Minggu, 08 Agustus 2021

DOA DAN HIJAB

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang selalu memancarkan cahaya-Nya kepada manusia untuk menyaksikan perkenalan-Nya dengan cara yang sangat misterius. Sehingga tidak semua manusia mampu menterjemahkan hikmah yang terkandung dibalik bentuk perbuatan-Nya. Sesungguhnya Allah menghendaki bahwa manusia mesti menyaksikan bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah jelmaan dari kehendak (irodah) Allah. Sehingga manusia tidak merasa ada atau turut campur dalam mengurus kehidupan ini. Ilustrasi cahaya Allah itu seperti matahari yang menyinari segala seuatu di bumi ini, namun kita tidak membuka pintu dan jendela rumah ruhani kita, sehingga cahaya ini tidak masuk, yang menyebabkan didalam rumah ruhani kita selalu gelap dan tidak dapat membaca hikmah-hikmah kehidupan ini. Seperti kebanyakan manusia selalu melantukan doa akan tetapi yang terjadi adalah tertangguhnya waktu pengkabulan atas doa yang telah dipanjatkan, lalu berputus asa. Orang berdoa mengharapkan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya, ada yang meminta diperolehnya harta benda dan ada pula yang memohon diperolehnya akhlak yang mulia atau nurullah atau sifat-sifat mulia Allah.

Manusia melakukan sholat, puasa, zakat dan haji bisa meniru orang lain, dan begitupun kita sejak kecil melakukannya dengan meniru, akan tetapi apakah bisa meniru sabar, ridho, khusyuk, wara dan kemudian tawakal? Jawabnya tidak bisa, padahal hal ini pun dituntut atau diperintahkan juga didalam Al Qur’an. Ini membuktikan bahwa Al Qur’an adalah pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyah) bagi manusia. Yang berarti bahwa kehidupan kita ini sejak kecil hingga mati sesungguhnya adalah tarbiyah dari Allah, namun kita ingin hidup sesuai dengan apa yang kita ingini bukan apa yang dinginkan Allah. Kita beri makan jasmani kita agar sehat namun kita diamkan ruhani kita atau kita tidak siapkan untuk dapat menerima pancaran cahaya dari Allah.

Manusia menghadapi musibah tetapi tidak mampu bersabar, meskipun sudah banyak sholat, puasa, zakat, dzikir, mujahadah, bergaul dengan ulama, katakan sudah masuk kelompok pengajian selama lima belas tahun, tetapi belum mampu bersabar juga. Orang tidak sabar berarti tidak punya sifat sabar, tidak ridho berarti tidak punya sifat ridho, pelit berarti tidak punya sifat dermawan, karena seperti mata tidak harus disuruh melihat otomatis akan melihat, karena mata mempunyai sifat melihat, begitu pula telinga yang mempunyai sifat mendengar maka otomatis akan mendengar tidak perlu disuruh. Maka apabila manusia mempunyai sifat sabar maka jika ditimpa musibah akan otomatis sabar dan tidak bertingkah yang aneh, tidak marah-marah tidak keluar dari mulutnya caci maki, melainkan hadir pemahaman bahwa musibah ini adalah perbuatan Allah dan merupakan ujian baginya. Penyakit buruk akhlaq itu berbeda dengan penyakit phisik, obatnya adalah tauhid, Allah, syuhud, tidak ada yang lain. Orang yang punya sifat sabar maka dijanjikan oleh Allah tanpa hisab, artinya tanpa mengikuti proses yang panjang di yaumil akhir.

Ditangguhkannya pengabulan doa agar manusia itu merengek, memohon, menangis itu disebut ilhah dan Allah menyenangi-Nya, dalam hadist Rasulullah,saw menjelaskan bahwa Allah ingin mendengar dari hambanya bahwa dirinya merasa perlu Allah, itu yang Allah inginkan, karena Allah berfirman dalam Al Qur’an : ”Antum al-fuqara ilallah, Kamulah yang memerlukan Allah,” (QS 35 : 15) bahwasanya Allah ingin mendengar suara hambanya dalam meminta dan jangan putus asa atas tertundanya dipenuhinya doa, Allah berfirman : “Ud’uni astajib lakum, berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan.” (QS Al Ghafir : 60) Artinya tidak ada doa yang tidak dikabulkan, jika tidak, maka kita akan keluar dari kaidah aqidah bahwa Allah selalu menepati janji, karena yang menakdirkan doa adalah Allah. Orang tertimpa musibah lalu lahirlah keperluan, itu Allah yang buat agar hamba itu sendiri merasakan perlu kepada Allah, dan sesungguhnya Allah pasti mengabulkan-Nya, akan tetapi pengkabulannya ikut kehendak Allah bukan ikut kehendak kita, karena kita tidak tahu kemaslahatan kita yang sebenarnya itu, kapan dan apa, itu yang terkadang Allah ingin mengajarkan bahwa apa yang terjadi itu yang terbaik.

Sesuatu yang datang bukan dari keinginan kita itu dari Allah, padahal semua dari Allah, yang dimaksud bahwa kekuatan itu ada pada Allah, jika kamu pasrah kepada kehendak-Nya, maka beratnya pun Allah akan menangani, tetapi pada apa yang Allah pilihkan untukmu, bukan apa yang engkau pilihkan untuk dirimu, jadi jangan keluar dari apa yang terjadi pada diri kita, karena mungkin tidak terkabulkannya keinginan kita adalah yang terbaik, artinya mungkin saja kegagalan itu yang terbaik. Atau dalam istilah lain berarti di hijab justru itu lebih baik, ini kalau kita maknakan kepada makna tarbiyah ruhiyah, bahwa ditangguhnya waktu pemberian yang kita ingini, karena kita sudah melakukan ilhah dalam doa dan sebagainya, tidak membuat kita putus asa, karena Allah pasti menjamin, ijabah, pengkabulan doa itu, namun pada apa yang Allah kehendaki, artinya ketika Allah tidak menghendaki kita masih di hijab lagi, maka itu yang terbaik agar kita terus berusaha sungguh-sungguh dalam beramal, dan dawam. Coba bagaimana orang mau disingkapkan hijab tetapi dia belum takut kepada Allah, karena banyak peristiwa manakala seseorang disingkapkan hijab tetapi belum mempunyai rasa takut kepada Allah, maka akan menjadi dukun atau pengaku-ngaku nabi atau wali. Maka kita betul-betul harus terus berusaha mengikut kehendak-Nya, Allah berfirman dalam Al Qur’an : “Wa 'asā an takrahụ syai`an wa huwa khairul lakum, wa 'asā an tuḥibbụ syai`an wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya'lamu wa antum lā ta'lamụn, Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah : 216) Artinya kita tidak tahu bahwasanya belum diijabahnya doa itu boleh jadi kebaikan, karena orang yang akan disingkapkan hijab adalah merupakan pemberian yang luar biasa ‘atho azim’ pemberian yang agung, mesti di terima oleh jiwa yang memang siap, oleh sebab itu Allah ingin siapkan kita untuk menerima yang agung, yang besar. Kapan dikabulkannya doa itu adalah Allah yang memilih bukan kita, berapanya, apanya, waktunya itupun Allah yang memilih, begitulah cara Allah mempersaksikan diri-Nya kepada kita atau dapat dikatakan begitulah cara mengenal Allah.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

PUJIAN

Bismillaahir Rahmanirr Rahiim

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menjadikan semua makhluk memuji-Nya, ada yang benar-benar memuji yaitu memuji dengan segenap ruhaninya dan ada yang hanya memuji dengan ucapan lahirnya saja, keduanya tidak ada bedanya jika dilihat dari tampilan jahirnya, padahal perbedaannya seperti jarak timur dan barat. Oleh karena itu memandang orang hanya dari tampilan lahirnya saja dapat terperdaya. Orang memuji disebabkan apa yang mereka sangkakan yang ada pada diri kita, orang yang menyangka kita sholeh mereka akan memuji kita orang sholeh, orang yang menyangka kita dermawan akan mengatakan kita orang baik, sebaliknya orang yang menyangka kita buruk akan menghina kita, orang yang meminta tidak kita beri akan mengatakan kita kikir, jadi persoalannya kita ini orang baik atau buruk? Oleh karenanya jika ada orang memuji jangan lantas tinggi hati dan begitu pula sebaliknya jika ada orang yang membenci lantas jangan balas membecinya.

Jika ada orang memuji kita, maka ternyata yang mulia adalah orang memuji dan bukan kita, karena orang yang memberi itu pastilah punya sesuatu apa yang ingin diberikan dan orang yang tidak punya bagaimana dia mau memberi, dalam hal ini orang itu punya kemuliaan, itu sebab dia memberi kemuliaan dengan memuji orang lain. Cobalah berbaur kepada orang yang tidak punya sifat mulia atau yang sifatnya buruk, maka orang itu akan memburukkan orang, karena yang dia punya keburukan maka yang dia bisa berikan kepada orang lain adalah keburukan pula, bagaimana dia mau memberi kebaikan wong dia tidak punya. Jika Allah membuka apa-apa yang ada didalam diri kita, maka orang akan menghindar, karena keburukan kita sebesar langit dan kebaikan kita hanya sebesar biji sawi. Oleh karena itu, Allah menutup keburukan kita dengan cinta dan hormat-Nya agar orang lain mau berdekat dengan kita. Sekali-kali tanyakan kepada diri kita masing-masing, kenapa ada orang yang benci kepada kita tetapi dilain pihak ada orang lain yang suka sama kita, nah kita ini objek yang dibenci atau yang disukai, dan hal ini terus terjadi selama kita hidup di dunia ini. Ternyata orang itu adalah cermin kita, kalau kitanya baik orang itu baik pula kepada kita, maka kalau ada orang melihat kita lalu merengut itu berarti kita kurang berlaku baik kepadanya, maka rubahlah perlakuan kita kepadanya dan jangan menuntut orang agar merubah perilakunya kepada kita. Maka para sufi mengatakan jangan mencaci orang lain tetapi cacilah dirimu sendiri, karena kita tahu apa yang ada pada diri kita dan kita tidak tahu apa yang ada pada diri orang lain.

Banyak orang jatuh karena pujian dari orang lain, hal itu disebut maghrur, terpedaya oleh perkataan orang, apalagi kalau sampai di aku pujian itu padahal dirinya tidak punya. Hati-hati, begitu dipuji orang dan jika pujian itu tidak ada pada diri kita sendiri, atau dihina orang padahal tidak ada pada diri kita, maka kedua-duanya adalah ujian dari Allah, maka Nabi,saw pernah mengatakan begini ‘lemparkan debu ke muka orang yang memuji,’ artinya ketika ada orang memuji, kita jangan sombong segera lihat kepada diri, kalau memang ada sebagaimana apa yang disangkakan, lantas pujilah Allah, karena semua akhlak mulia itu adalah jelmaan sifat-sifat Allah kepada kita, misalnya sifat sabar, syukur, dermawan, tawakal, wara, ridho dan lain sebagainya, disebut sifatul Jamal. Tanda bahwa orang itu memperoleh akhlak yang mulia, akan selalu merasakan keagungan Allah dan bukan keagungan dirinya, kewujudan Allah dan ketiadaan dirinya, keindahan Allah dan kehinaan dirinya, kebesaran Allah dan kekerdilan dirinya, jika seorang ulama mengaku mempunyai akhlak mulia tetapi sombong itu pengaku-ngaku, tinggalkanlah dia.

Maka jadilah kamu pencaci dirimu, ini kan perintah, memang mula-mulanya kita mesti melatih diri. Ketika kita mendapat musibah, kita ingin sabar tetapi tidak bisa, oleh karenanya kita ingin mempunyai sifat sabar tetapi tidak punya, jika tidak dapat, lalu bagaimana mau menyabarin, meskipun kita mengetahui bahwa setiap ada musibah Allah menyuruh sabar, sebagaimana dalam Al Qur’an : “Yā ayyuhallażīna āmanuṣbirụ wa ṣābirụ wa rābiṭụ, wattaqullāha la'allakum tufliḥụn, Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung." (QS Ali Imran: 200) Ayat tersebut menyuruh kita sabar dan sabarilah, bertahanlah, nah maka cobaan atau musibah itu adalah bentuk tarbiyah dari Allah kepada kita agar mempunyai peluang mendapatkan sifat sabar. Faktanya untuk sabar itu teramat sulit, misalnya fitnah yang menimpa kita, atau cacian dan hinaan, maka suasana jiwa lantas berubah, jantung berdetak keras, mata dan telinga pun berubah, persis seperti proses kimia, maka ada istilah pegangan apa pun bisa patah saking menahan amarah. Sayyidatuna Aisyah,ra disaat diliputi rasa cemburu berkata bahkan telor ditangan pun bisa matang, tatkala Nabi,saw memuji-muji Sayyidatuna Khodijah,ra dihadapannya. Karena hakikatnya, kita itu tidak ada, karena kita ini mungkin dan karena kita ini ilusi atau katakan kita hanyalah majla Allah, maka sifat-sifat mulia atau akhakul karimah adalah hak Allah untuk memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki, inilah pendidikan tauhid dan sebetulnya aqidah, tauhid dengan akhlak itu serupa meskipun tidak sama.

Orang kalau sudah beriman bertauhid kepada Allah kalau dipuji dia malu, karena sesungguhnya sifat Allah Yang dipuji, ya Allah sifat yang Engkau berikan kepadaku dia memujinya, padahal saya tidak punya apa-apa, begitulah bahasa jiwanya yang otomatis keluar. Nah itulah sifat seorang mukmin, mukmin di sini adalah mukmin yang Hakiki, mukmin yang kamil. Seumpama kita diberi perintah oleh raja untuk membagi-bagi sandang dan pangan, lalu kita membaginya maka yang dipuji kita padahal dari sang raja. Kita mengetahui itu bukan punya kita, maka kita tidak akan mengaku, seharusnya seperti itu. Sedangkan para wali ketika dia mempunyai sifat baik lantas dia berbuat baik, dia menyadari betul bahwa itu sifat Allah, artinya orang itu selalu bersama Allah, kalau orang selalu bersama Allah bagaimana mau mengaku dirinya kecuali Allah.

Para Aulia Allah itu ingat Allah terus menerus tidak terputus, kenapa? Karena baginya durasi ingat didunia ini itu cuma satu detik, karena pemahamannya tentang kehidupan ini seperti film, bahwa cerita film dilayar itu berasal dari jutaan klise yang diputar oleh proyektor, baginya durasi hidup itu seperti satu klise, begitu proyektor dihidupkan maka klise-klise itu akan berputar menjadi film kehidupan. Itu sebab dia selalu ingat, karena di dunia ini waktunya tidak panjang. Contohnya begini orang sholat dari takbir sampai salam, mustahil bagi orang biasa mampu mengingat Allah, karena orang yang memang tidak biasa dzikir tidak ingat maksudnya bukan dzikir ucapan, maka dia tidak dapat membayangkan bagaimana shalat dalam keadaan terus menerus mengingat Allah, itu tidak akan terbayangkan yang memang bukan ahli dzikir, tetapi jangan berprasangka bahwa jika tidak bisa melakukan maka hal itu tidak ada, ini menyalahi aqidah. Itu sebab kata orang sufi kalau aku lupa kepada Allah rasanya kafir, kenapa karena dosa melanggar syariah akan diampuni oleh Allah, tetapi jika dosa karena tidak ingat kepada Allah itu tidak ada ampunannya, pahami hal ini dan jangan salah paham. Karena ingat itu Allah yang memberi dan kalau Allah tidak memberi ‘ingat’ dimana mencarinya, gantinya apa, karena detik berikutnya adalah ingat untuk hak waktu itu, jika shalat karena ketiduran dan terlewat maka kita bisa ganti di waktu lain, tetapi kalau ingat bagaimana, seperti tertinggal kereta yang tidak ada kereta selanjutnya, karena ingat itu hak waktu, itu sebab dikatakan sufi ibn waqt (putra waktu), dia bisa ingat sepanjang-panjangnya, dia hanya ingat kepada Allah. Di jawa tengah ada istilah yang penting ingat, sebenarnya ini bukan agama eling, yang penting eling tapi tidak shalat, tidak puasa, bukan seperti itu, tetapi itu hakikat ibadah. Mereka ingat 24 jam atau selama dia tidak tidur, dia ingat terus sampai dia tidak terucap dalam bibirnya dzikir, orang kalau sudah cinta tidak lagi menyebut namanya, tetapi otomatis ingat, makanya kata mereka bagaimana aku mengingatmu sedangkan aku tidak pernah lupa kepadamu. Adapun yang kita lakukan dengan menyebut ismudzat Allah Allah atau kalimat thoyibah laa ilahaa illallaah itu sedang merapikan pikiran, melatih konsentrasi agar tidak melantur kemana-mana, karena hati memang senang ngelantur kemana-mana meskipun sedang mengucap. Maka ketika dipuji dia tidak menyaksikan bawa itu punya dia, karena dia punya Allah. Sama juga orang tadi yang bagi-bagi duit, rajanya datang mendapinginya, orang kan tidak kenal dengan rajanya yang dikenal kan dia, yang dipuji-puji dia, yang diangkat-angkat dia, rajanya dibiarkan saja, coba bayangkan hal ini jika menimpa kita, seketika kita akan malu dan mengatakan bukan aku, bukan aku, bukan aku, begitulah perasaan para Aulia ketika dipuji, itulah adab yang tinggi, inilah yang ingin di bentuk oleh tasawuf di dalam diri umat Islam agar menjadi hamba Allah bukan menjadi Tuhan.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

INSAN KAMIL

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali.” (QS 2 : 156)

Ayat Al Qur’an diatas selalu disebut oleh umat sebagai ungkapan duka atas kehilangan yang dicintainya, akan tetapi sedikit sekali yang mengetahui makna dan memetik hikmahnya. Sesungguhnya ayat ini bukan saja kalimat berita melainkan perintah, kita diingatkan bahwa kepada Allah jugalah kita akan kembali. Dikatakan ‘kembali’ bilamana diketahui asal mulanya, bila tidak, ingin kembali kemana? Sebagai contoh, kita berangkat mendaki gunung Pangrango melalui Cibodas, kita mengetahui Cibodas karena sering berada disana, maka disaat kita sudah berada dipuncak gunung atau ditempat yang dituju ataupun tersasar maka akan dikatakan kembali. Artinya bahwa kembali ketempat yang sudah betul-betul diketahuinya. Oleh sebab itu ayat diatas seolah-olah mengharuskan manusia mengetahui atau mengenal Allah sebagai yang dituju untuk kembali. Akan tetapi kebanyakan manusia merasa cukup mengucap saja tanpa memahami maknanya apalagi berusaha untuk mengenal-Nya, jadilah ayat ini sebagai kebiasaan untuk menyatakan turut berduka atau sebagai cerminan budaya saja. Padahal jika diselami maknanya akan membuat gemetar dan sulit memejamkan mata, karena kita tidak mengetahui dan mengenal jalan kembali disamping usia kita yang sudah tergolong tua, ironisnya kita biasa-biasa saja seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi, jika keadaannya seperti ini, lalu jika sewaktu-waktu ruh kita dicabut dan meninggalkan jasad, ingin kembali kemana? Sesungguhnya Allah hanya bisa dikenali dengan ilmu bukan jahl dan hanyalah insanul kamil yang mengetahui jalan pulang dan tempat kembali.

Sedikit sekali ulama sufi yang mau menjelaskan pengalaman ruhaninya kedalam bahasa yang mudah dipahami oleh akal manusia. Khawatir disalah pahami dan menimbulkan fitnah, karena pengalaman ruhani tidak memerlukan bahasa melainkan rasa. Salah satunya adalah Imam Ibnu Arabi, qs, yang mengalami kasyaf atau syuhud atau penyaksian akan ketunggalan Tuhan. Belum ada seorang ulama pun seperti beliau yang begitu banyak ulama yang kontra dengan pendapatnya dan tidak sedikit pula yang mendukungnya. Membuktikkan bahwa tidak mudah memahami kitab-kitab karya beliau, sebagai contoh kitab syajartul al kaun, al-tajalliyat, al-wujudiyah, futuhat al-makiyah dan karya master piecenya fushush al-hikam, kesemuanya sangat sulit dipahami, kecuali bila ada ulama shahih yang menuntun dan mendidiknya. Berikut ini adalah setitik makna dari salah satu kitab karya beliau yang berjudul al insanul kamil yang tidak kalah menakjubkan dari kitab-kitab yang lain.

Maksud dari Insanul kamil adalah bersatunya antara insan dan kamil didalam diri manusia. Apakah setiap individu manusia ini bisa disebut insan kamil? Jawabannya sangat jelas yaitu, tidak! Mudahnya begini, Allah ingin dikenal, dan yang hanya bisa mengenal Allah adalah Allah sendiri, oleh sebab itu diciptakan manusia yang seolah-olah merupakan “jelmaannya” ini istilah saja untuk memudahkan pemahaman, seperti yang bercermin dengan yang ada didalam cermin, yang bercermin akan mengatakan bahwa Aku adalah engkau, akan tetapi yang didalam cermin tidak bisa mengatakan bahwa engkau adalah aku, tetapi boleh mengatakan bahwa aku bukan engkau tetapi bukan selain engkau. Sehingga yang bisa mengenal sesuatu yang bercermin adalah yang berada didalam cermin, dengan catatan bahwa cerminnya bersih dan bening. Atau dalam pemahaman lain bahwa Allah dalam kesendirian-Nya ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Lalu dijadikan alam ini yang merupakan cermin bagi-Nya, maka ketika Allah ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam, penampakkan Diri-Nya melalui penyingkapan diri disebut tajalli atau dalam bahasa lain disebut sebagai jelmaan. Oleh sebab itu tujuan diciptakan insan kamil ini tidak lain untuk mengenal Allah dan diberi tugas mengajak manusia yang tidak kamil untuk dapat mengenal Allah, agar bisa kembali kepada-Nya, sarananya adalah wahyu atau din (agama), oleh karenanya seluruh akhlak nabi Muhammad.saw adalah wahyu atau al Qur’an, sehingga beliau berkata: “Innama bu'istu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk membangun akhlak.”

Bahan penciptaan manusia terdiri dari wujud yang terpisah-pisah menjadi wujud yang bersatu. Oleh sebab itu ketika Nabi Adam,as diciptakan, dunia dan akhirat beserta isinya itu sudah lebih dahulu ada, akan tetapi meskipun manusia itu yang terakhir, namun Allah SWT memilihnya sebagai wakil Tuhan untuk mengurus alam semesta beserta isinya. Maka dapat dipahami bahwa bahan ciptaan manusia itu adalah seluruh unsur alam semesta ini, yang berarti manusia memiliki sifat alam semesta yang komprehensif dan universal sebagai bukti bahwa manusia merupakan ringkasan alam semesta, atau dalam bahasa filsafatnya alam semesta ini disebut makro kosmos atau alam besar sedangkan manusia adalah mikro kosmos atau alam kecil. Sebagai contoh bahwa sifat kerbau tidak ada pada anjing dan sebaliknya sifat anjing pun tidak ada pada kerbau, maka jika kerbau dengan anjing berkomunikasi tidak akan pernah sepaham sampai kapanpun, yang satu malas dan yang satu galak, akan tetapi jika anjing dan kerbau melihat manusia, mereka akan menyaksikan bahwa ada sifatnya pada diri manusia dan ada sifat-sifat lain yang tidak mereka kenal. Oleh sebab itu jika alam semesta ini menghadap kepada manusia atau katakan duduk di depan manusia (alam yang kecil ini), mereka akan berdecak kagum dan akan berkata tidak ada diantara kita yang setara dengan manusia. Itu sebab manusia punya kualitas energi atau potensi adaptasi yang tinggi dan eksploitasi yang mumpuni. Maka manusia secara fisik atau secara kauniah telah lengkap.

Disamping manusia itu terdiri dari sifat-sifat sesuatu yang bisa dilihat oleh mata indrawi atau benda, terdapat juga bahan dari sifat yang wujudnya tidak terlihat diantaranya adalah malaikat yang dibuat dari nur (cahaya) dan jin yang dibuat dari nar (api). Oleh karenanya dari segi kewujudan baik wujud yang berbenda dan tidak berbenda semuanya ada pada diri manusia, sehingga jika manusia ingin menjadi iblis maka akan lebih hebat dari iblis dan bila ingin menjadi malaikat akan lebih hebat dari malaikat, begitu pula bila ingin menjadi binatang manapun akan lebih hebat, bisa lebih buas (sabuiyah), bisa lebih serakah (ananiyah), oleh sebab itu sifat makan, minum, kawin, tidur itu adalah sifat manusia yang sama dengan binatang (hayawaniyah). Di dalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa: “Ulaaa'ika kal an'aami bal hum adhallu, mereka seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.” (QS, Al A’raf :179). Ini menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari wujud yang terpisah-pisah menjadi wujud yang bersatu. Timbulah pertanyaan, apakah manusia dalam tahap ini mempunyai kemampuan untuk mengenal Allah? Jawabnya tidak! Meskipun ia melakukan peribadatan, tetapi mesti hanya untuk kemaslahatan dirinya bukan untuk Allah. Walapun mulutnya berkata untuk Allah tetapi jiwanya mengikarinya, semua perbuatan ibadahnya untuk dirinya, sehingga tidak mewarnai ruhaninya. Meskipun paham tentang ilmu kesabaran, ridho, wara, zuhud dan piawai dalam penyampaiannya, akan tetapi bila musibah datang menimpanya maka tidak mampu bersabar, bahkan keluar dari mulutnya cacian, ini membuktikan bahwa ruhaninya belum ada sifat sabar, belum memperoleh tajalli Asma Illahi, belum ada maqomat ruhiyah, tidak mempunyai asror ilahiyah, apalah istilahnya.

Untuk apa dunia diciptakan serta isinya termasuk manusia dan untuk apa akhirat diciptakan termasuk neraka dan surganya? Jawabnya adalah tidak lain hanyalah untuk Insan Kamil. Pemahaman ini berangkat dari ayat al Qur’an “Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya'budun, tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS, Adz Dzariyat :56) Dan terdapat hadits Qudsi yang dhaif tetapi dipegang erat oleh sufi dan tidak mau dilepas, karena maknanya sangat berkesesuaian dengan seluruh isi al Qur’an yaitu: “Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fa khalaqtul khalqa li kai u’raf, Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk, agar Aku dikenal.” Mereka mengatakan “Kanallahu walam yakun ma’ahu syaiun,” maksudnya bahwa Allah ada dan tidak ada ‘ada’ yang bersamanya, sesuatu pun tidak ada yang bersamanya, jadi sifat ada hanya Allah, dan wujud Allah ghaib mutlak, tetapi jika tidak ada ‘ada’ maka siapa yang melihat Ada ini, maka karena hanya Dia yang ada berarti Dia ini kanzun makhfi tersembunyi tidak dapat diketahui, maka uridu an u’raf Aku ingin diketahui fa khalaqtul khalqa maka Aku ciptakan makhluk, li kai u’raf agar Aku dikenal. Maka pemahaman penciptaan bagi orang sufi adalah tajalliyat yang artinya jelmaan. Oleh sebab itu tujuan utama penciptaan ini adalah mengenal Allah, karena tadi fa khalaqtul khalqa Aku ciptakan makhluk li kai u’raf agar Aku dikenal, maka liya'budun, untuk beribadah ditafsirkan sebagai liya’rifun, untuk mengenal, sehingga dapat dipahami bahwa yang paling mengenal Allah adalah yang paling serupa dengan-Nya. Siapa yang serupa dengan-Nya?

Rasulullah,saw bersabda : “Innalloha kholaqol Adama ala surotihi, Allah menciptakan Adam berdasarkan citra Tuhan (rupa Tuhan).” Hadist ini mencerminkan bahwa manusia itu adalah sebagai jalan untuk mengenal-Nya, karena dicipta sesuai dengan citra-Nya atau rupa-Nya. Misalnya sifat Tuhan itu hidup (hayat), mengetahui (Ilmu), berkehendak (iradat), berkuasa (qudrat), berbicara (kalam), melihat (basar), mendengar (sama) maka semua sifat ini ada pada diri manusia, oleh sebab itu ada hadist yang mengatakan: “Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya.” Maka manusia ini adalah definisi yang Allah kenalkan, ini Aku, seolah-olah begitu, ini shuroh-Ku, maka manusia Aku pilih menjadi khalifah untuk mengenal-Ku. Jadi tugas manusia sangat jelas harus mengenal dirinya sebagai jalan mengenal Tuhan.

Nah jika insan hayawaniyah belum bisa mengenal Allah, maka kemudian Allah berikan atau tajallikan Asma-Nya, “Wa allama adamal asma, dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama,” (QS 2 : 31) seolah-olah Allah berkata: ‘Ini lo paket untuk mengenal-Ku melalui dirimu, maka hidupmu, suratanmu, takdirmu, lauhil mahfudzmu, ketentuan-Ku tentangmu itu adalah definisi-Ku untukmu, engkau perlu Aku kepada paket pengenalan-Ku pada dirimu.’

Berarti tujuan penciptaan itu mengenal Allah dan yang paling mengenal adalah insan yang paling banyak menerima Asma Illahiyah, yaitu Sayyidina Muhammad,saw maka berarti tujuan diciptakannya alam semesta ini adalah Rasulullah,saw, terdapat hadits yang mendukung pemahaman tentang hal ini : ”Lawlaka lawlaka maa kholaqktul aflaq, kalau bukan karena engkau (wahai Muhammad) tidak aku ciptakan alam semesta ini.” Ilustrasinya begini, kalau dalam film ada peran utama, dan peran utama mesti satu, maka yang berhubungan dengan peran utama disebut peran pembantu, nah kita ini adalah peran pembantu, meskipun demikian peran pembantu akan memperoleh bayaran juga. Peran utama inilah yang menjadi judul kisah hidup ini, yaitu Sayyidina Muhammad,saw, jadi sangat jelas bahwa tujuan penciptaan alam adalah (Insan Kamil) manusia sempurna, dan karena manusia sempurna hanya satu, lalu diciptakan manusia yang tidak sempurna sebagai pasangan, karena kalau tidak ada pasangan, tidak akan diketahui nilai sesuatu itu, misalnya bahagia akan mempunyai makna manakala ada derita, jika kita tidak pernah merasakan derita maka bahagia tidak ada artinya, atau cahaya tidak akan bermakna manakala tidak ada gelap, jika tidak ada gelap maka cahaya kehilangan makna, oleh sebab itu tidak ada dosa atau salah yang abadi, semua itu hikmah, pendosa atau orang yang berbuat salah tidak bisa dicibir dan dikutuk, tetapi harus kembali kepada Allah, atau taubat. Tidaklah mungkin manusia mampu bersabar sebelum Allah tajallikan sifat sabar-Nya kepadanya, dan mustahil manusia bisa memberi sebelum sifat dermawan Allah ditajallikan kepada ruhaninya.

Jadi singkatnya bahwa manusia diciptakan dari wujud yang terpisah-pisah artinya mutafadiddah, mutafariqoh, berserakan, terpisah-pisah di seluruh alam semesta, maka di dalam diri kita ini ada neraka ada surga, ada malaikat ada jin, ada dunia ada akhirat, ada seluruh sifat binatang, sifat tumbuh-tumbuhan yang kelihatan dan tidak kelihatan, itulah manusia berarti sangat mulia, kemudian bagi yang beruntung akan memperoleh tajalli sifat-sifat Mulia-Nya, itu barangkali orang sufi memuja-muja manusia, karena dinyatakan oleh Al Qur’an sebagai khalifatulloh, yang malaikat saja tidak diangkat, berarti manusia inilah makhluk yang paling mulia, lebih mulia dari akhirat serta isinya, lebih mulia dari dunia serta isinya. Gara-gara Allah berkeinginan menciptakan manusia, maka disediakan semuanya itu, berarti dosa dan taat pun Allah ciptakan untuk kita, malaikat dan jin nya juga diciptakan untuk kita, dengan begitu seharusnya kita dapat mengenal kita, karena semua sifat yang ada pada kita ada disekitar kita, maka kita mampu beradaptasi dan mampu mengenal Tuhan, maka misi mengenal Tuhan itu hanya ada pada manusia, itu sebabnya yang menyakiti manusia sama artinya dengan menyakiti Tuhan, meskipun manusia itu non-muslim, karena tidak ada satu manusia pun diciptaan oleh tuhan lain, semuanya Allah yang menciptakan. Dan sama sempurnanya secara fisik antara manusia yang satu dengan yang lainnya atau dengan wali sekalipun. Nah, perbedaannya ada pada kesempurnaan ruhani, untuk itulah syariah agama diturunkan, karena syariah itu bajunya, perilakunya, perilaku hakekat ruhani ini, maka barang siapa memperoleh Asma Ilahiyah didalam ruhaninya, maka makin ringan melaksanakan syariat, karena sesungguhnya hakikat dan syariat itu satu kesatuan, seperti durian dengan baunya, jika hanya ada bau durian sedangkan duriannya tidak ada ini cuma perasa, sehingga manusia yang tidak punya hakekat sama kualitasnya seperti perasa, bahkan kalau kebanyakan jadi penyakit, maka syariat dengan hakikat umpama sinar dengan cahayanya, tidak bisa dipisahkan, oleh sebab itu jika manusia tidak mempunyai hakekat memang berat melaksanakan syariat, karena akan selalu merasa dirinya yang melaksanakannya, akan tetapi apabila mempunyai hakikat, mempunyai asma Ilahiyah dalam rohani itu, maka akan ringan melakukan peribadatan dan akan berkata “araftu rabbi birabbi, aku kenal Tuhan dengan Tuhan” atau “al abid wal ma’bud, yang menyembah adalah yang disembah,” karena ada qudroh ruhiyah, ada kemampuan rohani itulah yang disebut orang hidup didalam Tuhan, ini istilah saja, kalau sudah paham buang istilah ini. Maka berarti manusia ini adalah khasanah alam semesta, didalam diri kita ini tersimpan seluruh sifat alam semesta, maka manusia mudah sekali mengenal Allah, karena ciptaan itu sebuah jelmaan Asma dan Sifat Allah, ilustrinya bercermin tadi, kalau manusia memiliki Asma dan Sifat Tuhan maka kapasitas untuk mengenal Tuhan sangat efektif, sangat mudah, itu sebab Allah tidak membebankan di luar kemampuan kita, kalau Allah membebankan binatang untuk mengenal Allah maka tidak akan mampu, tapi manusia memang tepat, karena manusia ini khasanah alam semesta ini, maka wajah seluruh alam semesta itu menghadap kekhasanah kemanusiaan ini. Itu sebab alam semesta mudah ditundukkan oleh manusia dan setiap bagian dari alam semesta ini akan mengatakan “laisa kamislihi syaiun, tidak ada yang serupa dengannya.” Nah jika alam semesta melihat manusia dan mampu berkata seperti itu, lantaran manusia itu sempurna, maka seharusnya manusia pun mampu berkata yang sama disaat menyaksikan Tuhan.

Orang sufi meyakini bahwa suratan hidupnya dari a sampai z, takdir yang dia alami hari demi hari sampai mati, itu adalah definisi atau penjelasan Tuhan tentang diri-Nya, maka semuamu itu adalah tema penjelasan Tuhan tentang diri Tuhan kepadamu, maka kita tidak boleh ikut campur orang lain, meskipun istri, suami atau anak, kita tidak bisa mengatakan kenapa engkau berbuat buruk, tidak bisa, namun bagaimana menghadapi ketentuan, suratan, takdir, pernyataan, urusan, tajalli, tanazul itu istilahnya banyak sekali, pada diri kita itu, bagaimana untuk mengenalnya bahwa itu semua dari Allah. Dan Allah yang akan memberikan paket ma'rifatnya yang disebut sebagai Asma Ilahiyah (maqomat ruhiyah, akhlak nurkarimah, asror ilahiyah, Nur Muhammad, dan lain sebagainya) kepada manusia yang dipilihnya, dengannya manusia baru sadar bahwa semuanya dari Allah, itulah yang menyebabkan lahirnya akhlak yang sangat sempurna dan tinggi, sama seperti akhlak Tuhan yaitu, memaafkan, mencintai, melupakan, menyayangi, tidak memandang buruk dan lain sebagainya. Jika sudah demikian baru boleh membawa orang lain kepada Allah agar tahu jalan kembali.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.