidak bisa mengatakan kenapa engkau berbuat buruk, tidak bisa, namun bagaimana menghadapi ketentuan, suratan, takdir, pernyataan, urusan, tajalli, tanazul itu istilahnya banyak sekali, pada diri kita itu, bagaimana untuk mengenalnya bahwa itu semua dari Allah. Dan Allah yang akan memberikan paket ma'rifatnya yang disebut sebagai Asma Ilahiyah (maqomat ruhiyah, akhlak nurkarimah, asror ilahiyah, Nur Muhammad, dan lain sebagainya) kepada manusia yang dipilihnya, dengannya manusia baru sadar bahwa semuanya dari Allah, itulah yang menyebabkan lahirnya akhlak yang sangat sempurna dan tinggi, sama seperti akhlak Tuhan yaitu, memaafkan, mencintai, melupakan, menyayangi, tidak memandang buruk dan lain sebagainya. Jika sudah demikian baru boleh membawa orang lain kepada Allah agar tahu jalan kembali.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

Senin, 28 Juni 2021

MAKNA AKHLAK YANG SEBENARNYA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim, Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan akhlak kepada semua makhluk melalui Nabi terkasihnya sayyidina Muhammad,saw. InsyaAllah tulisan ini menjelaskan makna sebenarnya dari akhlak, karena akhlak dipahami hanya sebagai perilaku lahir yang baik dari manusia, padahal bisa saja manusia itu berperilaku baik tetapi mempunyai pamrih atau maksud lain yang memberikan keuntungan kepada dirinya. Hal ini jauh dari kisi-kisi ruhani dan makna akhlak yang hakiki dan lahir dari produk pemahaman yang salah.

Pertama-tama yang perlu dipahami bahwa salah satu kriteria yang paling penting yang wajib dimiliki oleh setiap muslim adalah tauhid dan ittiba. Ittiba adalah mengikuti Nabi,saw baik secara lahir maupun batin. Sedangkan tauhid secara praktikal atau konkritnya adalah ibadah dan istianah, istianah adalah mohon pertolongan kepada Allah. Hubungan tauhid dengan ibadah itu bagaikan dzat dengan sifat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Tauhid itu sesuatu yang abstrak, namun dapat dibuktikan melalui ungkapan atau perbuatan. Sebagaimana cinta yang juga abstrak yang dapat dibuktikan pula dari ungkapannya, seorang lelaki jika mengatakan kepada wanita ‘aku cinta padamu’, maka yang ditunggu oleh wanita itu adalah ungkapannya sebagai bukti cinta, dalam bentuk perhatian, memberi hadiah, belaian, pujian dan lain sebagainya, jika tidak maka wanita tentunya akan marah karena merasa dibohongi, sedangkan ungkapan tauhid berupa ibadah, shalat, puasa, zakat, dan lain-lain, oleh karenanya setiap amalan dalam agama apapun itu lahir dari keyakinannya. Ada syair orang Arab yang sangat popular yang mengatakan bahwa ‘barang siapa menyukai sesuatu maka dialah hambanya’, maka bisa dikatakan bahwa ibadah itu berupa penghambaan, perhikmatan, pelayanan. Akan tetapi ibadah tanpa istianah tidak sempurna, kenapa tidak sempurna, karena ibadah yang dilakukan oleh tubuh dan pikiran bukan atau belum karena Allah, sehingga belum bertauhid dengan benar, akan tetapi jika ibadah disertai dengan istianah maka sempurnalah tampilan tauhid itu. Ketika Rasulullah,saw didatangi oleh malaikat yang berwujud manusia, yang bertanya akhbirni anil Islam, akhbirni anil Iman, akhbirni anil Ihsan, Nabi,saw menjawab Islam adalah rukun Islam yang lima, Iman adalah rukun iman yang enam dan ihsan adalah ibadah dengan menyaksikan Allah, maka di akhir hadits itu ceritanya selepas malaikat yang berupa manusia itu balik, Rasulullah,saw bertanya kepada sayidina Umar,ra taukah siapa yang bertanya tadi, itulah sayidina Jibril,as datang mengajarkan agama (din), Nabi,saw menyebut Islam, Iman, Ihsan adalah agama (din). Maka agama (din) itu adalah Islam, Iman, dan ihsan, atau mempunyai tiga rukun. Agama (din) jika dilihat dari praktik jahir disebut Islam yang amalannya berupa shalat, puasa, zakat dan pergi haji, akan tetapi amalan ini tidak berdiri sendiri melainkan keluar dari pada keyakinan, dari iman. Oleh sebab itu orang yang beriman atau berkeyakinan atau bertauhid mengungkapkannya dengan cara Islam. Maka dari itu pelakunya disebut sebagai muslim atau mukmin.

Jika cinta mempunyai ungkapan berupa perhatian, memberi hadiah, membelai, memeluk dan mencium, karena cinta bukan akal melainkan emosional. Maka jika ada seorang pria mengungkapkan cinta kepada wanita namun tidak mempunyai cinta ini disebut dengan istilah buaya atau playboy. Oleh karenanya jika orang puasa, shalat, berbuat baik ternyata bukan keluar dari iman ini pun muslim buaya, dia berbuat karena ada pamrih, karena ingin diaku orang lain bahwa dia orang sholeh, ingin kedudukan atau ingin menjaga kepercayaan orang, hal ini menjunjukkan bahwa belum Ikhsan. Maka sesungguhnya tauhid adalah Iman, ibadah adalah Islam dan Istianah adalah Ihsan, nah semuanya ini adalah cinta! istianah cinta, ibadah cinta dan tauhid adalah cinta, oleh sebab itu ada ungkapan bahwa agama itu cinta dan cinta itu adalah agama.

Caranya bagaimana? Tauhidnya, ibadahnya, istianahnya harus seperti Nabi,saw, maka mesti ittiba baik ittiba secara jahir dan ittiba secara batin. Sebagai contoh jika seseorang menyukai orang lain, maka akan mengikuti gayanya, gerakannya, pakaiannya. Dan suka atau tidak bahwa gerak lahir seseorang adalah ungkapan dari jiwanya. Oleh sebab itu dengan mengikuti lahiriyah seseorang itu yang nyata-nyata sebetulnya mengikuti jiwanya, maka disebut ittiba atau dapat dikatakan cinta, karena jika tidak cinta dia tidak akan mengikuti. Sebagai contoh, seorang perempuan menikah dengan lelaki, selama ada cinta kepada lelaki itu maka sang wanita akan mengikuti, maka mengiktui (ittiba) itu cinta. Allah menyebut agama yang dibawa oleh Nabi,saw itu rahmat, rahmat itu pun cinta. Nabi,saw bersabda, Iman kamu tidak sempurna kecuali engkau mencintai untuk saudaramu seperti yang kau cintai untuk dirimu, nah disini jelas bahwa cinta adalah Iman, bahkan Nabi,saw bersabda tidak ada iman kecuali aku dicintai lebih dari anaknya, lebih dari orang tuanya dan lebih dari semua manusia, ini semakin jelas bahwa cinta itu mengikuti (ittiba) kepada Nabi,saw. Bahkan Allah,SWT berfirman jika engkau cinta kepada Allah ikuti nabi, seolah-olah jika engkau mentauhidkan Allah maka ittiba kepada Nabi,saw.

Rasulullah,saw bersabda dibuat cinta kepadamu iman dan dihiasan iman itu dihatimu, jadi iman itu cinta dan ada hiasan iman, dan hiasan iman itu adalah akhlak. Orang jika mempunyai cinta pasti sabar, biasanya seorang gadis ketika berusia lima belas tahun sampai tujuh belas tahun, pemalas, pemarah, tidak sabar, kalau ingin minta sesuatu kepada orang tua dengan memaksa, tidak membantu pekerjaan rumah, tidak ridho, tetapi apabila mempunyai cinta kepada seorang lelaki, maka mulailah tumbuh sifat penyabar, ridho, tidak marah, pemaaf, ternyata cinta telah merubah jiwanya, maka cinta adalah pertolongan atau dapat dikatakan istianah. Ada kisah di satu daerah Jawa Barat, jika seorang mau melamar perempuan, seorang ayah menguji kesetiaan calon menantunya, maka disuruhnya menebang pokok asam dalam waktu satu hari, kalau gagal maka akan ditolak, meskipun pekerjaan yang nyaris tidak mungkin, namun sang lelaki dengan semangat mengerjakannya sebagai bukti cinta kepada anak gadisnya, pada tengah hari yang terik calon mertua menyuruh anak gadisnya berdandan dan disuruh membawa kopi dan makanan untuk diberikan kepada calon menantu yang sudah terlihat letih karena sejak pagi tanpa istirahat menebang pohon asam, begitu terlihat sang wanita datang maka hilanglah rasa letih dan hausnya bahkan ada tambahan tenaga baru, ini sesuatu yang tidak masuk akal dari mana itu datangnya semangat dan tenaga baru seperti ada pertolongan tenaga dan kekuatan dalam jiwanya, inilah cinta yang bukan tumbuh dari akal tetapi dari emosional. Maka manusia beribadah perlu pertolongan kalau tidak akan malas, lemah, berat. Ibadah itu mesti jelas bahwa yang dituju adalah Allah, itu sebab "anta'budallah kaanaka taroh, engkau beribadah seolah-olah melihat Allah,'" maka mesti konsentrasinya adalah melihat Allah (rukyatullah) bukan yang lain, inilah pertolongan yang dahsyat untuk melakukan ibadah, itulah ihsan, itulah cinta. Inilah satu kesatuan cinta, cinta itu adalah man ahabba syaian fahuwa abduhu, orang apabila menyukai sesuatu dia jadi hambanya. Penghambaan itu ibadah yang keluar dari cinta, maka tauhid itu adalah cinta, karena bentuk tauhid itu ibadah dan pertolongan (istianah), yang kesemuanya ini adalah jelmaan cinta. Maka jika tidak punya cinta, tidak punya agama, nah semoga sekarang paham bahwa beragama ini mesti ittiba kepada Nabi,saw, kalau tidak punya cinta bagaimana bisa mengikuti Nabi,saw, jika tidak dapat mengikuti Nabi,saw maka tidak dapat agama.

Apa itu ibadah, ibadah ada dua, ada ibadah khusus dan ada ibadah awam atau umum, ibadah khusus yang ada dalam rukun Islam yang lima sedangkan ibadah yang umum adalah dalam bentuk muamalah kepada makhluk, berbuat baik kepada anak, istri, suami, tetangga, tamu, kawan yang memerlukan yang perlu pertolongan, ini semua adalah ibadah umum. Lalu apa istianah, Istianah itu kongkritnya adalah akhlak, iIstianah ini yang menolong kita untuk melakukan ibadah yang benar, sebagaimana dalam suratul Al Fatihah dikatakan “iyyāka nabudu wa iyyāka nastaīn, kepada Engkau kami ibadah kepada Engkau pun kami minta tolong.” Lalu kita sering mendengar La haula wala quwwata illa billahil aliyil azim, ulama memberikan tafsirannya La haula tidak ada daya untuk melakukan ibadah taat walakuata dan tidak ada kekuatan untuk menjauhi larangannya, maksiat, illa billa kecuali dengan, dalam bahasa Arab ‘ba’ ini adalah istianah atau pertolongan Allah, Maka ibadah itu perlu kesabaran, perlu kekhusyuan, perlu keikhlasan, perlu kejujuran, semua yang disebut ini adalah akhlak, maka jika tidak sabar, memberi tidak ikhlas, tidak khusyu maka ibadahnya tidak jadi, oleh karenanya kita perlu kepada akhlak-akhlak itu, dan akhlah-akhlak itu tidak mungkin didapat kecuali adanya pertolongan Allah (istianah) kepada kita yang berguna untuk dapat menjalankan hidup ini. Nabi,saw bersabda jika engkau minta tolong, minta tolonglah kepada Allah, maka apa yang kita minta kepada Allah adalah kesabaran, keridhaan, keikhlasan, kewaroan, dan lain sebagainya, pun Nabi,saw berdoa Rabbana afrigh alainaa shabran ya Allah kucurkanlah kesabaran padaku. Allah,SWT memberi musibah kepada manusia dan jika Allah SWT tidak menolong atau tidak bagi sabar maka hancurlah manusia itu.

Ini yang paling penting, yang sudah hampir punah dalam beragama, karena kebanyakan manusia mengikuti Nabi,saw (ittiba) hanya ibadah jahirnya saja tanpa mengikuti batinnya. Sedangkan ibadah itu adalah istianah, yang hakikatnya adalah minta tolong kepada Allah agar kita memperoleh akhlak Nabi,saw, yaitu diantaranya adalah sifat sabar, ridho, jujur, syukur, dan lain sebagainya yang kesemuanya adalah akhlak Nabi,saw dalam istilah lain disebut anwar, nuurullah atau asror. Maka jelas sekali bahwa kita bisa beribadah dari Nabi,saw dapat Istianah pun dari Nabi,saw, maka Nabi,saw adalah perantara yang agung, yang Allah turunkan untuk kita. Bagaimana cara mendapatkannya? Cinta itu emosional bukan akal, contohnya cinta seorang Ibu kepada anaknya, melihat anaknya kecebur kedalam sungai, tanpa berpikir panjang sang Ibu menceburkan diri, ini kan tanpa akal yang berarti emosional, inilah cinta. Contoh lagi bahwa cinta lelaki kepada perempuan adalah emosional, sehingga sering kali sang lekaki melantunkan syair-syair yang indah yang sebelumnya tidak bisa. Cinta itu mesti ada senandungnya ada nyanyinya, orang bercinta mesti bernyanyi, orang bercinta mesti memuji, orang bercinta mesti merayu. Jika lelaki mecintai seorang perempuan lalu diam saja, maka tidak akan jadi, tetapi mesti mengatakan syair-syair yang meluncur dari lubuk hatinya ‘kamu tercantik di dunia ini, kamu adalah bidadari yang turun dari Firdaus, engkau adalah jodohku yang tertulis di Lauhul Mahfudz, dihatiku hanya ada namamu, kalau tidak percaya ambilah pisau dan belahlah dadaku, engkau akan tahu di sana tidak ada selain engkau, pastilah memuji, kalau tidak marah lah sang perempuan. Nabi,saw bersabda cintai aku lebih dari anakmu, istrimu, ayahmu, maka semua orang yang mencintai maka akan memuji nabi, karena emosional. Lalu mengapa kita tidak dapat memuji Nabi dan kalua memuji pun tanpa emosional dan tanpa rasa? Begini mudah-mudahan bisa dipahami, orang jika punya sifat dermawan maka setiap mempunyai sesuatu dia akan memberi tanpa pamrih dan niatnya hanya untuk Allah saja. Dermawan ini sifat yang sudah menjadi karakter, dan kalau sudah menjadi karakter, tabiat atau watak tidak akan berubah. Nah jika demikian maka sifat dermawan yang ada pada dirinya itu disebut akhlak, yang tadinya dia belum punya sifat ini lalu Allah beri punya sifat dermawan ini, maka dia jadi punya karakter ini, itulah dirinya. Didalam dunia tasawuf jika sudah menjadi karakter disebut maqam. Seseorang akan mengetahui orang yang punya sifat sabar jika dia punya sifat sabar, orang alim bisa mengetahui siapa yang alim, seorang wali hanya dia yang tahu siapa wali yang lain, mudahnya dapat dikatakan yang tahu wali hanya wali, yang tahu orang alim hanya orang alim, yang tahu orang sabar hanya orang sabar, yang tahu orang ikhlas hanya orang ikhlas, karena sesungguhnya manusia itu berinteraksi itu dengan jiwa bukan dengan fisik, physical itu hanyalah rupa dari ekspresi ungkapan jiwa.

Nabi,saw adalah manusia yang tidak sama dengan semua manusia, beliau memiliki akhlak yang Allah SWT katakan “Wa innaka laala khuluqin adzim, sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung,”(QS Al Qalam:4). Akhlak Nabi,saw satu persatu itu agung, sabarnya agung, syukurnya agung, ridhonya agung, dermawannya agung, khusyuknya agung, jujurnya gung dan lain sebagainya. Analoginya demikian, dibutuhkan satu milyar bohlam lampu untuk menerangi seluruh rumah yang ada di benua ini, setiap bohlam lampu mempunyai kapasitas watt yang berbeda-beda, nah akhlak Nabi,saw seperti sumber listrik itu yang dibagi kepada satu milyar bohlam lampu. Mana ada bohlam lampu yang mampu memuat seluruh sumber listrik itu? Nabi,saw yang memiliki akhlak semua yang dibagi-bagi kepada manusia ini, itu sebab Nabi,saw bersabda innama buistu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk membagikan akhlak, beliau berkata Allah yang memberi sedangkan aku yang mendistribusikan. Oleh sebab itu, para sahabat yang hidup bersama Nabi,saw terus berubah akhlaknya, maqomnya menjadi terpuji. Maka jika seseorang tidak mempunyai akhlak tentu tidak akan dapat memberi, contoh orang tua yang tidak mempunyai sifat sabar, apakah dia bisa memberi sabar kepada anaknya, tentunya tidak. Para wali itu yang punya akhlak Nabi,saw atau katakan mendapat warisan akhlak, maka dia kenal Nabi,saw maka dia memujinya, meskipun dia mengatakan aku tak dapat memuji Nabi,saw berdasarkan hakikatnya, karena Nabi,saw di atas segala-galanya, maka kita perlu mengikuti Nabi,saw itulah ittiba, bukan hanya mencontoh ibadah lahiriyahnya saja, tetapi Istianah atau pertolongan untuk akhlak, maka orang sufi mengatakan madad ya Rasulullah, artinya minta tolong kepada Allah agar bisa mengikuti Rasulullah,saw dan mendapatkan apa yang Rasulullah,saw dapat, itulah rahasianya! Maka perbanyaklah memuji Nabi,saw dengan bershalawat, karena Allah juga memujinya sebagai tanda cinta, maka Nabi,saw disebut sebagai Habibi (yang dicinta). Inilah cinta dan kita pun berupaya untuk mewarisi batinnya yaitu akhlak, nah untuk mendapatkan warisan ini maka dengan cinta, karena kalau tak cinta kita tidak dapat ittiba. Seseorang mencintai bintang film atau penyanyi, maka wajahnya, pakaiannya, geraknya, bicaranya mengikuti yang dicintainya. Jika Man ahabba syaian fahuwa abduhu, barangsiapa yang mencintai sesuatu dialah hambanya maka ibadah itu adalah cinta (hub) dan istianah itu juga cinta (hub), maka kita mesti memiliki cinta (hub) dari Nabi,saw. Allah SWT berfirman cinta sebetulnya berasal dari Allah, itu sebab Allah memanggil Nabi,saw dengan Habibi yaitu kekasih-Ku dan Nabi,saw adalah sang cinta.

Bahwa dengan mencintai seseorang maka akhlak seseorang itu akan pindah kepada kita, inilah yang disebut sebagai waris ruhani, itulah mengapa Nabi,saw minta dicintai, karena cinta itu adalah sarana beragama, bahkan agama itu cinta, tanpa cinta kita tak dapat berbuat apa-apa, tanpa cinta pun kita tak dapat mengikuti, cinta itu dari Allah dan mintanya dengan ungkapan cinta kepada Nabi,saw karena contohnya cinta itu Nabi,saw dan Nabi,saw itu sang cinta dan distributor cinta. Apabila kita telah dapat cinta Nabi,saw yang hakikatnya dari Allah SWT, maka dialah orang yang bertauhid kepada Allah, karena hakikat cinta itu tidak ada beda antara pencinta dan yang dicinta dan yang namanya kekasih tidak mau diduakan, itu sebab Allah tidak boleh disyarikatkan, itulah tauhid. Alhamdulillah al-Fatihah.

Walauhualam bisawab, semoga ada manfaatnya.

Selasa, 23 Maret 2021

TAUHID

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menjahirkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, jika tidak maka Allah tidak akan bisa dikenal. Nama dan sifat itu abstrak, tidak ada materinya, yang ada materinya adalah Dzat, sedangkan Dzat Allah adalah ghaib mutlak, maka jika bicara Dzat maka tanzih, murni, qudus, artinya tidak ada yang menyentuh dan membayangkannya meskipun khayal, pikiran, paham, apalagi mata jahir, Al Qur’an mengatakan ‘laisa kamislihi syaiun, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan DIA.’ Maka Allah tajjalikan, Allah berikan, Allah jelmakan, Allah wujudkan pada salah satu makhluk-Nya yang paling sempurna. Dan mazhar yang paling sempurna ini, Allah jadikan pola wujud, asal wujud, sehingga semua yang wujud asalnya dari pola ini, dan menjadi ringkasan atau intisari untuk setiap yang ada di alam semesta ini, asal wujud ini adalah sayyidina Muhammad,saw, yang bertugas untuk memberi petunjuk kepada semua makhluk dan menjahirkan Haq, maka disebut sebagai suratul Haq, oleh karenanya manusia adalah ‘suratul Haq’. Oleh karena itu apapun yang manusia jahirkan atau munculkan dari tubuh ini, adalah Allah yang menjahirkan, dan sebetulnya yang dijahirkan itu adalah sifat dan asma-Nya. Maka oleh sebab itu ada hadist yang mengatakan : ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu, siapa yang mengerti bahwa dirinya adalah mazhar Allah maka dia mengenal Allah.’ Jika sifat dan nama abstrak serta wujud adalah ghaib mutlak atau dalam dunia tasawuf disebut tanzih, lalu dimana dan bagaimana manusia bisa melihat Allah? Sesungguhnya tidak ada pesaing untuk dapat melihat Allah kecuali pada dirinya sendiri, artinya manusia diperintah untuk melihat Allah pada semua nasib dan takdir masing-masing. Ilustrasinya seperti projector, bahwa bayangan yang muncul di layar, adalah bentangan yang menyambung ke projector, bahwa manusia hanyalah bayangan yang dibentangkan dari zaman azali. Oleh karenanya untuk melihat kesempurnaan Allah, maka lihatlah asal wujud yaitu baginda Rasulullah saw, maka ketika ditanya akhlaknya Nabi,saw adalah khuluquhul Qur'an, seolah-olah khuluquhu Allah, maka orang sufi punya ibaroh, ‘berakhlaklah dengan akhlak Allah, bersifatlah dengan sifat Allah,’ ini maksudnya berakhlak dengan akhlak yang mulia, dan akhlak mulia itu berasal dari Allah seperti sabar, syukur, tawakal, ridho dan lain sebagainya, sebagaimana dalam Al Qur’an dikatakan ‘radiallahu anhum’ Allah ridho kepadanya berarti Allah mempunyai sifat ridha dan warodhuan baru orang bisa ridha kepada Allah, yang demikian itu untuk orang yang hatinya takut (khosyiah) kepada Tuhanya. Maksudnya tak seorangpun mampu ridho kecuali bila sifat ridho Allah ditajjalikan kepada orang itu.

Baginda Nabi Muhammad,saw itu sebagai perantara rangkaian tali, bayangan azali yang dibentangkan, maka manusia menyembah Allah mesti seperti Rasulullah saw, menjalankan perintah Allah mesti seperti Rasulullah saw secara syariat dzahir maupun batin. Sehingga apa yang baginda Nabi Muhammad, saw katakan dan lakukan mesti mengungkapkan tentang Keagungan dan Keindahan Allah, oleh sebab itu orang yang mengikutinya, akan dapat pula menyaksikan keagungan Allah, karena memperoleh waris ruhani. Sahabat Bilal,ra, seorang budak berkata ‘Ahad … Ahad … Ahad’ saat disiksa bukan Muhammad … Muhammad … Muhammad, meskipun cintanya kepada baginda Nabi,saw sangat dalam. Karena tarbiyah yang dilakukan oleh sayyidina Muhammad,saw, benar dan menunjukkan bahwa dirinya sebagai wasithoh, sehingga sahabat-sahabatnya menerima kebenaran dengan benar, persis seperti makna pada shalawat Fatih.

Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.

HAMBA - MERDEKA

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Tidak ada sesuatu apapun yang dapat memimpin, membimbing atau bahkan menyeret manusia sebagaimana yang dilakukan oleh angan-angan kosong (wahm). Inilah yang membuat manusia tidak pernah merasa puas atau menjadi tamak. Maksudnya begini selain Allah itu wahm, manusia ini hakekatnya jelmaan Sifat dan Asma Allah atau shurotul Haq, apabila manusia melakukan sesuatu bukan untuk Allah, berarti memandang ada selain Allah, padahal itu wahm, itu penyakit. Mengapa bisa demikian, karena di dadanya, di hatinya belum ada hakikat yang masuk ke dalamnya, yang berupa anwar, asror, maqomat, akhlak, atau apalah namanya, jadi tidak punya alat untuk melihat hakikat, maka yang dia lihat itu dianggap semuanya ada, padahal tidak ada. Persis seperti yang disabdakan oleh baginda sayidina Muhammad,saw, bahwa ‘'Annaasu niyamun fa'idza matu intabahu, sesungguhnya semua manusia ini tidur dan ketika mati baru bangun.” Maka jangan heran manakala ada seorang sufi yang mengatakan bahwa istrimu wahm, anakmu wahm, engkau berbuat untuk istri berarti untuk wahm, seharusnya untuk Tuhannya istri, untuk Tuhannya anak, untuk Tuhannya suami, barulah tidak wahm. Tipis sekali perbedaannya, hanya perlu memindahkan kecondongan hati, atau dalam istilah tasawuf dikatakan sebagai tawajjuh atau mudhoha. Apabila seseorang memiliki atau mempunyai hakikat di dalam dirinya, barulah condongnya hati ke hakikat dan bukan wahm. Apabila manusia mempunyai sifat-sifat mulia, anwar, tawakal, wara, kemudian qonaah, maka hilang sifat tamak, karena dia tawakal kepada hakikat, menerima apa yang diberikan oleh Pencipta. Maka gugur dihatinya hubungan kepada makhluk dan tidak kepada rezeki melainkan kepada Ar-Rozak, sehingga dikatakan orang yang ragu akan rezekinya berarti dia ragu kepada yang Maha Memberi Rizky.

Ironis, manusia mengejar sesuatu yang dianggap besar padahal hakitkatnya tidak ada atau wahm, lalu berputus asa pula disaat tidak memperolehnya. Maka manusia yang seperti ini disebut sebagai hamba wahm. Oleh karenanya untuk bisa sebagai manusia yang merdeka dan bukan hamba sahaya putuskan harapan dari angan-angan atau lepaskan harapan dari yang tidak ada. Dimasa perang, orang munafik menggoda istri-istri sahabat Rasulullah,saw, dengan mengatakan ‘Bagaimana bisa engkau membiarkan suamimu ikut perang, jika engkau menjadi janda siapa yang akan memberimu makan dan anak-anakmu?’ Dijawab : ‘Benar mereka yang memberiku makan, tetapi Allah yang memberi rizky.’ Orang yang merdeka dari segala sesuatu selain Allah, akan merasa ada dan tak ada sama saja, oleh sebab itu apabila orang tamak kepada sesuatu berarti dia hamba sesuatu itu, jika dia putus asa dari sesuatu itu berarti dia merdeka. Nah, kita ini sebetulnya hamba siapa dan merdeka dari siapa? Jika berharap kepada selain Allah dan putus asa dari Allah, berarti kita bukan hamba Allah melainkan hamba wahm, berarti kita selamanya tidur dan tidak pernah bangun, sebagaimana yang dikatakan baginda sayidina Muhammad,saw, : ‘'Annaasu niyamun fa'idza matu intabahu, sesungguhya semua manusia itu tidur, ketika mati baru bangun.”

Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.

Senin, 22 Maret 2021

TAMAK - WARA

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Di dunia tasawuf pengertian tamak bukan saja ditujukan bagi orang yang rakus terhadap harta benda saja, melainkan rakus terhadap keinginan selain Allah, seperti ingin dihormati orang, ingin dipuji orang, ingin dimuliakan orang. Tamak ini sangat berbahaya, karena sifatnya seperti minuman keras (khamr) yang memuaskan jiwa tetapi mematikan hati. Oleh sebab itu Syeikh Ibnu Athoilah,qs, mengatakan bahwa tidak akan tumbuh cabang-cabang kehinaan kecuali diatas benih ketamakan. Sifat-sifat yang hina dan rendah pada diri seseorang adalah akibat dari sebab menanam bibit ketamakan, seperti riyadhah dan mujahadah yang di aku sebagai perbuatannya dan bukan karena Allah, sehingga mereka menuntut kepada Allah akan balasannya. Oleh karena itu, meskipun mereka telah melakukan riyadhah dan mujahadah bertahun-tahun lamanya, yang didapat malah mempertebal hijab bukannya membersihkan noda-noda nafsu (atsaar). Orang yang seperti ini jauh dari ma’rifat tetapi merasa ma’rifat, ini sesat dan menyesatkan. Orang yang hina dan rendah itu bukan direndahkan orang lain, melainkan merasa dirinya hebat dan ingin menjadi panutan dan selalu ingin dimuliakan orang. Persis seperti seorang peminta-minta yang minta mulia karena dia tidak punya mulia. Padahal ahli hakikat memandang hidup ini sudah selesai, sudah jadi, sudah siap, lengkap dengan sebab akibatnya, semua telah ditetapkan di zaman azali oleh-Nya dan tertulis rapi di Lauhil Mahfudz, lalu bagaimana bisa manusia mengaku peribadatan itu atas upayanya? Seharusnya merasa malu mengakui sesuatu yang bukan miliknya. Itulah mengapa keinginan selain Allah dalam melakukan peribadatan disebut tamak.

Akal selalu membisikkan kedalam jiwa bahwa peribadatan ini atas jerih payahnya atas upayanya. Demikianlah sifat akal manakala ia sebagai penasihat jiwa atau nafsu, berbeda manakala ia sebagai penasihat ruhani. Itu sebab akal hanya meletakkan kaidah berdasarkan kebanyakan, kesamaan lalu disusun kaidah untuk menilai sesuatu. Dalam hal ini syeikh sufi mengatakan bahwasanya tajalli Allah itu berbeda setiap saat, bagi satu orang dan antara satu dengan lainnya, semata-mata hanya untuk menunjukkan kekuasaan mutlak itu ditangan Allah. Sehingga sangat penting memeriksa diri ini pada setiap melakukan ibadah sosial atau amal baik apapun, masih adakah keinginan selain hanya menjalankan perintah karena Allah? Maka sebesar mana dalamnya benih ketamakan itu, maka sebesar itu pula kerendahan amal itu. Bahkan seseorang yang keadaan ruhaninya tinggi mengatakan bahwa beribadah karena surga pun masih tergolong tamak. Pernyataan ini bernada pendidikan atau meletakkan istilah-istilah tarbiyah guna memurnikan tauhid kepada Allah. Seolah-olah janganlah engkau menanam benih di dalam hatimu keinginan selain Allah, karena jika di dalam hatimu ada tamak, maka yang keluar yang tumbuh itu mesti kehinaan.

Orang yang tamak kepada dunia pasti tidak wara, orang wara adalah orang yang apik, bersih, tidak ada keinginan apapun selain Allah. Orang yang mempunyai ilmu disebut alim, akan tetapi tidak sedikit orang yang alim tidak wara, inipun masih disebut tamak. Maka apabila seseorang itu alim dan sekaligus wara maka yang tampak adalah kebijaksanaan, semua yang dikatakan dan dilakukannya penuh hikmah yang menunjukkan Kebesaran dan Kasih Sayang Allah SWT. Sedangkan ciri-ciri orang yang hanya mempunyai ilmu saja tanpa wara, adalah dia akan selalu memaksakan orang lain menurut pikirannya, pahamnya dan apa yang diamalkannya. Sedangkan ciri-ciri orang yang bijaksana adalah, dia menyuruh orang berdasarkan kemampuan dan karakter orang itu sendiri dan tidak memaksakan di atas kehendaknya.

Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.

Jumat, 12 Maret 2021

WAKTU

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Yang mulia baginda Nabi Muhammad,saw pernah mengatakan ‘li waqtun, Saya punya waktu’, apa maksud waktu itu? Waktu menurut dunia tasawuf adalah durasi hidup yang paling kecil, tempo, atau ajal. Seperti dalam film, setiap gambar yang muncul dilayar adalah satu potong klise yang muncul lalu hilang dan muncul lagi, begitu dicepatkan maka tidak terasa jedanya, maka jadilah sebuah cerita film yang bersambung hingga film selesai. Nah, sesungguhnya durasi hidup manusia hanya satu klise saja atau satu ajal, persis seperti maklumat manusia yang tertulis rapi dan sempurna di lauh mahfudz dari awal hingga akhir (qodho), yang takdirnya dijelmakan menjadi manusia dibumi (qodar) secara sesaat atau tempo persis seperti klise film tadi, untuk membuktikan bahwa manusia itu selalu baru (hudust) dan hanya Allah saja yang Qodim. Al Qur’an mengatakan bahwa: “Maka jika datang waktu kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan mendahulukannya sedetikpun”. Ironisnya, manusia tidak merasa bahwa hidup itu sebentar atau satu tempo atau satu klise film, kecuali apabila mempunyai ma’rifat, maka akan mampu menyaksikannya, karena manusia beradaptasi kepada wujud ini dengan jasmani, jika dengan rohani maka akan merasakan hakikat kehidupan ini, yang sebentar saja dan selalu baru. Oleh sebab itu, orang yang ma’rifat selalu ingat mati, rasanya kematian itu ada di kelopak matanya, seperti gambar di layar takut berhenti tidak ada klise berikutnya. Baginda Nabi Muhammad,saw, bersabda : ‘li waqtun, saya punya waktu’ artinya saya punya durasi kehidupan yang paling kecil, tidak ada yang dapat meliputi diwaktu itu seperti meliputi aku, siapapun tidak punya, baik itu malaikat yang muqorrob. Mengenai muqorrob ini ada salah satu syarah daripada Syeikh Abdul Ghoni an Nabulsi,qs, bahwa makna malak muqurrob adalah wali, malak itu sebutan bagi orang yang mempunyai sifat malaiki, akhlak mulia, karena dijaman Rasulullah,saw, ada orang sholeh yang memiliki sifat malaikat. Siapapun selain aku sabda baginda Nabi Muhammad,saw, jelmaan-Nya atau tajjali-Nya tidak sesempurna aku, sifat mulia yang Allah jelmakan kepadaku adalah yang paling sempurna. Maka kenikmatannya pun dalam menjalani jelmaan-jelmaan-Nya tidak seindah yang dirasakan oleh baginda Rasulullah saw.

Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.

Kamis, 11 Maret 2021

BERJALAN MENUJU ALLAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Ada yang mengatakan bahwa jiwa atau nafsu manusia itu laksana pusat kota artinya sangat sibuk dan banyak pendatang serta hiruk pikuk dan tidak pernah sepi. Terbukti memang, bahwa ketika manusia sedang sendiri namun pikirannya tidak pernah behenti, gambar atau permasalahan kehidupan muncul silih berganti. Jika seorang sufi itu merasa sendiri ditengah keramaian, maka manusia biasa merasa ramai dikesendiriannya. Oleh sebab itu jika tidak dilakukan penertiban maka yang terjadi adalah kekacauan dan kehancuran. Tetapi apakah manusia mempunyai kesadaran akan hal ini? Ironisnya jika tidak ada pusat kota, maka manusia sangat sulit melakukan perjalanan, karena disitulah tersedia berbagai macam sarana untuk memudahkan perjalanannya, begitu pula manusia, berkumpulah berbagai bentuk anggota tubuh (jawarih) yang masing-masing mempunyai keinginan dan bersatu menjadi syahwat, maka jika manusia tidak memiliki nafsu maka mustahil dapat merealisasikan perjalanannya menuju kepada Allah. Itulah mengapa para sufi mengatakan bahwa nafsu itu adalah substansi manusia. Manusia diperintah untuk beribadah atau mengenal Allah atau katakan dalam bahasa tasawufnya berjalan menuju kepada Allah. Disinilah pokok pembahasannya, bahwa yang paling mudah untuk mecapai tujuan yang tidak ada tujuan lagi adalah dengan jalan mengikuti kepada orang yang telah sampai (wushul) kepada-Nya, bahasa tasawufnya disebut sebagai suhbah atau mempunyai guru ruhani untuk berqudwah dengan cara tarbiyah, kepada seorang mursyid yang kamil. Dari wejangan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dapat dipahami bahwa keberhasilan pendidikan ruhani bilamana memenuhi tiga syarat, yang pertama adanya murid yang jujur (siddiq) menginginkan Allah, yang kedua adalah manhaj yang shahih atau motede tarbiyah yang memang sudah teruji kebenarannya dan ketiga adalah adanya guru pembimbing ruhani yang sempurna atau mursyid kamil.

Al Qur’an itu penuh dengan perumpamaan atau mitsal yang sangat tinggi dan mempunyai makna yang berlapis-lapis. Begitu juga dalam dunia tasawuf, mereka mentransformasikan pengalaman ruhaninya atau dzauqiyah kedalam bahasa akal (aqliyah). Oleh sebab itu istilah tentang berjalan menuju Allah berbeda-beda, namun mempunyai makna yang sama. Perjalanan menuju kepada Allah bukanlah perjalanan physical atau bahkan pikiran, karena physical dan pikiran tidak akan pernah pergi ke Allah, jadi yang dimaksud dengan kembali kepada Allah atau berjalan menuju kepada Allah adalah perjalanan yang dilakukan dengan melintasi dan meninggalkan nafsu. Maka ketika Nabi Adam,as diturunkan ke bumi setelah makan buah khuldi, itu sebetulnya bukan dijauhkan justru untuk didekatkan atau disempurnakan. Maka jika tidak ada tubuh, tidak akan ada nafsu dan tidak pernah bisa berjalan menuju kepada Allah, maka dengan adanya nafsu adalah merupakan rahmat. Karena sesungguhnya tidak ada ‘jarak’ antara manusia dengan Allah, sehingga perjalanan menuju Allah adalah perjalanan melintasi, melewati dan melepasi nafsu saja, atau dalam istilah tasawuf dikatakan sebagai mujahadatun nufus atau berperang melawan hawa nafsu, atau ada istilah lain yang mengatakan menghilangkan hawa nafsu, ini adalah istilah-istilah yang dibuat oleh para sufi yang menggambarkan bahwa seolah-olah perjalan ini menempuh jarak yang jauh, padahal dikatakan didalam Al Qur’an bahwa Allah lebih dekat daripadamu dari urat lehermu. Lalu apa yang dimaksud dengan jauh? Itulah hijab! jika ada hijab itu jauh dan jikalau hijab itu dibuka artinya dekat, jadi semakin banyak hijab dibuka maka akan semakin dekat, maka dapat dikatakan bahwa perjalanan menuju kepada Allah itu adalah menyingkap hijab (kasyful hijab), oleh sebab itu dikatakan bahwa perjalanan ini tidak pernah berakhir. Misalnya hijab itu kufur, lalu kufur dibuang dengan masuk Islam, setelah masuk Islam lalu beribadah, maka ibadah pun hijab, manakala ibadahnya bermotifkan imbalan, maka mesti karena Allah, ibadah karena Allah pun hijab mesti ibadah dengan Allah. Apa yang Allah berikan kepada manusia sesungguhnya bukan Allah, meskipun itu ma'rifat, kasyaf dan zuhud. Nah maka yang dimaksud jauh adalah sesuatu yang menghijabi perjalanan, maka perjalanan orang menuju kepada Allah atau thoriq itu adalah jika menyaksikan bahwa apa yang dilakukan adalah anugerah dari Allah SWT. Maka permulaan orang awam merasakan bahwa jika ibadahnya banyak rasanya dekat, dan jika masiat rasanya jauh, jadi jauh dan dekat diukur kepada amal, ini pada permulaan orang beribadah kepada Allah, tetapi setelah itu, jauh adalah apabila beribadah dengan dirinya dan dekat manakala ibadah itu dengan anugerah Allah, dengan sifat yang Allah anugerahkan. Maka berarti perjalanan kepada Allah adalah bagaimana agar menghilangkan nafsu itu. Imam Abdul Ghani an-Nabulsi,qs, mengumpamakan nafsu itu seperti cermin, nafsu itulah yang membuat kita menyaksikan bahwa kita ada.

Maka kesimpulannya ketika seseorang tidak ada nafsu, tidak ada syahwat, maka tidak perlu ada perjalanan kepada Allah, karena perjalanan kepada Allah itulah melepasi, menghapus atsarnya nafsu. Bilamana ibadah karena dirinya, dalam tingkatan yang tinggi itu dosa atau ibadah tidak khusyuk adalah dosa. Imam Abul Hasan As-Syadzili,ra, bermimpi Rasulullah,saw dan bertanya engkau mengatakan orang yang bershalawat kepadamu Allah bershalawat kepada mereka sepuluh kali, apakah itu yang hadir atau yang gofil bacaannya? Rasulullah,saw menjawab yang gofil, lalu ditanya bagaimana jika hudhur? Rasulullah,saw menjawabnya tidak terhitung, tidak ada hisab. Artinya orang yang hudhur adalah orang yang memiliki syuhud, karena dia sudah tidak menghitung perbuatannya yang dikaitkan dengan pahala melainkan seolah-olah melihat Allah yang berbuat semuanya (musyahadah). Jadi kalau manusia mengaku bahwa peribadatan dan perbuatan baiknya karena dirinya, maka Allah akan menghitung mana yang salah dan mana yang benar, yang pasti semuanya salah. Maka jika masih ada nafsu, manusia akan melihat segala sesuatu dia yang berupaya dan membuatnya dan itulah yang perlu ditinggalkan, itulah yang dimakasud 'perjalanan' yang mesti dilepasi menuju kepada Allah SWT, yaitu an nufus. Itu sebab Imam Abu Madyan al-Ghaust,qs, mengatakan ‘orang yang belum membunuh nafsunya belum melihat Haq’, orang juga menganggap bahwa membunuh nafsu itu membunuh kelezatannya, membunuh syahwatnya, bukan, tetapi membunuh ashar-nya, membunuh ketergantungannya, membunuh itimadnya adapun diri atau nafsu tidak dapat dibuang. Di tv ada seorang ulama di Indonesia diwawancarai, pak Kyai kenapa punya istri tiga apakah waktu menikah dengan nafsu? Tidak dijawabnya, karena baginya menjawab dengan mengatakan menikah dengan nafsu itu buruk, maka jika syeikh sufi ditanya apakah dengan nafsu maka akan dijawab kalau tidak dengan nafsu untuk apa dinikahi. Jadi yang dimasud dengan dimatikan nafsu itu, di bunuh nafsu itu, di mujahadah nafsu itu, adalah rasa independent-nya. Oleh karena itu Imam Abdul Qodir al-Jailani,qs, atau Imam Hatim al-Asham,qs, mengatakan bahwa mematikan nafsu ini, melawan nafsu ini, perlu mematikan empat jenis nafsu, maka ada istilah empat kematian, yang pertama disebut ‘mautun ahmar’ mati merah, maka jika seorang syeikh memakai jubah atau topi merah berarti itu sudah mati merah, mati merah ini adalah mukhalafatu nafs, itu sebuah simbolik melawan nafsu, nafsu tidak ingin shalat malam, dzikir, baca Al Qur’an, puasa, maka dia melawannya dengan melakukan itu semua karena dan dengan Allah, yang kedua ‘mautun aswan’ mati hitam, adalah menanggung gangguan manusia, orang tidak suka, orang menghina, orang mencerca maka ditanggung, ditahan dan tidak membalasnya. Dan kemudian mati putih, mati putih inilah puasa makan daging atau makan yang bernyawa, kalau di Jawa Tengah, melakukan semua mati ini disebut mati geni, geni itu api, nafsu, mematikan nafsu itu jika dilakukan semuanya sekaligus biasanya mati geni tiga hari, tidak tidur, tidak makan dan tidak bertemu orang, maka ada istilah puasa mutih yang putih-putih saja yang boleh dimakan, nasi putih, ubi kayu putih, minum air putih dan yang terakhir mati ahbar atau mati hijau memakai baju yang buruk-buruk, tambal-tambal itu juga melawan nafsu, tetapi di Maroko tambal-tambalnya dibuat indah. Tidak semua di dalam tasawuf menyuruh memakai baju tambal-tambal, terutama dalam tarekat syadziliyah tidak menganut mati hijau, bahkan disuruh memakai baju yang mewah-mewah, kesemuanya ini dalam rangka mujahadatun-nufus melawan nafsu. Makanya Nabi,saw menyebut ahli surga itu sifatnya tiga, menyambung silaturahmi kepada orang yang memutusnya, memberi kepada orang yang tidak memberi kepada kita dan memaafkan pada orang yang menyakiti kita, bahkan meminta maaf. Secara fitrah bahwa nafsu ini, tubuh ini mempunyai sifat baik dan buruk bawaan (jibiliyah), maka ketika orang melakukan ibadah dia akan mengakui bahwa dia yang melakukannya, karena dia mempunyai sifat itu, maka ketika manusia belum mempunyai sifat rohani, dia mesti melawan nafsu itu, dengan cara membetulkan tujuannya atau tawajjuh kepada Allah secara jujur. Madrasah tarekat itu manhaj utamanya adalah meninggalkan semua amal ibadahnya yang selama ini selain Allah menjadi karena dan dengan Allah, lillah, bukan hanya sekedar banyak shalat taubat, dzikir dan selalu berwudhu, karena banyak kelompok pengajian yang bukan tarekat pun telah melakukan hal ini.

Seorang syeikh, seseorang murabbi dialah yang mengajarkan, menguji, mendidik murid-muridnya untuk melakukan segala sesuatu karena dan dengan Allah. Karena hanya dengan ibadah yang dilakukan karena dan dengan Allah itulah yang akan Allah turunkan sifat-sifat-Nya atau disebut tajalli dan itulah perjalanan menuju kepada Allah. Artinya selain seseorang itu melakukan mujahadatun nufus, maka perlu bersuhbah, artinya seorang murid memerlukan tarbiyah dari seorang guru, karena seorang guru pernah menjalani tarbiyah dari guru sebelumnya dan telah menerima waris ruhani. Artinya ketika nafsu melakukan sesuatu sudah di bawah kekuasaan rohani, bahwa melakukannya karena dan dengan Allah, melihat karena Allah, mendengar karena Allah, berbicara karena Allah, karena jika belum ada rohani maka masih ada pengakuan dalam diri bahwa aku memberi, aku mujahadah, aku riyadhah, aku dzikir, aku puasa dan sama dengan binatang serta tidak berjalan menuju kepada Allah dan hal ini malah akan mempertebal hijab.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

Sabtu, 06 Maret 2021

MENGAPA AKU SELALU BERCERITA TENTANG AKU

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Imam Junaid,ra, meraknya para sufi berkata bahwa awal dosa adalah merasa ada. Ciri orang yang merasa ada adalah setiap pembicaraan dan perilakunya ditujukan untuk menunjukkan bahwa dirinya hebat. Ini sebagai bukti bahwa meskipun mulutnya sering menyebut nama Tuhan dan membicarakan nama dan sifat-Nya namun hatinya mendustakannya. Harus disadari bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia, maka hawa nafsunya minta atau menuntut bagiannya. Dan ironisnya bahwa hawa nafsu itu tidak bisa dihilangkan, itu subtansi dan karunia dari Allah SWT. Oleh sebab itu jika hawa nafsu dianalogikan sebagai kuda, maka dibutuhkan penunggannya agar kuda mempunyai tujuan yang benar dan tidak asal berlari, nah penunggang itu adalah cahaya pada ruhani manusia, cahaya ini diperoleh dari pemberian Allah SWT tanpa sebab dan sekehendak-Nya. Dalam dunia tasawuf cahaya ini disebut sebagai maqomat ruhiyah atau akhlak karimah, dan dipercaya bahwa dengan jalan riyadah dan mujahadah maka maqomat ruhiyah ini kemungkinan bisa diperoleh, Imam Ghazali,ra, menyebutnya dengan melakukan proses takhali, tahali dan kemudian tajjali.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa dalam hidup ini tidak ada pilihan kecuali piliha-Nya, oleh karenanya jangan ikut campur dalam mengatur kehidupan ini. Wejangan ini keluar dari keadaan yang tinggi, karena sudah menisbatkan segala sesuatunya kepada Allah SWT, persis seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Arabi,qs, bahwa manusia ini adalah jelmaan sifat dan perbuatan-Nya. Sebagaimana projector, gambar yang ada di layar telah ditentukan pada potongan-potongan negative film yang ada pada projector itu dengan terpaksa atau sukarela.

Orang yang telah menyaksikan sifat Tuhannya, tidak punya berita tentang dirinya, ia tidak peduli apakah seseorang sepakat dengan pendapatnya atau tidak sepakat, tidaklah akan bersarang dan menggores hatinya. Meskipun banyak orang bisa mengerti dan memahami pengertian diatas, akan tetapi jika memahaminya terhadap teks saja meskipun betul, itu tidak hakiki, itu palsu. Artinya, meskipun akal (maklumat) sebagai jalan pertama dan utama untuk menjadikan karakter dalam ruhani (maqomat), namun pemahaman akal masih didominasi oleh ke akuan (ananiyah), yang tentunya setiap perbuatannya akan dinisbatkan kepada kepentingan dirinya atau hawa nafsunya, oleh karenanya orang mesti membangun jembatan agar maklumat bisa mulus menuju atau menjadi maqomat, jembatan itu adalah tasawuf. Mari kita pahami hadis tentang ihsan: ‘Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak. Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ Seolah-olah melihat Allah adalah musyahadah atau syuhud sedangkan seolah-olah Allah melihatmu adalah muroqobah. Nah musyahadah atau syuhud dan muroqobah hanya dapat diperoleh melalui tarbiyah ruhiyah atau taskinatun nafs dengan jalan suhbah sebagai qudwah, karena jalan satu-satunya untuk memperoleh ‘waris ruhani’ adalah dengan jalan suhbah, sebagaimana sahabat-sahabat yang bersuhbah kepada baginda Rasulullah,saw. sehingga lahirlah cinta atas dasar waris ruhani ini, yang mengakibatkan selalu dirliputi rasa rindu (syauq). Oleh karenanya ada hadis yang mengatakan bahwa: ‘Al-ulama waratsatul anbiya’ yang berarti ulama adalah pewaris para-Nabi.’ Begitu syariat turun maka bergembiralah mereka, karena mendapatkan bentuk atau cara mengungkapkan kerinduan kepada kekasihnya, dalam bentuk shalat, puasa, zakat dan pergi haji serta amal baik lainnya yang kesemuanya dilakukannya dari, dengan dan untuk Allah.

Mu'min yang sempurna itu disibukki oleh memuji sifat-sifat Allah, sifat-sifat Indah (Jamalullah), sifat-sifat Keperkasaannya (Jalalullah) dan sifat-sifat Kesempurnaannya (Kamalullah) dan selalu menisbatkan sifat-sifat itu kepada-Nya dan tidak tersisa sedikitpun untuk yang lainnya. Mengapa? Karena dia melihat dirinya tiada, setiap mulai bicara ada pun bukan merasa ada, melainkan Allah yang Ada. Nah karena semua sifat baik berada di tangan Allah, maka sifat buruk itu adalah tiada, bagaimana mungkin yang tiada dinisbatkan kepada yang Ada? Oleh sebab Itu buruk dinisbatkan kepada yang tiada, yaitu manusia, maka ketika orang memuji baginda Nabi,saw, wajah yang mulia merona merah, bahkan wajahnya ditutupi karena malu, karena orang yang memujinya menyangka itu sifatnya, padahal semua sifat baik itu milik Allah. Akan tetapi kepada sayyidina Abu Bakar,ra, malah disuruh memujinya, lantaran ketinggian keadaan ruhaninya yang mengetahui bahwa yang dipuji bukan baginda Rasulullah,saw, melainkan Allah SWT. Riwayat ini memperlihatkan perbedaan dengan kebanyakan orang, yang mana bila dipuji lantas merasa senang, maka dikipasnya pujian itu agar membesar. Nah mu’min sempurna itu jiwanya disibukkan oleh melihat keindahan Allah, meskipun iblis yang dilihatnya akan terlihat keindahan Allah. Oleh sebab itu ketika mereka melihat orang sholeh, dia melihat dengan mata cinta, karena dia melihat Allah telah mentajjalikan sifat-Nya kepadanya. Kisah, seorang guru dan muridnya, ketika gurunya berubah kafir, muridnya mendatanginya tanpa memandang hina, tetapi memandang dengan mata cinta. Saat berjumpa, gurunya sudah merasa malu dan menyuruhnya pergi, maka si murid mengatakan: ‘Engkau adalah syaikhu, engkau guruku, wahai guruku aku tidak pernah merasakan apa murninya cintaku kepadamu seperti hari ini, engkau dulu yang mengajarkan aku, bahwa hati manusia ditangan Allah bukan ditangan manusia, sekarang aku menyaksikan kebenaran kata-kata itu, bolehkah aku katakan kepadamu wahai guruku, kembalilah kepada jalan Allah’. Perkataan itu tanpa adanya bobot rasa menggurui melainkan meluncur dengan kendaraan cinta, mendengar itu gurunya pun menangis dan seketika kembali ke jalan Allah. Inilah contoh kisah orang yang disibukkan oleh Allah, yang lahir dari menyaksikan sifat Indah dan menisbatkan sifat Indah itu kepada Allah, maka timbul fana daripada melihat dirinya hebat, baik, pandai, bersyukur, ridho dan lain sebagainya. Ketika orang mengatakan saya sudah berhaji kemudian saya banyak melakukan kebaikan, itu menisbatkan perbuatan-perbuatan baik kepada dirinya, padahal hakekatnya adalah fi’il Allah, yang baik-baik itu kepunyaan Allah, ketika Allah tidak memberi baik kepada kita, maka apa yang kita bisa lakukan? Syariat membagi sesuatu itu baik dan buruk, padahal sebelum ada syariat tidak ada baik dan buruk, oleh karena itu sifat baik yang semula ada (fitrah) adalah untuk memelihara dirinya, akan tetapi agama mengatakan untuk berbuat kepada Allah, agama itu adalah untuk hikmat kepada Allah, itu yang disebut ibadah, kepada istri kepada suami, kepada anak, kepada guru, kepada murid, maknanya ibadah kepada Allah, Itulah hikmat.

Mukmin yang sempurna tidak menisbatkan perbuatan baik dan keadaan yang mulia dalam dirinya, bahkan tidak menoleh sama sekali, ia sibuk memuji Allah daripada melihat sifat-sifat baik kepada dirinya. Bahkan lebih jauh dari itu, ia pun disibukkan oleh hak-hak Allah daripada untuk haknya atau bagian nafsunya. Terdapat dalam hadits, seorang hamba di akhirat nanti ditanya kenapa engkau tidak bersyukur di dunia kepada manusia? Dijawab karena aku hanya ingin bersyukur kepada Engkau dan Engkau tidak boleh disamakan dengan yang lain, Dijawab tandanya bahwa engkau bersyukur kepada Allah adalah engkau bersyukur kepada makhluk-Nya, itu sebab imam Ibnu Arabi,ra, berkata orang yang mengenal Allah hanyalah orang yang berakhlak kepada semua makhluk Allah, tidak peduli siapa orang itu, karena dia sibuk pada hak Allah, jika ada orang datang minta tolong maka segera akan dipenuhi sebagai pemenuhan hak Allah. Bukanlah seorang pencinta yang mengharap ganti dari kekasihnya, sedangkan kita shalat, puasa, selalu memikirkan balasan dari Allah yang berupa ini dan itu. Bukanlah pencinta yang hakiki orang yang mengharapkan dari kekasihnya ganti dari amal yang dilakukannya berupa surga atau takut neraka atas dosa yang diperbuatnya. Orang-orang sufi melakukan peribadatan bukan karena wajib, melainkan karena mahabbah, makanya kata mereka thoriquna mahabbatullah amal, jalan kami cinta bukan amal, bukan berarti orang tidak beramal, artinya mereka melakukan ibadah itu bukan atas dasar wajib, melainkan atas dasar cinta. Nabi,saw berkata di akhir zaman nanti ada orang yang diikat untuk dibawa ke surga, karena ibadahnya merupakan pelaksanaan kewajiban dan selalu mengharapkan surga, kalau tidak diwajibkan maka tidak beribadah, artinya kalau tidak ada surga maka dia tidak beribadah. Sayyidina Ali,ra, sejak dulu sudah berkata, aku akan tetap beribadah meskipun Allah tidak memberi surga, itulah bunyi dari rohani yang hakiki, maka seorang pencinta yang hakiki adalah bukan orang yang mengharapkan ganti dari kekasihnya atau meminta balasan dunia, barang benda dunia dan akhirat, ini muhibb yang hakiki. Itu sebab Imam Ibnu Arabi,qs, mengatakan wujudmu anugerah Allah, yang dimaksud bahwa ciptaan ini dilahirkan, diciptakan dari cinta dan Allah tidak pernah mengambil atau meminta upah dari apa yang Dia buat, sampai mati pun manusia dilumuri nikmat dan pemberian Allah itu tidak pernah berhenti, oleh sebab itu para Aulia tidak berani minta kepada Allah. Apa kata hadrat Maulana Rumi,qs Allah tahu isi hatimu sebelum kau mengucapkan doa pada Allah, tapi Allah ilhamkan doa kepadamu agar kau merasa lezat bermunajat kepada-Nya. Itu sebabnya cinta hakiki adalah si pencinta telah mendapatkan atau mengambil sifat kekasihnya, si pencinta telah mendapatkan sifat kekasihnya, ketika seseorang sudah mendapatkan semua sifat Allah Itulah cinta yang Hakiki, karena dia telah memiliki sifat yang dicintainya, itu sebab Syeikh Mansyur Al Hallaj,ra, mengatakan ‘aku mencintaiku, karena tidak ada kecuali aku.’

Wallahualam bisawab, semoga ada manfaatnya.

Jumat, 05 Maret 2021

HAKIKAT TAWADHU

Bismillahir Rohmanir Rohim

Pada umumnya masyarakat di Indonesia memahami arti tawadhu adalah rendah hati, jadi siapapun yang merasa rendah hati sudah memiliki tawadhu. Didalam ilmu kesufian tidaklah demikian, karena orang yang menetapkan kepada dirinya sifat tawadhu, maka ia adalah orang yang sebenar-benar sombong. Tawadhu adalah orang yang kedudukannya berada di atas kemudian dia merendah kepada orang yang di bawahnya, bukan orang yang kedudukannya di bawah merendah kepada yang diatasnya. Pejabat merendah kepada rakyat, bukan rakyat merendah kepada pejabat, tuan guru merendah kepada murid, bukan murid kepada tuan guru, dan orang alim kepada orang bodoh dan bukan sebaliknya itulah tawadhu. Contohnya, seorang guru masuk ke majlis, lalu berpura-pura batuk agar orang mengetahui kedatangannya, maka rusaklah majlis itu, karena meskipun ia seorang guru namun tidak menghargai majlis ilmu, karena apapun alasannya majlis ilmu lebih mulia daripadanya. Di zaman Imam Malik,ra, disaat majlis ilmu berlangsung, tiba-tiba ada khalifah mengunjunginya, lalu orang-orang di majlis berdiri, maka Imam Malik,ra, pergi meninggalkan majlis itu. Suatu hari ia ditanya alasanya dan berkata: ‘Karena ilmu dihinakan dan dunia ditinggikan.’ Juga di zaman Umar bin Abdul Aziz,ra, ketika beliau masuk kedalam majlis ilmu yang tengah berlangsung lalu orang-orang berdiri menyabutnya, beliau marah dan berkata: ‘Kalian tengah mengaji dengan tuan guru, saya pun datang untuk mengambil ilmu dan ilmu jauh lebih mulia dibanding saya, maka tidak sepantasnya kalian mengabaikan ilmu dan menghurmati saya.’ Maka dengan demikian jika seseorang merasa dirinya hina dan tidak melihat dirinya punya kedudukan dan mempunyai nilai maka takabur pun lenyap, jika takabur lenyap maka yang tinggal adalah sifat tawadhu. Tetapi seseorang jika merasa mulia, bernilai, apalagi merasa telah menyembunyikan kedudukannya agar terlihat tawadhu, maka ini adalah takabur.

Memang orang yang tawadhu tidak berarti duduk paling belakang dalam majlis, tetapi jika seseorang yang tinggi dan luhur yang sepatutnya duduk di depan, kemudian datang ke majlis dan majlis sudah mulai, maka dia merasa tidak adab jika melangkahi orang-orang untuk dapat tempat didepan, maka ia duduk dibarisan itu berakhir, meskipun itu dekat tempat sampah. Tawadhu itu muncul ketika merasakan Keagungan Allah dan merasa dirinya hina. Orang punya sifat sabar karena Allah telah memberi sifat sabar kepadanya, maka dia mampu menyabari Allah, juga berlaku pada sifat-sifat yang lain, misalnya sifat siddiq maka seseorang mampu jujur kepada Allah, sifat ridho maka dia ridho kepada Allah, sifat tawakal maka dia bertawakal kepada Allah, nah sifat-sifat inilah yang melihat Kebesaran Allah, sifat-sifat inilah yang menyaksikan bahwa dia tiada, jika seseorang telah memiliki sifat-sifat ini, maka hati menjadi khusyuk dan tawadhu. Jadi bisa dikatakan bahwa sifat tawadhu itu tumbuh dari sifat kehambaan, sifat kehambaan itu tumbuh karena menyaksikan Keagungan Allah, menyaksikan Keagungan Allah itu tumbuh jika memiliki akhlak mulia. Jadi bukan merasa tawadhu, karena itulah takabur hakiki, Syekh Ibnu Athaillah,qs, mengatakan : ‘Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya. Namun, orang yang tawadhu itu ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.’ Yang mulia baginda Nabi,saw, tidak pernah ada yang mendahului mengucapkan salam kepadanya, meskipun ada sahabat yang berupaya ingin mendahuluinya, namun tidak pernah berhasil, suatu ketika seorang sahabat bersembunyi di belakang Nabi,saw, agar dapat mendahului memberikan salam, namun sebelum sahabat itu mengucap salam beliau mendahuluinya, artinya tidak ada sifat tawadhu yang lebih tinggi daripada baginda Rasulullah,saw, karena beliau dapat melihat belakang sama baiknya dengan melihat ke depan, melihat jahir sama jelasnya dengan melihat batin. Meskipun syariat mengatakan bahwa yang berjalan memberikan salam kepada yang duduk, yang dibawah mengucapkan salam kepada yang diatas, yang datang mengucapkan salam kepada yang diam, akan tetapi akhlak melampaui batas-batas itu, pemilik akhlak yang tinggi selalu memberi salam tanpa melihat batas-batas itu, karena tidak melihat agama ini secara tekstual, melainkan melihatnya secara kontekstual. Jadi sifat tawadhu itu lahir dari sifat hamba, orang baru merasa hamba ketika dia melihat Keagungan Allah, dan orang baru merasa dan menyaksikan Keagungan Allah apabila dia memiliki sifat-sifat mulia atau akhlak al-karimah, sifat itu yang membuat penglihatan bahwa dirinya hina. Jadi ketika Allah memberikan sifat-sifat mulia itu atau dalam isitlah kesufian disebut maqomat ruhiyah, seseorang bukan merasa semakin tinggi, akan tetapi malah sebaliknya semakin menyaksikan hakikat dirinya tiada, itulah kemudian Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengatakan barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Allah.

Syekh sufi menyebut ciri-ciri orang yang tawadhu, apabila dicaci atau direndahkan tidak marah, karena merasa seseorang mencaci sesuatu yang benar, karena segala kebaikan ditangan Allah (biyadihil khair), dia melihat bahwa dia tidak ada, maka dikatakan buruk, dikatakan bodoh, malah dalam hatinya berkata kamu telah mengatakan sesuatu yang haq, aku tak ada, aku bodoh, karena yang Alim hanyalah Allah dan yang baik hanyalah Allah, bahkan ketika di tuduh melakukan dosa besar pun memang inilah sifat dasar manusia. Ciri yang lain adalah dia tidak sama sekali berusaha untuk mempunyai kedudukan, nilai, harga diri didepan orang, dan dia tidak merasa bahwa dia punya tempat di hati orang. Bahkan seorang Aulia ketika ada orang memuliakan akan mengatakan karena dia cinta kepadaku, kalau seseorang benci maka yang baik pun akan dikatakan buruk, Allah menutupi aibku dengan cintanya, jika Allah buka aib ku maka dia akan benci yang luar biasa kepadaku, itu sebab Aulia tidak bergantung kepada orang yang suka ataupun orang yang benci, semuanya Allah yang membuatnya, dia berada di lautan tapi tidak goncang oleh ombak, itulah orang yang bersama Kebesaran Allah dan Keagungan Allah.

Tawadhu yang hakiki bukan sifat yang ditumbuhkan oleh pikiran, itu adalah ketundukan jiwa karena telah mempunyai sifat-sifat mulia, maqamat ruhiyah atau Allah tajallikan sifat-sifat itu dan orang yang tidak punya sifat tawadhu, tidak dapat mengetahui orang yang tawadhu. Jika Allah memberi sifat taubat maka didalamnya ada tawadhu juga jika memberi sifat zuhud sekaligus dengan tawadhu. Orang bertobat melihat dirinya merasa tak betul, tak ada, kurang, hina, setelah itu berdirilah di atas sifat tobat itu sifat-sifat lain, maka taubat itu seperti pondasi bumi, maka orang yang tidak mempunyai tobat maka tidak akan pernah memperoleh sifat-sifat mulia, akhlak-akhlak mulia, maqom ruhiyah, seperti orang tidak mempunyai tanah tetapi ingin membangun rumah, seperti itu, maka bertambahnya sifat yang diperoleh maka akan bertambah pula tawadhu, maka baru kemudian dia menyaksikan dirinya tidak ada, inilah hakiki.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.