Senin, 29 November 2010

RAJA RIMBA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian pada Jum’at malam tanggal 19 Nopember 2010 tampak sepi, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bersama dengan keluarga tercintanya dan beberapa sahabat sedang menunaikan ibadah haji. Saat pegajian dimulai, hanya dihadiri oleh 8 orang murid saja. Memang demikian, setiap Hadrat Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) melakukan safar, pengajian tampak sepi. Ini pertanda bahwa banyak murid hanya mau beribadah manakala syaikh yang memimpin pengajian, tatkala terlihat oleh Syaikh saja. Bila demikian, akankah pekerjaan-pekerjaan tarekat yang mereka peroleh dari kasih sayang seorang syaikh, dikerjakan dengan baik dan istiqomah bila dirumah atau bila tidak terlihat oleh Syaikh? Berbeda dengan murid yang memiliki kesadaran, dalam keadaan apapun dan dimanapun ia berada, dengan atau tanpa syaikh, mereka tetap menghadiri kholaqoh dzikir dan mengerjakan pekerjaan tarekat, karena ia merasa bahwa syaikh selalu bersamanya dimanapun ia berada. Oleh karenanya, untuk memacu agar para murid selalu menghadiri kholaqoh dzikir Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Aku ada meskipun tiada.’ Bagi kebanyakan murid wejangan ini hanya menjadi slogan saja, mereka terjebak didalam bentuk dan bukan makna, sedangkan bagi murid tertentu tidaklah demikian, mereka hidup dalam robithoh, suka ataupun duka, sedih ataupun gembira, sakit atau sehat, Syaikhuna selalu bersamanya. Inilah pintu-pintu muroqobah, jendela-jendela ikhsan dan permadani musyahadah.

Pengajian tasawuf sarat dengan makna-makna dan bukan bentuk, orang yang hanya memperhatikan bentuk akan jauh dari kesadaran, hal ini berlaku sejak dahulu kala. Hadrat maulana Jalaluddin Rumi,ra., menyampaikan wejangan dalam bentuk syair-syair kepada murid-muridnya. Begitu pula Hadrat Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menyampaikannya dalam kalimat-kalimat yang mempunyai akar dan cabang pensucian diri yang tak terhingga. Agar para murid dapat mengasah kecerdasan spiritualnya, yang ia peroleh dari keteguhannya menjalankan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah. Tanpa melakukan praktik-praktik yang benar, mustahil seseorang dapat memahami syair-syair atau kalimat-kalimat yang keluar dari mulut yang diberkahi itu. Sampai sekarang pun banyak para ulama mencoba memaknai syair-syairnya yang tidak kurang dari 24.666 untai bait yang tersusun rapi didalam kitab Mastnawi. Bisa dibayangkan bila seorang salik hidup dimasa itu, semua makna-makna yang tersembunyi didalam syair yang magis, wajib untuk diketahui oleh semua murid, disamping diharuskan menghafalnya. Bagaimana Hadrat Maulana memperlakukan murid-muridnya itu, mirip dengan Syaikhuna memperlakukan sahabat-sahabatnya. Intinya, adalah berburu binatang-binatang ego yang ada pada diri murid-muridnya, agar sang murid dapat terbang menggapai kesucian diri dan selalu merasa dekat Sang Penciptanya. Selama keakuan masih bercokol didalam dada, maka seseorang akan tenggelam didalam bentuk dan jauh dari makna. Al hasil, adabnya buruk bagi makhluk lain, namun menganggapnya indah. Nah, bila sudah demikian, ia tertipu.

Bagaimana Hadrat Maulana,ra., bersikap terhadap murid-murid yang masih jauh dari kesadaran dan yang telah memperolehnya, tersirat didalam bentuk prosa ini : Seekor singa, serigala dan rubah begabung dan memutuskan untuk berburu bersama dan saling berbagi. Sesungguhnya, singa tidak membutuhkan bantuan mereka, tetapi karena ia adalah Raja Rimba maka ia pun menyetujui ‘keinginan’ binatang lainnya. Tidak lama kemudian, mereka berhasil memburu seekor sapi, domba dan kelinci. Tiba saatnya untuk membagi hasil buruan, serigala dan rubah mulai memikirkan cara pembagian. Sang singa berpura-pura tidak tahu, padahal ia bisa membaca pikiran mereka, dan ingin menguji niat mereka. Maka singa mempersilakan serigala untuk bersikap adil dan membagikan hasil buruan. Dengan sangat berhati-hati, serigala menanggapinya, dan berkata : ‘Tuanku, badanmu besar, begitu pula badan sapi jantan yang kita buru ini, maka engkaulah yang berhak atas sapi itu. Badanku tidak sebesar engkau, maka daging domba sudah cukup untukku. Rubah yang berbadan lebih kecil dari kita, seharusnya sudah puas dengan kelinci.


Para sahabat! tampak pembagian yang dilakukan oleh serigala cukup adil, namun dihadapan Raja Rimba, atau dihadapan seorang Syaikh tidaklah demikian, oleh karenanya kita simak lebih lanjut.

Singa menjawab : ‘Apa yang kau katakan, wahai serigala? Ini milikmu dan itu milikku, dari mana munculnya ‘aku’ dan ‘kamu’? lalu, diterjangnya serigala itu, dicakar, dirobek perutnya sampai mati.


Dalam pengajian tarekat, tindakan serigala jauh dari adab yang baik. Ini milikku, ini milikmu, rasa kepemilikan muncul dari ego atau keangkuhan. Karena kasih sayang seorang syaikh kepada muridnya, segera keangkuhan muridnya itu dicakar dan dirobek, agar mati egonya. Fana’u Syaikh tidak akan diperoleh, manakala seorang murid masih membedakan ‘aku’ dari ‘kamu’. Yang patut disadari bahwa pertimbangan Syaikhuna (semoga allah merahmatinya) menerima murid bukan lantaran kepandaiannya, bukan karena jabatan dan kecerdasannya, melainkan semata-mata karena kasih sayangnya.

Setelah membunuh serigala, singa bertanya kepada rubah : ‘Bagaimana pendapatmu? Bagaimana membagi hasil buruan ini?’ Rubah menjawab : ‘Tidak ada pendapat lain, kecuali satu, tidak bisa ada dua pendapat, Yang Mulia.’ Apa yang kau maksudkan, katakana! ‘Yang Mulia, sapi jantan yang gemuk itu untuk makan pagi baginda, kemudian, daging domba untuk makan siang baginda, dan menjelang malam jika baginda masih lapar, nikmatilah daging kelinci itu,’ Jawab si rubah. ‘Pendapatmu sungguh luar biasa, dari mana kau belajar cara membagi yang demikian adil itu?’ Rubah menjawab : ‘Saya belajar dari nasib serigala.’ ‘Engkau seorang murid yang baik, engkau mencintaiku, ambilah seluruh hasil buruan ini. Aku tidak membutuhkan apa-apa. Semuanya untukmu. Kamu pintar dan mampu belajar dari pengalaman orang lain.’ Rubah menjawab : ‘Kepintaran dan kemampuan saya untuk belajar tidak akan punya arti apa-apa, jika engkau memanggil saya sebelum serigala. Jawaban saya mungkin sama dengan serigala. Tetapi baginda memanggil saya setelah serigala. Apa yang terjadi ini, semata-mata belas kasih Yang Mulia.’


Melihat nasib serigala, rubah tidak lari. Dia berdiri tegar sambil menunggu giliran. Ketegaran dan keberanian ini adalah ciri khas seorang murid yang baik. ‘Tidak lari’ dan belajar dari kesalahan orang lain dan dari diri sendiri, seharusnya menjadi agenda utama seorang murid. Oleh karenanya, dalam memutuskan segala hal, biarlah seorang Syaikh yang menjatuhkan pilihannya, atau membagikan hasil buruan, tanpa para murid mengajukan pilihan atau saran-saran. Semoga makna dibalik bentuk tulisan ini dapat dipahami oleh kita semua. Semoga Allah SWT meneguhkan dan menyelamatkan kita semua dari jalan yang mendaki, licin dan berduri ini. Amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Rabu, 17 November 2010

QURBAN

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. (QS 108 : 2)

Bab ini ditulis bertepatan dengan hari raya qurban 1431 H, bagi orang yang bertasawuf, qurban tidak saja bermakna memotong seekor kambing yang terbaik, melainkan lebih jauh dari itu, yakni mengurbankan kecintaan kepada selain Allah SWT, khususnya kecintaan terhadap sesuatu yang mendominasi ruang hati ini, agar tauhid menjadi bersih, agar Allah mengkaruniai makna dari ‘Ahadiyah’ secara hakiki. Sebagaimana kisah Nabiyullah Ibrahim,as., yang begitu lama mendambakkan seorang putra dan dengan khusyu melantunkan doa-doa. Setelah dikaruniai seorang putra yang bernama Ismail, membuat hatinya berpaling, yang tadinya hanya terisi Allah SWT mulai berbagi, oleh karenanya Allah memerintahkan menyembelih putra tersayang ini, agar hatinya kembali murni, hanya mencintai Allah SWT saja. Nah, orang-orang yang mengikuti hakikat kisah ini, dengan jalan memerangi hawa nafsunya (mujahadah) pada setiap kesempatan, dalam istilah tasawuf disebut mutashowif. Oleh karenanya tidaklah berlebihan jika hari ini dapat juga dikatakan sebagai hari raya-nya para muthasowif.

Seorang salik bertanya kepada salik yang lain : ‘Kita sudah cukup lama mengikuti pengajian disini, apakah engkau merasakan sesuatu?’ ‘Ya’ jawab salik yang lain, ‘Aku merasa semakin tidak ada kemajuan dalam jerih payahku ini, jika dipuji aku merasa senang dan jika dikritik merasa tersinggung, dahulu pun sebelum mengaji aku merasakan hal yang sama.’ Dialog ini sungguh apik, seorang salik yang gigih dalam menjalankan pekerjaan tarekat lebih dari sepuluh tahun lamanya berkata seperti itu. Sepintas tampak sama keadaan sang salik sebelum dan sesudah mengikuti pengajian, padahal tidaklah demikian. ‘Kesadaran’ yang diperoleh bahwa dirinya merasa senang jika dipuji dan sebaliknya merasa tersinggung jika dikritik adalah karunia dari Allah yang sungguh besar. Tentunya diperoleh setelah berjuang dalam jangka waktu yang lama melawan keinginan diri dengan sekuat tenaga dan menjalankan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah, melalui kaifiat-kaifiat yang benar sesuai dengan bimbingan syaiknya, lalu jujur terhadap dirinya sendiri adalah pintu gerbang ma’rifat. Melihat dirinya semakin tidak berarti, adalah kemajuan yang luar biasa dalam menempuh jalan keruhanian, sebaliknya merasa dirinya hebat dan menunjukkan kepada orang lain dengan prilaku yang menjijikkan, bahwa ‘Aku’ adalah orang yang paling berbakat, ‘Aku’ adalah orang yang duduk disebelah kanan Syaikh, ‘Aku’ adalah yang memberikan tausyiah, ‘Aku’ yang memimpin pembacaan Asma ul Husna, ‘Aku’ yang duduk dekat pintu rubat Syaikh, ‘Aku’ yang memimpin doa, 'Aku' yang bertopi biru .. dan Aku .. Aku dan Aku, adalah sungguh memilukan hati. Semakin banyak ‘Aku’ maka semakin buruk pula tingkat keruhaniannya. ‘Aku’ adalah tebu dan fananya ‘Aku’ adalah gula, untuk membuat teh menjadi manis tidak perlu tebu melainkan gula. Seorang salik yang gagal dalam bertasawuf adalah tebu, sedangkan ia yang telah berhasil mengalahkan keakuan adalah gula. Mencuri hati seorang Syaikh dengan melanggar perintahnya untuk kepetingan dirinya adalah pencuri sejati, sedangkan taat kepada perintah Syaikh untuk menghalangi sahabat yang lain berdekat dengan Syaikhnya, adalah perampok. Tidak disadari, orang-orang yang demikian, meskipun secara lahiriyah berdekat dengan Syaikh, tetapi malah mengalami kemunduran yang luar biasa, karena egonya berkibar terus menerus. Sebagaimana ‘Yudas’ yang selalu mengikuti Nabiyullah Isa,as., namun ditakdirkan berkhianat, naudzubillah min dzalik. Karena sungguh jelas bahwa Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu membimbing murid-muridnya untuk selalu berperang melawan hawa nafsunya, mengalahkan egonya, artinya harus mengurbankan kepentingan dirinya demi kepentingan orang lain, guna kepentingan sahabatnya bukan dirinya! Inilah salah satu makna qurban bila diaplikasikan kepada kehidupan bertasawuf.

Kisah diatas juga pernah terjadi dalam lingkungan tarekat maulawiyah, sebagaimana yang dikisahkan oleh Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,r.a, yang dikisahkan secara elok dalam kitab mastnawi yang masyhur itu. Kisah itu bercerita tentang seekor keledai yang dikandangkan bersama seekor onta, keledai itu berkata : ‘Kepalaku selalu menunduk kebawah, kendati demikian, aku masih selalu jatuh. Sementara kepalamu tegak, dan pandanganmu lurus serta melihat keatas, tetapi engkau tidak pernah jatuh, apa sebabnya? Sang onta menjawab : ‘Dengan kepalaku tegak dan lurus aku bisa melihat jauh. Kalau ada lubang, aku bisa menghindarinya.’ Mendengar itu si keledai menangis, ‘Bimbinglah aku, tunjukkan kepadaku jalan yang lurus, sehingga aku tidak jatuh lagi.’ Sang onta menjawab : ‘Dengan mengakui kelemahan diri, kamu sudah terselamatkan. Berbahagialah sekarang, karena kamu sudah terbebaskan dari sesuatu yang jahat.’

Terbebaskan dari sesuatu yang jahat, apa gerangan yang jahat itu? Yakni keakuan atau ego! Tujuan utama bertasawuf adalah mengalahkan keakuan atau ego, hal ini tidak boleh terlupakan oleh para salik, bukan malah membangunnya. Sebagaimana sebuah hadis yang mengatakan bahwa : 'Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu, barang siapa mengenal dirinya (nafs-nya atau ego-nya), maka ia mengenal Tuhannya.' Bagi orang yang belum pernah mengalami manfaat berdekat dengan seorang syaikh, kisah diatas terdengar absurb, sedangkan bagi orang yang tercerahkan akan mempercayainya. Dalam kisah itu, baik keledai maupun onta tidak memiliki ‘free will’ atau kehendak bebas. Allah yang berkehendak mengandangkan secara bersama-sama antara onta dengan keledai, meskipun ada sekian banyak onta dan keledai ditempat lain. Keledai yang beruntung itu memperoleh ‘Kesadaran’ lantaran ia berdekat dengan onta, oleh sebab itu sungguh merupakan kerugian yang besar bilamana ada keledai atau makhluk yang lain yang berdekat dengan onta, namun tidak memperoleh kesadaran. Mursyid kita tercinta, Hadrat Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) telah menyampaikan begitu banyak wejangan kepada sekian banyak muridnya, lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa tidak semua murid mampu memahaminya? Lalu sudah sekian banyak murid yang hidup bersama-sama dengan Syaikh, lalu mengapa mereka tidak memperoleh kesadaran? Seorang mursyid bagaikan onta dan murid bagai keledai yang kelelahan memikul beban berat keinginan dan keterikatan tanpa ia menyadarinya.

Oleh karena itu bila Allah SWT menakdirkan seorang salik dapat berdekat dengan syaikh, maka gunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya guna memerangi egonya, menekan kepentingan dirinya, sebab disaat itu ada 'nuurun ala nuur' yang membias kedalam dada sang salik dan membantunya untuk berperang.

Kesadaran itu bagaikan mutiara, yang berada jauh didalam lautan yang dalam dan tertutup rapat oleh tiram. Tidaklah mungkin orang yang hanya bersantai di pantai akan memperolehnya, melainkan mesti berjuang dengan gigih dan bermodalkan ilmu. Seorang syaikh sufi mengatakan bahwa 'mereka yang mencari akan menemukan'. Oleh karenanya, tanpa seorang pemandu mustahil mutiara itu dapat ditemukan. Tentunya seorang pemandu yang pernah menemukan mutiara dimaksud, bukan pemandu yang hanya pandai membaca buku. Seorang pejalan (mutashowif) mesti mengambil pelajaran dari sebuah tiram, meskipun ia hidup dilautan, tidaklah perlu serakah mengambil begitu banyak air, melainkan dengan mengambil setetes air dan memanfaatkannya dengan benar, maka berubahlah pasir didalam perut menjadi mutiara. Tidak perlu merampok waktu yang mulia Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), tidak perlu mengajak beliau kesana kemari, tidak perlu menelpon berlama-lama, akan tetapi dengan patuh dan hurmat karena cinta, yakni dengan gigih menyelam pada setiap malam kedalam lima atau tujuh lathifah yang berada disekitar dada dan kepala, lalu menaklukan berbagai keinginan (keserakahan) dan keterikatan (kebanggaan), insya Allah seorang murid akan menemukan mutiara yang tidak ternilai harganya itu, yakni keasadaran. Tidaklah heran jika pada suatu ketika Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya)berkata bahwa : 'Tasawuf adalah kesadaran.' Mari para sahabat qurbakanlah keserakahan dan kebanggaan kita demi sebuah kesadaran.

Demikian semoga Allah mengasihi kita semua, Amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Selasa, 09 November 2010

GUNUNG

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Sewaktu bumi dihamparkan oleh malaikat atas perintah Allah, sang Malaikat berkata bahwa bumi bergetar, lalu Allah memerintahkan untuk menancapkan gunung, barulah bumi menjadi tenang. Gunung mempunyai posisi yang unik dalam penciptaan, demikian pula yang terdapat pada kisah Nabiyullah Musa,as., yang harus memilih gunung yang pantas sebagai tempat berpijak guna ‘berbicara’ dengan Allah, lalu gunung Sinai (thursin) menjadi pilihannya, gunung yang tampak paling rendah diantara gunung-gunung yang lain. Oleh sebab kisah ini, gunung Sinai dijadikan symbol sebagai kerendahan hati (tawadhu), dan semenjak saat itu lah Nabiyullah Musa,as., mendapatkan gelar Kallamullah (orang yang berbicara dengan Tuhan). Gunung Sinai atau kerendahan hati (tawadhu), menjadi tempat yang istimewa didalam Al Qur’an Nuur Kariim, terdapat sebuah ayat dimana Allah SWT bersumpah atas nama gunung Sinai ini.

Dalam dunia ke-sufi-an, gunung mempunyai makna yang khusus, Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga allah merahmatinya) sering mengatakan bahwa : ‘Gunung adalah sebagai lambang kewalian.’ oleh sebab itu, bukan tanpa arti orang-orang terdahulu memberikan gelar kepada raja yang dicintainya dengan sebutan Pakubumi, Mangkualam, atau Pakubuwono, yakni orang-orang yang ditunjuk oleh Allah sebagai gunung untuk menjaga alam sekitarnya atau wilayahnya agar tidak bergejolak, baik secara lahir maupun batin. Memang pantas para raja-raja terdahulu mendapatkan gelar yang demikian, karena disamping ia seorang raja, ia pun seorang yang alim, yang dalam kehidupannya terhampar kemewahan dan kemudahan, namun ia menolaknya dan hidup sederhana. Ia memerintah dengan adil menurut hukum syariat agama, oleh karenanya alam disekitarnya mendukung dan dengan sukarela memberikan apa yang ada padanya, tanah subur, sungai mengalir dengan air yang jernih dan ikan-ikan pun hidup beranak pinak dengan suka cita, udara pun bersih tanpa ada kandungan zat yang berbahaya. Mengapa bisa demikian? Karena Allah membuat rakyat pada waktu itu patuh dan hormat kepada rajanya, tidak ada protes, tidak ada demontrasi, tidak seperti negara demokrasi saat ini, yang dibangga-banggakan namun tanpa makna keadilan. Tidak ada seorang pun yang protes mengapa harus shalat lima waktu, berpuasa, membayar zakat, bershodaqoh dan memberi makan kaum miskin, ini sebuah contoh bahwa kebahagiaan itu mesti diawali dengan sebuah perintah yang harus ditaati tanpa protes sedikitpun meskipun pahit, laksana obat yang menyembuhkan. Para raja terdahulu pada umumnya mempunyai sahabat dan penasihat dalam kehidupan pribadi dan dalam memerintah, yakni seorang syaikh sufi, seorang mursyid. Dan ia pun mengamalkan segala perintah sang syaikh dengan melakukan riyadah dan mujahadah tingkat tinggi, sehingga ia pun memperoleh kewalian, dalam istilah tasawuf disebut kewalian kecil (wilayat sugro) atau kewalian besar (wilayat qubro) serta kewalian malaikat (wilayat malaikah). Sejarah telah mengatakan demikian, dimulai dari dinasti Umayyah, Abbasiyah, Saljuk, Mamluk, sampai Ottoman, dan juga Syaikh Salahudin Al Ayyubi sang penakluk perang salib, semuanya raja-raja atau sultan ini mempunyai penasihat seorang syaikh sufi, lalu mengapa para penguasa saat ini malu mengambil contoh sejarah ini, apakah lantaran mereka telah bertitel kesarjanaan, S3, Doktor atau yang lain? Ketahuilah gelar-gelar itu dibuat oleh manusia dan mereka yang membuat persyaratannya, tetapi gelar kewalian, hanya Allah semata yang menghibahkan. Lalu, atau memang Allah yang menghendaki demikian, bahwa para penguasa sekarang ini dijauhkan dari para syaikh sufi, dan didekatkan kepada kemewahan dan kebanggaan, agar gunung-gunung mengeluarkan isi perutnya?

Para murid tarekat yang sungguh-sungguh didalam riyadhah dan mujahadahnya biasa mendapatkan mimpi berada didalam istana, atau rumah yang letaknya diatas bukit atau gunung, hatinya merasa tenteram dan terlindungi, dirumah itu ia bersuci (berwudlu) dan mendirikan shalat, ada yang bersusah payah dan ada yang mudah, ini sebuah tanda bahwa sang murid akan terbebaskan dari ikatan-ikatan duniawi dan meningkat keadaan spiritualnya. Itulah bukti kasih saying dan keridhaan seorang Syaikh kepada muridnya yang Allah pun ridha kepadanya.

Orang yang waras akan merasa tenang saat memandang gunung, lalu ia memuji Tuhan, sebagaimana ia merasa tenang saat memandang keindahan keadaan spiritual (robithoh) seorang syaikh sufi, segala sesuatu menjadi hilang yang diingat hanya Allah semata.
Apapun perilaku gunung, diamnya, gerak dan letusannya pastilah memberikan manfaat kepada alam sekitarnya, meskipun orang awam akan menyebut 'bencana' bila gunung meletus. Bencana apa? Bukankah alam sekitarnya akan menjadi subur dikemudian hari? Bebatuan, pasir dan mineral lainnya juga bermanfaat bagi makhluk? Jadi jelas! orang yang jauh dari keridhaan Tuhan akan memandangnya sebagai bencana dan sebaliknya orang yang mendapatkan keridhaan Tuhan akan tertancap sebuah keyaqinan bahwa Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, semua yang diperbuatnya akan bermanfaat bagi ciptaannya. Akan tetapi hukum syariat mengatakan bahwa berbagi harta, tenaga dan pikiran bagi makhluk yang terkena dampak letusan adalah wajib hukumnya, inipun terhampar manfaat yang begitu tinggi bagi orang-orang yang hidup pada masa letusan dan dapat memahaminya.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita semua, amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.