Sabtu, 29 Mei 2010

DUA BELAS

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi.’ (QS 087 : 1)

Seorang salik menuturkan bahwa pada hari ini, Sabtu tanggal 29 Mei 2010, tepat usia yang mulia Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) genap 57 tahun, semoga Allah SWT memberkahi kehidupannya, memperpanjang umurnya, mengkaruniai kesehatan yang prima, mengangkat setinggi-tinggi derajat dan semoga silsilahnya bersambung sampai kepada akhir zaman nantinya, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin. Angka 57 mempunyai makna tersendiri, jika angka 5 dan 7 dijumlahkan menjadi 12, persis seperti jumlah huruf hijaiyah pada kalimat terbaik diatas bumi ini ‘Laa Ilaaha Illaallah’, yakni huruf lam sebanyak 5, alif sebanyak 5 dan huruf Ha besar sebanyak 2. Secara numerical Arab, huruf lam = 30, alif = 1 dan Ha besar = 5 sehingga jika dikalikan dengan banyaknya masing-masing huruf menjadi (lam = 30 X 5) + (alif = 1 X 5) + (Ha = 5 X 2) = 165, persis seperti jumlah ruas-ruas yang ada pada manusia. Oleh karena itu jumlah dzikir yang bersuara (dzikir jahr) dilakukan sebanyak 165 X banyaknya, agar kalimat ini selalu berada pada ruas-ruas itu, selalu bercampur dengan darah, otot-otot, syaraf-syaraf dan tulang-tulang, agar seluruh unsur-unsur yang ada pada manusia menyebut dan dapat memahami kalimat ini. Angka 1 dapat bermakna Ihsan, 6 adalah rukun Iman dan 5 adalah rukun Islam, jika angka 1 ditambah 6 dan ditambah 5 juga berjumlah 12. Ismu Dzat 'Allah', menurut urutan huruf hijaiyah adalah alif, lam, lam dan Ha atau sama dengan alif = 1, lam = 30, lam = 30 dan Ha = 5, jika dijumlahkan menjadi 66, dan 6 + 6 = 12. Nabi Muhammad Rasulullah,saw., lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun gajah, dan juga, jumlah huruf hijaiyah pada kalimat Muhammad Rasulullah adalah 12 pula. Karenanya, angka 12 mempunyai makna yang khusus bagi orang-orang yang bertarekat, karena disitu mengandung pengesaan atau pemurnian Tauhid, pembersihan hati dari fenomena dan hanya terpenuhi oleh yang Qodim saja, Huwal Awwalu Huwal Akhiru, persis seperti makna Laa Ilaaha Illaallah.

Begitu pula, hari ini tepat berusia 4 tahun semburan lumpur di Sidiarjo, Jawa Timur, Indonesia yang tak kunjung henti, yang memberikan arti bahwa lumpur adalah kegelapan atau kekotoran atau kemunafikan lawan daripada kesucian, yang tumbuh subur dinegeri tercinta ini. Seperti tumbuhnya raja-raja kecil yang baru, khususnya pada saat menjelang pesta demokrasi lima tahunan berlangsung. Raja-raja kecil ini hanya mementingkan kelompoknya, mengumpulkan dana rakyat yang demikian besar hanya untuk berperang memenangkan keinginannya, yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. Allah SWT telah menyindir kelompok ini sebagaimana firman-Nya : ‘ Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 045 : 23) Lumpur yang semakin banyak menyembur keatas permukaan bumi mencerminkan bahwa kemunafikan sedang tumbuh subur, sebaliknya kesucian semakin lama semakin lenyap dari bumi pertiwi ini. Oleh sebab itu, para ulama selalu melantunkan doa-doa agar semburan lumpur ini segera dapat berakhir, karena dikhawatirkan tanah disekitarnya akan turut tenggelam, yang akan membelah pulau jawa menjadi dua bagian, agar manusia-manusia yang berebut kekuasaan segera sadar, karena sudah semakin banyak rakyat menderita karenanya. Didalam doa-doanya juga terselip harapan akan munculnya pemimpin yang arif dan bijaksana, sebagaimana harapan akan munculnya sekuntum bunga teratai diatas lumpur di Sidoarjo.

Ayat Al Qur’an diatas ‘Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi’ tak pernah luput dibaca oleh Sayyidina Ali,ra., yang membuat para sahabatnya bertanya-tanya, apakah hanya hafal surat Al Qur'an ini saja? Beliau mengerti betul keadaan hati para sahabatnya dan menjawab : 'Jika kalian mengetahui makna kandungan surat Al 'Ala ini, niscaya kalian tidak akan pernah meninggalkannya untuk membacanya.' Dikemudian hari surat Al 'Ala ini selalu dibaca tatkala shalat Jum’at, shalat ‘Idul Fitri dan shalat ‘Idul adha merupakan sebuah perintah yang tegas untuk mensucikan nama Tuhan, bukan sekedar dibaca dan dimaknai saja. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana mensucikan nama Tuhan? Karena begitu banyak Nama-Nama Tuhan dan bagaimana caranya? Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Nama Tuhan yang paling tinggi adalah Allah.’ Dan oleh karena semua manusia dicipta dan ditempatkan di ‘Alam Nasut’ atau alam kemajemukan, atau alam sebab akibat, maka seseorang yang berkeinginan mensucikan Nama Tuhan, berkewajiban menghapus segala ingatan dan semua yang ada didalam hati kecuali Allah. Sebagaimana angka 12, satu mewakili Ke-Esa-an-Nya dan dua mewakili kemajemukan, sehingga jika angka dua dihapus yang ada hanya satu atu Dia saja. Maka Allah akan mengangkat ruhnya dari Alam Nasut ke Alam Malakut lalu ke Alam Jabarut, meskipun jasadnya berada di bumi ini bersama-sama orang banyak.

Allah SWT berfirman : ‘Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.’ (QS 072 : 18) Maksudnya adalah mesjid-mesjid hati adalah kepunyaan Allah dan tidak diperkenankan ada sesuatu didalamnya selain Allah.

Untuk menghapus kemajemukan dan menegaskan hanya Nama Allah saja, dibutuhkan penghapus dan sekaligus pemahat hati. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : “Kalimat yang mujarob untuk menghapus kemajemukan (nafy)dan mengukir (isbat)Allah saja didalam hati adalah ‘La Ilahaa Illallah’.” Dengan mengulang-ngulang kalimat thoyibah ini, maka akan terhapus segala sesuatu yang bukan tuhan dan terpahat Nama Tuhan Yang Maha Tinggi didalam hati, yakni 'Allah'. Karena Tuhan telah mengumpulkan semua rahmat dan kebajikan-Nya dalam kalimat thoyibah ini, dan siapa saja yang membacanya dengan tulus dan keyakinan yang benar akan tergolong kedalam orang-orang yang mesucikan nama Tuhan. Karenanya rumusan ini menjadi pondasi para syaikh sufi untuk mendidik murid-muridnya guna membersihkan lembaran batin dari debu dunia yang diciptakan, karena angin nafsu, agar ia dapat membaca semua kitab samawi dan juga kitab yang tidak diwahyukan, dan naik ke buku primodial yang tersimpan di Alam Kemahakuasaan di ‘dekat’ Tuhan. Orang-orang yang semacam itu akan berhasil dalam usahanya, dan syaithon tidak akan mampu menghalangi mereka dari jalan kesucian, maka genaplah sabda Rasulullah,saw., : ‘Siapa saja yang mengatakan Laa Ilaaha illaallah dengan ikhlas akan masuk surga.’

Kaifiatnya atau caranya, yang pertama dan wajib adalah harus baiat kepada seorang Syaikh, atau guru mursyid dari salah satu tarekat yang mutabaroh. Karena hukum baiat adalah sunah nabawiyah atau sunah kenabian. Selanjutnya pasrah kepada Syaikh, yakni kekercayaan yang penuh terhadap ajaran-ajarannya, tanpa sedikitpun menanyakan mengapa demikian, baik secara diam-diam atau secara terbuka. Kepatuhan kepada Syaikh harus total, sehingga sekiranya beliau memerintahkan agar melakukan tindakan-tindakan yang kelihatannya bertentangan dengan praktik-praktik sunah, maka harus dilaksanakan tanpa bertanya. Meninggalkan praktik-praktik sunah lebih baik ketimbang melaksanakannya karena keinginannya sendiri. Begitu juga, tindakan-tindakan asketik harus ditinggalkan, jika seseorang memang diperintah oleh seorang Syaikh. Keterikatan hati yang utuh dan mutlak kepada Syaikh, lebih sulit dibanding mengerjakan shalat malam dan berpuasa selama empat puluh hari berturut-turut lamanya. Seorang murid wajib menyadari bahwa tanpa pembimbing tujuannya mustahil dapat dicapai. Semakin tinggi kecintaan kepada Syaikhnya, semakin sering pula seorang murid mengalami pengalaman-pengalaman ruhani, kejelasan-kejelasan datang silih berganti, baik melalui mimpi-mimpi atau terjaga, yang bermanfaat bagi bertambahnya keyaqinan, yang pada akhirnya akan mempertinggi kualitas peribadatannya. Sebaliknya bila kecintaan kepada Syaikhnya memudar, maka menghilang pula pengalaman ruhaninya, lenyap pula isyarat-isyarat dalam mimpi-mipinya dan tingkat keyaqinannya memburuk, yang berakibat pada menurunnya kualitas peribadatannya. Pada kondisi ini, bila seorang murid tidak segera mendapatkan tawfiq, maka ia termasuk golongan orang-orang yang sangat merugi, karena menyia-nyiakan jalan lurus yang sudah terbentang didepan matanya, padahal ia selalu memohonnya pada setiap shalat tatkala membaca suratul Fatihah.

Tanda seseorang telah terbebaskan dari kemajemukan (pluralitas) adalah akhlaknya terpuji, ia dicintai semua makhluk yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Gerak gerik lahiriyahnya mempesona dan batinnya tidak pernah lalai dari mengingat Allah. Pilihannya telah sirna, yang mengejewantah adalah pilihan Tuhan baginya. Hatinya tidak pernah ada konflik bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah. Sebagaimana pohon yang tumbuh dan lebat buahnya, menanam adalah tindakan manusia yang disebut dengan riyadhah dan mujahadah, sedangkan buah adalah tindakan Tuhan yang disebut dengan musyahadah. Oleh sebab itu, mungkin saja musyahadah atau buah diperoleh tatkala belum terlalu lama menanam pohon, dan sebaliknya meskipun sudah menanam bertahun-tahun dan menyiraminya dengan pupuk kegagahan dalam beribadat, namun buah atau musyahadat tak kunjung tiba. Karena musyahadat adalah hak Allah SWT yang dikaruniakan kepada orang-orang yang dipilih-Nya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Setiap orang dicipta sesuai dengan kadarnya, beruntunglah orang-orang yang mempunyai bakat dan phisik yang kuat dalam menempuh jalan ini.' Wejangan ini selaras dengan firman Allah SWT : 'Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.' (QS 087 : 2 - 5) Sungguh beruntung bagi orang-orang yang ditakdirkan selalu masuk kedalam lingkaran orang-orang yang berdzikir, yang disebut kholaqoh dzikir yang didalamnya ada majlis ilmu dan sekaligus majlis dzikir, untuk berupaya memperoleh musyahadah, seperti rumput-rumput yang selalu berada dalam pemeliharan-Nya.

Setelah hati bersih dari keberanekaan (pluralitas) dan hanya Allah saja yang bersemayam, serta ruh telah meninggalkan Alam Nasut beranjak ke Alam Malakut, maka dzikir yang dibutuhkan adalah dzikir khafi, atau dzikir yang tidak berbunyi, atau disebut juga dengan dzikir lathaif, yakni menyebut ismudzat saja ‘Allah … Allah … Allah’ disetiap kesempatan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT : “Katakanlah ‘Allah’, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS 006 : 91) Tidak dibutuhkan penafyan lagi, karena telah terbebaskan dari kemajemukan atau kegandaan (pluralitas). Akan tetapi untuk menjaga keadaan ini dan mempertinggi kewaspadaan atas bias-bias kegelapan yang berada pada Alam Nasut ini, dzikir jahr tetap dikerjakan, meskipun ia telah mempunyai pangkat kewalian, meskipun isyarat-isyarat kejadian mendatan telah ia peroleh, maupun bahasa ruh telah terjelaskan. Begitulah wejangan yang mulia Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) tepat pada usianya yag ke 57 kepada seorang muridnya. Yaa Allah berkahilah kehidupannya, juga keluarga, sahabat dan murid-muridnya, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alaamin.