Rabu, 24 Juni 2009

MUJAHADAT - MUSYAHADAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.
Allah SWT berfirman : ‘Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.’ (QS 029 : 69)
Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sejahat-jahat musuhmu adalah jiwa rendahmu, yang berada diantara dua sisimu.’ Dan beliau juga telah menetapkan bahwa peperangan melawan jiwa rendah lebih unggul atau lebih luhur daripada perang suci melawan kaum kafir, karena yang pertama memerangi musuh yang tidak kelihatan dan berada dalam dirinya sendiri, sedangkan yang kedua, musuh yang jelas-jelas bisa dilihat oleh mata inderawi dan berada diluar dirinya, jelas yang pertama lebih sulit dan memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh. Selama manusia mengikuti jiwa rendahnya ia akan menjadi penghuni tetap dunia ini, sedangkan bila ia menentangnya dan memeranginya ia akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan meraih kesucian malaikat. Bedanya malaikat sudah dalam kedudukan kesucian tanpa melakukan peperangan, sedangkan manusia harus melakukannya terlebih dahulu, oleh sebab itu manusia yang demikian lebih mulia derajatnya. Kaum sufi menyebut ‘peperangan melawan jiwa rendah atau hawa nafsu’ sebagai mujahadat.
Jalan mujahadat sungguh nyata dan sangat jelas, hampir semua agama menganut doktrin ini, dan telah diamalkan oleh masyaikh terdahulu. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Riyadhat dan mujahadat adalah hak manusia sedangkan musyahadat adalah hak Tuhan.’ Dan dilain kesempatan beliau mengatakan bahwa: ‘Mujahadat bayarannya kontan.’ Yakni, Allah SWT akan membayar dengan segera bagi orang-orang yang yang melakukan tindak mujahadat berupa musyahadat. Sehingga secara kacamata awam bisa terlihat seolah-olah terjadi hukum sebab akibat, atau dengan kata lain bahwa mujahadat adalah tindak upaya manusia sepenuhnya, dan merupakan penyebab langsung dari musyahadat. Karena dalam hal ini tindakan mujahadat oleh manusia selaras dengan kehendak Tuhan, karena Tuhan memerintahkan manusia untuk memerangi hawa nafsunya, sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah tindakan yang tidak selaras (menentang) dengan kehendak Tuhan. Lalu yang jadi pertanyaan, apakah dengan daya upayanya sendiri manusia dapat melakukan tindakan yang selaras dengan kehendak Tuhan, dalam hal ini mujahadat? Allah SWT berfirman : ‘Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.’ (QS 006 : 125) Dan Rasulullah,saw., bersabda : ‘Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.’
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq,ra., mengatakan bahwa : ‘Barangsiapa menghiasi lahiriyahnya dengan mujahadat, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadat. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadat dalam tarekat ini, ia tidak akan menemui cahaya yang memancar darinya.’
Syaikh Abu Utsman al-Maghriby mengatakan : ‘Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di jalan-Nya atau bahwa sesuatu di jalan-Nya akan tersingkap baginya, tanpa bermujahadat.’
Murid-murid Syaikh Sahl bin Abdallah al-Tustari,ra., mempunyai pandangan bahwa barang siapa menaklukkan hawa nafsunya sendiri, akan mencapai musyahadat. Karena kitab-kitab suci samawi terdahulu didalamnya terdapat peraturan-peraturan keagamaan, yang menjadi kewajiban atas manusia untuk memenuhinya. Hal ini berarti melibatkan tindak mujahadat, semua menjadi keliru dan sia-sia jika mujahadat bukanlah sebab bagi musyahadat. Bukankah di akhirat nanti, segala sesuatu berkaitan dengan prinsip-prinsip dan sebab-sebab yang terjadi di dunia? Karenanya, ada dua malaikat yang mempunyai tugas berbeda untuk mencatat segala kebaikan dan kemaksiatan yang selalu menyertai manusia. Jika dikatakan bahwa prinsip-prinsip tidak punya sebab-sebab, maka semua hukum dan tatanan berakhir. Kewajiban-kewajiban keagamaan tak dapat dibenarkan, dan makanan juga bukan sebab kenyang dan minuman bukan sebab hilangnya dahaga. Karena itu, menganggap tindakan sebagai sesuatu yang disebabkan, adalah Pengesaan, dan mengingkarinya adalah peniadaan. Ia yang menyatakannya, membuktikkan keberadaan musyahadat, dan ia yang menolaknya, menolak keberadaan musyahadat. Bukankah latihan (riyadhat) mengubah kualitas-kualitas kebinatangan dan menggantikannya dengan kualitas-kualitas yang terpuji?
Yang lain, sebaliknya mempunyai pandangan bahwa tak ada sebab langsung bersatu dengan Tuhan, dan barang siapa sampai kepada-Nya, yang demikian karena kemurahan Tuhan, yang tidak membutuhkan tindakan-tindakan manusia. Oleh sebab itu, mereka berpendapat tujuan mujahadat ialah meluruskan keburukan-keburukan jiwa rendah, bukan mencapai kedekatan yang sesungguhnya, dan karena mujahadat dirujukkan kepada manusia, sementara musyahdat dirujukkan kepada Tuhan, maka tidak mungkin yang satu disebabkan oleh yang lain.
Imam al-Hujwiri,ra., mengatakan bahwa : ‘Mujahadat orang-orang yang Tuhan cintai adalah tindakan Tuhan didalam diri mereka diluar kehendak mereka sendiri, ia menguasai dan melebur mereka, tetapi mujahadat orang-orang yang bodoh, adalah tindakan mereka sendiri didalam diri mereka sendiri dengan kehendak mereka sendiri, ini membahayakan dan menyedihkan mereka, sedangkan kesedihan disebabkan oleh keburukan.’

Ini sudah umum terjadi bahwa bila seseorang melakukan perjuangan dan peperangan maka keberhasilannya akan diakuinya dan kebanggaan merasuk jiwanya, walaupun ia telah bersyukur atas kemenangannya itu, seolah-olah ini suatu kesempurnaan, karena ia telah mensyukurinya dan mengingat kebesaran Tuhan. Nah, keadaan seperti ini bisa menjadi biang keladi hapusnya amal, karena adanya pengakuan dalam dirinya bahwa peperangannya atas upayanya sendiri, inilah 'hawa nafsu' yang tersembunyi, pengakuan inilah yang merobohkan bangunan keimanannya, kebanggaan inilah yang tersulit diperangi. berarti jauh dari mujahadat yang sesungguhnya, karena mujahadat adalah peperangan melawan hawa nafsunya sendiri. Sejatinya syukur ditujukan kepada Allah SWT atas karunia-Nya meneguhkan upayanya bukan kemenangannya saja, lalu bersyukur bahwa ia diberikan kemampuan oleh-Nya untuk bersyukur, sehingga nikmat dari-Nya pun tidak berhenti sampai disini saja, malah semakin lama semakin besar, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’ (QS 014 : 7)
Sesungguhnya hal ini telah diterangkan didalam bab-bab lain terdahulu. Bahwa mencari menjadi sebab dari menemukan dan menemukan menjadi sebab dari mencari. Yang pertama adalah mujahadat untuk tujuan mencapai musyahadat, dan yang kedua adalah musyahadat untuk mencapai mujahadat. Hubungan mujahadat dengan musyahadat sama dengan hubungan karunia Ilahi (taufiq) dengan kepatuhan (tha’at), karena mustahil mencari ketaatan tanpa karunia Ilahi, demikian pula mencari karunia Ilahi tanpa ketaatan. Karenannya tidak mungkin ada mujahadat tanpa musyahadat, demikian pula tidak mungkin ada musyahadat tanpa mujahadat. Manusia dibimbing menuju mujahadat dengan Cahaya Keindahan Ilahi, dan karena cahaya itu menjadi sebab adanya mujahadat, namun demikian petunjuk Ilahi (hidayat) mendahului mujahadat. Semua pemenuhan atas kewajiban-kewajiban keagamaan bergantung pada petunjuk Ilahi (hidayat), dan tindak-tindak mujahadat hanyalah bertindak meneguhkan hujah-hujah Tuhan, bukan menentukan persatuan hakiki dengan Tuhan. Allah SWT berfirman : ‘Kalau Sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS 006 : 111), Nah, yang menjadi sebab keimanan adalah kehendak Allah, bukan bukti-bukti atau mujahadat. Dengan demikian wahyu-wahyu para Nabi dan peraturan-peraturan agama adalah sarana (asbab) untuk mencapai persatuan, tapi bukan menjadi sebab langsung. Jadi mujahadat bagi manusia adalah sarana untuk melahirkan kualitas-kualitas yang tersembunyi dalam diri manusia dan tidaklah akan mungkin lahir kualitas-kualitas yang terpuji itu tanpa tindak mujahadat.

Senin, 22 Juni 2009

ZUHUD

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Didalam kitab yang mulia Al Qur’anur Karim ada beberapa ayat yang mengindikasikan perintah untuk berzuhud, antara lain : “Katakanlah: ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa,’” (QS 004 : 77) dan ‘(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS 057 : 23)

Mencintai dunia (hubbud dunya) akan membuat orang berpaling dari Allah SWT sedangkan memusuhi dunia (zuhud) akan membuat orang berpaling kepada Allah SWT, ini adalah sebuah prinsip yang kokoh didalam tasawuf, dimana hanya orang-orang yang terpilih yang mampu melakukannya. Karena barang siapa yang kezuhudannya terhadap dunia guna mendambakkan akhirat, maka ia telah terperosok kedalam jurang yang dalam. Karena, itu adalah hakikat ‘keinginan’, betapa mulianya orang-orang yang tidak berpikir tentang kepentingan dirinya sendiri, sehingga keinginannya hanya untuk Allah semata dan bukan untuk tujuan membawa dirinya ke surga. Imam Junaid,ra., bertanya tentang zuhud, Ruwaym,ra., menjawab : ‘Zuhud adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas-bekasnya dari hati.’

Dalam pengajian hari Sabtu sore, Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Saya gembira mengaji tentang zuhud bersama ibu-ibu, karena ibu-ibu mempunyai kelebihan dari bapak-bapak, kelebihan apa gerangan? kelebihan mencintai dunia! Maka kalau saja ada setetes zuhud masuk, merasuk kedalam hati, Allah SWT menghinggapkan kedalam hati ibu-ibu keadaan zuhud ini, betapa seluruh bapak-bapak akan merasa berbahagia. Karena keinginan akan isi dunia yang dianggap indah oleh ibu-ibu mulai sirna, yang berarti tekanan kepada bapak-bapak mulai sirna juga. Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang dibutuhkan didalam diri (keinginan), yang apabila terpancing oleh sesuatu yang terlihat, terdengar, terasa dialam semesta ini maka didalam diri meronta-ronta ingin memiliki sesuatu itu. Yang dimaksud zuhud dalam tasawuf dan yang harus diraih oleh kita semua, adalah tersingkirnya semua selain hanya harapan tertuju kepada Allah SWT saja, itulah sumber kebahagian. Nabi,saw., memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah ia, karena ia dibimbing oleh hikmah. Barang siapa keras ibadahnya (dawamun ubudiyah) sambil memperbanyak zikir-zikirnya (dawamudz dzikri), maka berbagai macam keinginan-keinginan terhadap dunia ini sedikit demi sedikit gugur, sehingga nantinya tidak ada kecintaan terhadap isi dunia lagi, bertambah lama bertambah pudar.’

Tahapan yang lain akan keadaan zuhud ini adalah zuhud terhadap ucapan, baik ucapan secara zahiran (yang bersuara) dan ucapan secara bathinan (didalam hati saja), sehingga ia tidak lagi berkata-kata kecuali bila itu berkenaan dengan perintah-perintah Tuhannya, dan bila ia pun harus berbicara maka bicaranya itu tanpa suatu keterikatan dan ambisi apapun.

Kisah, Amirul Mu’minin saat itu Harun al-Rasyid,ra., setelah menunaikan ibadah hajinya ia mencari Fudhayl bin ‘Iyad,ra., setelah bertemu dan mendapat beberapa nasihat darinya, ia bertanya kepada Fudhayl,ra., apakah ia mempunyai hutang? Fudhayl,ra., menjawab : ‘Ya, hutang kepada Tuhan, yakni ketaatan kepada-Nya, celakalah aku, kalau Dia memanggilku untuk mempertanggung jawabkannya.’ Wahai Fudhayl, aku berbicara tentang hutang-hutang kepada manusia. Fudhayl,ra., menjawab : ‘Terpujilah Tuhan! Kemurahan-Nya kepadaku sungguh besar, dan aku tak punya alasan untuk mengeluhkan tentangnya kepada hamba-hamba-Nya.’ Lalu Harun al Rasyid,ra., menghadiahkan sekantong uang berjumlah seribu dinar, seraya berkata : ‘Gunakan uang ini untuk keperluanmu.’ Fudhayl,ra., berkata : ‘Wahai amirul mu’minin, nasihat-nasihatku tidak memberikan kebaikan kepadamu. Disini pula engkau bertindak salah dan tidak adil.’ Harun al Rasyid,ra., berseru : ‘Bagaimana itu?’ Fudhayl,ra., berkata : ‘Kuinginkan engkau selamat, namun engkau mencampakkan aku kedalam siksa neraka, bukankah ini tidak adil? Harun al-Rasyid,ra., menangis berlinangan airmata sambil meninggalkan Fudhayl dan berkata : ‘Wahai Fudhayl, engkau adalah seorang raja yang sejati.’ Kisah ini menunjukkan kebenciannya terhadap dunia dan orang-orangnya, dan pelecehannya terhadap nikmat-nikmatnya, serta penolakannya untuk merendahkan dirinya dihadapan benda-benda demi memperoleh keuntungan duniawi.

Dilain kesempatan Fudhayl bin ‘Iyad,ra., berkata : ‘Allah SWT menempatkan seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan kepada dunia sebagai kuncinya. Dia menempatkan seluruh kebaikan dirumah yang lain dan menjadikan zuhud sebagai kuncinya.’

Sabtu, 20 Juni 2009

WARA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah,ra., bahwa Rasulullah,saw., bersabda : ‘Bersikaplah wara, dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadat diantara umat manusia.’ (Hr. Ibnu Majah, Thabarani dan Baihaqi).
Untuk memasuki istana kesucian dibutuhkan terlebih dahulu kunci berupa ‘taubat yang murni, taubat yang sungguh-sungguh, taubatan nasuha’, barang siapa belum mencapai maqom taubat, maka jelas ia belum memasuki kedalam wilayah kesucian, belum masuk kedalam golongan orang-orang yang bertasawuf (muthasowif). Wara adalah tahapan selanjutnya dalam memasuki wilayah kesucian, dalam perjalan untuk mendekat kepada Allah, SWT.

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata dalam memimpin pengajian pada hari Sabtu sore : ‘Alhamdulillah wasyukru ala nia’millah, Allah SWT masih menautkan kita semua kedalam kholaqoh dzikir, Allah SWT masih menunjuk kita untuk masuk kedalam salahsatu taman daripada taman-taman surgawi. Kegembiraan dan keberuntungan itu telah berdatang kepada kita, sehingga dalam kehidupan ini, kita meraih ilmu pengetahuan dan memperoleh sebesar-besar pahala. Malaikat akan mencatat dan menjadi saksi atas kebaikan-kebaikan ini, semoga Allah memberkahi kita semua.’
Ustadz Yordanis Salam berkata bahwa Syaikh Abu Nasser as Sirraj,ra., menyatakan dalam kitab al Luma bahwa : ‘Wara adalah menghindari atau menjauhkan diri, yaitu orang yang menghindari hal yang subhat (yang diragukan), apa-apa yang diantara halal dan haram.’ Untuk bisa mengerti dan memahami sesuatu itu diharamkan, diragukan ataupun dihalalkan oleh agama, tentunya penguasaan ilmu tentang syariahnya sudah baik, khususnya tentang fiqih. Dan ini mudah dilakukan, bahkan anak-anak kecilpun sanggup melakukannya. Akan tetapi untuk bisa menolak sesuatu yang haram dan menghidari dari yang diragukan (subhat), apalagi hal ini sangat dibutuhkannya, tidaklah mudah. Karena memerlukan perjuangan mengalahkan keinginan-keinginan diri, peperangan mengalahkan syahwat, inilah yang disebut mujahididin sejati. Sedangkan maqom wara adalah ketegaran seseorang pejalan didalam menghindari hal-hal yang subhat, karena kesadarannya yang terus menerus bahwa ia sedang dalam ‘perjalanan menuju’ kedekatannya kepada Allah SWT. Jadi disini bisa dibedakan antara pengertian wara dengan maqom wara. Jika hal-hal yang subhat dihindarinya selagi ia tidak membutuhkan dan disaat lain tidak dihindarinya lagi, maka ini baru masuk belajar wara, walalupun sudah ada sebuah upaya, namun belum gigih, oleh karenanya ia terperosok lagi, seperti anak bayi yang sedang belajar mengambil mainannya, dan belum bisa disebut masuk kedalam maqom wara awal, karena masih jauh dari ketegaran, meskipun Allah SWT mempahalainya.

Syaikh Ibrahim bin Adham,ra., berkata bahwa : ‘Wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan.’
Memasuki maqom wara, adalah bagi orang-orang yang berketat dalam peribadatannya, ketat dalam riyadhah dan mujahadahnya, karena dalam mujahadah, berjuang dalam melawan hawa nafsu, salah satunya adalah warna daripada wara itu. Wara akan selalu menguntit kepada para akhli mujahadah tingkat awal, setiap gerak-geriknya, setiap pandangan-pandangannya adalah sebuah penolakannya. Wara bukan malamat, karena malamat adalah penolakan secara ketat, membuat garis yang ketat. Sedangkan wara adalah penghindaran atas sesuatu yg diharamkan, termasuk bahkan ada keraguan didalamnya ‘subhat’ dan sesuatu yang halal namun berlebihan. Abu Bakar as-Siddiq,ra., berkata : ’Kami dahulu selalu meninggalkan tujuhpuluh perkara yang termasuk kedalam hal-hal yang dihalalkan, karena khawatir terjerumus kedalam satu hal yang haram.’ Diawali dulu dengan apa-apa yang dimakan dan diminum, adakah makanan ini haram atau halal atau meragukan? Rasulullah,saw., mengajarkan bahwa bila ada sesuatu yang meragukan tinggalkan saja. Tidak ada urusan besar atau kecil, enak atau tidak enak, murah atau mahal. Orang bodoh sering berkata bahwa ‘mencari nafkah yang haram saja susah apalagi yang halal,’ini adalah pernyataan orang dungu yg memasang buruk sangka kepada Allah SWT. Kalau menjumpai orang yang seperti itu, jauhi saja, tinggalkan! Orang yang seperti itu akan dimurkai oleh Allah SWT. Wara, didalamnya ada kewaspadaan, segala sesuatu yang dimakan dan diminum adalah sesuatu yg bersih, bersih dari keragu-raguan dan bersih dari keharaman. Sehingga apabila hal ini dilakukan terus menerus diiringi dengan beribadat yang ketat dengan membawa kewaspadaan, maka lahiriyah dan batiniyahnya akan menjadi suci. Sehingga, apabila ada sesuatu barang yang subhat termakan, maka tubuh akan segera memberi isyarat, berupa kegundahan yang didapat. Karena kegundahannya itu, lantas melakukan pertaubatan kepada Allah SWT. Begitulah keadaan kesucian, apabila ada isyarat-isyarat barang subhat, maka hatinya meronta, lalu banyak istigfar maka Allah SWT akan mengampuninya. Begitulah kesucian bisa sudah teraih, akan menolak berbagai macam kekotoran-kekotoran, karena orang-orang yang telah berada dimaqom wara telah melewati maqom taubat. Inilah yang dimaksud tatkala Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Wara adalah menolak segala sesuatu yang merusak kesucian.’
Syaikh Hasan al-Basri,ra., berkata : ‘Bobot sebutir wara yang cacat, adalah lebih baik ketimbang bobot seribu hari puasa dan shalat.’

Lalu bila sudah terbiasa terhadap sesuatu yang bersih, wara menjadi kewaspadaan yang tinggi. Wara akan terbawa terus didalam diri seseorang, meskipun ia berpangkat Waliyullah sekalipun. Karena barang siapa semakin tinggi maqom waranya, maka ia akan menguasai agama-agama. Wara akan membias kedalam dada orang-orang yang sering ngariung dengan seorang Waliyullah, sehingga dalam kehidupannya ia akan berhati-hati dalam mencari nafkah, berhati-hati atas apa yang akan dimakannya, dipakainya, waspada disetiap gerak langkah kehidupannya. Ahmad bin Hanbal,ra., berkata kepada saudara wanita Syaikh Bisyr al-Hafi,qs., : ‘Janganlah memintal disitu, karena cahaya ini berasal dari obor kaum dzahiriyah.’
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Wara adalah pintu gerbang zuhud.’ Bagi orang awam yang belum meperoleh isyarat dari Allah SWT bila makan makanan yang haram atau seuatu yg subhat. Maka Ia akan dirundung kegundahan disepanjang kehidupannya, karena sesatu yang haram masuk kedalam diri, akan membawa ketidak nyamanan dalam kehidupan. Jadi barang siapa ingin memperoleh ketenangan dalam kehidupan maka harus diisi dengan banyak mendawamkan dzikrullah dan dawamun ubudiyah. Orang yang memasuki maqom Wara mempunyai tanda-tanda dalam kehidupannya, antara lain beroleh rasa kecintaan dan jatuh hati terhadap ciptaan Allah SWT, dan ingin memelihara ciptaan-ciptaan itu dengan baik. Lalu keadaan wara itu ditujukan kepada orang lain, karena kewaspadaannya yang tidak ingin mengotori orang lain, atas tindak tanduknya atas perilakuknya. Walaupun hanya selembar kain, apakah karena selembar kain itu bila masuk kedalam rumah sahabatnya akan mengotori. Kemudian apakah sepatu atau sandalnya ini akan menjadikan najis. Begitulah pakaian-pakaian kesucian wara yang akan terbawa kemana-mana, sehingga orang-orang yang berdekat tidak ada setitik kekhawatiran pun malah mereka akan beroleh kenyamanan. orang wara selalu bertaut kepada Allah ta’ala dalam keadaan apapun.

Senin, 15 Juni 2009

ZIARAH KE KONYA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.
Imam al-Hujwiri .qs., berkata dalam kitab yang masyhur Kasyful Mahjub : ‘Bilamana seorang darwisy mengembara, ia harus mengembara karena Allah semata-mata, bukan untuk kesenangan. Dan karena ia mengembara secara lahiriyah, maka ia harus secara batiniyah lepas dari ikatan-ikatan hawa nafsunya. Ia harus selalu menjaga dirinya sendiri agar tetap suci dan tidak boleh melalaikan ibadah-ibadahnya.’

Mendengar pemberitahuan jadwal penerbangan 'delay' untuk waktu yang belum ditentukan adalah sangat mengesalkan dan menyedihkan, apalagi penundaan itu dalam rangka keberangkatan ke Konya. Hati bercakap-cakap, lalu 'hawajis (kilatan hati yang datang dari syaithon)' atau 'was-was (bisikan hati yang datang dari hawa nafs)' berdatang, membuat suasana tidak menentu. Walaupun tangan selalu memegang tasbih, dan wiridan dihidupkan, namun buruk-buruk sangka mulai tercipta, lalu menjelma menjadi sikap dan percakapan yang mengotori alam semesta. Derajat murid memang masih seperti itu, sifat ketergesa-gesaan belumlah sirna dari jiwanya, keraguan acap kali muncul, kadang terlupakan bahwa Allah SWT telah merencanakan sesuatu yang teramat apik dan elok bagi hamba-hambanya. Dalam situasi yang seperti itu, yang paling aman adalah berdekat dengan guru, Syaikhnya, atau pembimbing ruhaninya, agar hati yang menerawang ini segera pergi, berganti dengan dzikir-dzikir yang berkesinambungan, karena seseorang, bila melihat atau berdekatan dengan seorang Syaikh maka kontan saja ia akan segera ingat kepada Allah SWT. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bersikap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa, selalu selaras dengan ketentuan kekasih-Nya. Seorang murid berkata dengan murid yang lain: 'Suatu ketika saat berziarah ke Banten terjadi gempa bumi, botol-botol minuman berterbangan, kursi dan meja bergeser, angin bertiup dengan murkanya, pohon-pohon kelapa bergoyang dengan kerasnya, namun Syaikh bersikap biasa-biasa saja, padahal murid-murid yang menyertainya tampak cemas dan takut. Apalagi hanya masalah penundaan keberangkatan, bagi Syaikh jadi atau tidak jadi berangkat akan sama maknanya, semuanya terserah bagaimana Allah mengaturnya.' Dalam keadaan yang serba belum menentu itu, seorang murid memecah kebisuan dengan berkata : 'Teramat yakin bahwa sebentar lagi kita akan terbang ke Konya, tidaklah mungkin Allah SWT akan mengecewakan para kekasihnya, apalagi ziarah kali ini dalam rangka memenuhi undangan dari Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi.' Diberitakan, saat itu cuaca di Konya sangat tidak menentu, seluruhnya tertutupi oleh kabut putih, udara juga sangat dingin, sehingga tidaklah mungkin pesawat dapat beroperasi dengan baik, sangat membahayakan. Beberapa kelompok orang yang baru selesai menunaikan ibadah haji mengambil keputusan untuk kembali ke Konya melalui jalan darat, juga tampak beberapa rombongan yang bermaksud menghadiri puncak acara haul membatalkan penerbangan dan menyewa mobil, walaupun akan ditempuh selama 12 Jam atau 10 jam lebih lama bila melalaui jalan udara.

Waktu Subuh tiba, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) memimpin shalat di emperan airport Istanbul, setelah itu beliau mengakat tangannya, mulut yang diberkahi itu melantunkan doa-doa yang berupa puji-pujian bagi kekasihnya, Allah SWT. Dengan penuh rasa harap yang tinggi murid-muridnya mengaminkan. Tak lama berselang, terdengar bahwa penerbangan dapat segera diberangkatkan. Hati berubah menjadi gembira, rasa syukur dan pujian kepada Allah dilantunkan terus menerus. Seorang murid teringat bagaimana seharusnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tarekat sewaktu didalam pesawat, salah satunya adalah membaca surat Al Fatihah saat nafas dikeluarkan (satu hembusan nafas) dan demikian pula saat menarik nafas (satu tarikan nafas), hal demikian dilakukan masing-masing sebanyak 50X jadi jumlahnya menjadi genap 100X, setelah itu, disaat pernafasan dan detak jantung mulai teratur dilanjutkan dengan mengerjakan dzikir lathif, dzikir yang halus, hati menyebut Allah … Allah … Allah sebanyak-banyaknya. Dengan berdzikir seperti itu, waktu (waqt) menjadi miliknya, tenggelam didalam hadirat yang Agung. Beberapa saat sebelum mendarat di Konya, Syaikhuna berkata kepada seorang muridnya : 'Semuanya tampak putih tertutup kabut, tak ada sesuatupun yang dapat dilihat,' Perkataan ini mempunyai makna bahwa tak ada yang lain di Konya, kecuali keagungan cahaya cinta Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi, sejak ratusan tahun yang lalu telah menerangi bukan hanya dunia Islam di Asia Tengah saja, melainkan juga merambat ke dunia barat. Ketinggian kewaliannya menakjubkan, menggetarkan jiwa yang kadung terbenam dilautan materi, semua murid merasakan kehadiran rasa-rasa yang aneh, seperti tak ada kekuasaan menahan gejolak hati yang tiba-tiba haus akan belaian kasih sayang seorang ibu, air mata mengucur dengan deras, sambutan selamat datangnya berupa musyahadah, mendadak semua penglihatan berubah menjadi terjemahan pesan Maulana kedalam bahasa bisunya sendiri.

Konya, dahulu disebut Iconium, Conium, Conie, Konieh, Konia atau dalam bahasa Arabnya ‘Guniye’, adalah pengejewantahan dari Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi, apapun yang didengar, dilihat dan dirasa disana semuanya tertuang didalam bahasa kerinduan dan cinta Maulana yang misterius. Sebelum Attaturk di tahun 1925 menutup semua asrama darwis dan melarang semua kegiatan tarekat Maulawiyah, kota ini menjadi pusat ziarah bagi umat Islam, tidak saja bagi para pria, bahkan para wanita dari golongan bangsawan kelas atas ataupun wanita yang berprofesi kurang terhormat. Karomahnya tersebar ke pelosok-pelosok penjuru dunia yang terjauh dan terpencil sekalipun, banyak orang-orang dari agama lain pun berdatang kesini untuk memberikan penghormatan yang tinggi. Seseorang yang ingin bergabung dengan para darwis dari tarekat ini, harus melayani selama seribu satu hari, mulai dari tugas-tugas yang paling kasar, yang kemudian mempelajari penafsiran Matsnawi (kitab yang berisi puisi-puisi cantik karya Maulana), barulah syah hukumnya menjadi anggota persaudaraan para darwis. Terlalu banyak karomah-karomah yang disaksikan oleh murid-muridnya, juga oleh masyarakat Konya pada umumnya, namun salah satu yang membuat semua manusia dan jin tercengang tatkala orang-orang Mongol yang tadinya kejam dan bengis membantai masyarakat Islam berduyung-duyung memeluk agama Islam, agama yang hanif ini, agama yang telah disempurnakan dan diridhoi-Nya.

Orang-orang yang berjasa mengantarkan Maulana sampai pada derajat yang sedemikian tingginya, yang pertama adalah ayahnya sendiri, Syaikh Bahauddin Walad,qs., yang melimpahkan permata-permata ilmu kesufian sejak Maulana berada di dalam perut ibunda tercintanya tanpa Maulana sendiri menyadarinya. Khirkoh tarekatnya diperoleh dari gurunya yang bernama Imam Sarakhsi,qs., murid dari Syaikh al-Khatibi,qs., ayah kandung Syaikh Bahaudin Walad,qs. Tiga ratus orang alim di kota Balkh pernah mengalami mimpi yang sama berkenaan dengan ketinggian ilmunya, lalu dengan suara bulat para ulama memberikan gelar kepada Syaikh Bahauddin Walad,qs., sebagai 'Sulthan Al-Ulama atau Sultan Para Ulama', dan ada juga yang menyebutnya sebagai 'Mawlanayi Buzurg atau Tuan Besar.' Beliau secara terang-terangan menentang bid'ah-bid'ah raja dan pegawai tinggi istana, seraya mendesak agar kembali kepada ajaran Islam yang benar. Raja menawarkan kepadanya kekuasaan, namun ditolaknya. Sebelum meninggalkan Balkh beliau mengatakan bahwa : 'Akan datang orang-orang Mongol yang akan menghancurkan kerajaan.' Dalam safarnya, beliau singgah di Bagdad, disambut oleh Syaikh Agung Syahabuddin Umar Suhrawardi,qs., penulis Hikmah as-Israq karya yang menggemparkan dan fenomenal yang tidak bisa dimengerti oleh para ulama dzahiran. Beliau menolak berkunjung kepada khalifah Musta'zhim (dinasti Abassiyah pada waktu itu) serta menampik hadiah berupa tiga ribu mata uang emas kuno, namun beliau bersedia menyampaikan khutbah di Masjid Jami'. Dalam khutbahnya yang dihadiri oleh khalifah, beliau menegur gaya hidup khalifah yang tidak terpuji dan memperingatkan bahwa khalifah akan dibunuh oleh orang-orang Mongol dengan sangat keji dan kejam dikemudian hari. Sebelum meninggalkan Bagdad guna melaksankan ibadah haji di Makkah diterima berita bahwa Balkh sudah dikepung oleh tentara Mongol dibawah komando Jengiz Khan sendiri. Sebuah ungkapan ekstase terdapat didalam salah satu kitab karyanya : 'Pergilah ke pangkuan Tuhan, dan Tuhan merengkuhmu ke dada-Nya dan menciummu dan menampakkan diri-Nya hingga engkau tak mungkin melepaskan diri dari-Nya, melainkan manaruh segenap hatimu pada-Nya, siang dan malam.'
Lalu yang kedua adalah Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq,qs., salah seorang murid Syaikh Bahauddin Walad.qs. Yang melakukan uzlah (menyendiri) di Tirmidz, yang kemudian selang beberapa lama ia mulai berceramah mengenai makna-makna pengetahuan. Di suatu pagi pada hari Jum'at 18 Rabi' Al-Tsani 628H, tiba-tiba ia memekik sedih dengan air mata bercucuran : 'Allah .. Allah .. Allah … Guruku telah meninggalkan dunia debu ini menuju tempat kesentosaan. Putra guruku, penggantinya, kini sendirian dan berkeinginan menemuiku. Aku harus pergi ke Konya untuk menjadi pelayannya, sekaligus untuk menyampaikan amanat guruku (ilmu kesufian).' Bersamaan dengan itu, semua penduduk di Konya mengalami duka yang dalam selama 40 hari, karena Sultan Para Ulama telah meninggalkan mereka untuk selamanya. Setelah pertemuan dengan Maulana dan melakukan percakapan langit, beliau berkata kepada Maulana : “Seratus kali engkau mengungguli ayahmu dalam semua pengetahuan tentang sastra, sejarah, dan filsafat. Namun ayahmu adalah seorang akhli dalam misteri-misteri ekstase dan realitas. Sejak hari ini, aku menghendaki agar engkau juga menguasai pengetahuan itu, yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh para nabi, wali, yang disebut dengan ilmu tentang ilham Ilahi, ilmu yang difirmankan Allah SWT : 'Kami telah mengajarinya sebuah ilmu dari Diri Kami.' Ilmu seperti inilah yang aku dapatkan dari ayahmu (guruku). Dapatkanlah ilmu itu dariku, sehingga engkau akan meneruskan kedudukan ayahmu dalam masalah-masalah ukhrawi maupun hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan demikian engkau akan menjadi dirinya yang kedua.” Di usia yang ke 24, tahun 1231 secara resmi Maulana dituntun oleh beliau melewati segenap tangga latihan mistik yang telah dikembangkan selama empat abad yang lalu oleh para sufi terdahulu. Latihan ruhani ini berlangsung selama 9 tahun (1231-1240). Sehingga resmilah Maulana sebagai penerus rantai emas dari tarekat ini yang bermula dari Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., Hasan Basri,ra., Habib al Ajami,ra., Dawud Thai,ra., Syaikh Ma'ruf al Karkhi,ra., Imam Sirri as Saqoti,ra., Imam Junaid al Bagdadi,ra., Syaikh Abu Bakar as Syibli,ra., Syaikh Abu 'Amr Muhammad,ra., Syaikh Abu Bakar bin Abdullah artartusi,ra., Syaikh Abu Ahmad,ra., (putra Imam al Ghazali), Syaikh Al-Khatabi,ra., (kakek Maulana), Imam Sarakhsi,ra., Syaikh Bahaudin Walad,ra., (ayah Maulana), Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq al Tirmidzi,qs., Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,ra., Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,ra., Syaikh Sultan Walad,ra., (putra Maulana). Kemudian Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq,qs., memperkenalkan karya ayahnya, Ma'arif, dan kitab Hadiqat al-Haqiqah karya seorang penyair istana yang fasih di Ghazna bernama Sana'i.
Yang ketiga adalah Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs., yang mempunyai beberapa julukan : Sultan Pengemis, Misteri Allah dimuka bumi, Yang sempurna kata dan perbuatannya, Sultan pengembara. Beliau telah mengembara di belahan dunia guna mencari sahabat ruhnya, akhirnya pencarian itu berakhir di Konya pada hari Sabtu 28 Nopember 1244. Saat itu Maulana sebagai guru besar pada empat perguruan tinggi. Pada pertemuan pertamanya beliau mengajukan pertanyaan kepada Maulana, sebuah pertanyaan yang membuat Maulana jatuh pingsan : “Siapa yang lebih besar, yang pertama mengucap ‘Subhani – Mahasuci aku’ atau yang kedua mengucap ‘Aku tidak mengenal-Mu sebagai Engkau seharusnya dikenal.’” Simpang siur siapa sesungguhnya yang menjadi murid dan guru sudah terjadi sejak dahulu kala, karena kedua-duanya saling memanggil dengan sebutan ‘guru’, mereka begitu dekat dan tawadhu, serta santun dan saling menghormati diantara keduanya. Namun bila dilihat dari rantai emas atau silsilah tarekat Maulawiyah Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs mendapatkan khirkoh dari Maulana. Sebuah riwayat mengatakan bahwa suatu ketika Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi menganjurkan Maulana untuk melakukan telaah terhadap “karya ayahnya terdahulu – ma’arif” dan dilarang berbicara dengan siapapun. Perintah ini dipatuhinya, ia bungkam dan mengunci dirinya di rubat. Murid-murid Maulana banyak yang tidak sependapat dan melakukan protes, karena kata-kata, pikiran-pikiran Maulana merupakan makanan dan minuman bagi murid-muridnya, sedangkan mereka itu selalu dalam keadaan lapar dan haus. Lalu setelah sekian lama, Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs melarang Maulana untuk tidak mempelajari lagi tulisan-tulisan ayahnya, dan ini pun dipatuhinya. Namun disuatu hari Maulana di tegur : ‘Bagaimana kamu sampai berani mempelajari buku itu lagi ?’ Maulana menjawab : ‘Sejak engkau melarangku, aku tidak pernah lagi membuka karya-karya ayahku dan kitab-kitab itu sudah tidak ada padaku.’ ‘Ya’ jawab Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs, ‘ada belajar lewat membaca, dan ada juga belajar lewat perenungan, hentikan perenungan tentang karya-karya ayahmu itu.’ Sejak saat itu Maulana tidak lagi menyibukkan diri dengan karya-karya ayahnya baik melalui membaca atau perenungan selama Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs masih hidup. Lalu disuatu kesempatan Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs dengan maksud menguji, meminta Maulana untuk memberikan hamba sahaya guna melayaninya. Maulana segera menjemput istrinya yang bernama Kira Khatun, yang amat cantik dan shaleh untuk dipersembahkan kepadanya. Melihat tindakan yang mengandung arti penolakan itu, beliau berkata : ‘Dia itu kan saudaraku yang paling kuhormati, yang aku inginkan adalah seorang muda usia untuk melayaniku.’ Lalu Maulana membawa putranya sendiri, Sultan Walad, yang menurutnya sangat tepat untuk melayaninya, lagi, Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs keberatan dengan berkata : ‘Dia itu seperti putraku sendiri, tetapi barangkali, engkau mau memberiku anggur, aku sudah terbiasa meminumnya, dan sudah lama aku tidak meminumnya.’ Permintaan ini dipatuhinya, ia pergi ke daerah Yahudi dengan membawa sebuah kendi, dan kembali dengan kendi berisi penuh anggur, kemudian diletakkan dihadapannya. Tiba-tiba Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs. Memekik dengan kerasnya, bersimpuh di kaki Maulana, tenggelam dalam kekaguman melihat sikap kepatuhannya, kemudian berkata : ‘Demi kebenaran Yang Mahaawal, yang tidak berawal, Yang Mahaakhir, yang tidak berakhir, belum pernah ada, dari awal diciptakannya makhluk, dan tidak akan pernah ada, sampai akhir zaman, di alam semesta ini, seorang tuan dan guru, yang mempesonakkan hati dan menyerupai Rasulullah,saw., seperti engkau.’ Lalu dia menyatakan diri menjadi murid Maulana seraya berkata : ‘Aku telah menyaksikkan sepenuhnya ketabahan guru kami, kudapati kemuliaan dan kebesaran hatinya, benar-benar mengagumkan.’ Diriwayatkan bahwa Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs dan Maulana mengunci diri selama enam bulan dalam ruangan di rubat, keduanya tidak makan daging dan tidak ada seorang pun diperbolehkan masuk dalam ruangan itu, kecuali Sultan Walad dan seorang murid lainnya. Keduanya tidak pergi meninggalkan ruangan sekejap pun, kecuali untuk melaksankan hukum syariat.
Yang keempat adalah Syaikh Salahuddin Zerkubi,qs., dari keluarga miskin, si penempa emas, bersama-sama dengan Maulana menjadi murid Sayyid Burhanudddin Muhaqqiq,qs. Maulana mengetahui bahwa gurunya menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya, karena kecerdasannya dan kegagahannya didalam riyadhah dan mujahadah. Karena itu, ketika Maulana khirkoh sebagai Syaikh, guru, atau mursyid, dan menjadi panutan di Konya, ia pun memperlakukan Syaikh Salahuddin dengan sangat baik seperti saudaranya sendiri. Setelah menghilangnya Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs., beliau pun diangkat menjadi asisten tarekat Maulawiyah untuk mengajar murid-muridnya. Fathimah, putrinya menikah dengan Sultan Walad, putra tertua Maulana, maka lengkaplah persaudaraanya. Sebuah riwayat mengatakan, bahwa Maulana bersahabat dengan raja Seljukid yang bernama Alaeddin Kaykobad (w.1236). Untuk menghormati persahabatan itu, dibangun sebuah mesjid diatas bukit, Alauddin Hills, mesjidnya tampak luar biasa-biasa saja tanpa adanya hiasan apapun, namun didalamnya sangat mengagumkan, ornamennya sangat indah, mihrabnya sungguh menggetarkan hati. Persis seperti keadaan orang yang dicintainya, jasadnya seperti manusia kebanyakan namun keadaan ruhaniahnya sangatlah indah dan tinggi. Setelah Alaeddin wafat, kedudukannya digantikan oleh Gayasuddin Key-Khusraw. Suatu hari, raja berjalan di kebun anggur, dia memungut seekor ular kecil lalu memasukkannya kedalam kotak emas dan menguncinya, kemudian ia menyelenggarakan sayembara, agar siapapun diperkenankan menebak isi kotak tersebut. Sampailah berita ini kepada kaisar Rum, Konstaninopel dan berkata : ‘Jika agama Islammu itu keimanan sejati, maka seseorang dari orang-orang arifmu akan dapat mengetahui isinya tanpa merusak segelnya.’ Raja lalu menyuruh seluruh menteri dan pejabat istananya namun tidak ada satupun yang bisa memecahkannya, kemudian semua guru teologi di Anatolia pun tak sanggup dan hasilnya nihil. Akhirnya seorang pejabat istana menyampaikannya kepada Maulana, dan Maulana memerintahkan Syaikh Salahuddin untuk menjawabnya, dan beliau pun langsung berkata : ‘Bukan tindakan terpuji bagi raja memenjarakan seekor ular kecil didalam kotak emas, menyegelnya seolah-olah itu paket, dan kemudian berbohong kepada para pejabat tinggi istananya, para menterinya dan orang-orang alim. Namun seorang wali bukan saja mengetahui tipu daya murahan ini, tetapi juga mengetahui setiap pikiran dalam benak raja, dan juga segenap rahasia bumi dan langit.’ Ketika jawaban itu sampai kepada raja, dia langsung bergegas datang ke rubat dan menyatakan diri sebagai murid. Syaikh Salahuddin nenjadi asisten Maulana selama sepuluh tahun.
Yang kelima adalah Syaikh Husamuddin Shalabi,qs., penganut mahzab Imam Syafi’i beliau menjadi asisten Maulana setelah wafatnya Syaikh Salahuddin selama sepuluh tahun. Maulana dapat dengan baik membaca pikiran-pikiran muridnya itu dan berkata : ‘Tetaplah pada mahzab Imam Safi’i,ra., walaupun engkau ingin hijrah kedalam mahzab Imam abu Hanifah,ra., seperti mahzab yang aku anut, akan tetapi ajarkan kesemua orang doktrin cinta Ilahi, seperti yang aku ajarkan.’ Ketika masih muda ia bertemu dengan Syaikh Syamsuddin at Tabrizi,qs., yang berkata kepadanya : ‘Husam, ini bukan jalannya, agama adalah masalah uang, berilah aku sedikit, dan berikan pengabdianmu kepada Tuhan, semoga engkau termasuk dalam tarekat kami.’ Husam bergegas pulang ke rumah, mengumpulkan semua miliknya yang berharga dan uang, beserta permata-permata milik istrinya, dan semua bekal kebutuhan rumah tangga, lalu membawanya dan meletakkannya di kaki Syaikh. Selanjutnya dia menjual sebidang kebun anggur dan vilanya, menyerahkannya kepada syaikh seraya berterimakasih kepadanya karena telah mengajari tentang suatu kewajiban dan karena telah sudi menerima sedikit pemberiannya yang tidak berarti itu. Syaikh berkata : ‘Ya Husam, semoga dengan rahmat dan doa para wali, kamu akan mencapai maqom yang tinggi, sehingga hamba Allah yang paling sempurna merasa iri hati dan akhli-akhli ikhlas menunduk hormat. Memang wali-wali Allah tidak memerlukan apa-apa, tidak memerlukan dua dunia. Namun pada awalnya tidak ada cara lain untuk menguji keikhlasan orang yang kita cintai dan cinta kasih seorang sahabat, selain dengan menyuruh mengorbankan harta-harta duniawinya. Lalu menyuruhnya melepaskan segala yang bukan Tuhannya. Tidak ada murid yang ingin mencuat yang pernah membuat kemajuan dengan mengikuti cara-caranya sendiri. Kemajuan dapat dicapai melalui pengabdian dan pengorbanan di jalan Allah. Setiap murid yang mengorbankan miliknya demi memenuhi seruan gurunya, juga akan mengorbankan hidupnya, jika memang diperlukan. Tidak ada pecinta Allah yang dapat mempertahankan kekayaan di dunia dan agama secara bersama-sama.’ Syaikh kemudian menyerahkan kepada Husam segenap miliknya, menyisakan hanya satu keping perak. Dari awal sampai akhir dia memberikan kepada Husam sebanyak sembilan kali. Akibat dari segala sesuatu ada di tangan Allah, Husam pun akhirnya menjadi penguasa para wali Allah, dan Maulana menjadikannya penjaga perbendaharaan Allah. Dialah yang menulis 24.666 untai sajak dalam enam buku dari Matsnawi.

Minggu tanggal 6/6/672 H (17/12/1273), ruh suci itu kembali ke hadirat-Nya, setelah sekian lama Ia mengalami kemabukan yang hebat, menjadikan tubuhnya berputar bak sebuah poros bumi, seluruh anasir di alam semesta ini tersedot oleh putaran harmonis yang semakin lama semakin cepat, terbang bersama Maulana menghadiri perjamuan yang suci. Bagaimana bisa kematian yang ditakutkan oleh kebanyakan orang, justru ditunggu-tunggu olehnya, karena, katanya kematian bukanlah pemisahan, akan tetapi pembebasan bagi burung ruh. Sebelum wafat, beliau menghibur seluruh sahabatnya dengan berkata : “Bagiku, inilah saat pertemuan suka cita. Jangan katakan ‘selamat tinggal’ tatkala aku dimasukkan ke liang kubur. Disana adalah tirai bagi rahmat yang kekal.” Bukan saja semua murid-muridnya yang berduka, bahkan orang-orang kristen pun berkata “Ia adalah ‘Isa kami’” dan orang-orang Yahudi berkata “Ia adalah Musa kami’”, juga seekor kucing kesayangan Maulana meratap pilu dan menolak makan selama beberapa hari, yang akhirnya kucing itu pun mati sepekan kemudian. Oleh putri Maulana, kucing itu dikuburkan berdekatan dengan makamnya sebagai tanda hubungan yang mesra antara Maulana dengan segenap makhluk Tuhan.
Gandum tumbuh dari debunya, tungku terbuat dari tanah lempungnya, yang menyanyikan hymne-hymne estatik, cintanya pun menjadi api. Untuk menjadi roti, adonan gandum pun harus dibakar didalam tungku, dengan membawa-bawa rasa rindu, cinta dan takzim kepada Maulana, barokah akan turun yang menjadikan si pembuat roti tak kuasa membedakan antara roti dan dirinya. Tujuh ratus tiga puluh lima (735) tahun kemudian tepatnya 17/12/2008 Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) diiringi beberapa murid terkasihnya berziarah ke Konya, Turki, dahulunya sebagai pusat pemerintahan dinasti Seljuk, tempat dimana Tuan Syaikh Maulana Jalaludin Rumi dimakamkan. Ziarah kali ini sungguh istimewa, guna memenuhi undangan sebagai tamu agung dari sang Maulana, yang hadir didalam muroqobah Syaikhuna, yang dengan bahasa kecemburuan mengatakan : ‘Engkau ke Turki namun tidak menziarahiku.’ Tepat pada hari itu adalah puncak haul tuan Syaikh Maulana Jalaludin Rumi yang diadakan berturut-turut selama tujuh belas hari, berlangsung dari tanggal 1 hingga 17 Desember 2008, dalam bahasa Turki dikatakan ‘hz. Mevlana ‘nin 735. Vuslat yildonumu uluslararasi anma torenleri 1-17 aralik 2008.’ Nyaris di setiap pojok kota terlihat kata-kata yang puitis yang dipersembahkan teruntuk sang Maulana, seluruh unsur pemerintahan berbaur dengan masyarakat Konya dan negara lain hadir didalam perayaan itu. Semuanya menantikan tarian berputar yang magis itu, yang semasa beliau hidup sering terlihat di sepanjang jalan bersama dengan sahabat terkasihnya Salahuddin Zarkub yang dikenal pada masanya sebagai pandai emas, melakukan tarian berputar dalam keadaan ekstasi, setelah mendengar palu-palu si pandai emas, dengan nada yang aneh memasuki telinga beliau yang diberkati. Tarian berputar (Sema) ini menjadi tradisi dan ritual Tarekat Maulawiyah di Konya, Turky. Lalu di Indonesia, baru belakangan ini, tarian berputar ini sering terlihat diperagakan oleh kelompok tarekat Nasyabandi Haqqani. Padahal tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya justru melakukan ritualnya secara sirri (tersembunyi, halus), khususnya pada pelaksanaan dzikir-dzikirnya, dan tidak pernah ada ritual atau tradisi melakukan tarian sema ini.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) beserta murid-muridnya turut hadir dalam perayaan haul itu. Upacara perayaan diadakan pada malam hari dengan udara yang sangat dingin. Terlihat disekitar rubat, semuanya berwarna putih, begitu pula bukit-bukit dan jalan-jalan semuanya tertutupi es, jarak pandang hanya sekitar lima meter, semuanya putih. Seperti orang yang terhalang dari cahaya dan kehangatan mentari, duduk didalam keremangan, laksana es dan salju, yang berteriak sepanjang waktu musim dingin : ‘Aku akan lebur menjadi arus air yang deras, bergulung menuju lautan, karena aku adalah bagian dari lautan’. Sungguh menyedihkan! Salju dan es menggambarkan makhluk-makhluk yang terkurung dalam materi, walaupun terkadang mereka rindu untuk dibebaskan kembali menjadi air, unsur asli mereka, demikianlah bak hati manusia yang terasing dan rindu untuk kembali ke Samudera Ilahi. Karena barangsiapa yang membayangkan bahwa salju dan es dapat berubah bentuk kembali menjadi air, tanpa riyadhah dan mujahadah yang berkesinambungan adalah angan-angan belaka. Menjadi air adalah dambaan setiap salju dan es, agar dapat menyuburkan bumi sebagai Air Kehidupan yang nyata, sehingga bunga-bunga dan tunas-tunas hijau tumbuh dari tanah, yang kini memuji-muji kuasa sang mentari.
Di Konya aku hilang, tubuhku terbungkus kesedihan, jiwaku terselimuti kerinduan, ruh dan hatiku melebur entah kemana.

NADAM

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.

Pengajian tanggal 4-5 & 12 Juni 2009.

Di dunia bisnis, ada istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh kalangan mereka yang menggelutinya. Begitu pula didalam tasawuf banyak istilah-istilah khusus yang dipergunakan untuk mengungkapkan keadaan ruhani masing-masing pejalan yang bersumber dari al Qur’an dan al Hadits agar mudah dipahami oleh kelompoknya dan rahasia-rahasia mereka tidak diketahui oleh orang lain. Seperti pengajian tentang ‘nadam’ yang akan diuraikan dibawah ini, bersumber dari kitab tasawuf tua (386H) yang berjudul Qutul Qulub karya Syaikh Abu Thalib al-Makki,ra. Yang telah disampaikan terjemahan bebasnya secara apik oleh Ustadz Yordanis Salam, lalu Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menjabarkannya dengan gamblang dan mudah dimengerti, laksana raja menuangkan anggur pengetahuan kedalam cawan para hamba sahaya yang hadir, sehingga dahaga akan ilmu pengetahuan terpenuhi pada malam itu. Namun rasa tenang dan sejuk saat masuk kedalam kholaqoh dzikir, lama kelamaan lenyap tatkala meninggalkan rubat, tatkala makan dan minum, ketika perhatiannya telah berpaling kepada yang lain selain Allah, begitu pula daya ingat atas ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Maka, sehubungan dengan itu, kami, insya Allah menuangkannya kedalam bentuk tulisan, agar para sahabat mudah mengingatnya, agar para sahabat yang tidak mengikuti pengajian dapat mengetahui dan mudah mencernanya. Meskipun wejangan dari Syaikhuna berlangsung sekitar 30 menit, didalamnya terkandung samudera ilmu pengetahuan yang tidak bertepi, yang bilamana diurai akan menjadi sebuah kitab tersendiri.

Nadam adalah penyesalan, dan menyesali kesalahan merupakan suatu taubat, begitulah Sabda baginda Rasulullah,saw. Tidak semua manusia lantas menyesal setelah ia melakukan tindakan tercela (dosa), bahkan ada yang merasa senang dan ingin mengulanginya lagi, yang demikian karena Allah SWT telah mengunci mati hati orang itu. Penyesalan adalah sebuah ‘rasa’ yang hinggap didalam hati, yang datang dan pergi atas sekehendak Allah SWT. Namun demikian, para Syaikh sufi meyakini bahwa rasa sesal niscaya dapat diupayakan dengan jalan melakukan perenungan (kontemplasi) dan muhasabah, Hadrat Syaikh Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi,qs., menyebutnya wuquf zamani, yakni memeriksa waktu yang telah lampau apakah waktunya dihabiskan untuk bersama dengan nafs-nya atau bersama dengan Tuhannya, diawali dari waktu yang panjang lalu semakin diperketat menjadi lebih pendek, dari setiap hari menjadi setiap jam, dan dari setiap jam menjadi setiap menit, lama kelamaan lebur didalamnya. Oleh sebab itu, penyesalan pada awalnya adalah ‘perolehan’ dan pada akhirnya adalah ‘anugerah’, perolehan disebabkan oleh sebuah upaya sedangkan ‘anugerah’ tanpa upaya. Bisa jadi, seseorang tidak menganggap tindakannya tercela bila ia lupa berdzikir, namun tidak demikian bagi orang lain, karena hal itu merupakan kealpaan. Demikian pula, bagi seseorang yang merasa mampu telah melakukan sholat malam empat puluh hari berturut-turut bukanlah merupakan tindakan yang tercela, namun sebagian yang lain menganggapnya tercela, karena adanya pengakuan atas kehebatan dirinya. Akan tetapi semua sepakat bahwa meninggalkan hal-hal yang fardu adalah tindakan yang tercela. Nah, perbedaan pandangan ini disebabkan oleh kadar ilmu yang berbeda-beda, keadaan ruhaniyah yang berjenjang-jenjang, dan tingkat makrifat yang berlainan pula. Oleh karenanya ilmu sangat berperan didalam ‘memperoleh’ daya sesal yang besar dan berkepanjangan, sehingga pertaubatannya terus-menerus dengan qualitas yang tinggi.

Taubat adalah daya sesal yang diikuti oleh datangnya kesadaran akan dosa yang telah ia lakukan dan ketakutannya (khauf) atas siksa atau hukuman dari Allah SWT, lalu datanglah sebuah harapan (raja) akan pengampunan dari Allah SWT, seketika ia mohon ampunan kepada Allah SWT dan berniat serta berusaha dengan sekuat tenaganya untuk tidak kembali melakukan perbuatan itu lagi serta terus menerus melakukan tindakan amal sholeh. Sedangkan apabila seseorang merasakan daya sesal yang tinggi atas kealpaannya melakukan peribadatan-peribadatan sunah, yang disertai dengan kesadaran akan lepasnya kedekatan dengan Allah SWT maka keadaan ini disebut inabah. Sedangkan apabila daya sesal berdatang akibat dari kesadaran atas pengakuan terhadap perbuatan baiknya sendiri, sehingga rasa keterpisahan dengan-Nya mengusik hatinya, maka keadaan ini disebut awwab. Taubat adalah bagi orang awam, inabah bagi orang khawas dan awwab bagi orang khawasul khawas.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata didalam kholaqoh dzikir : ‘Alhamdulillah wa syukru ala ni’amillah, Allah turunkan rahmat berupa hujan, hujan yang menyegarkan segala makhluk yang memerlukannya, Alhamdulillah kita sampai juga di kholaqoh dzikir ini, Allah telah memberikan kesempatan untuk menyembah dan menyebut-nyebut nama-Nya serta dibukakannya pintu taubat. Apabila kita tidak bersyukur atas hidayah ini, maka itu termasuk dosa.’ Dosa ada yang berupa terang-terangan dan ada pula yang sirri (halus atau tersembunyi). Bahkan ada dosa yang di gemari manusia, ada yang memang tertarik berbuat dosa, ada dosa yang tidak disengaja lalu kemudian tersadarkan, ada dosa yang memang sudah diketahui tetapi tidak mampu menahannya lalu terlepas, ini termasuk dosa-dosa yang jelas dilakukan, jenis dosa-dosa yang menyenangkan jawarih atau inderawi. Sedangkan dosa-dosa yang tidak diketahui, disebut dosa-dosa sirri dan terlalu banyak jenis dosa sirri ini, namun manusia awam tidak akan menyadarinya, karena membutuhkan keadaan ruhani yang tinggi untuk dapat mengetahuinya. Dari kitab Tadkhirat al-Auliya karya Syaikh. Fariduddin Aththar,ra. Mengisahkan : ‘Seorang lelaki bangkit dan mulai mengemis di majlis Imam Junaid,ra. ‘Lelaki itu benar-benar sehat, seharusnya ia mampu bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya, namun mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya sendiri?’ Pikir Imam Junaid,ra. Malam itu beliau bermimpi, dihadapannya ada hidangan yang tertutup. ‘Makanlah’ beliau ditawari, saat dibuka tutup hidangan itu, dilihatnya pengemis tadi, terbaring mati diwadah itu, ‘Aku tidak makan daging manusia’ protesnya. ‘Lalu mengapa engkau berbuat demikian di mesjid kemarin?’ beliau ditanya. Imam Junaid,ra., akhirnya sadar bahwa ia bersalah karena telah menghujat dalam hatinya, da ia telah ditegur karena pikiran buruknya itu. Lalu beliau terjaga dan mengambil wudhu serta mendirikan sholat sunah dua rakaat, kemudian beliau pergi mencari pengemis tadi, dan dijumpainya di tepi sungai tigris, sedang memunguti sisa sayuran yang sedang dicuci oleh orang-orang disana dan ia pun memakannya. Pengemis itu mengangkat kepalanya dan berkata kepada Imam Junaid,ra., : ‘Wahai Junaid, apakah engkau telah bertaubat atas pikiran-pikiranmu mengenaiku?’ Beliau menjawab : ‘Ya, aku telah bertaubat.’ Kalau begitu pergilah, ‘Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambanya, kali ini jagalah pikiran-pikiranmu.’ Kisah ini memperlihatkan bahwa dosa sirri sangat sulit dikenali, kecuali bagi orang-orang yang dijaga dari noda oleh Allah SWT.

Baik dosa yang secara terang-terangan maupun dosa sirri, keduanya menggelapkan hati, yang berakibat datangnya kegundahan-kegundahan, dan menjadikan berbagai penghalang didalam kehidupan. Karena selain dosa itu dicatat oleh malaikat, juga tercatat dialam semesta ini dan menghadang sipembuatnya, kadang-kadang berupa was-was, bimbang, rasa tidak kepastian dimasa depan, dan lain-lain yang tidak mengenakkan hati. Obatnya adalah harus istiqomah dalam melakukan perbuatan baik, karena perbuatan baik akan mengganti kejahatan yang telah dilakukan, lahir maupun batin. Perbuatan baik yang berkualitas adalah yang dilakukan secara sirri, tidak ada yang mengetahui selain Allah SWT, yang paling mudah adalah berdoa, yakni mendoakan orang-orang yang sering berbuat jahat kepada diri kita. Yang kedua adalah gemar bershodaqoh, memberi makan anak yatim, menyekolahkan dan menggembirakan hatinya. Kisah, di Bagdad ada seorang janda yang mempunyai beberapa anak (yatim), sering mendapatkan sekarung gandum didepan rumahnya, sekian lama tidak diketahui siapa yang melakukannya. Setelah Imam Ali Zaenal Abidin,ra., cicit Rasulullah,saw., wafat, tidak ada lagi gandum didepan rumah janda tadi. Barulah si janda menyadari dan mengetahuinya bahwa Imam Ali,ra., yang selama ini melakukannya. Ketiga banyak berpuasa, karena puasa akan mensucikan seseorang, Allah SWT berfirman : ‘Al shawm li wa-ana ajza bihi, puasa adalah milik-Ku, dan Aku yang paling berhak memberikan ganjaran untuknya.’ Maksudnya adalah, bahwa puasa yang berkualitas adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah SWT, dipuasakan perhatian lahir dan batinnya dari yang lain dan hanya ditujukkan bagi Allah SWT. Barulah ganjaran puasanya tidak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali hanya Allah SWT. Keempat terus menerus dalam keadaan berdzikir dan kelima membawa daya harap yang tinggi menurut kadarnya dan terus memohon ampunan kepada Allah SWT.

Nadam, sesuai dengan namanya, bila tanpa huruf ‘Nun’ maka akan dibaca ‘Adam’, maka pemilik daya sesal yang pertama kali dengan kualitas yang sangat tinggi adalah Nabiyullah Adam,as., daya sesal atau rasa bersalah kepada Alah SWT inilah yang mendorongnya melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan amal sholeh, sebagai bukti pertaubatannya guna memperoleh pengampunan-Nya, Allah SWT telah berfirman sehubungan dengan hal ini : ‘Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’ (QS 2 : 37) Oleh karenanya Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Taubat itu datangnya dari Allah SWT.’ Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah,saw., bersabda : ‘Orang yang bertobat dari dosa seperti orang tidak berdosa dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.’

Kamis, 11 Juni 2009

MAQOM & HAL

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.
Allah SWT berfirman : ‘Tiada seorangpun di antara Kami melainkan mempunyai kedudukan (maqom) yang tertentu.’ (QS 37 : 164)

Didalam al Qur’anul Karim banyak dijumpai perintah Allah SWT yang ditujukan kepada orang-orang yang mengaku beriman. Sebagian perintah-Nya diwajibkan dan sebagian yang lainnya tidak wajib (sunat). Yang wajib masuk kedalam rukun Islam yang lima dan pada rukun Iman yang enam serta pada Ikhsan (Jika beribadah seolah-olah merasa melihat Allah SWT atau jika tidak mampu, seolah-olah merasa dilihat oleh Allah SWT). Sedangkan yang tidak wajib (sunat) sangat banyak jumlahnya, antara lain tentang, taubat, sabar, qona’ah, wara, taqwa, tawakal, zuhud, tawadhu, mujahadah, syukur, jujur, berdoa, berdzikir, sholat malam, ikhlas, ridha, dan lain sebagainya. Jika ayat-ayat al Qur’an sehubungan dengan perintah yang tidak wajib (sunat) dituangkan disini, maka tulisan ini akan penuh karenanya. Oleh sebab itu dipersilakan para sahabat mencarinya sendiri.

Pada umumnya orang awam akan merasa senang bila telah melakukan kewajiban sholatnya, merasa lega tatkala berbuka puasa, tapi nyaris tidak ada yang memeriksa kualitas batiniyahnya. Secara dzahiran sholat dan puasa memang mudah dilakukan, karena sholat adalah ibadat yang melibatkan gerakan-gerakan badaniyah, dan puasa menahan diri dari lapar dan haus. Tetapi apakah menjaga hati berpaling dari yang lain telah dilakukan tatkala sholat dan puasa? Padahal semua kualitas peribadatan terletak pada keadaan batiniyah bukan pada gerakan badaniyahnya. Anak kecil pun mampu melakukan peribadatan-peribadatan yang menggunakan badaniyah, tetapi tidak demikian bila melibatkan batiniyah, karena hal ini melibatkan latihan yang gigih dalam berperang melawan hawa nafsu atau menafikan keinginan-keinginan diri. Nah, cara-cara seseorang untuk memperbaharui keimanannya, mencapai keadaan ikhsan, mencapai keadaan batiniyah yang sempurna, hanya bisa ditemui dalam pengajian tarekat. Tahap demi tahap akan diuraikan secara rinci oleh seorang mursyid bagaimana kaifiat yang jitu untuk mencapai kedudukan tersebut. Tahapan-tahapan didalam mencapai suatu keadaan disebut ilmu maqom-maqom. Doktrinnya mudah, seseorang wajib patuh dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan peribadatan atas perintah gurunya, syaikhnya atau mursyidnya dan terus menerus sepanjang kehidupannya berperang melawan hawa nafsunya.

Perjalanan dari taman Cibodas menuju puncak Surya Kencana Gunung Gede ada beberapa pemberhentian yang sudah umum dikenal oleh para pecinta alam, antara lain telaga warna, air terjun cibeurem, air panas, kandang batu, kandang badak, dan seterusnya. Untuk mencapainya haruslah ada tekad yang kuat, wajib ada pembimbing agar tidak tersesat, membawa perbekalan yang cukup dan fisik yang memadai. Demikian pula berlaku bagi penempuh jalan spiritual, ia memerlukan niat yang suci dan tekad yang kuat, wajib dibimbing oleh seorang syaikh atau mursyid, membawa perbekalan berupa kepatuhan dan kesabaran serta mempunyai fisik yang kuat guna melakukan latihan-latihan peribadatan yang berkualitas. Tidaklah sah bagi seseorang menguraikan sesuatu yang berkenaan dengan keadaan di air terjun cibeurem bilamana ia belum pernah berada disana, walaupun ia mengetahui dari mendengar cerita kawan-kawannya atau dari membaca buku. Nah, pengajian tasawuf berpegang kepada prinsip ini, sebuah prinsip yang berpegang kepada ayat al Qur’an : ‘Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.’ (QS. 61 : 2 – 3).

Seseorang yang sedang berdiri di air terjun Cibeurem sah hukumnya menguraikan dengan detail apa-apa yang dilihatnya dan mengungkapkan suasana hatinya, juga bagi orang yang telah melewatinya atau bagi yang sudah berada di puncak Surya Kencana. Kedudukan atau keberadaan seseorang di salah satu pemberhentian ini atas upayanya sendiri, dalam dunia tasawuf, atau ilmu kesufian, disebut maqom. Maqom adalah ketegaran didalam memenuhi hak-hak Allah SWT buah dari upayanya yang gigih atau bersungguh-sungguh dengan niat yang bersih (suci). Seseorang akan memperoleh manfaat dari setiap maqom yang ia duduki, berupa terbukanya hijab-hijab sehingga diperoleh kejelasan-kejelasan. Diperolehnya karunia dari Allah SWT berupa rasa gembira atau sedih, rasa rindu, rasa lapang atau sempit, rasa takut atau harap, dan lain sebagainya, seperti yang dirasakan oleh pejalan tatkala ia tiba di air terjun Cibeurem, ada rasa haru dan gembira yang menghapus lelah dan keluh kesah dalam perjalanannya, dalam ilmu kesufian disebut ‘hal’. Tidak ada maqom yang tidak dimasuki hal, dan hal hinggap kedalam hati sekilas seperti kilat menerangi malam, atau guntur membelah bumi. Maqom pada awalnya adalah sebuah upaya sedangkan hal adalah karunia Allah SWT yang datang dan pergi atas sekehendak-Nya.

Senin, 08 Juni 2009

NGARIUNG

'Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[1406]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS 048 : 29)

Kanjeng Nabi Muhammad,saw., manusia terbaik yang pernah Allah SWT ciptakan di alam semesta ini, dan tidak akan pernah ada lagi sesudah maupun sebelumnya, telah menggunakan sebagian besar masa kenabiannya untuk ngariung (‘berkumpul’) dengan para sahabatnya, khususnya kepada empat sahabat terdekatnya yaitu Abu Bakar as-Siddiq,ra., Umar bin Khatab,ra., Usman bin Affan,ra., dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib,ra. Cahaya kenabian ini begitu dasyat, memendar dan menyelimuti ke empat sahabat ini yang menjadikannya orang-orang teristimewa diatas dunia ini maupun di akhirat nantinya, jadilah mereka hiasan di langit berupa bintang-bintang utama, sehingga Nabi Muhammad,saw., bersabda : ‘Sahabatku laksana bintang-bintang di langit, yang mana saja kalian ikuti akan menjadi penunjuk jalan.’. Tradisi ini berlangsung hingga kini, dilanjutkan oleh para pewaris Nabi saw., Khususnya oleh para masyaikh terdahulu, para syaikh pemangku rantai emas dari tarekat yang mutabaroh. Oleh karenanya, Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin bin Aminudin (semoga Allah merahmatinya), berulang-ulang menekankan bagaimana pentingnya ‘ngariung’ antara murid dengan Syaikhnya yang merupakan tiang utama di dalam tareqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Hadrat Syaikh Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi,qs., berkata : ‘Cara kita adalah melalui ngariung, dan semua kebaikan bertumpu pada ngariung itu.’ Hadrat Syaikh menyampaikan bahwa siapapun yang menghadiri ngariung yang demikian, walaupun hanya untuk sesaat akan memperoleh kemajuan ruhani yang sangat besar. Kemajuan ini melebihi fadhilah beribadat nawafil selama tujuh tahun.

Begitulah hikmah ngariung dengan pewaris para nabi, sebagaimana besi yang berdekat dengan api, akan membuat besi menjadi bara api, sifat-sifat api akan berada pada besi itu, sehingga sulit membedakan antara api dengan baranya, karena keduanya memendarkan panas, namun besi adalah besi dan api adalah api. Semakin seseorang dekat semakin besar pula panas yang diraihnya. Untuk dapat menyerap cahaya agar terus bersarang di dalam dada ialah melalui kewaspadaan yang tinggi, memasang rasa hurmat, takzim, dan kecintaan. Siapa-siapa yang didalam perhimpunan itu hatinya selalu tersambung dengan Syaikhnya, tidak merasa gagah dihadapan Syaikhnya, maka cahaya itu akan membinasakan dan mencabut akar-akar pemujaan terhadap diri sendiri yang merupakan syirik yang tersembunyi. Semua murid telah sepakat, bahwa dengan menghadiri ngariung bersama dengan Syaikhnya maka keluh kesah, was-was, atau sesuatu yang membelenggu hati akan lenyap.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menerangkan bahwa tanpa ngariung bersama-sama dengan Syaikhnya adalah sukar bagi seorang murid menangkap tipu daya dan permainan hawa nafsu. Seorang murid haruslah mempunyai kesadaran yang terus menerus bahwa nafs itu selalu mengajak kepada kejahatan, dengan mudahnya ia memalingkan perhatian hati kepada yang selain Allah. Dengan ngariung bersama-sama dengan Syaikh, maka nafs dan tipu muslihatnya mudah dikenali dengan pasti, karena ada cahaya kewalian yang singgah kedalam dada, yang tadinya gelap atau samar menjadi terang benderang. Bahkan penyamaran nafs akan diketahui, Syaikh akan menolong muridnya dengan menelanjangi kegiatan nafs yang sedang bergejolak didalam dada murid-muridnya. Sehingga murid akan memperoleh kesadaran bahwa nafsnya adalah penasehat yang jahat, dan haruslah diperangi di setiap kesempatan.

Di Konya, Turkiye, Syaikh tertunduk sedih setelah mendengar informasi bahwa yang hadir dalam pengajian di Bogor berkurang setengahnya, beliau pernah berkata bahwa : ‘Yang mengaji bertambah banyak akan tetapi yang bertasawuf semakin sedikit.’ Sesungguhnya tidaklah berkurang sedikitpun barokah yang didapat menghadiri sebuah mejlis dzikir tatkala Syaikh ada ataupun tiada, karena hakikatnya Syaikh akan selalu ada. Selama majlis dzikir tersebut dihadiri oleh para salik yang semata-mata kerana Allah, lalu menyambungkan qolbunya hanya kepada qolbu Syaikhuna (Robithoh), majlis tersebut akan mendapat natijah yang sama tatkala mereka bersama-sama dengan Syaikh. Karena selama berlangsungnya majlis itu, maka bisa saja salah seorang murid menjadi saluran inspirasi yang datang daripada syaikh. Para salik yang merasa lebih senior tidak diperkenankan berburuk sangka kepada individu yang memperoleh inpirasi yang datang langsung daripada Syaikh, semua harus memasang rasa takzim dan hurmat kepada individu tersebut. Seperti Baginda Rasulullah,saw., tatkala tidak dapat menghadiri majlis, baginda senantiasa menugaskan seseorang sahabatnya sebagai wakil. Karena di dalam sebuah majlis seseorang mesti berbicara dan yang lain mendengar, dengan cara begini semua akan diberkati oleh Allah. Sekiranya yang berbicara lebih dari seorang, atau dibuka kesempatan untuk melakukan perdebatan, maka tidak akan bermanfaat sama sekali untuk perkembangan peningkatan keruhanian – maka hati tidak akan menjadi sejuk.

Karenanya, bilamana Syaikh telah menunjuk seseorang untuk memimpin sebuah majlis, maka kita semua seyogyanya patuh dan mendengar dengan khidmat, karena yang bersangkutan menerima secara langsung inspirasi dari Syaikh, yang mana hati Syaikh itu selalu berhubungan dengan Allah, Swt. Dengan demikian Allah, Swt akan membantu individu yang mewakili Syaikh tadi, dan akan mencurahkan ilmu dari Lautan Rahmat, Barokah dan Karunia-Nya. Melalui keseriusan dalam majlis dan menjatuhkan rasa takzim kepada individu tersebut yang mewakili Syaikh dalam menyampaikan pembicaraan, maka para salik yang hadir akan mendapatkan natija dan pencerahan qolbu serta petunjuk dalam ‘perjalanannya.’

Sabtu, 06 Juni 2009

MERENDAH BAGAI BUMI


Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada murid-muridnya : ‘Kadang-kadang saya bersedih dan bertanya-tanya didalam hati, apakah para sahabat yang berdekat dengan saya, merasa terbebani dan merasa terlalu keras atas pekerjaan-pekerjaan tarekat yang saya ijazahkan kepada mereka.’ Tidak seperti lazimnya orang-orang yang hidup dikota, yang terlalu banyak berleha-leha menikmati hidup di dunia ini. Orang-orang yang bertarekat pada jum’at malam wajib memasuki kholaqoh dzikir sampai menjelang pagi, lalu keesokan harinya mengantarkan istri memasuki kholaqoh dzikir lagi, itulah yang disebut riyadhah yang didalamnya mengandung mujahadah tingkat rendah. Riyadhah adalah berdisiplin diri didalam sebuah peribadatan, sedangkan mujahadah adalah terus menerus melawan keinginan diri. Karena apabila tidak membiasakan diri dengan riyadhah yang ketat, melatih diri yang kuat, maka manusia condong kepada kesenangan-kesenangan badaniyah saja, mengharapkan segala sesuatu yang akan terjadi sesuai dengan apa yang dikehendakinya, sesuai dengan apa yang diangankan, khususnya angan-angan tentang harta benda, angan-angan keinginan hidup berbahagia di dunia ini, itulah yang disebut nafs. Jika hati sudah terpenuhi dengan keinginan-keinginan dan keterkaitan tentang dunia ini, maka tidak ada lagi ruang yang tersisa, lalu Allah SWT tersingkirkan dari dalam hati. Maka yang akan terjadi adalah kekecewaan demi kekecewaan, rasa gundah gulana yang berkepanjangan, terhimpit oleh tekanan kehidupan yang keras, karena manusia boleh saja berkehendak, namun yang terjadi dan berlaku diatas dunia ini adalah kehendak Allah SWT saja, persis seperti yang Dia rencanakan jauh hari sebelum dunia ini ada dan bukan seperti yang manusia inginkan.

Sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya, Allah SWT melengkapi sarana-sarana peribadatan sebagai bentuk penghambaan manusia kepada-Nya, dan agar manusia dapat kembali berdekat kepada-Nya. Para sufi sepakat bahwa, jenis peribadatan yang mempunyai kualitas terbaik adalah masuk kedalam kholaqoh dzikir dan kholaqoh ilmu pengetahuan, dua-duanya diberkahi oleh Allah SWT. Di kholaqoh dzikir didalamnya ada kholaqoh ilmu pengetahuan, baik pengetahuan yang didapat dari mendengar (sama) ataupun pengetahuan yang diwariskan langsung oleh-Nya disebabkan oleh pengamalan terhadap ilmu-ilmu yang dipunyainya, maka sempurnalah peribadatan didalam kholaqoh dzikir ini. Sedangkan didalam kholaqoh ilmu pengetahuan belum tentu ada termasuk didalamnya kholaqoh dzikir. Rasulullah,saw., menyebutnya : ‘Raudhah min riyadil jannah, taman daripada taman-taman surga, yang para malaikat bertautan membentangkan sayapnya sampai ke Arsy.’ Orang-orang yang masuk kedalam lingkaran orang-orang yang berdzikir, telah melakukan seutama-utama peribadatan, mereka membersihkan hatinya dengan cara berdzikir, dengan suara yang keras (jahr) atau disebut dengan dzikir dhorob, dengan mengulang-ulang kalimat thoyibah ‘Laa Ilahaa Illallaah’, Allah SWT Maha Mendengar, namun hati ini yang sudah kadung tuli, maka diperlukan penegasan tentang penafian terhadap segala sesuatu selain Allah dan penisbatan Allah saja, oleh karenanya dzikir ini juga disebut dengan dzikir nafi-isbat. Lalu dalam kehidupan kesehariannya, waktu-waktunya diisi dengan memperketat disiplin diri yang tinggi, menekan berbagai macam keinginan-keinginan, menekan berbagai macam angan-angan. Dikarenakan seluruh ilmu pengetahuan bertumpu pada kalimat Laa Ilahaa Illallaah, semua tentang pengesaan Allah SWT se-esa-esa-Nya, maka manusia wajib selalu mengingat Allah SWT, inilah yang dimaksud dengan dawamun dzikri, mendawamkan dzikir terus menerus dalam keadaan apapun, terus menerus ingat kepada Allah SWT, terus menerus dalam keadaan merasa diawasi lahir dan batin oleh Allah SWT, diawasi badaniyahnya karena badaniyah banyak berbuat dosa, lalu diawasi hati oleh Allah SWT, karena hati terlalu banyak cakap-cakap yang lain selain ingat kepada Allah SWT. Yang sesungguhnya hal itu tidak diperlukan didalam kehidupan, tetapi apa daya cakap-cakap hati itu terus menerus ada didalam diri, sekalipun berupa sampah-sampah, itulah yang disebut was-was. Bila syaithon ikut menyelinap, lalu mengundang segala macam keburukan dan ketidak nyamanan, serta mengundang segala macam kesusahan-kesusahan, yang menjadikan hati terbelenggu, itulah yang disebut hawajis. Manusia-manusia awam tidak akan bisa lepas dari keadaan ini.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tahukah para sahabat, cakap-cakap hati, angan-angan yang datangnya berupa was-was ataupun hawajis semuanya adalah buruk sangka kepada Allah SWT, dan buruk sangka ini adalah sebagai dinding-dinding penghalang untuk dapat berdekat kepada-Nya.’ Buruk sangka menutup kebaikan, dan sungguh keterlaluan, seolah-olah Allah SWT akan memberikan yang terburuk, seolah-olah kenikmatan dari Allah SWT tidak pernah dirasakan, ini salah satu kejahatan yang besar, namun manusia tidak pernah menyadarinya. Jika terus dibiarkan demikian, maka hati akan terkuasai dengan kegelapan, obatnya tidak ada yg lain kecuali dengan banyak dzikrullah, Allah SWT berfirman : 'Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS 33 : 41). Dengan dzikir yg sebanyak-banyaknya, maka buruk-buruk sangka, cakap-cakap hati tadi tersingkir, was-was dan hawajis tidak mampu bersarang lagi, kegelapan berganti dengan cahaya. Apabila seperti itu adanya, maka dzikrullah bisa membawa manusia kedalam musyahadah. Didalam musyahadah, manusia beroleh kejelasan dari Allah SWT, ditahap yg lain berupa ilmu pengetahuan yg nyata, berupa ilmul yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin. Karena itu terasa didalam hati, betapa kebenaran (haq) dari Allah SWT, betapa terjelaskannya keterangan-keterangan, betapa mengertinya, betapa ini adalah sebuah kebenaran hakiki yg dihinggapkan kepada orang-orang yang riyadhah dan mujahadah. Oleh karenanya betapa mahalnya ilmu tentang Allah SWT, mahalnya surgawi, maka bekerja yang keras di dunia ini menjadi wajib hukumnya bagi orang-orang yang berniat meraihnya. Dalam kehidupan ini kebanyakan manusia terlalu gila mengkaitkan hatinya kepada dunia, disepanjang hari hanya memikirkan kesenangan dan kebutuhan badaniyah, tidak menyadari bahwa Allah SWT memerintahkan untuk memotong waktu yg seperti itu, paling tidak lima waktu dalam sehari, untuk memisahkan diri dan lari dari dunia, lalu masuk kedalam alam kesucian. Setiap mendirikan sholat tanggalkan seluruhnya urusan-urusan dunia itu. Pemisahan diri (penafian) dari dunia ini haruslah diperketat, isi dengan dzikir, dengan riyadhah yang keras hanya untuk Allah SWT, sambil mencari nafkah kehidupan. Allah SWT berfirman : 'Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS 2 : 152), Bila seseorang berdzikir, menyebut-nyebut Allah ... Allah .... Allah (ismudzat) bukan berarti lantas Allah SWT juga akan menyebut-nyebut nama pendzikir, terlalu hina nama makhluk untuk disebut oleh-Nya, akan tetapi, menjadi terpautlah hati seseorang dengan Allah SWT, lalu gugurlah beraneka macam kotoran yang ada didalam hati, berupa keterkaitan kepada dunia. Maka hati tidak lagi dibebani oleh angan-angan tadi, tidak dibebani keinginan-keinginan, yang sesungguhnya dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, Allah SWT akan jadikan itu sesuai dengan kadarnya. Pertautan yang terus menerus itu akan menggugurkan sampah dunia yg melekat didalam hati, berarti gugur pula dinding penghalang terhadap Allah SWT, bila telah gugur, manusia beroleh ketenangan, Allah SWT berfirman : '(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS 13 : 28). Tidak ada lagi sampah-sampah tadi, undangan buruk sangka tiada, pikiran menjadi jernih, lalu tidak ada lagi pengakuan atas upaya, semua diserahkan kepada Allah SWT. Disitulah kesadaran tentang tauhid diperoleh oleh orang-orang yang riyadhah dengan keras, malam hari berdzikir menyelesaikan tugas-tugas tarekat, paginya mencari nafkah untuk kehidupan dan peribadatan. Berarti semuanya dipersembahkan teruntuk Allah SWT, berarti wujud diri kita didalam alam semesta ini, wujud dan tindakan adalah tindakan Allah SWT yang untuk Allah semuanya, bila tdk, manusia itu akan tetap menjadi penduduk bumi sejati, yang didalamnya akan terombang ambing oleh nafs.

Riyadhah tidaklah mudah, apalagi tanpa ada yang membimbing, apalagi yang hanya mendengar pengajian tentang ini dan itu, lalu besok lusa mendengarkan lagi pengajian lain, setiap hari ilmu yang didengarnya berbeda-beda, tanpa ada disiplin dalam peribadatan, tidak ada ketetapan dalam hati, tetap saja hati itu gelap, tetap saja buruk-buruk sangka dan penuh segala macam cakap-cakap hati menyelubungi hati menjadikan gundah gulana, jauh kepada musyahadah tadi. Karenanya, selama hayat masih dikandung badan, tidak pernah lepas dari riyadhah, didalamnya harus melawan keinginan-keinginan, memangkas angan-angan, dan hentakan-hentakan di alam semesta ini tidak boleh singgah didalam hati. Lalu bila terdengar suara buruk masuk melalui panca indera, atas diri yang datangnya dari orang lain, lalu mampu bersabar, ini sudah masuk pintu gerbang mujahadah, karena ini pekerjaan setelah riyadhah. Didalam riyadhah anak kecil pun mampu melakukannya, melalui sholat, puasa, menghadiri sholat jum’at, semua dapat dilakukannnya, tetapi belum tentu mereka pandai dalam bermujahadah, didalam bertempur melawan nafs, didalam perang melawan daripada apa-apa yang hinggap didalam hati. Maka orang-orang yang gemar melakukan mujahadah, ia menjadi suci, hatinya menjadi bersih, ia ditaburi ilmu pengetahuan, segalanya terlihat terang berderang, hatinya menjadi siap menyongsong berbagai macam kejelasan-kejlasan, yatiu berupa musyahadah. Akan tetapi musyahadah adalah hak Allah SWT, riyadhah dan mujahadah bukan sebagai jalan-jalan penyebab langsung untuk mendapatkan musyahadah, karena riyadhah dan mujahadah adalah wajib hukumnya bagi manusia, tapi musyahadah terserah pemberian Allah SWT. Inilah batasan makhluk, berarti manusia tidak ada hak samasekali hidup diatas dunia ini untuk angkuh, sombong. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Apabila manusia sedang sombong, kata-katanya menjadi besar, tingkahnya tidak nyaman dan tidak cantik dilihat oleh makhluk yang lain, berbangga terhadap harta bendanya, kedudukannya dan kebangsawanannya, terlalu hina. Wahai manusia kalian akan mati sebentar lagi, apa yg kalian sombongkan saat sakaratul maut tiba ? sesungguhnya hina betul manusia dalam keadaan ini, karena tidak bisa minta tolong kepada siapapun, engap-engapan seperti ikan mas koki, rendah, lalu apa yang disombongkan hidup di dunia ini ?’ Manusia harus bekerja keras melalui riyadhah dan mujahadah, setapak demi setapak mendekat kepada Allah SWT, itupun jika Allah berkenan, bila tidak, manusia disingkirkannya sebelum sempat melakukannya. Allah SWT berhak atas nyawa manusia dan dapat mencabutnya kapan saja. Lalu apa yang harus disikapi didalam perjalanan kehidupan ini? Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu memerintahkan murid-muridnya : ‘Merendah bagai bumi, merendahlah bagai bumi, merendahlah bagai bumi! Rendahkan diri ini dihadapan Allah SWT, merendahlah kepada para sahabat, dan bergaulah dengan orang-orang baik saja, tidak diperlukan bergaul dengan orang yang hidupnya diatas bumi menghentak-hentakan kakinya, petantang petenteng di alam semesta ini, orang-orang yg hina itu bisa dicabut nyawanya oleh Allaw SWT seketika. Oleh sebab itu musyahadah bukanlah hal yang murah, berdekat kepada Allah SWT bukanlah sesuatu yang mudah untuk diperoleh. Semoga saja Allah SWT memberikan kepada kita kegagahan didalam riyadhah dan mujahadah, lalu tidak pernah mengaku mampu beribadah, semua dari Allah SWT, Allah menunjuk manusia menjadi akhli riyadhah dan mujahadah, Allah SWT menunjuk yang dikehendaki-Nya, karena semua dibiayai oleh Allah SWT, termasuk orang-orang yang bermujahadah pergi berhaji, sesungguhnya mereka dipanggil oleh Allah SWT, semoga kita diberikan kegagahan itu, dan bersarang selamanya, karena perangkat-perangkat peribadatan ini diperlukan di dunia ini, guna bekal di akhriat nanti saat kita akan ditimbang (mizan) amal perbuatan kita, saat kita akan diadili oleh Allah SWT (yaumil hisab), apakah kita termasuk akhli riyadah dan mujahadah ataukah kita memang pendosa yang terus membiarkan hati mengikuti hawa nafsu, semoga Allah memberkahi kita, amiin yaa allah yaa Robbal alamiin.’

DIA INGIN DICINTA

Allah SWT berfirman : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS 51 : 56)


Tuhan ingin dikenal, Dia ingin dicinta, oleh sebab itu Dia menciptakan dunia dan seisinya. Ibnu Abbas,ra., dan para sufi menafsirkan kata liya’buduun pada ayat diatas sebagai perintah untuk bermakrifat kepada-Nya. Dunia ini adalah tempat pengabdian (ubudiyah) sedangkan di akhirat nantinya adalah tempat kedekatan dengan-Nya, barang siapa tidak melakukan pengabdian yang benar maka tidak ada pula kedekatan baginya, pengabdian yang benar mewajibkan pengenalan yang benar (makrifat) pula terhadap sesuatu kepada-Nya ia mengabdi. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Orang yang taat beribadah yang tak memiliki pengetahuan tentang Tuhan, bagaikan keledai yang menggerakkan jentera,’ yakni, ia tak akan pernah melangkah kemana-mana dan hanya berputar-putar ditempat saja. Seperti yang termaktub didalam hadits qudsi yang masyhur dikalangan para sufi : 'Aku adalah harta berharga yang tersembunyi dan Aku ingin dikenal, sehingga Aku menciptakan dunia. Kuntu kanzan makhfiyyan.' Namun, kebanyakan manusia tidak mengindahkan kewajiban ini, kecuali mereka yang telah menerima taufik dan hidayah-Nya serta yang qolbu-qolbu mereka Dia hidupkan dengan Diri-Nya sendiri. Tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang semuanya dipaksa (jabar) oleh-Nya untuk selalu bertasbih memuji-Nya. Sedangkan manusia mempunyai posisi yang unik, niscaya ia diberikan 'kebebasan' memilih untuk beriman ataupun kafir. Penciptaan manusia begitu mengagumkan, penuh dengan kerahasiaan, keindahan, keperkasaan dan kesempurnaan. Sampai pada suatu tahap dimana manusia terpesona memandangi keindahan dirinya sendiri, dan merasa lebih elok daripada memandangi alam semesta yang fenomenal ini. Oleh karenanya, manusia dipenuhi oleh kesia-siaan, kecongkakan, dan kebanggaan atas pengakuan kehebatan dirinya sendiri. Keakuan-ego inilah yang menjadi hijab terbesar antara manusia dengan Tuhannya. Bagaimana tidak, dikatakan bahwa Allah SWT telah menciptakan jiwa (nafs) tujuh ribu tahun sebelum badan, dijadikan kedekatan antara jiwa dan badan bagai sepasang kekasih, dan menciptakan ruh tujuh ribu tahun sebelum jiwa dan dijadikannya kedekatan antara ruh dan jiwa itu seperti pengantin, serta menciptakan qolbi tujuh ribu tahun sebelum ruh dan menjaganya dalam derajat persatuan. Lalu, pada setiap harinya sebanyak tiga ratus enam puluh kali, Dia mengungkapkan keindahan-Nya dan menganugerahkan tiga ratus enam puluh penglihatan akan rahmat kepada qolbi, dan Dia menyebabkan ruh mendengar kata cinta dan menampakkan tiga ratus enam puluh nikmat kedekatan yang mendalam kepada jiwa. Sungguh! teramat mempesonakan sosok manusia itu, karena itulah Tuhan pun mengujinya! Dia memenjarakan qolbu didalam ruh, ruh di dalam jiwa dan jiwa di dalam badan. Kemudian Dia melengkapi ruh dengan akal dan jiwa dengan syahwat. Lengkaplah sudah peringkat manusia yang terdiri dari badan – jiwa (syahwat) – ruh (akal) – qolbi. Allah SWT berfirman : 'Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, (QS 091 : 8). Maka setiap Tuhan mengilhamkan jalan kefasikan dan ketakwaan. Akal, sebagai penasihat ruh akan mengolahnya terlebih dahulu, akal akan memilih jalan ketakwaan, lalu meneruskannya kepada jiwa. Ironisnya, Dia telah menciptakan jiwa selalu mengajak kepada kejahatan dan melengkapinya dengan syahwat sebagai panglimanya, sesuai dengan firman-Nya : 'Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (QS 012 : 53). Oleh sebab itu jiwa akan memilih jalan kefasikan daripada jalan ketakwaan, lalu badan bergerak sesuai dengan perintahnya. Hal ini berlangsung terus menerus, yang mengakibatkan qolbi terjangkit penyakit kanker yang ganas. Para sufi, sebagai dokter spesialis qolbi mengelompokkannya menjadi 66 jenis penyakit hati (majmumah), dan dalam kondisi yang demikian, sempurnalah manusia pada peringkat ‘al-Nafs al-Ammaarah’. Untuk menyembuhkan satu jenis penyakit, membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar tentang syariat, lalu bersungguh-sungguh dalam mengerjakannya (riyadhah) khususnya dalam pelaksanaan dzikir yang berkesinambungan (dawamudz dzikri) dan terus menerus melawan keinginginan-keinginan jiwa rendahnya (mujahadah), serta harus dibawah pengawasan seorang Syaikh. Setiap terbongkarnya satu penyakit hati, maka akan munculah sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) didalam dirinya, begitulah seterusnya. Ciri-ciri seseorang pada peringkat al-Nafs al-Ammaarah mudah dikenali, bahwa ia akan selalu lupa kepada Tuhannya, lalu Tuhan membuat ia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga ia fasik dan hanya berpaling kepada kesenangan dunia dan kegembiraan bagi jiwanya. Nah kalau sudah demikian, manusia akan tenggelam kedalam lautan dunia yang sahabatnya adalah nafs dan tuannya adalah syaithon.

Dunia ini terdiri dari empat unsur (anasir), air, api, angin dan bumi, dan manusia berada didalamnya sebagai penghuni, oleh karenanya unsur-unsur yang ada didalam badan setiap anak cucu Adam,as., terdiri dari keempat unsur ini. Maka, karena unsur-unsurnya sama, badan dan dunia ini bersenyawa, menyatu dan lengket. Nah, dikarenakan Dia telah menciptakan peringkat kedekatan jiwa dengan badan laksana sepasang kekasih, maka hubungan jiwa dengan dunia laksana kekasih keduanya, dan sama pentingnya didalam pemenuhan syahwatnya, serta sangatlah sulit untuk dipisahkan. Apa pun yang menyenangkan bagi badan akan berlaku sama bagi jiwa, dan sebaliknya apa pun yang menyusahkan bagi badan maka akan tidak sedap pula bagi jiwa. Pengaruhnya terhadap qolbu dan ruh menjadi jelas, kesenangan jiwa akan menggelapkan qolbu, dan kesusahan jiwa akan mencahayai qolbu, dan qolbu inilah yang setiap saat ditilik oleh Allah SWT. Umur manusia begitu singkat dan harus kembali kepada pencipta-Nya, dengan mempertanggung jawabkan semua tindakan dan pemikiran-pemikirannya selama ia berada di alam dunia ini. Disinilah peran manusia menjadi jelas, dengan mengetahui bahwa sifat dunia yang begitu menakutkan namun mempesona bagi jiwa itu, ia harus berupaya dengan sekuat tenaga dan pemikirannya untuk memusuhi tempat dimana ia berpijak ini, dan berupaya melakukan pengabdian kepada Tuhan dengan sekuat tenaganya, agar beroleh kedekatan dengan-Nya.

Keberpantangan (penafian) dari kesenangan adalah pokok tasawuf, tidak saja kesenangan menikmati segala bentuk lahir dunia ini, melainkan kesenangan jiwa yang datangnya dari pujian atau sanjungan dari orang lain (riya) dan pujian yang datang dari nafs-nya sendiri (ujub dan takabur), sehingga ia menolak semua bentuk peribadatan yang ia lakukan atas upayanya sendiri, bahkan pada tingkat ruhaniyah tertentu ia akan menolak eksistensinya sendiri. Kesenangan adalah sifat dunia ini, oleh karenanya memusuhi dunia menjadi wajib hukumnya bagi orang-orang yang berkeinginan untuk mensucikan dirinya (mutashowif). Berarti ia melakukan peperangan terus menerus melawan jiwanya, bukankah ini jihad akbar? Banyak orang awam mempunyai kekhawatiran bahwa memusuhi dunia ini akan menjadi miskin. Mereka salah mengartikan hadits yang berkenaan dengan hal tersebut, antara lain yang telah diriwayatkan oleh Rasulullah.saw., : ‘Barang siapa yang mencintaiku maka aku akan membebaninya.’ Yakni, yang dimaksud dengan ‘membebaninya’, adalah kewajiban melaksanakan syariat agama dengan benar dan bersungguh-sungguh, menjauhi semua larangan-Nya serta ridho terhadap semua ketentuan-Nya. Karena didalam cinta ada kepatuhan, dan cinta bukan sekedar ucapan belaka melainkan perlu bukti-bukti yang berupa kepatuhan menjalankan perintahnya. Seseorang datang kepada Rasulullah.saw., dan berkata, ‘Wahai Nabi,saw., Aku mencintaimu,’ dan Nabi,saw., berkata, ‘Maka bersiaplah untuk menjadi miskin.’ Yakni, yang dimaksud dengan ‘miskin’ adalah keadaan yang terus menerus akan kebutuhan terhadap Tuhannya saja, bukan selainnya. Seperti halnya Nabi Ibrahim,as., ketika beliau dilemparkan ke dalam api dan Jibril datang dan bertanya : ‘Apakah kau perlu pertolongan?,’ dijawab : ‘Aku tak perlu meminta sesuatu, Dia Maha Tahu keadaanku.’ Kemiskinan merupakan pertanda penghancuran dan penghapusan atribut-atribut kebendaan dan keadaan miskin adalah orang yang di dalamnya selalu berjuang dan di luarnya selalu berada dalam ketenangan. Lalu seseorang datang kepada Rasulullah,saw., dan berkata, ‘Ya, Rasulullah, Aku mencintai Allah,’ dan beliau berkata, ‘Maka siapkanlah dirimu untuk penderitaan.’ Yakni, penderitaan dalam memusuhi jiwa (nafs) dan dunia (mujahadah) seperti yang telah baginda contohkan disepanjang kehidupannya, karena hal ini paling sulit dilakukan, karena manusia pada umumnya buta terhadapat penyakit jiwanya, lalu bagaimana ia mau memeranginya? Oleh karenanya ia membutuhkan pembimbing yang akhli terhadap seluk beluk dan gerak gerik jiwa (nafs) serta telah berhasil menaklukkannya, yaitu seorang Mursyid atau Syaikh dari tarekat yang mutabaroh. Sesungguhnya tidak ada kaitannya antara memusuhi dunia dengan kemiskinan, karena kekayaan atau kemiskinan adalah kehendak Allah SWT dan tidak dapat dipilih oleh manusia, sedangkan memusuhi dunia adalah sesuatu yang diperintahkan oleh-Nya. Seperti kisah seorang salik yang hidup di pedesaan dan diperintahkan oleh Syaikhnya untuk berziarah kepada Syaikh Ibnu al Arabi,qs. Setelah melakukan perjalanan berhari-hari, ia berhasil menemuinya, sang salik terheran-heran, bagaimana bisa seorang Syaikh yang disegani dan dikenal diseluruh pelosok penjuru dunia, hidup dengan kemewahan yang sedemikian rupa, tinggal di puri yang indah diatas bukit, dindingnya terbuat dari marmer, lantainya tertutup karpet-karpet yang indah, domba-dombanya banyak, ladang-ladangnya terawat baik. Segera ia memohon doa dan petuah dari Syaikh, lalu beliau berkata : 'Sampaikan kepada gurumu untuk lebih keras memusuhi dunia ini.' Sang murid tercengang mendengarnya, bagaimana tidak! gurunya tinggal sangat miskin di pedesaan sedangkan beliau hidup mewah di kota dan bersahabat dengan Sultan, dan petuahnya seperti itu adanya. Sang murid kembali ke desa dan ragu menyampaikan hal tersebut kepada gurunya. Karena didesak dan menjaga adab, akhirnya ia menyampaikannya juga. Mendengar itu, Syaikhnya mengangis tersendu-sendu sampai membasahi jenggotnya dan berkata kepada muridnya : 'Dia benar! Karena dia sudah tidak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, disaat menyantap kepala ikan masih mengharapkan seekor ikan yang utuh.' Nah, selama hati tidak lagi terikat oleh sarana-sarana penghidupan di dunia ini, maka ia masuk dalam peringkat zuhud, terlepas ia kaya atau miskin.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Rukun Islam yang lima itu adalah sebuah sarana yang Allah SWT ajarkan kepada manusia untuk memusuhi dunia ini.’ Yang pertama adalah 'syahadat' yaitu mengesakan Allah se-esa-esanya disetiap waktu dan mengerjakan peribadatan dengan kualitas yang tinggi sesuai dengan syariat Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah,saw. Yang kedua, shalat, berarti harus meninggalkan dunia beberapa waktu lamanya sebanyak lima kali dalam sehari. Yang ketiga, puasa, bermakna meninggalkan dunia selama tiga puluh hari dalam satu tahun mengharamkan sesuatu yang halal pada siang hari. Rasulullah,saw., bersabda bahwa Allah SWT berfirman : ‘al-shawm li wa-ana ajza bihi, puasa adalah untuk-Ku,’ merupakan suatu pernyataan bahwa sebenar-benar puasa adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah. Yang keempat, zakat, Rasulullah,saw., bersabda : 'Sesungguhnya, Allah telah mewajibkan atasmu untuk membayar zakat dari kemuliaanmu, sebagaimana Dia telah mewajibkan atasmu untuk membayar zakat dari harta milikmu.' Dan beliau juga bersabda : 'Segala seuatu ada zakatnya, dan zakat dari sebuah rumah adalah ruang tamu.' Para sufi sepakat bahwa setiap anggota tubuh ada zakatnya, karenanya orang yang sehat harus menggunakan semua anggota tubuhnya untuk beribadah dan bukan untuk menikmati kesenangan. Kemudian yang kelima adalah pergi haji, berlilitkan kain kafan yang tidak berjahit, pertanda hatinya tidak terkait dengan dunia lagi kecuali hanya kepada Allah semata. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa : 'Dunia ini ladang bagi akhirat.' Dunia memang penuh dengan hidangan-hidangan dan minuman-minuman yang memabukkan bagi syahwat, khususnya berupa kebanggaan menumpuk-numpuk harta lalu memamerkannya, mengejar jabatan atau kedudukan di tengah masyarakat agar dihormati, dan bergaul dengan wanita-wanita untuk meraih kesenangan dan pemuasan birahi. Orang-orang dari suku jawa percaya bahwa dengan menghindari harta, tahta dan wanita, maka keselamatan dan ketenangan hidup akan diperoleh. Oleh sebab itu, barang siapa yang mampu mengendalikan syahwat dan birahi ini (mujahadah), Tuhan memberikan hadiah yang begitu indah, yaitu cinta dan makrifat! Seperti yang termaktub didalam sabda Rasulullah,saw., : 'Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.' Maka ia akan mencintai Tuhannya, ingatannya kepada Allah tanpa kelalaian, dan makrifatnya bukanlah kata-kata yang kosong melainkan perasaan yang aktual. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Tidak ada cinta selama sifat insaniah masih bermain didalam hati dan apabila cinta mengejawantah maka orang awan tidak mengerti dan tak pelak lagi akan menjadi bodoh dan patuh tanpa memperhatikan keadaan diri karena terkungkung digenggaman cinta-Nya.' Dan juga beliau berkata : 'Cinta adalah ujung dari segala hal karena itu adalah pancaran cahaya ridha-Nya.' Cinta adalah anugerah Ilahi, bukan sesuatu yang bisa diusahakan untuk dicapai. Tanpa riyadhah dan mujahadah, maka cinta menjadi perasaan ingin meraih cinta saja, dan ini bukan cinta, walaupun ia dapat mengungkapkan dalam kata-kata yang bisa dimengerti oleh awam, karena cinta tidak melibatkan akal, bahkan akal tidak mampu mengenali dirinya sendiri, dan cinta tidak pula melibatkan syahwat, karena syahwat cenderung ingin menguasai, lalu bagaimana mungkin akal dan syahwat dapat mengenali cinta ? Maka, jika awam berkata cinta, itu adalah kebohongan belaka, karena cinta tidak berawal dari pandangan mata dan memanasnya birahi. Imam Junayd,ra., mengatakan : ‘Jika Tuhan berbicara kepadaku, pandanglah Aku,’ maka aku akan menjawab : ‘Aku tidak akan melihat-Mu.’ Karena, dalam cinta, mata itu adalah selain Tuhan dan asing. Rasa iri pada yang lain akan mencegahku dari melihat-Nya. Karena di dunia ini aku terbiasa melihat-Nya tanpa perantaraan mata. Bagaimana aku akan menggunakan perantaraan itu di akhirat ?

Allah SWT telah mengutus nabi-nabi guna menyampaikan risalah-Nya agar manusia bisa keluar dari belenggu syahwatnya, tiga kitab samawi telah diturunkan, Taurat, Zabur dan Injil, lalu ditambah satu kitab suci lagi sebagai penutup dan penyempurnaan dari kitab-kitab terdahulu, petunjuk bagi seluruh manusia dan jin kejalan yang lurus, yaitu Al Qur'anul Karim. Perilaku dan perkataan para nabi yang kepadanya kitab suci itu diturunkan dijadikan rujukan pula oleh para pengikutnya. Tidak ada lagi diatas dunia ini, perilaku dan perkataan yang terpuji (adab) para nabi-nabi itu, yang terdokumentasikan secara otentik, terpelihara dari perubahan-perubahan dan pemalsuan serta rapi, kecuali adab, akhlak atau budi pekerti yang agung dari penutup para nabi-nabi terdahulu (khataman anbiyai) yang mulia Baginda Muhammad Rasulullah,saw. Disusun oleh beberapa ulama agung terkemudian, diantaranya Imam Bukhari,ra., Imam Muslim,ra., Imam Abu Dawud,ra., dan Imam at-Tirmidzi,ra.. Lalu karena dunia dicipta terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda-beda kultur budayanya, masing-masing mempunyai ulama yang dipanutinya yang berpegang teguh kepada Al Qur'an dan Al Hadits serta secara kosisten mematuhi dan mengerjakannya. Oleh karenanya terbagilah menjadi mahzab-mahzab, diantaranya mahzab Imam Abu Hanifah,ra., (80-150H), Imam Maliki,ra., (93-179H), Imam Syafi'i,ra., (150-204H), dan Imam Hambali,ra., (164-241H). Syah hukumnya bagi seorang muslim menganut salah satu dari ke empat mahzab ini, seperti kebanyakan masyarakat muslim di Indonesia menganut mahzab Imam Syafi'i.ra., nama lengkapnya Abu Abdallah Muhammad bin Idris al-Syafi’i,ra., semula beliau tidak tertarik kepada orang-orang yang menempuh jalan tasawuf, dan berguru kepada Imam Malik,ra., di Madinah. Barulah setelah menjadi Imam di Irak, beliau diterima dalam kelompok sufi oleh Syaikh. Sulayman Ra’i,qs., beliau terus mencari kebenaran dimana pun ia pergi, beliau berkata : ‘Bilamana engkau melihat seorang ulama menyibukkan dirinya dengan kepentingan-kepentingan pribadi, tidak ada hal yang baik yang dapat diberikan olehnya.’ Muridnya yang paling cermelang adalah Imam Ahmad bin Hanbal,ra., dan beliau ini bergabung dengan sufi-sufi agung pada zamannya antara lain Imam Sari as-Saqothi,qs., pamam dari Imam Junayd al Bagdadi,ra., Syaikh. Ma’ruf al-Karkhi,qs., Syaikh. Bisyr al-Hafi.qs., dan Syaikh. Dzun Nun al-Misri.qs.

Di abad yang ke 21 ini, jumlah kaum muslim diseluruh dunia mencapai lebih dari satu milyar orang, dan komunitas Islam terbesar di dunia adalah negeri tercinta kita ini, Indonesia, yaitu hampir mencapai 200 juta orang, atau seperlimanya. Ironisnya, dinegeri kita ini, hukum suci Islam kalah kedudukannya dibandingkan dengan hukum yang dibuat oleh manusia, dan yang lebih menyedihkan justru orang-orang Islam sendiri yang menolaknya sebagai satu-satunya hukum yang tertinggi kedudukannya, padahal mereka mengetahui bahwa syariat agama adalah hukum suci, hukum yang sempurna, yang langsung diturunkan oleh Tuhan penguasa semesta alam, Tuhan yang menggenggam jiwa-jiwa manusia yang membuat hukum-hukum di dunia, Yang Maha Menghidupkan dan juga Maha Mematikan dengan seketika.


Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) telah memberikan nasihat kepada murid-muridnya berkenaan dengan keadaan ini, agar lebih berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan, tetap dalam keadaan bersuci dimanapun berada dan melakukan dawamudz dzikri dawamun ubudiyah. Alam telah menunjukkan akibat dari fenomena aneh di negeri tercinta kita ini, berupa gerhana matahari 'cincin' yang terjadi pada tanggal 26/1/2009 tepat pada jam 16.50 wib, matahari, bulan dan bumi berada pada satu garis lurus, sehingga cahaya matahari ke bumi seluruhnya tertutup oleh bulan kecuali hanya menyisakan pinggirnya saja, berbentuk seperti cincin. Rasulullah,saw., telah memperingatkan bahwa bila terjadi gerhana segera berlindung kepada Allah SWT, lalu mengeluarkan sedekah (shadaqoh), berdzikir sebanyak-banyaknya, dan melaksanakan sholat sunat gerhana dua rakaat banyaknya, dan setiap satu rakaat dilakukan ruku dua kali banyaknya, setelah al-Fatihah membaca surat al Qur’an yang panjang dan dibaca dengan suara yang keras. Lalu telah terjadi dua kali berturut-turut menjelang waktu magrib langit berwarna kuning pucat, khususnya pada tanggal 14/03/2009 jam 18.01 Wib, orang sunda menyebutnya ‘layung koneng’. Jelas ini bukan pertanda yang baik, kalau tidak mau dikatakan buruk. Angkara murka meraja lela, cahaya ilmu dan iman akan menjadi redup, kebenaran jelas-jelas terhalang oleh kemunafikan, sehingga perbantahan mereka sebut 'perbincangan', melalaikan syariat Nabi,saw., mereka sebut 'tasawuf', ketamakan dan keinginan untuk berkuasa mereka sebut 'hukum atau undang-undang', serta kebanggaan mereka sebut 'kehormatan’. Al hasil, orang yang ingin beragama dengan benar menjadi bingung, kelompok mana yang akan diikutinya? Lalu, bagaimana manusia bisa mengenal dan mencintai Tuhannya dalam keadaan yang seperti ini? Apa yang akan dibawa jika manusia berpulang menemui Tuhannya? Didalam hadist qudsi Allah SWT berfirman : 'Man ahabba liqoo Allahi ahabballahu liqooahu, wa man kariha liqoo Allahi karihallahu liqooahu, barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya.'

Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin bin Aminudin (semoga Allah merahmatinya), salah seorang ulama sufi yang terkemuka di abad ini dan disepakati sebagai seorang yang mempunyai pengaruh ruhani dan zuhud, piawai dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Pemimpin segala lapisan manusia, yang selalu mengutamakan kebahagiaan murid-muridnya diatas kebahagiaanya sendiri, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Beliau laksana sumber listrik yang besar, yang membuat nyala bohlam lampu spiritual murid-muridnya, sehingga bisa mengetahui keadaan tingkat spiritual murid-muridnya, baik yang sedang berdekat ataupun yang berjauhan, juga yang berterus terang maupun yang berpura-pura. Syaikh Nuurunaum (semoga Allah merahmatinya), salah seorang gurunya terdahulu memberinya gelar sebagai yang luas ilmunya, dan juga sebagai cahaya yang tersembunyi. Prinsip doktrinnya adalah dawamudz dzikri dawamun ubudiyah, adalah pengejawantahan dari perintah Tuhan yang berbunyi : 'Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.' Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Pada mulanya adalah ibadat, lalu ubudiyah, dan akhirnya abudah. Ibadat adalah amalan kaum awam, ubudiyah adalah amalan kaum terpilih (khawash), dan abudah adalah amalan kaum yang sangat terpilih (khawashul khawash). Ibadat adalah untuk orang yang memiliki ilmul yaqin, ubudiyah untuk orang yang memiliki ainul yaqin, dan abudah untuk orang yang memiliki haqqul yaqin’. Dan beliau sering mengutip sebuah hadits yang mengatakan : 'Man amiila bimaa alimaa warosa’hullahu ilma ma'lam ya'lam, barang siapa mengamalkan ilmu yang dimilikinya, maka Allah akan mewariskan ilmu yang belum diketahuinya.' Allah SWT berfirman : 'Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS 41 : 30). Dawamudz dzikri dapat berupa dzikrullah yang terus menerus pada setiap kesempatan dan keadaan, baik yang bersifat formal ataupun informal, yang bersifat formal adalah dzikir wajib bagi para salik, yang berupa dzikir dhorob dan dzikir lathif, sedangkan yang informal adalah dzikir-dzikir khusus dan aurad (wirid-wirid) tambahan. Dawamun ubudiyah adalah beribadah dengan kualitas yang tinggi dan murni, tanpa pernah mengaku-ngaku bahwa ibadahnya atas kemampuan dirinya sendiri. Karena Tuhan sajalah yang bisa menolong seseorang untuk melakukan amalan baik dan berkualitas. Bilamana seseorang mengerjakan peribadatan dalam hal ini dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah, maka Tuhan akan mengkaruniai kekuatan yang semakin bertambah, dan begitulah seterusnya, 'ma'lam ya suklam ya’rif, kerjakan dahulu baru rasakan manfaatnya', sehingga maqom-maqom teraih dan terjewantahkan dalam kehidupan sehari-harinya, badan gemar melakukan shalat dan puasa, jiwa menggapai cinta, dan ruh sampai pada 'persatuan' dengan-Nya. Pada prinsipnya, semua tindakan atau upaya dan tidak bertindaknya atau tidak berupayanya manusia adalah tindakan dan ciptaan Tuhan. Oleh sebab itu, kekuatan manusia untuk melakukan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah diperoleh dari Tuhan, tanpa manusia bisa menolaknya bila datang dan meraihnya bila pergi. Inilah doktrin yang khas dari pengajian Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah Bogor Baru, dibawah bimbingan sang Mursyid Hadrat Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin bin Aminudin, semoga Allah memanjangkan umurnya, meninggikan derajatnya, meridhoi dan menyanginya, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

Tuhan ingin dikenal, tetapi tidak ada sesuatupun yang dapat mengenal-Nya kecuali oleh tak keberdayaan mengenal-Nya, sarana ilmu (pengetahuan) pada awalnya hanyalah salah satu sebab tak langsung, sedangkan sebab langsung adalah inayah-Nya. Allah SWT berfirman : 'Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya (QS 2 : 255). Karena Tuhan mempunyai sifat mukhalafatuhu li al-hawadits, bahwa Dia berbeda dengan ciptaan. Perbedaannya meliputi dalam segala hal, seperti hidup, cara bertindak, cara berbicara, cara mendengar dan cara melihat. Seandainya Dia menyerupai ciptaan-Nya, maka berarti Dia memiliki kelemahan karena membutuhkan sarana lain, seperti makanan, tempat dan waktu, hal ini mustahil bagi-Nya, karena Dia adalah Dzat laisa kamislihii syaiun atau tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tidaklah mungkin yang baru mendekati yang Terdahulu, atau yang hudust mendekati yang Qodim, atau yang fana mendekati yang Baqa. Ini berarti tingkat intelektualitas makhluk ciptaan dibatasi sedemikian rupa untuk dapat mengenal-Nya. Nah, jika ilmu pengetahuan menjadi satu-satunya sarana untuk dapat 'mengenali' Allah SWT, walaupun bukan sebab langsung, maka mencari ilmu pengetahuan menjadi wajib hukumnya baik bagi laki-laki ataupun perempuan, walaupun harus pergi kenegeri Cina sekalipun. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Jika seseorang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, Allah akan membuatnya berjalan di salah satu dari jalan-jalan Surga, dan para Malaikat akan merendahkan sayap mereka karena bahagia dan gembira pada ia yang mencari ilmu, dan para penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di kedalaman lautan akan memohonkan ampunan bagi seorang pencari ilmu! Keutamaan dari seorang yang berilmu atas orang beriman kebanyakan, adalah bagaikan terangnya bulan purnama di kegelapan malam atas segenap bintang-gemintang! Ulama adalah pewaris-pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah memiliki dinar maupun dirham, mereka hanya meninggalkan ilmu dan pengetahuan; dan ia yang mengambilnya sungguh telah mengambil bagian yang banyak.’ Oleh sebab itu sarana mi’raj bagi Rasulullah,saw., adalah buroq perlambang ilmu, baginda mengendarai ‘ilmu’ dengan membawa-bawa ‘kerinduan’. Karena, seseorang bila telah mengenal sesuatu, maka hanya sesuatu itulah yang dikaguminya, dan bila, seseorang telah mencintai sesuatu, maka hanya sesuatu itulah yang dipandangnya, serta meniadakan perselisihan dengan-Nya dan ikut campur dalam ketentuan-ketentuan dan tindakan-tindakan-Nya. Allah SWT telah berfirman tentang Rasulullah,saw., pada saat mi’raj : 'Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya, (QS 053 : 17), karena kerinduannya yang sedemikian kepada Tuhan. Bilamana sang pecinta memalingkan diri dari benda-benda ciptaan, termasuk dirinya sendiri, ia tentu akan melihat Sang Pencipta dengan hatinya. Allah SWT telah berfirman : 'Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya” (QS 24 : 30), yakni menutup mata jasmaniah mereka terhadap benda-benda ciptaan dan mata ruhaniah mereka terhadap hawa nafsu. Rasulullah,saw., telah memberitahu Aisyah,ra., bahwa beliau tidak melihat Tuhan pada malam Mi’raj, tapi Ibnu Abbas,ra., meriwayatkan bahwa Rasulullah,saw., memberitahukan kepadanya bahwa beliau melihat Tuhan pada kesempatan itu. Ini sangat bijaksana, karena menurut pandangan beliau, Aisyah,ra., adalah seorang zhahiri, sehingga mata inderawi mustahil dapat melihat Tuhan, sedangkan Ibnu Abbas,ra., adalah seorang spiritualis, sehingga yang dimaksud melihat adalah dengan mata hatinya. Beliau telah berbicara kepada masing-masing mereka menurut kadarnya. Perbedaan pandangan apakah baginda mi’raj dengan atau tanpa jasadnya, itu tak soal. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Rasulullah,saw., adalah manusia tersuci yang pernah diciptakan Allah SWT, tidak saja suci batinnya, bahkan juga jasadnya, maka saya berkeyakinan beliau Mi’raj berikut jasadnya yang diberkahi itu.’ Allah SWT berfirman : 'Kemudian Dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah Dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (QS 053 : 8-9). Yang dimaksud dengan ‘berjarak’ atau ‘dekat’ disini, bukan berarti ada jarak dan didalam ruang serta dibatasi waktu, karena hal ini hanya berlaku bagi materi yang sama unsurnya. Benda-benda yang dzatnya sudah diketahui, bisa dikatakan dekat satu dengan yang lainnya atau berjarak seperti batu dengan besi (sama-sama benda padat), namun apakah bisa dikatakan dekat antara batu dengan udara? Jawabnya tidak!, karena udara mempunyai sifat yang hubungan antar partikelnya renggang, sehingga udara akan menyesuaikan bentuknya dengan benda padat, dimanapun benda padat itu berada, maka udara akan menyelimutinya. Allah SWT berfirman : 'Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, (QS 15 : 29). Pada ayat ini digunakan bahasa ‘meniupkan kedalamnya ruh’, agar manusia bisa memahami bahwa bersatunya ruh dengan badan laksana udara dengan tubuh, sehingga meleburnya dapat dikatakan bahwa ruh itu meliput tubuh, sepertinya juga Tuhan meliput segala sesuatu. Allah SWT berfirman: 'Dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu,( QS 65 : 12). Secara dzahiran, hidup manusia membutuhkan cahaya matahari dan udara, dimana udara masuk dan keluar ke dan dari dalam tubuh melalui hidung, para sufi menyebutnya nafas. Udara yang masuk disaring oleh paru-paru, lalu yang berupa oksigen akan bercampur dengan darah dan menyebar keseluruh tubuh yang dipompa oleh jantung. Oksigen sangat diperlukan bagi tubuh karena berfungsi sebagai pembakaran atas glukose dan makanan untuk menjadi energi, sedangkan yang tidak berguna berupa CO2 akan dibuang atau dikeluarkan kembali dari dalam tubuh, oleh karenanya orang-orang yang terganggu paru-parunya mempunyai kemungkinan yang besar akan terkena racun CO2. Proses udara didalam tubuh manusia, mirip sekali dengan keberadaan ruh didalam badan, ia menyebar bagaikan darah yang berisi oksigen keseluruh tubuh dan membuatnya hidup, yang ‘dipompa’ oleh qolbi. Begitu oksigen dalam darah tiada maka matilah badan itu, demikian pula bila ruh meninggalkan badan maka wafatlah ia. Karenanya, penggunaan kalimat ‘meniupkan kedalamnya ruh’ pada ayat diatas, menjadi semakin jelas. Tetapi jangan pernah berpikir bahwa, bila jari tangan seseorang terpotong lantas ruhnya ikut terpotong pula, misteri bagaimana ruh meliput jasad masih menjadi rahasia hingga kini. Jadi bisa dipahami adanya kesamaan antara bagaimana cahaya matahari yang membuat udara mengandung oksigen diperlukan tubuh untuk hidup, dan bagaimana badan bisa hidup dengan adanya ruh dan yang membuat ruh hidup adalah Tuhan, meskipun unsur-unsur dzat-nya tidak dapat diketahui dan tidak dapat dilihat dengan mata lahiriyah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman : 'Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, .... (QS 24 : 35). Dan para sufi mengatakan bahwa ruh bagai udara, bila ia melewati wewangian ia akan harum dan bila ia melewati bangkai ia berbau busuk. Lalu bagaimana mungkin bisa dikatakan dekat antara makhluk dengan Tuhannya yang Dzat-Nya tidak mungkin bisa diketahui oleh makhluk? Nah, kedekatan manusia dengan Tuhannya bukan merupakan kedekatan laksana benda-benda tadi, melainkan sebagaimana sabda Rasulullah,saw., dalam hadits qudsi : ‘Tidaklah para hamba-Ku dapat mendekatkan diri kepada-Ku, kecuali dengan melaksanakan apa yang telah aku wajibkan kepada mereka. Dan hamba-Ku yang ingin lebih mendekat kepada-Ku tidak akan bergeser dari tempatnya dengan cara mengerjakan amalan-amalan sunat, kecuali sampai Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, dan menjadi lidahnya yang ia gunakan untuk berbicara, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.’


Pada saat Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) melakukan safar ke Istanbul, seorang guide memberikan saran bahwa sebaiknya langsung saja pergi berziarah ke makam Abu Ayyub al Anshori.ra., mendengar itu, seorang murid memperhatikan dan melihat bahwa Syaikhnya memberikan isyarat untuk menanggapinya, lalu sang murid berkata : 'Sebaiknya kita ganti pakaian terlebih dahulu, memakai wangian, sebagai rasa hurmat kepada sahabat Rasulullah,saw., yang istimewa ini' Guide berkata : 'Tidak perlu ganti pakaian, toh tidak ada yang melihat.' Sang murid menjawab : 'Allah melihat dan mengawasi dimanapun kita berada.' Guide dengan nada sinis berkata : 'Semua orang juga tahu.' Kisah ini mengindikasikan cara pengenalan terhadap Tuhan yang berbeda-beda, keduanya sepakat bahwa Tuhan mempunyai sifat bashar, yakni melihat segala sesuatu, baik yang telah, sedang dan akan terjadi. Dia melihat yang terjadi secara terang-terangan maupun secara rahasia dan tidak satu pun kejadian di alam ini yang lepas dari penglihatan-Nya. Selain itu penglihatan-Nya tidak dibatasi oleh waktu dan tanpa alat apa pun, sebagaimana makhluk-Nya. Pada peristiwa itu, sang guide meskipun ia mempunyai pengetahuan ('ilm) yang benar tentang Tuhan tetapi tidak mempunyai rasa hurmat, dalam hal ini Allah SWT telah berfirman : 'Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS 006 : 91). Berbeda dengan sang murid, ia mempunyai rasa hurmat yang sedemikian tingginya yang muncul dari perasaan yang benar (hal) terhadap Tuhan, para sufi menyebutnya 'makrifat'. Oleh karenanya, perasaan (makrifat) lebih utama dari pada pengetahuan ('ilm), sedangkan perasaan yang benar (makrifat) adalah hasil dari pengamalan pengetahuan yang benar ('ilm). Seperti istilah-istilah yang telah akrab pada telinga kita, yakni, syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, atau riyadhah, mujahadah, musyahadah dan mukasyafah. Jadi, bisa saja orang yang mempunyai pengetahuan tentang Tuhan ('ilm) tanpa menjadi akhli makrifat, seperti sang guide tadi., dan orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang Tuhan ('ilm) pastilah bukan akhli makrifat. Imam Junayd,ra., ditanya : ‘Apakah engkau ingin melihat Tuhan?’ Beliau menjawab : ‘Tidak.’ Mereka bertanya : ‘Mengapa?’ Beliau menjawab : ‘Ketika Nabi Musa,as., ingin, dia tidak melihat-Nya, dan ketika Rasulullah,saw., tidak ingin, dia melihat-Nya.’ Karena, keinginan adalah tabir terbesar yang menyembunyikan kita dari melihat Tuhan, karena dalam cinta eksistensi kehendak diri adalah ketidaktaatan, dan ketidaktaatan adalah tabir. Bilamana kehendak diri lenyap di dunia ini, musyahadat pun tercapai.

Mencintai dan mengenal Tuhan, adalah jalan tersulit untuk ditempuh diatas bumi ini, namun bukan hal yang mustahil. Karenanya, orang-orang yang mengenal-Nya mendapat gelar penghormatan yang begitu tinggi, yakni, makrifatullah atau arifbillah. Penafian terhadap ciptaan dan dirinya telah sempurna, walaupun secara phisik ia berada bersama keluarganya dan manusia lain untuk bermasyarakat, namun ruhnya berada dilangit, ia dalam keadaan muroqobah sepanjang kehidupannya, baik dalam keadaan terjaga ataupun tertidur. Ibarat mencari burung elang ditengah hutan, jika tidak dapat menemukannya, maka bergaullah dengan orang-orang yang akhli mengenali dan menangkapnya, maka ia akan mengantarkan untuk menemukannya. Selama kepatuhan mengerjakan dawamudz dzikri damawun ubudiyah serta kekaguman terhadap Syaikh terus bersarang didalam dada, lalu tidak mengizinkan keberpalingan terhadap sesuatu apapun (fana’u syaikh), maka keridhaan dari seorang Syaikh tergapai, jika telah tergapai, jalan menjadi lapang dan terbentang serta terang berderang, yang akan mengantarkan kepada bertambahnya ketaatan melaksanakan hukum syariat dan rasa kecintaan kepada baginda Rasulullah,saw., (fana’u Rasul) serta peperangannya melawan hawa nafsu menjadi pekerjaannya, disaat itulah ‘kedekatan’ dengan-Nya pun terwujud (fana fillah). Allah SWT berfirman : 'Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS 29 : 69). Semoga saja, Allah SWT berkenan mengampuni dan mensucikan kita semua, Ilahi anta maksudi waridhoka mathlubi a’tini mahabbataka wama’rifataka yaa arhamarrahimiin.