Minggu, 25 Agustus 2013

CELAAN - MALAMAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian pada hari Jum’at tanggal 18 Syawal 1434 H berkenaan dengan sebuah mahzab yang menghindari sanjungan dan mencari celaan untuk kesejahteraan ruhaninya, karena mereka sadar dan jera bahwa pujian dari manusia akan menjadikan jiwanya terbelenggu oleh rasa kebanggaan. Bila kebanggaan diri telah mengakar kuat, maka hal ini merupakan noda atau tirai yang sangat sulit untuk disingkirkan. Sebagai contoh, Banyak orang yang kembali dari melakukan ibadah haji dan biasa dipanggil dengan sebutan ‘Pak Haji’, manakala sebutan itu tidak diucap oleh orang yang memanggilnya, maka jiwanya meronta dan memperlihatkan tanda tidak senang. Juga seorang pemimpin yang biasa dihormati dan dilayani oleh bawahannya, setelah masa pensiun tiba, kebanggaan akan penghormatan dan pelayanan yang kadung menempel kuat didalam jiwanya sulit sekali untuk dihilangkan (post power sindrome). Demikian juga berlaku kepada para ulama jahiran, yang kuat melakukan peribadatan lahiriyah, jika seseorang bersikap biasa-biasa saja terhadapnya dan tidak menghormatinya selayaknya orang lain menyanjungnya, maka ia bermuka masam.

Hanya sedikit orang yang menyadari akan bahaya ‘kebanggaan’ didalam perjalanan menuju Allah, yang disebabkan akan pujian dan penghormatan dari orang lain. Seseorang bila disanjung bisa saja muncul kebanggaan atau bagi yang ruhaniyahnya sudah baik akan biasa-biasa saja, tetapi tetap saja ia dihormati dan disanjung oleh orang-orang, Syaikh Abu Shalih Hamdun bin Ahmad bin Umara Al Qashar,qs., atau lebih akrab disebut sebagai Syaikh Hamdun bin Qashar,qs., beserta pengikutnya menggagas sebuah doktrin yang diberi nama ‘Celaan’ atau ‘Malamat’ dan pengikutnya disebut 'Malamatiyah'. Sebuah prinsip untuk merubah persepsi orang-orang yang dahulu hormat dan menyanjungnya menjadi mencelanya. Dipersiapkan jiwanya sedemikian rupa guna meninggalkan kesejahteraan dan menanggung kemalangan serta menyangkal kesenangan-kesenangan dan ikatan-ikatan pergaulannya dengan orang lain, dengan harapan agar keagungan Tuhan diungkapkan kepadanya, maka semakin ia terpisah dari khalayak ramai, ia semakin bersatu dengan Tuhan. Karena itu, kelompok ini tidak mempedulikan kesejahteraan, kesentausaan yang menjadi idaman penghuni dunia ini.

Sebuah riwayat mengatakan Syaikh Hamdun bin Qashar,qs., bertemu dengan seorang penyamun yang tersohor karena kemurahan hatinya, beliau bertanya kepadanya : ‘Wahai Nuh, apakah kemurahan hati itu?’ Dijawab : ‘Kupakai jubah bertambal dan bersikap yang sesuai dengan pakaian itu, supaya aku bisa menjadi seorang sufi dan menyingkiri dosa karena rasa maluku dihadapan Tuhan, tetapi engkau menanggalkan jubah bertambal supaya engkau tidak tertipu oleh manusia, dan agar manusia tidak tertipu olehmu, karena itu, kemurahan hatiku ialah melaksanakan secara resmi hukum keagamaan, sementara kemurahan hatimu ialah pelaksanaan secara ruhaniyah Kebenaran.’ Pembicaraan ini sungguh tinggi kandungan maknanya dan perlu penjelasan lebih lanjut. Yang pertama yag dilakukan oleh Nuh adalah secara istqomah melaksanakan kewajiban agama dan senantiasa tidak meninggalkan amal ibadah, dan tidak mempedulikan celaan orang terhadap dirinya sebagai tindakan memperhatikan urusannya sendiri. Sedangkan yang kedua, penghormatan kepada Syaikh Hamdun,qs., begitu tinggi yang dilakukan oleh orang banyak, sehingga hatinya cenderung kepada penghormatan yang diperolehnya, dia ingin membuat dirinya bebas dari mereka dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan, maka dia dengan sengaja melakukan tindakan tertentu, tetapi tidak melanggar hukum agama, agar orang-orang menjadi mencelanya dan menjauhinya, sehingga ia memperoleh ketenangan dalam perjalanan menuju Tuhannya.

Ada sebuah riwayat lain, bahwa ketika Syaikh Abu Yazid,qs., memasukai Rayy dalam perjalanannya dari Hijaz, masyarakat kota itu berbondong-bondong menemuinya untuk menunjukkan rasa hormat kepadanya. Perhatian mereka mengacaukan hatinya dan memalingkan pikiran-pikirannya dari Tuhan. Ketika dia sampai di pasar, dia mengeluarkan sepotong roti dari lengan bajunya dan mulai memakannya. Orang-orang yang tadi menyangjungnya menjadi pergi dan mencelanya, karena pada saat itu bulan Ramadhan. Syaikh berkata kepada seorang muridnya, ‘Engkau mengerti, begitu aku laksanakan satu hukum, mereka semua menolakku.’ Menjadi tidak wajib hukumnya berpuasa bagi orang yang safar atau sakit.

Orang yang diridhoi Tuhan, akan menjadi sasaran celaan orang, namun Tuhan melindungi hati mereka dari termakan oleh celaan itu. Tuhan menjaga pecinta-pecinta-Nya dari memandang kepada yang lain, supaya orang-orang tidak melihat keindahan keadaannya dan juga menjaga dari memandang keindahan dirinya sendiri, supaya tidak jatuh dalam kebanggaan diri dan kesombongan.

Jika mahzab ini melakukan tindakan ‘celaan’ agar orang lain tidak lagi memperhatikannya, maka yang mulia Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) juga mempunyai sebuah prinsip yang mirip dengan ‘celaan’ ini, yakni mencela dirinya sendiri atau menolak segala pengakuan bahwa dirinya adalah orang hebat yang dilakukan oleh bisikan jiwanya lantaran telah melakukan riyadhah dan mujahadah yang keras, tanpa harus meninggalkan pergaulan dengan orang banyak, dikenal dengan istilah ‘Khalwat Dar Anjuman, atau merasa sendiri ditengah keramaian.’

Ucapan dan perilaku seseorang dapat menunjukan pada tingkatan mana ia berada, apakah ia duduk tenang manakala celaan datang kepadanya, atau sebaliknya ia marah dan kesal dan bergembira manakala pujian dan perhormatan datang kepadanya, terutama dari orang-orang yang mempunyai kedudukan di dunia ini.

Jumat, 09 Agustus 2013

DAWAMUDZ DZIKRI WA DAWAMUN UBUDIYAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : 'Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.' (QS 015 : 99)

Ini adalah sebuah doktrin para pengikut yang mulia Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), yang begitu piawai dalam menyampaikan setiap cabang dan tahapan didalam ilmu tasawuf. Dawamudz dzikri mudah dipahami dan kebanyakan para murid larut dalam mendawamkannya, paling tidak dilakukan sebanyak 15.000 kali dalam satu hari satu malam dengan menyebut kalimat Laa Ilahaa Illallaah atau Allah ... Allah ... Allah atau Huwa Allah, dengan menggunakan kaifiat atau cara-cara yang lazim didalam tarekatnya, dengan bersuara dan gerak ataupun tidak bersuara dan tidak bergerak, dan juga menggunakan teknik-teknik pernafasan. Termasuk didalamnya wirid-wirid khusus dan shalawat nabi,saw. Oleh karenanya dawamudz dzikri dapat dikatakan sebagai upaya untuk selalu ingat kepada Allah dalam setiap waktu dan keadaan sebagai tindak peribadatan yang berkualitas. Sebagaimana banyak hadist yang menyatakan keunggulan berdzikir. Dalam hal ini ‘perasaan’ akan kemapuan dalam melakukannya masih mendominasi ruang hatinya. Di dalam ilmu kesufian keadaan yang demikian disebut sebagai maqom ‘ibadat’. Persembahannya selalu diikuti oleh ‘rasa harap’ akan diperolehnya imbalan dari Allah. Sedangkan dawamun ubudiyah tidaklah semudah dawamudz dzikri, seorang murid pernah memohon penjelasan tentang hal tersebut kepada yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), lalu beliau berkata : ‘Dawamun ubudiyah adalah melakukan peribadatan yang berkualitas untuk memasuki hakikat atau musyahadah.’ Seolah-olah jawaban ini mempunyai arti yang sama antara mendawamkan dzikir dan mendawamkan ubudiyah yaitu melakukan tindak ‘peribadatan’ yang berkualitas. Padahal jika diteliti terdapat perbedaan yang sangat besar, memberi dengan berharap imbalan merupakan maqom ibadat, tentu berbeda derajatnya dengan memberi sebagai rasa syukur (maqom syukur), dan lebih berbeda lagi jika semua peribadannya tidak diakui sebagai kemampuannya, karena adanya kesadaran dan perasaan bahwa kemampuannya atas karunia dan kehendak Allah SWT (maqom ubudiyah). Oleh sebab itu ibadat merupakan upaya dan munculnya harapan akan imbalan sebuah ‘pengampunan’, merasa seolah-olah Allah SWT berada pada ‘tempat’ yang jauh (transenden), sedangkan ubudiyah adalah meninggalkan upayanya sendiri dan merasakan seolah-olah Allah itu dekat (imanen) bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri. Ibadat adalah bagi orang yang memiliki ‘ilmul yaqin’ sedangkan ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin’.

Sebagaimana sebuah ayat Al Qur'an diatas (QS 015:99) dapat ditakwilkan sebagai perintah untuk melakukan peribadatan sampai diperolehnya keyakinan, sedangkan keyakinan itu bertahap dimulai dari ilmul yaqin, lalu ainul yaqin dan kemudian haqqul yaqin. Oleh karenanya sebagian ulama ada yang menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah beribadah sampai datang ajal, adalah mempunyai makna yang sama, karena jika seseorang telah meninggalkan dunia fana ini, maka keyakinannya akan bergeser menaik menjadi ainul dan haqqul yaqin, karena hal-hal yang ghaib di alam dunia ini menjadi nyata. Tingkat keyakinan yang hanya bisa diperoleh dalam keadaan mati, niscaya dapat diperoleh oleh orang-orang yang masih hidup dan mempunyai tingkat spiritual yang tinggi.

Imam Qusyairi,qs., mengatakan bahwa ubudiyah adalah mengosongkan diri dari keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan mengakui kekayaan serta anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

Syaikh Ismail bin Nujayd,qs., mengatakan : ‘Tidak satu pun langkah dapat murni dijalan ubudiyah sampai seseorang melihat bahwa amal-amal baiknya adalah riya dan keadaan-keadaan ruhaninya (hal) adalah kepura-puraan.’

Imam Junayd,qs., berkata : ‘Ubudiyah adalah meninggalkan semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri pada hal-hal yang merupakan dasar kebebasan.’

Dikatakan orang yang bebas adalah yang telah keluar dari penjara dunia ini, dunia adalah sahabat jiwa, oleh sebab itu barang siapa telah mampu menundukkan jiwanya, maka dapat dikatakan sebagai orang yang keluar dari belenggu penjara dunia dan masuk dalam maqom kebebasan. Nah kebebasan akan sempurna manakala ubudiyah telah teraih.

Mudahnya begini, ibadat adalah upaya manusia dalam mengaktualisasikan ilmu syariat dengan cara yang benar, sedangkan ubudiyah adalah meninggalkan ikhtiarnya sendiri. Oleh karenanya dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah adalah mendawamkan dzikir pada setiap kesempatan (ibadat) dan mengukuhkuan sebuah rasa bahwa kemampuan dzikirnya bukan atas upayanya sendiri melainkan atas karunia dan kehendak Allah SWT.

Semoga Allah berkenan mengkaruniai keteguhan kepada kita semua didalam pelaksanaannya amiiin ... amiiin ... amiiin.

Sabtu, 27 Juli 2013

ANAK BUKAN MURID

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Seorang ulama mengatakan bahwa derajat para nabi berbeda-beda, semakin tinggi kedudukannya maka setiap kesalahan yang dibuatnya akan segera ditegur, sebagaimana Rasulullah,saw., yang segera ditegur oleh Allah SWT lantaran bermuka masam dan mengacuhkan seorang buta yang menghendaki wejangan dari mulut suci itu, tetapi beliau,saw., malah tidak berpaling dari pembesar Quraisy. Dengan adanya teguran ini, beliau,saw., berterima kasih kepada orang buta itu, bukannya memakinya.

Seorang syaikh yang dekat dengan Allah SWT ditegur dengan cara lain manakala melakukan kesalahan, Syaikh Abu Thurab an-Nakhsyaby,qs., bercerita : "Jiwaku tidak pernah cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali saja. Aku ingin sekali makan roti dan telur ketika aku sedang berada dalam perjalanan. Lalu aku pun memasuki sebuah kampung. Seseorang bangkit dan memegang tanganku sambil berkata : 'Orang ini adalah salah seorang dari perampok itu.' Lalu orang-orang disitu memukuliku tujuh puluh kali. Seorang laki-laki diantara mereka mengenaliku dan menyela : 'Ini adalah Abu Thurab an-Nakhsyaby!' Mendengar itu, mereka cepat-cepat minta maaf kepadaku, dan laki-laki itu lalu membawaku kerumahnya karena rasa hormat dan kasihan kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur. Maka aku berkata kepada diri sendiri : 'Makanlah setelah tujuh puluh kali pukulan!'".

Demikian juga bila yang mulia Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) sudah jatuh hati kepada salah seorang muridnya, maka murid kesayangan itu akan diperlakukan seperti anaknya. Bila sang anak melakukan kesalahan maka akan segera ditegur, yang bertujuan agar kemajuan spiritualnya tidak terhambat. Sesekali beliau menguji dengan 'meminta' sedikit sesuatu yang dicintai muridnya itu, untuk mengetahui apakah zuhud sudah kukuh didalam hatinya. Perbuatan yang tersembunyi maknanya itu, kadangkala disalah artikan, seolah-olah sang syaikh membutuhkan bantuan dari muridnya. Terapi spiritual selanjutnya akan diberikan kepada sang anak, agar ia dapat menyadari bahwa tugas seorang guru bukan 'meminta' dari muridnya, melainkan 'memberi' cahaya ditengah kegelapan perjalanan murid-muridnya.

Sesungguhnya wajar bila sang anak atau sang murid tidak mengerti makna hakiki dibalik perbuatan gurunya, jika kebodohannya atau ketidak tahuannya itu segera ditindak lanjuti dengan bertobat, maka sempurnalah manifestasi sifat gurunya sebagai pembimbingnya, yang akan mengeluarkannya dari kebodohan menuju kecerdasan spiritual, karena orang yang mengetahui makna-makna yang hadir didalam hatinya adalah orang pilihan Tuhan. Nabiyullah Musa,as., pun pernah mengalami hal yang demikian atas perbuatan yang dilakukan oleh Nabiyullah Khidir,as., yang tidak dapat dipahaminya hingga tiga kali, yang pada akhirnya berpisah karenanya.

Keimanan yang baik itu manakala dapat memberi sesuatu yang dicintainya dengan ringan. Jika memberi mobil kepada seseorang sama rasanya dengan memberi sendok makan, maka keimanannya dalam keadaan baik dan sebaliknya bila memberi sendok makan serasa memberi mobil maka kegelapan hatinya semakin pekat.

MAKNA BUKAN BENTUK

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Jika hakikat segala sesuatu tersingkap, maka Yang Mulia Rasulullah,saw., yang diberkati ketajaman mata hati, yang disinari dan menyinari, tidak akan pernah melantunkan doa ini : 'Ya Allah, tunjukkan pada kami segala sesuatu sebagaimana hakikatnya yang tersembunyi.'

Seorang salik bertanya kepada murid yang lain berkenaan dengan wejangan yang mulia Syaikh Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), yang mengatakan bahwa : ‘Setinggi-tinggi pencapaian seorang salik maka serendah-rendahnya pencapaian seorang Syaikh, atau setinggi-tinggi maqom seorang salik sama dengan munafiknya seorang Syaikh.’ Dijawab oleh murid itu : ‘Jika tidak hati-hati mencermati wejangan itu, maka akan timbul buruk sangka bahwa Syaikh masih ada kesombongan didalam hatinya. Sesungguhnya tidak demikian, dalam pertemuan itu Syaikhuna (semoga Allah mrahmatinya) mencium bau seseorang salik yang berbangga atas riyadhah dan mujahadahnya yang hebat, sehingga ia merasa pantas mendapatkan pujian dan tempat yang tinggi disisi gurunya. Untuk memadamkan api ujub yang sedang menyala, maka Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyiramnya dengan air perkataan seperti itu. Agar dengan segera api ujub sang salik padam, sehingga sang salik dapat melanjutkan perjalanannya dengan baik dan sayap ma'rifatnya semakin kuat untuk terbang. Tidak ada seorang syaikh pun yang tidak menghendaki muridnya akan menetas dari sangkar telur dan menjadi induk yang lebih baik darinya, karena hal tersebut merupakan kebahagiaan bagi seorang syaikh yang silsilahnya dapat berlanjut.

Makna selalu sembunyi dalam bentuk, sebagaimana Lailatul Qodar yang bersembunyi di bulan Ramadhon. Bentuk adalam penampakan luar. Makna adalah hakikat yang tidak terlihat, realitas yang tersembunyi. Oleh karenanya yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : 'Jangan berburuk sangka.'

Seseorang datang menjumpai seorang syaikh, dan ketika melihat sang syaikh menangis, ia bertanya : 'Mengapa Anda menangis?' Sang syaikh menjawab : 'Aku lapar.' Ia mencela : 'Seorang seperti Anda, menangis karena lapar?' Sang syaikh balas mencela : 'Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya menjadikan aku lapar adalah agar aku menangis.' Terlihat dengan jelas dalam riwayat ini bahwa derajat menangis karena lapar berbeda dengan menangis karena Allah SWT, oleh karena setiap makna yang sangat tersembunyi atas tindakan seorang syaikh, sebagaimana rambut diatas batu hitam pada malam hari, maka sejatinya kita memohon pertolongan kepada Allah SWT kiranya berkenan menguatkan kita untuk tidak berburuk sangka.

SYUKUR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’ (QS 14 : 7)

Riwayat, seorang salik tatkala menerima karunia dari Allah SWT seberapapun besarnya ia melakukan syukur dengan melakukan tindak peribadatan yang tangguh, ketangguhan ibadahnya itu melebihi para salik yang lain, karena syukurnya yang demikian baik menurut kadar seorang salik, Allah SWT menambah-nambah nikmat atas apa-apa yang diinginkannya, sampai ia mempunyai keturunan dan harta benda yang banyak. Hatinya menjadi lapang dan ringan melakukan peribadatan dengan hartanya. Rasa hurmat dan kepatuhan kepada syaikhnya terjalin dengan hebat. Sahabat-sahabatnya yang dalam tekanan kehidupan dibantunya. Manakala penghasilannya mulai berkurang, ia mengeluh, tanpa disadarinya keluhannya itu sebagai tanda kufur nikmat, padahal harta bendanya masih sangat banyak. Semakin ia mengeluh semakin Allah SWT menyempitkan dadanya dan menghinggapkan perasaan susah dan kekhawatiran, sehingga hilanglah perbuatan-perbuatan yang terpuji tadi, hilanglah kecantikan yang menjadikan makhluk lain iri, hatinya menjadi berat untuk melakukan peribadatan dengan hartanya, bayang-bayang kemiskinan menghantuinya dan berbohong mulai lancar dilakukan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering bercerita : 'Manusia sering lupa, yang tadinya tidak punya apa-apa, lalu Allah SWT memberinya 100 ekor ternak dan pada suatu ketika dirampas-Nya kembali sebanyak 40 ekor, maka manusia menjadi takut akan kemiskinan dan menjadi kikir, padahal tadinya tanpa harta benda yang banyak, ia biasa-biasa saja, sekarang dengan 60 ternak ia malah lupa diri.'

Pada saat berbuka puasa, ada kelompok orang yang tertawa terbahak-bahak, mendengar itu Syaikh Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Orang-orang yang tertawa seperti itu dalam waktu tidak lama akan mengalami kegundahan dan rasa was-was yang berkepanjangan.’ Dilain kesempatakan beliau berkata bahwa : ‘Tertawa terbahak-bahak akan menggelapkan hati.’ Hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang terlihat oleh para syaikh, sebagaimana orang awan melihat bahwa orang yang minum racun akan mati. Karena sebab-sebab suatu takdir diciptakan oleh Allah SWT yang merupakan sesuatu yang berlaku umum. Jika setitik noda menempel kedalam hati sebagai akibat dari tertawa yang melampaui batas, maka akibat dari itu akan segera dirasakan. Orang tua mengatakan jangan tertawa terbahak-bahak karena engkau akan segera menderita kesedihan dan menangis. Mengapa demikian? Sebagai hukuman bagi pemilik hati karena tidak amanah dalam menjaganya. Satu-satunya yang ditilik oleh Allah SWT adalah hati, jika ia bersih akan merefleksikan sifat-sifat Ketuhanan, jika ia ternodai maka syaithon akan mudah menyusup dan membisikan hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama. Jika demikian maka hati adalah satu-satunya tempat tambang ma’rifat. Jika ma’rifat merupakan sesuatu yang dicintai dan keharusan bagi manusia, agar Allah SWT dapat dikenal, maka seseorang akan menjaga sedemikian rupa agar tidak terkotori, sebagaimana jika ia mencintai sebuah permata yang baru dibelinya, maka ia akan menjaganya dengan cara apapun untuk tidak terkena noda sedikitpun. Akan tetapi kebanyakan orang tidak peduli terhadap hal ini.

Tertawa adalah sebagai akibat dari rasa gembira yang tidak tertampung lagi oleh pertahanan hati, semakin hebat kegembiraannya maka semakin besar tertawanya. Nah kegembiraan yang dinikmati oleh manusia oleh sebab apapun, wajib hukumnya untuk dizakatkan atau mengeluarkan shodaqoh atau dalam bentuk peribadatan sebagai rasa syukur. Agar noda-noda yang menempel kedalam hati segera terbersihkan, agar kegundahan dan was-was tidak berdatang. Oleh sebab itulah kegembiraan tatkala hubungan antara suami dan istri wajib segera ditindaklanjuti dengan mandi besar atau mandi junub lalu mendirikan sholat sunah dan berdzikir sebagai rasa syukur. Bila mandi junub tidak dilakukan, kita semua tahu konsekwensinya sebagaimana yang tertuang didalam syariat, dan bila seseorang wafat dalam keadaan junub maka jahanam tempatnya, naudzubillah mindzalik. Jadi wajar bila seorang sufi mengatakan bahwa segala sesuatu ada zakatnya. Seseorang bisa melihat bahwa dalam kenikmatan satu hari dan agar manusia tidak tenggelam dalam lautan kesulitan, diwajibkan untuk melakukan shalat 5 waktu, menyisihkan waktunya untuk mengingat Sang Penciptanya atau meninggalkan dunia, atau zuhud sesaat. Lalu kenikmatan dalam satu tahun, diwajibkan manusia untuk berpuasa dalam satu bulan lamanya.

Seorang murid berkata kepada Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) : ‘Aku bersyukur karena karir dan bisnisku menjadi sangat baik.’ Karena kegembiraan ini, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) memerintahkannya untuk mengeluarkan harta bendanya untuk dishodaqohkan kepada pihak yang berhak menerimanya sesuai syariat agama. Jadi syukur dapat dikatakan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah SWT atas kegemberiaan yang dirasakannya, lalu ia berbagi kegembiraan itu kepada orang lain. Ada syukur yang berbeda, seorang murid menyampaikan keadaannya kepada Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bahwa jika ia telah menyelesaikan peribadatan dimalam hari lalu dilanjutkan dengan shalat Subuh dan berdzikir hingga waktu syuruq lalu ia bersyukur kepada Allah SWT atas rasa gembiranya lantaran peribadatan itu bukannya keluh kesah karena lelah. Yang pertama bersyukur karena merasakan kegembiraan masalah dunia, dan yang kedua bersyukur karena telah di anugerahi makna-makna yang datang di hatinya. Manusia yang bersyukur lantaran sebab nikmat yang diterimanya akan berhenti bersyukur jika ia merasa tidak ada lagi nikmat baru yang diterimanya. Sedangkan orang yang bersyukur karena makna-makna yang hadir, ia tidak pernah berhenti bersyukur, karena makna-makna selalu hadir kedalam hati sang pendzikir. Tanda orang yang demikian adalah, lisannya selalu mengucapan Alhamdulillah pada setiap perbuatannya dan hatinya bermusyahadah. Imam Sybly,qs., berkata : 'Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.'

Nabiyullah Idris,as., memperoleh kabar gembira pengampunan, lalu beliau memohon diberi panjang umur. Ketika ditanya alasanya, dijawab : ‘Agar aku dapat bersyukur kepada-Nya, karena sebelum ini aku telah berjuang hanya untuk memperoleh ampunan.’ Kemudian salah satu malaikat mengembangkan sayapnya dan membawanya kelangit.

Imam Junayd,qs., berkata : ‘Syukur adalah jika orang tindak menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.’

Imam Syibli,qs., berkata : ‘Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.’

Rasulullah,saw., beribadah malam sampai kakinya bengkat, ditanya alasannya, beliau,saw., menjawab : ‘Tidakkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?.’

Nabiyullah Daud,as., bertanya : 'Illahi, bagaimana aka dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan bersyukur itu sendiri adalah nikmat dari-Mu?' Allah mewahyukan kepadanya : 'Sekarang, engkau benar-benar telah bersyukur kepada-Ku.'

Sabtu, 18 Mei 2013

SAFAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Safar merupakan salah satu metodologi para syaikh sufi dalam mendidik jiwanya. Tujuannya adalah melemahkan keinginan-keinginan dan jauh dari sanak famili agar bergantung dan merasa butuh hanya kepada Allah saja. Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merhmatinya) berkata : ‘Tatkala seseorang badannya lemah karena melakukan tindak peribadatan yang ketat, dibarengi dengan tiadanya harapan mendapatkan pertolongan dari orang lain, maka hatinya akan tergembirakan, terbuka dan siap menerima limpahan ilmu dan kejelasan-kejelasan.’ Didalam kitab-kitab tashawuf banyak dijumpai riwayat para sufi tentang safar, ada yang merintangi padang pasir, ada yang mengunjungi makam-makam para syaikh terdahulu, ada yang berdakwah ketempat penduduk terpencil yang miskin dan ziarah ketempat para syaikh yang lain serta masih banyak lagi.

Safar menurut terminologi tashawuf bukan saja perjalanan dari suatu tempat ketempat lainnya melainkan perjalanan kedalam diri dari sifat-sifat buruk (majmumah) kedalam sifat-sifat yang baik (mahmudah), sebagaimana satu dari delapan prinsip tarekat Kwajagan (sekarang bernama Naqsyabandiyah) yang disebut sebagai Safar Darwaton. Seorang syaikh saat ditanya oleh muridnya tentang apakah ia sering melakukan safar, dijawab bahwa jika safar dibumi ‘tidak’, tetapi jika safar ke langit ‘ya’.

Safar berkaitan erat dengan mujahadah, belum dapat dikatakan safar meskipun melakukan perjalanan jauh ketempat suci atau ketempat lain, tetapi seluruh fasilitasnya lebih baik daripada yang ada dirumah ia tinggal. Prinsip dalam khalwat harus melekat pada saat safar, yakni, selalu dalam keadaan berwudlu, berdzikir terus menerus, dalam keadaan lapar, sedikit tidur. Jika hal-hal ini tidak ada dalam safar maka batalah safarnya dan tidak diperkenankan mengambil kemudahan yang diberikan Allah SWT dalam peribadatan, misalnya shalat yang boleh di ja’ma, boleh tidak berpuasa dan lain sebaginya. Oleh sebab keadaan yang lemah dan jauh dari sanak famili serta teman-temannya, maka terhadap orang yang safar doanya menjadi mustajab, karena persis ia dalam keadaan seperti orang yang khalwat dan faqir atau sebagaimana anak yatim piatu.

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata di majlis dzikir yang dipimpinnya : ‘Insya Allah, sebentar lagi saya dan para sahabat akan berangkat umroh untuk menyucikan diri.’ Selepas pengajian seorang murid bertanya kepada murid yang lain ‘Apakah menyucikan diri harus pergi umroh?’ dijawab ‘Ya dan tidak, karena seluruh ajaran tarekat berkenaan dengan penyucian diri, dalam ibadah umroh mengenakan pakaian ihrom atau kain kafan tanpa jahitan, bermakna terlepasnya dari ikatan dunia, yang berarti merasa mati sebelum mati atau dalam hadistnya disebut sebagai mutu qobla anta mutu. Setiap pengorbanan dari dalam diri, atau setiap 'kematian' akan menuntun pada kehidupan baru pada tingkatan yang lebih tinggi. Seluruh kehidupan pejalan itu tidak lebih dari suatu sekuen 'kematian' dan kelahiran kembali yang terus naik, suatu gerakan mendaki ke atas secara terus menerus dan selama sifat-sifat manusia yang yang lebih rendah digantikan oleh sifat-sifat Ilahiah yang lebih tinggi. Inilah gagasan para ulama dibalik peribahasa yang mengatakan 'Sifatilah dirimu dengan sifat-sifat Tuhan'. Nah, barang siapa mampu melakukannya dengan penuh kehatian, maka ia masuk dalam tindak mujahadah, masuk kedalam tindak penyucian diri, sebaliknya bagi yang tidak menyadarinya atau yang lalai, maka ia hanya berlilitkan kain kafan saja tanpa tindak mujahadah tanpa adanya penyucian diri, inilah orang-orang yang masuk dalam golongan wisata ruhani bukan safar, akan tetapi pengurbanan harta dan waktunya insya Allah tetap mendapatkan pahala.’

TASHAWUF

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Tashawuf adalah keberpantangan, tashawuf adalah kesadaran, tashawuf adalah penolakan-penolakan, tashawuf adalah peperangan, tashawuf adalah akhlak.’

Pengajian kali ini membicarakan tentang tashawuf, diambil dari kitab yang masyhur Kasyful Mahjub karya Imam al-Hujwiri,qs. Pengajian tashawuf ini telah sering kali disampaikan oleh yang mulia Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) dengan sudut pandang yang berbeda-beda tetapi mempunyai satu makna, yakni tentang penyucian diri. Meskipun secara eksplisit tidak ada kata tashawuf didalam Al Qur’an, akan tetapi banyak riwayat menegaskan tentang makna atau hakikat tashawuf, seperti dalam riwayat Nabiyullah Adam,as., dengan Iblis laknatullah, Nabiyullah Musa,as., dengan Nabiyullah Khidir,as., kemudian riwayat Nabiyullah yusuf,as., dengan Zulaikha, riwayat Nabiyullah Nuh,as., dengan putranya, Nabiyullah Ibrahim,as., dengan istri dan anaknya serta perlawanan dengan raja namrud, dan Nabiyullah Isa,as., yang hidup tanpa mempunyai kekayaan sedikitpun, dan tentunya kisah kehidupan Rasulullah,saw., juga sahabat-sahabat yang hidup di Raudhah. Riwayat-riwayat ini banyak dikutip oleh para sufi dalam menjelaskan tahapan-tahapan didalam penyucian diri (tashawuf). Jika dijabarkan dalam tulisan ini berkenaan dengan riwayat-riwayat diatas tidaklah cukup ditulis dalam satu bulan lamanya. Pada intinya, karena sombong, iblis dilaknat oleh Allah SWT, begitu pula Nabiyullah Musa yang mengaku dirinya sebagai yang terpandai, dan akhirnya diperintah untuk mencari seseorang yang telah dianugerahi ilmu khusus dari Allah SWT, orang tersebut adalah Nabiyullah Khidir,as. Singkatnya nabiyullah Musa,as., tidak mampu patuh terhadap perintah nabiyullah Khidir,as., dan terjadilah perpisahan. Lalu Nabiyullah Yusuf dengan Zulaikha sebagai riwayat yang terindah dalam Al Qur’an, menceritakan tentang evolusi jiwa dari Nafsul Immarah hingga Nafsul Muthmainah dengan perjuangan menafikan diri yang hebat. Sedangkan nabiyullah Nuh,as., dengan putranya yang merasa bisa berenang dan dapat menyelamatkan dirinya sendiri tanpa bantuan ayahnya, yang pada akhirnya tenggelam. Jika berenang diumpamakan sebagai ilmu, maka anak tersebut merasa berilmu dan mengacuhkan nasihat orang tuanya. Nabiyullah Ibrahim,as., yang patuh terhadap perintah Tuhannya dan tidak membutuhkan apapun dari makhluk ciptaan. Yang meninggalkan anak dan istrinya di tengah padang pasir, yang akhirnya ditemukan sumur zam-zam, dan juga menolak tawaran malaikat tatkala dirinya didalam api, karena hanya butuh Tuhan saja. Dan Nabiyullah Isa,as., dengan hanya bergantung kepada Tuhannya saja, atapnya adalah langit dan lantainya adalah bumi, yang mencapakkan sebuah sisir sebagai harta dunia yang terakhir dimilikinya. Sedangkan Rasulullah,saw., dalam kehidupannya tidak pernah terlepas dari mengingat dan bersama dengan Tuhannya. Dan begitu juga para sahabat seperti Abu Bakar as-Siddiq,ra., yang memberikan seluruh hartanya untuk Islam. Riwayat-riwayat ini dicontoh dan dijadikan gagasan-gagasan dalam menjelaskan tahapan didalam tashawuf.

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti, siapa yang kali pertama menggunakan istilah Tashawuf sebagai ganti daripada penyucian diri, akan tetapi bila dilihat dari suku katanya yang terdiri dari Ta, Sha, Wa dan Fa dapat diartikan sebagai Taubat, Shafa, Wara dan Fana, sebagaimana tahapan dalam tasawuf itu sendiri, yang dimulai dengan pertaubatan dan penyucian diri (shafa) seperti didalam ayat Al Qur’an yang mengatakan :'Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.' (QS 001 : 222)Kemudian berpantang dari hal-hal yang subhat atau meragukan (wara) serta akhir dari perjalanan berupa fana dari sifat diri sendiri dan hidup dalam sifat-sifat Tuhan. Karena manusia dibentuk dari tanah lempung dan tanah lempung mengandung ketidak sucian lawan daripada kesucian itu sendiri, oleh karenanya harus dilenyapkan dan digantikan dengan sifat-sifat Tuhan. Pelenyapan sifat-sifat diri adalah perbuatan Tuhan dan bukan manusia, manusia mempunyai hak dalam upaya-upayanya saja, oleh sebab itu mustahil keberhasilannya tanpa petunjuk dan pertolongan Tuhan (hidayah dan taufik). Tuhan menghendaki demikian, agar dengannya manusia merasa butuh hanya kepada-Nya dan termanifestasikan sifat-sfiat-Nya. Bentuk daripada tashawuf adalah tafa’ul yang berarti ‘bersusah payah’. Oleh karenanya jalan yang terbaik adalah dengan bersungguh-sungguh menjalankan peribadatan dan sekuat tenaga memerangi kesenangan-kesenangan jiwa dalam bahasa tasawufnya disebut ‘riyadhah dan mujahadah’, yang dimulai dengan melemahkan badan dengan banyak berpuasa, bangun malam dan sedikit bicara. Mengapa harus diperangi? Sebab kerajaan manusia awam dikuasai oleh jiwanya, dan jiwa ini selalu mengajak kepada kejahatan (nafsul immarah). Dalam hal ini seluruh panca indera patuh terhadap perintah jiwanya. Dengan khalwat, safar dan melakukan peribadatan lainnya dengan gigih merupakan pelemahan terhadap jawarih yang pada gilirannya mengendurkan cengkeraman jiwa, melemahkan terhadap keinginan pemenuhan kesenangan (syahwat). Seperti dalam peperangan, untuk menaklukkan penguasa, harus dilemahkan atau diperangi tentara-tentaranya terlebih dahulu. Mudahnya dapat dikatakan bahwa tashawuf adalah perpindahan dari kehidupan yang biasa dijalani masuk kedalam kehidupan kesucian. Kebiasaan orang banyak adalah menghuni kelalaian, cenderung kepada ajakan hawa nafsu, terus menerus mengikuti angan-angan kosong. Perpindahan kehidupan ini sangatlah sulit dilakukan, dan mustahil dapat dilakukan tanpa bimbingan ruhani. Oleh sebab itulah Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa: ‘Tasawuf adalah peperangan yang tiada akhir melawan diri sendiri.’ Rasulullah,saw., mengatakannya sebagai jihad akbar.

Tidak saja wahyu yang tertulis didalam Al Qur’an dan Hadist Qudsi, dan tidak saja dari ucapan-ucapan yang mulia Rasulullah,saw., dipatuhi, melainkan perilakunya pun diikuti. Karena gerak gerik kehidupannya ditiru oleh pengikutnya, maka para syaikh sufi selalu berhati-hati dalam bertindak dan berusaha menyesuaikan dengan apa yang telah dibicarakannya serta menjaga adanya perbedaan. Agar murid-muridnya terhindar dari buruk sangka terhadapnya, karena perilakunya yang tidak terpahami. Dari hal yang sangat pribadi, bersahabat, bertetangga, berperang, berdakwah, safar, mencari nafkah kehidupan, sampai kepada tata cara peribadatannya tatkala berjamaah atau disaat sendiri. Sebagai contoh istri Rasulullah,saw., pernah menanyakan mengapa beribadah sampai kakinya bengkak dan dijawab ‘Aku ingin menjadi hamba yang bersyukur.’ Syukur dalam tashawuf adalah salah satu tahapan (maqom) yang harus dicapai dengan sebuah upaya (riyadhah dan mujahadah). Karena kedudukan beribadah sebagai tanda syukur sangat berbeda dengan beribadah hanya sebagai pemenuhan kewajiban, apalagi ada unsur keterpaksaan dan keluh kesah dalam pelaksanaannya.

Rabu, 15 Mei 2013

SYARIAT DAN HAKIKAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sebuah riwayat mengatakan bahwa Abdul 'Aziz bin Abdullah,ra., berkata, telah menceritakan kepadaku Sulaiman,ra., dari 'Amru bin Abu 'Amru,ra., dari Sa'id Al Maqburi,ra., dari Abu Hurairah,ra., bertanya : ‘Wahai Rasulullah siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa'atmu pada hari kiamat?’ Rasulullah Saw., menjawab: ‘Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini, karena aku lihat betapa perhatian dirimu terhadap hadits. Orang yang paling berbahagia dengan syafa'atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.’

Seorang salik dengan nada merendahkan, berkata : ‘Itukan pengajian syariat ...’, ia merasa lebih baik karena telah mengikuti pengajian tarekat. Perasaan yang demikian ini umum terjadi dikalangan para pejalan awal yang belum mumpuni. Rasa bangga yang berlebihan mengikuti pengajian tarekat merusak inti daripada ajarannya itu sendiri. Faktanya banyak yang belum mencapai hakikat tetapi bicaranya seolah-olah sudah merasakannya. Bila ia terpojok dari sebuah pembicaraan dan tidak dapat mengemukakan sebuah hadist, ia akan berkata ‘ini kan sebuah hakikat .....’. Pandangan yang seperti ini harus diluruskan, karena hakikat adalah bagian dari syariat. Syariat terdiri dari tiga bagian yang tidak dapat dipisahkan yaitu pengetahuan, tindakan dan keikhlasan atau bahasa lainnya iman, amal dan intuisi (perasaan). Sebelum ketiga hal tersebut terangkai dengan benar maka seseorang belum dikatakan bersyariat. Tidak mungkin pengetahuan tanpa tindakan akan memperoleh keikhlasan, demikian pula mustahil tindakan tanpa pengetahuan akan memperoleh keikhlasan. Keikhlasan adalah tujuan, melalui tindakan dengan berbekal pengetahuan. Oleh karena itu syariah meraup segala kebaikan di dunia dan akhirat, serta tidak ada lagi yang tercecer, sehingga seseorang harus mencari diluar syariat. Apabila seseorang patuh terhadap syariat, niscaya akan memperoleh perkenan Allah SWT.

Pengetahuan dan tindakan dapat dilakukan oleh kebanyakan orang, tetapi untuk ikhlas tidaklah mudah. Karena ikhlash melibatkan penafian terhadap manusia dan pengisbatan terhadap Allah saja pada setiap tindakan, sehingga terbebas dari riya. Secara etimologi, Ikhlas artinya membersihkan (bersih, jernih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi ataupun immateri). Imam Al Ghazali,ra., berkata : 'Setiap manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu akan binasa kecuali yang beramal (dengan ilmunya), dan orang yang beramal juga binasa kecuali yang ikhlas (dalam amalnya). Akan tetapi, orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal.' Karena sulitnya memperoleh ikhlas yang merupakan perbuatan batin, maka sebagian ulama terdahulu menyusun sebuah metodologi untuk meraihnya. Inti daripada metodologi ini adalah penyucian diri dari noda dunia, agar hatinya bersih dan bercahaya, dengan cara-cara yang unik yang bersumber dari Al Qur’an dan al Hadist, yang pada gilirannya akan meraih keikhlasan dari setiap tindakannya. Metodologi yang dimaksud disini oleh kaum sufi diberi nama ‘tarekat’. Akan terlihat pada awalnya ikhlas diupayakan untuk teraih dengan menjalankan praktik metodologi ini dengan benar, akan tetapi pada akhirnya iklhas akan dirasakan secara spontan. Dalam istilah tasawuf upaya untuk memperoleh ikhlas disebut ‘maqom’ sedangkan secara spontan keikhlasannya adalah maqom yang tidak bergerak lagi atau disebut tamkin dan perasaan yang hadir pada setiap pergerakan maqom ini disebut hal. Syaikh Waasi’Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya sebagai kejelasan-kejelasan atau hakikat.

Selagi kerajaan manusia dikuasi oleh jiwanya, maka seluruh jawarihnya (panca indranya)akan patuh terhadap perintahnya, yang menurut Al Qur’an selalu mengajak kepada kejahatan atau disebut sebagai nafsul Immarah. Jiwa yang demikian jauh dari keikhlasan. Untuk mempengaruhi jiwa yang sudah demikian ini agar menjadi baik, adalah dengan jalan bersungguh-sungguh menjalankan praktik-praktik metodologi tadi atau dalam bahasa tasawufnya disebut sebagai riyadhah dan mujahadah, yang diantaranya adalah puasa, dzikir yang banyak dan muroqobah (meditasi), atau mengikuti rangkaian peribadatan yang ketat yang disebut khalwat selama 10, 20 dan 40 hari. Muroqobah (meditasi) sangat jitu untuk meraih keikhlasan karena muroqobah adalah membiasakan diri selalu dalam kebersamaan dan pengawasan Allah SWT. Tanpanya, mustahil seseorang akan memperoleh keikhlasan. Nah, peribadatan yang berupa muroqobah ini hanya akan ditemui didalam pengajian tarekat saja. Pengalaman-pengalaman batin dalam perjalan bukanlah tujuan, melainkan merupakan sebuah kebahagiaan saja. Tujuannya adalah beroleh keikhlasan dalam setiap tindakan hanya untuk Allah semata, yang pada akhirnya keridhaan Allah akan diraihnya.

Dari keterangan diatas memperjelas hubungan antara syariat dengan hakikat, yang menurut Imam Robbani,qs., dan Imam Qusyairi,ra., bahwa tidak ada beda atara syariat dan hakekat kecuali terletak pada prinsip dan penjabarannya, antara gabah dengan berasnya, antara kulit dengan intinya. Syaikh Bahauddin Syah Naqsyabandi,qs., pernah ditanya : ‘Apakah tujuan daripada muroqobah dan suluk atau khalwat?’ Beliau menjawab : ‘Tujuannya adalah agar kalian mengetahui secara rinci apa yang telah kalian ketahui sebagai esensinya, dan melihat dengan kasyaf terhadap apa yang kalian ketahui melalui nalar.’ Demikian juga Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa : ‘Dengan banyak mendawamkan Dzikir dan Ubudiyah, seseorang akan memperoleh kejelasan-kejelasan.’ Yang dimaksud yang mulia Syaikhuna tentang kejelasan-kejelasan tidak lain adalah hakikat itu sendiri. Sehingga mengkonfirmasi bahwa syariat dan hakikat adalah sebuah kesatuan bangunan yang kokoh.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengutip ayat Al Qur’an : ‘Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.’ (QS 029 : 69) Berjuang untuk mencari keridhaan Tuhan adalah riyadhah dan mujahadah (hukum), sedangkan petunjuk adalah kebenaran. Yang pertama terletak kepada dilaksanakannya oleh manusia peraturan-peraturan (hukum) dalam bertarekat secara ketat, sedangkan yang terakhir terletak kepada dijaganya oleh Tuhan perasaan-perasaan ruhaniah manusia. Karena itu riyadhah dan mujahadah (hukum) adalah salah satu tindakan yang diupayakan oleh manusia sedangkan kebenaran adalah salah satu anugerah yang dilimpahkan oleh Tuhan kepada manusia. Nah, jika ikhlas adalah maqom maka tidak ada bedanya antara syariat dan hakekat, karena keduanya adalah tindak upaya manusia, tetapi jika ikhlas adalah sebuah hal, maka jelas bahwa syariat sebagaimana sebuah badan dan hakikat adalah ruh, karena ikhlas dalam hal ini adalah tindakan Tuhan.

Jika syariah hukumnya wajib yang didalam kesempurnaannya harus merangkai ketiga hal, yakni pengetahuan, tindakan dan ikhlas. Sedangkan untuk mencapai keikhlasan tidak mungkin dapat dicapai kecuali melalui pengajian tarekat, maka kita dapat menyimpulkan kedudukan tarekat bagi yang berniat memurnikan syariat.

Minggu, 28 April 2013

OBOR DI PAGI HARI

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sebuah riwayat mengatakan bahwa Imam Baqi Billah,qs., salah seorang pemimpin tarekat Naqsyabandiyah tatkala memimpin dzikir bersama berkata dihadapan murid-muridnya : ‘Aku adalah obor (penerang) bagi kalian, sedangkan dia (yang dimaksud adalah muridnya yang bernama Ahmad al Faruqi al Sirhidh) adalah matahari. Apa arti sebuah obor bila matahari telah terbit?’ Dan ucapan beliau terbukti, dikemudian hari muridnya itu menjadi seorang Imam besar dan dikagumi di dunia tasawuf khususnya dinegeri India dan Pakistan. Yang pada saat itu Islam bercampur dengan ajaran hindu, dan masyarakatnya senang mempercayai hal-hal yang mistis. Sultan Akbar penguasa dinasti Mughal di India, mengatakan bahwa ajaran yang pernah diturunkan oleh Rasulullah,saw., sudah usang dan perlu diganti dengan yang baru, dan sebagai gantinya ia mendorong munculnya ajaran yang sesuai dengan gagasannya sendiri. Oleh karenanya Syaikh Ahmad al Faruqi,qs., berdakwah sebagai pembaharu yang menegakkan syariat Islam dan mengajarkan tasawuf kepada murid-murid tertentu saja, meskipun dibawah tekanan yang hebat dari penguasa, oleh karena itu beliau mendapat gelar sebagai Mujadid (pembaharu) dan sebagai Imam Robbani atau pemimpin para sufi. Demikianlah contoh ketawadhuan, keberanian dan kegigihan yang niscaya dimiliki oleh seorang Syaikh, yang selalu memuji murid-muridnya dengan penuh rasa kasih sayang, menegakkan syariah dengan gagah berani dan menyucikan jiwa-jiwa yang tenggelam dilautan ilusi.

Imam Shahabudin Umar Suhrawardi,qs., penulis karya yang masyhur berjudul Awarif al Ma’arif mengisahkan sebuah cerita untuk menyindir orang-orang yang menganggap dirinya sebagai pembimbing ruhani tetapi tidak pernah hidup dalam lingkungan tarekat.

Konon, ada seekor burung yang tidak mempunyai tenaga untuk terbang, seperti ayam, ia berjalan saja di tanah, meskipun ia tahu bahwa ada burung lain yang bisa terbang. Pada suatu ketika, terjadilah, lewat berbagai keadaan, ada telur seekor burung yang bisa terbang, dierami olehnya.

Setelah sampai waktunya, telur itu pun menetas. Tentunya burung kecil itu masih mempunyai kemampuan untuk terbang yang selalu dimilikinya, bahkan ketika ia masih berada dalam telur. Kemampuan ini tidak disadari oleh orang tua angkatnya, tertutup oleh perasaan akan kehebatan dirinya. Si anak pun berkata kepada orang tua angkatnya, ‘Kapan aku akan terbang?’ Dan burung yang hanya bisa berjalan di tanah itu menjawab, ‘Tetaplah terus belajar terbang, seperti yang lain.’ Sebab burung itu tidak tahu bagaimana mengajarkan anak angkatnya itu terbang. Ia bahkan tidak tahu bagaimana menjatuhkannya dari sarang agar ia bisa belajar terbang.

Dan aneh bahwa burung kecil itu tidak mengetahui hal ini. Pengenalannya terhadap keadaan, terkacaukan oleh kenyataan bahwa ia merasa berterima kasih kepada orang tua angkatnya yang telah berjasa menetaskannya. ‘Tanpa jasanya,’ katanya pada diri sendiri, ‘tentu aku masih berada dalam penjara kulit telur.’Dan lagi, kadang-kadang ia bergumam pada diri sendiri, ‘Siapa pun yang bisa mengeramiku, tentu bisa juga mengajariku terbang. Pasti ini hanya soal waktu saja, atau karena usahaku yang tanpa bantuan, atau karena suatu kebijaksanaan agung, ya, pasti karena itu. Akan tiba waktunya, suatu hari nanti aku akan dibawa ke tahap berikutnya oleh ia yang telah membawaku sejauh ini.’

Kisah diatas sungguh menggelitik dan berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Imam Baqi Billah,qs., terhadap muridnya. Jika seorang syaikh dapat mengetahui keadaan spiritual murid-muridnya, bahkan dapat mencium bau harum seorang bayi yang mempunyai potensi menjadi seorang ulama agung, sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Baba as-Samasi,qs., terhadap kelahiran seorang bayi yang kemudian menjadi Syaikh Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi,qs., yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah tarekat naqsyabandiyah, sedangkan dalam kisah ini sang orang tua angkat tidak mengetahui potensi yang dimiliki oleh anak angkatnya itu. karena ia tidak mempunyai pandangan batin yang dalam dan tidak pernah mengasahnya, sebagaimana yang dimiliki oleh seorang syaikh dari akhli silsilah sebuah tarekat.

Wajar jika Imam Suhrawardi pada masa itu kira-kira di abad 13 tepatnya ditahun 1234 menulis kisah yang sederhana tetapi sarat dengan makna yang hebat. Karena pada saat itu banyak yang mengaku sebagai pembimbing ruhani tetapi tidak pernah mengenyam pendidikan tarekat dan tidak menyadari bahwa keberhasilan muridnya adalah keberhasilannya dan sebaliknya bahwa kegagalan murid adalah kegagalannya.

Para sahabat, kita bukanlah telur burung seperti riwayat diatas, melainkan telur ular, yang bilamana di erami oleh seekor burung, dan kemudian menetas, maka segera akan mematuknya, bukannya berterima kasih karena telah menetaskannya.

Ya Allah bimbinglah kami semua dan ampunilah dosa-dosa kami

Sabtu, 27 April 2013

DUSTA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Berkata jujur ketika merasa takut bahwa hal itu akan mencelakakan, merupakan tindakan yang bermanfaat bagi kemajuan spiritual. Dan berdusta manakala mengira akan menguntungkan, merupakan kerugian bagi perkembangan jiwa. Oleh karenanya kejujuran merupakan tiang penompang segala persoalan, dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan kesufian tercapai. Sebagaimana firman Allah SWT : ‘Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-Nabi, Para shiddiqiin (orang yang menetapi kejujuran), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.’ (QS 004 : 69)

Banyak hadis menyatakan bahwa dusta merupakan maksiat dan tidaksenonohan yang besar. Akibat lain dari kenistaan ini sangat keji dan melebihi dosanya itu sendiri. Jika seseorang sekali saja melakukan dusta dan kemudian terungkap. Ia akan jatuh dimata orang lain dan tak akan mampu memperbaikinya sampai akhir hayatnya, apalagi bila ia lancar berdusta. Belum lagi kerugian-kerugian secara spiritual dan balasan di Yaumil Akhir atas perbuatan dusta ini. Dikatakan oleh cucu-cucu Rasulullah,saw., bahwa dusta lebih buruk dari minuman keras dan melebihi riba dalam hal kejahatannya serta kehancuran bagi iman. Imam Ali Bin Musa Al Ridha,ra., putra dari Imam Musa Al Kazhim,ra., akhli silsilah dari Tarekat Qodiriyah berkata bahwa Rasulullah,saw., ditanya : ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi pengecut dan penakut?’ Beliau menjawab : ‘Ya.’ Kemudian mereka bertanya : ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi kikir?’ Beliau menjawab : ‘Ya.’ ‘Dapatkah dia menjadi pendusta?’ Beliau menjawab : ‘Tidak.’ Hadist ini sangat jelas untuk mengukur diri kita sendiri apakah gelar seorang mukmin berada ditangan kita.

Seorang syaikh yang mendapat gelar sebagai Lentera Dehli dari tarekat Chistiyah menulis sebuah kisah yang sangat menarik. Intinya adalah bahwa sesungguhnya manusia itu selalu mencari cara dan pembenaran atas sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya. Untuk mempertahankan ketergantungan qolbu manusia terhadap dirinya, dibuatnya sebuah ‘alasan’ agar tindakannya itu tidak tercela sama sekali, padahal ‘asalan’ yang dibuatnya itu adalah sebuah dusta. Karena khawatir populeritasnya diantara manusia akan lenyap. Dan ia senang bila jasanya kepada manusia dapat dilihat dan dibicarakan. Meskipun cara-caranya secara komersial dapat diterima, akan tetapi secara moral merupakan tindakan yang tercela.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengingatkan murid-muridnya agar janji, sumpah dan nazarnya dapat ditunaikan. Karena banyak murid agar dilihat sebagai murid yang baik mudah melantunkan sebuah janji atau nazar. Begitu hajatnya terpenuni, janji dan nazarnya tidak ditunaikan, mencari-cari alasan sebagimana kisah yang akan disampaikan dibawah ini. Dusta memang sebuah dosa yang sangat sulit dihindari, pesan pertama Rasulullah,saw., kepada sayyidina Ali,ra., adalah hal ini juga, yakni jangan berdusta. Karena sulitnya untuk tidak berdusta, Rasulullah,saw., lantas berdoa : ‘Ya Allah tolonglah dia.’

Suatu ketika seorang murid bertanya kepada Imam Junaid,ra., perihal apakah mungkin seorang ulama itu berzinah? Beliau tertunduk lama dan menjawab : ‘Hal itu adalah kehendak Allah SWT, akan tetapi seorang ulama tidak mungkin berdusta.’ Sebagaimana Al Qur’an mengatakan bahwa orang yang takut kepada Tuhan adalah para ulama, oleh sebab itu mustahil bagi seorang ulama melakukan dusta, meskipun niatnya baik.

Kisah yang masyhur itu mengatakan suatu saat ada seorang lelaki yang sedang gelisah, ia bersumpah bahwa jika masalah-masalahnya teratasi maka ia akan menjual rumahnya dan memberikan semua hasil penjualannya kepada fakir miskin.

Ketika semua masalahnya sudah selesai, ia menyadari bahwa sudah saatnya untuk menepati sumpahnya tersebut. Tetapi, hatinya menjadi galau, ia tak ingin menyumbangkan begitu banyak uang. Akalnya segera bekerja mencari jalan keluar dan mendapatkan cara yang jitu, yaitu rumah itu dijualnya seharga satu keping perak dengan syarat, pembeli harus membeli rumah itu beserta seekor kucing. Harga yang diajukannya untuk kucing itu adalah sepuluh ribu keping perak.

Seorang tuan membeli rumah dan kucing itu. Lelaki itu memberikan sekeping perak kepada orang miskin, dan mengantongi sepuluh ribu keping perak itu bagi dirinya sendiri.

Banyak orang memiliki pikiran yang seperti ini. Mereka berketetapan hati untuk mengamalkan suatu ajaran, tetapi mereka menafsirkan ajaran itu sesuai dengan keuntungan diri mereka sendiri. Selama mereka belum mengatasi kecendurungan tersebut dengan cara khusus, mereka tidak dapat belajar sesuatupun.

Kita lebih keji dari riwayat diatas, karena lancarnya berdusta sehingga rasa penyesalan setelah melakukannya tidak lagi singgah didalam dada ini. Jika demikian, adakah taubatnya? Karena syarat daripada taubat adalah daya sesal atau disebut sebagai nadam, sebagaimana sabda Rasulullah,saw., bahwa taubat itu adalah penyesalan (nadam).

Ya Allah tolonglah kami.

KETIKA ILMU SIRNA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,ra., mengatakan : ‘Telah menceritakan kepada kami Abul Mughirah telah menceritakan kepada kami Al Auza'i telah mengabarkan kepadaku Abdah bin Abi Lubabah dari Abdullah bin Umar dia berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memegang sebagian badanku lalu beliau bersabda: "Beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jadilah kamu di dunia ini seolah-seolah seperti orang asing, atau seorang musafir yang kehabisan bekal."

Berkenaan dengan hadist diatas, Syaikh Dzun Nun al Misri,ra., mengisahkan bahwa suatu hari nanti orang yang berpegang kepada tali agama akan dikatakan gila oleh kelompok modern yang bertuhankan dirinya sendiri. Sudah sejak lama Nabiyullah Khidir,as., guru dari Nabiyullah Musa,as., memberi peringatan kepada manusia dengan mengatakan bahwa pada hari tertentu nanti, semua air di bumi yang tidak disimpan secara khusus, akan lenyap. Sebagai gantinya, akan ada air baru yang membuat manusia yang meminumnya menjadi gila. Hanya ada satu orang yang memperhatikan nubuat tersebut. Ia menimba air dan menyimpannya di tempat aman, dan menunggu air berubah sesuai ucapan Guru Musa.as.

Pada hari yang ditentukan itu, sungai-sungai berhenti mengalir, sumur-sumur mengering. Orang yang mengindahkan peringatan itu, melihat penggenapannya, pergi ke tempat di mana ia menyimpan air dan minum dari sana.

Ketika dilihatnya dari tempatnya berada bahwa air terjun kembali mencurahkan air, orang ini pun kembali bergabung dengan orang-orang lain. Ia mendapati semua orang kini berpikir dan berbicara dengan cara yang sama sekali lain dari sebelumnya; dan mereka tidak ingat sesuatu hal pun, termasuk bahwa mereka telah diperingatkan sebelumnya. Ketika orang itu mencoba berbincang dengan mereka, ia sadar bahwa mereka pikir ia gila, dan mereka menunjukkan rasa benci dan kasihan, bukannya pengertian.

Semula orang itu tidak mau minum air yang baru. Setiap kali merasa haus, ia kembali ke tempat penyimpanannya dan minum airnya. Namun akhirnya, ia memutuskan untuk minum air yang baru karena tidak tahan menanggung kesepian hidup, berperilaku dan berpikir secara berbeda dari semua orang. Ia minum air yang baru itu, dan ia pun jadi sama dengan yang lain. Kemudian, ia lupa pernah mempunyai simpanan air khusus, dan sesamanya mulai menganggapnya secara ajaib telah waras dari sakit gila.

Pesan moral dari riwayat diatas adalah bahwa sungguh sangat sulit mempertahankan prinsip-prinsip agama dizaman yang seperti ini, tanpa hidayah, taufik dan inayah-Nya manusia akan minum air yang baru, atau pengetahuan yang modern, karena malu dikatakan asing atau ketinggalan zaman.

Ya Allah ampunilah kami semua ..................

Selasa, 12 Maret 2013

TONGKAT KESADARAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Ada yang mengatakan bahwa ajaran agama bagaikan tongkat. Karena fungsi tongkat bagi orang buta adalah penunjuk jalan. Sebuah tongkat di tangan Nabiyullah Musa,as., menjadi sangat dinamis, bisa menghancurkan ego, melembutkan dan membangkitkan kesadaran. Tetapi jika dipegang oleh para ahli sihir Fir'aun terjadilah kekacauan.

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) dengan kebesaran jiwanya selalu menganggap para muridnya sebagai sahabat. Tetapi, para murid sering kali menyalah artikannya. Baru belajar sedikit, sudah mau berlari sebagaimana sang Syaikh. Mereka tidak sadar bahwa sang Syaikh justru tengah melangkah lamban, agar sang murid mampu memperhatikan dan menarik pelajaran darinya. Meskipun seorang murid sudah belajar di negeri Arab, hafal Al Qur’an, hidup dalam pesantren, keturunan ulama, dihadapan seorang Syaikh sama artinya seperti bayi yang baru lahir, seperti orang yang mati yang merasa hidup. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang muridnya : 'Para ulama Banten mengatakan sekiranya seseorang sudah banyak membaca kitab yang bernuansa Islami, hafal Al Qur'an dan Hadis, namun adab dihadapan Syaikhnya tidak baik, maka dia belum bertarekat, belum bertasawuf.'

Hadrat Maulana Jalalludin Rumi,ra., mengisahkan ada seorang sahabat Nabiyullah Isa,as., melihat tumpukan tulang. Dalam ketidak sadarannya, dia memohon kepada Sang Nabi,as., agar memberitahu cara untuk menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Nabi Isa,as., bersabda, ‘Untuk melakukan itu dibutuhkan jiwa yang bersih, lebih jernih daripada air hujan. Dan untuk membersihkan jiwa, untuk menjernihkan hati, dibutuhkan sekian banyak masa kehidupan. Kalaupun engkau memperoleh tongkat Nabi Musa,as., belum tentu engkau juga memperoleh kesadaran seorang Musa.' Sang murid bersikeras, ‘Kalau begitu, engkau saja yang menghidupkan kembali manusia ini.’

Sang murid tidak menyadari bahwa dirinya sakit dan tidak menyadari penyakitnya, bagaimana bisa ia menghidupkan orang yang sudah mati, sedangkan mnghidupkan dirinya saja tidak bisa. Dia tidak sadar kalau jiwanya sudah sekarat. Yang dia perhatikan malah tengkorak orang lain. Berarti, yang tidak sadar selalu mengurusi ketidaksadaran. Sebaliknya, yang sadar akan selalu mengurusi kesadaran. Yang bijak akan selalu mengurusi kebijakan. Yang baik akan selalu mengurusi kebaikan.

Karena didesak terus oleh muridnya, Nabi Isa,as., mengucapkan Asma Allah, ternyata tumpukan tulang itu bukanlah milik manusia, tetapi milik seekor singa yang buas. Begitu hidup kembali, dia menerjang si murid dan mencakarnya sampai tewas. Nabi Isa,as., menegur sang singa : ‘Mengapa engkau harus membunuh dia?' Sang singa menjawab : ‘Supaya yang mendengar tentang kejadian ini mengambil hikmahnya. Berada begitu dekat dengan Sumber Air Kehidupan Yang Jernih, malah masih saja mau bermain-main dengan air kotor. 'Allah ... Allah ... Allah' dia ucapkan dengan mulut, padahal jiwanya masih kafir. Jiwanya masih belum beriman! Nama Allah pun dia ucapkan untuk memperoleh imbalan untuk mendapatkan keuntungan duniawi, untuk mendapatkan ketenaran. Seperti seekor keledai yang mengangkat Al-Quran. Ada kitab suci di atas punggungnya, tetapi dia tidak mengetahui nilainya. Bagi dia Al-Qur'an atau beban lain sama saja. Dia mengangkatnya demi perut.’

Hadrat Maulana,ra., mengajak kita untuk bercermin diri, Jangan-jangan hubungan kita dengan sang guru selama ini tidak lebih baik daripada murid Nabi Isa.as., tadi. Jangan-jangan agama kita tak lebih dari sekadar alat dagangan, atau alat untuk memperoleh sanjungan dan kepopuleran. Jangan-jangan kita adalah para penyihir Fir’aun yang salah memegang tongkat.

Senin, 11 Maret 2013

ADAB

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Semua mengetahui bahwa tidak dibenarkan membaca surat yang panjang manakala menjadi Imam shalat, Rasulullah,saw., menyebutnya sebagai fitnah, karena jamaah yang shalat berbeda-beda kemampuan dan usianya. Para orang tua tidak mampu lagi berdiri berlama-lama, maka bila bacaannya terlalu panjang akan mengakibatkan keluh kesah dalam hatinya bukannya dzikir, oleh sebab itu disebut sebagai ‘fitnah’. jika pedang ilmu berada ditangan penjahat lebih berbahaya daripada pemabuk yang bersenjata. Orang jahat akan menyalahgunakan tahta. Terhadap merekalah perang suci diwajibkan untuk melucuti senjata mereka. Kita adalah penjahat yang sedang diperangi oleh seorang mursyid guna melucuti semua sifat-sifat jahat yang berada dalam diri kita.

Juga masyarakat Islam mengetahui bahwa ada sebuah riwayat yang mengatakan tidaklah dibolehkan meninggikan suara disaat ada Rasulullah,saw. Ini sama artinya menyalakan obor disiang hari bolong. Kita bisa membayangkan, jika mengeraskan suara saja tidak boleh apalagi berdoa dihadapan yang mulia Rasulullah,saw.

Dalam adab tarekat dikatakan dilarang duduk diatas sajadah dihadapan guru. Hal ini bermakna bahwa sajadah merupakan alas suci untuk melakukan peribadatan. Sajadah digunakan hanya untuk melakukan shalat, wiridan, membaca Al Qur’an atau bisa disebut sebagai tindak peribadatan bukan yang lain. Jika demikian guru adalah sejuta sajadah bagi sang murid, oleh sebab itu murid harus segera melipat sajadah dzahiran dan menggelar sajadah batinannya. Membuang jauh-jauh ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan mempersiapkan cawan kosong guna menerima air kehidupan dari seorang syaikh. Dikatakan bahwa tidak mengaminkan doa seorang syaikh atau waliyullah maka robohlah keimanannya. Oleh karenanya, jangan pernah meninggikan suara dihadapan syaikh, apalagi melantunkan doa-doa dihadapannya.

Jika Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengenakan topi merah, maka sang murid jangan sekali-kali memakainya. juga jika beliau memakai jubah jangan pernah sang murid memakainya juga. Sebagai tanda kepatuhan seorang murid, sebagai simbol bahwa sang murid adalah gelas kosong adalah dengan memakai topi hijau dan memakai gamis yang sederhana, bukan sama seperti guru. Sebuah riwayat mengatakan bahwa disaat Rasulullah,saw., dan Abu Bakar,ra., memasuki Madinah dan agar masyarakat segera mengetahui yang mana Rasulullah, maka segera Abu Bakar,ra., menanggalkan sesuatu yang dipakainya. Orang yang meniru-niru prilaku seorang syaikh, disindir oleh Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,ra., seperti burung beo yang botak lantaran menumpahkan minyak wangi milik tuannya, lalu tuannya menamparnya hingga botak. ia berhenti bicara sampai tuannya menduga karena shock. suatu ketika seorang sufi botak lewat ddidepan burung beo itu, tiba-tiba sang burung berkata kepada sang sufi : 'Wahai sufi, apakah engkau botak lantaran menumpahkan minyak wangi?' Sang sufi menjawab : 'Tidaklah sama orang-orang yang memakai pakaian ala sufi dengan seorang sufi, tidaklah sama bicaranya orang-orang yang mencontoh sufi dengan sufi, dan tidaklah sama doa orang yang mengaku sufi dengan seorang sufi.'

Tugas seorang murid adalah mengikat semua sifat hewaniyah, syaithoniyah dan jiwa rendah lainnya, agar cahaya ketawadhuan memancar dan mengejewantah dalam tindakan.

KEBIJAKSANAAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Cara-cara yang hebat telah dilakukan oleh para waliyullah di tanah jawa untuk menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Syaikh Maulana Malik Ibrahim,ra., atau disebut Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy mendakwahkan Islam di Jawa dengan mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Begitu juga dengan Sunan Bonang putra Sunan Ampel, banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ajarannya berintikan pada ‘Cinta’, persis sebagaimana yang diajarkan oleh Hadrat Jalalludin Rumi.ra. Agar cepat mengenai sasarannya, disampaikan melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Karya sastra berupa tembang tamsil (suluk), salah satunya adalah "Suluk Wijil". Banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Syaikh. Ibnu Arabi,ra., Syaikh. Fariduddin Attar,ra., Hadrat Maulana Jalalludin Rumi,ra., serta Hamzah Fansuri.ra. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental. Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. jelas sekali bahwa ajarannya adalah tentang konsep penyucian diri atau tasawuf. lima 'tombo ati' atau obat hati adalah membaca Al Qur'an dan maknanya, sholat malam, berkumpul dengan orang sholeh, puasa dan dzikir pada malam hari yang banyak. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbat (peneguhan).

Kebijaksanaan yang demikian dilakukan tentunya dengan kajian dan penglihatan spiritual yang begitu tajam. Karena budaya merupakan himpunan daripada adab-adab yang terpuji, oleh karenanya memang sangat tepat menyisipkan ajaran agama Islam didalam budaya yang saat itu sedang digandrungi oleh masyarakat. Meskipun bila di abad sekarang dilakukan akan banyak ulama zhahiran yang mengatakan bid’ah.

Di Bukhara dan Samarkand, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menerima beberapa kitab dan sejarah atau biografi atau manaqib para waliyullah yang berada disana dalam bahasa Rusia bukan bahasa Arab, meskipun kandungannya berisi inti ajaran agama Islam. Karena saat itu Uzbekistan belum lama lepas dari kekuasaan Uni Sovyet. Tujuannya jelas agar mudah dimengerti oleh masyarakatnya.

Di tanah jawa, para ulama menyampaikan pengetahuan agama dengan bahasa yang dimengerti oleh masayarakat, dan tidak melulu menggunakan bahasa Arab. Di zaman kini terbalik, suka atau tidak yang disampaikan dalam bahasa Arab, agar dianggap sebagai santri atau jebolan pesantren. Biografi Tuan Syaikh Abdul Qodir Al Jailani,qs, yang lahir di Iran dan hijrah ke Irak juga dibacakan dalam bahasa Arab. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menangkap keluhan para tamu yang hadir dalam acara Mawlid dengan mengatakan bahwa : ‘Mengerti atau tidak mengerti, mendengarkan manaqiban Sayyid Abdul Qodir Al Jailani,qs., dalam bahasa Arab akan mendapatkan fadhilah yang besar, akan berpahala yang besar.’
Orang yang mengikat egonya, akan memperoleh kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan menghasilkan keakraban dan penghurmatan. Sebaliknya orang yang mengedepankan egonya akan menutup kebijaksanaan, yang akan menghasilkan fitnah-fitnah. Belajar dari Sunan Gresik,ra., dan Sunan Bonang,ra., sungguh nyata bahwa dalam dakwah harus secara sederhana dan mengenai sasaran, oleh sebab itu agar masyarakat dapat memahami pengetahuan agama secara cepat, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah yang dapat dimengerti oleh masayarakat dan bukan dalam bahasa Arab, bahkan melalui perantara peleburan budaya, agar tujuan utamanya tercapai, yaitu mengakui bahwa tiada tuhan yang disembah kecuali Allah ‘Laa Ilaaha Illallaah.’

Peringatan Mawlid mempunyai makna yang begitu tinggi di hati masyarakat Tarekat. Ada yang memperingatinya secara sendiri-sendiri dan ada juga yang berkelompok. Masing-masing mempunyai cara yang berbeda-beda. Ada yang bangun malam lalu mendendangkan shalawat, ada yang berkelompok membaca syair-syair pujian dalam bentuk prosa. Pembacaan asrokol dirancang sedemikian rupa indahnya, waktu berdiripun singkat tetapi tidak mengurangi sedikitpun rasa hurmat kepada Nabi,saw. Di Sekolah Dasar melombakan seni tari dan membaca syair, para guru membacakan biografi Nabi Muhammad,saw. Caranya berbeda-beda tetapi tujuannya sama, menyambut hari datangnya cahaya keatas bumi ini. Konsumsi Sekolah Dasar berbeda dengan konsumsi Perguruan Tinggi, dibutuhkan kebijaksanaan agar tujuannya mengenai sasaran secara tepat.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bertanya kepada salah seorang muridnya selepas perayaan Mawlid : ‘Mengapa tidak membaca Asma ul-Husna dengan Jalla Jalaaluhu dan mengapa tidak membaca Silsilah Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah serta mengapa sebelum dzikir bersama acara sudah ditutup? Padahal hukumnya wajib bagi tarekat kita.’ Kebijaksanaan perlu dikedepankan, tidaklah tepat bila anak-anak Sekolah Dasar disuguhi menu makanan Perguruan Tinggi. Tidaklah bijaksana membawa-bawa ego didepan guru, kita semua adalah ‘menerima’ dari guru bukan ‘memberi’, satu-satunya yang boleh diberikan kepada guru adalah patuh lantaran hurmat, karena kepatuhan dan kehurmatan adalah dua tiang penopang cinta.

Semoga menjadikan renungan bersama.

Selasa, 05 Maret 2013

FAQIR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT mewahyukan kepada Nabiyullah Musa,as., : ‘Maukah engkau memperoleh pahala amal kebajikan yang setara dengan pahala seluruh umat manusia di Hari Kiamat?’ Nabi Musa,as., menjawab : ‘Ya.’ Allah SWT berfirman : ‘Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah bahwa orang-orang miskin punya pakaian.’

Hubungan antara sakit dan miskin nyaris sama derajatnya, karena disebut berdampingan dalam wahyu diatas. Didalamnya terdapat kualitas amal yang begitu tinggi, yang setara dengan pahala seluruh umat manusia. Sakit dan miskin mengantarkan manusia kedalam kesempurnaan tauhid, bentuknya sebuah paksaan agar manusia ingat kepada penciptanya dan maknanya adalah sebuah karunia yang besar. Dalam sakit, setelah berupaya dengan obat-obatan, terapi dan diet tetapi tak kunjung sembuh, maka hatinya secara perlahan akan bergerak kepada pelepasan harapannya kepada sarana-sarana tadi menuju kepada harapan kesembuhannya kepada Allah SWT saja. Begitu pula dalam derita kemiskinan harta benda, setelah berhenti dari harapannya kepada makhluk untuk memperoleh bantuan sandang dan pangan, maka harapannya tertuju hanya kepada Allah SWT saja. Oleh sebab itu, baik sakit maupun miskin mempunyai derajat yang tinggi menjadikan manusia merasa butuh Allah SWT saja. Kedua keadaan ini sebagai pembuktian bahwa Allah itu satu-satunya tempat bergantung, sebagaimana dikatakan dalam surat Al Ikhlas. Pantas saja bila Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang muridnya yang dalam keadaan sakit ketika melaksanakan ibadah haji bahwa Allah sedang membersihkannya dari noda-noda dosa.

Jika segala ciptaan menunyai bentuk dan makna, maka makna faqir dapat dikatakan sebagai perasaan hanya membutuhkan Allah saja, dan bentuk faqir adalah kemiskinan atau tidak mempunyai harta benda. Oleh karenanya, istilah ‘faqir miskin’ adalah sebuah penekanan bahwa meskipun tidak mempunyai harta benda tetapi tidak meminta-minta kepada makhluk melainkan hanya kepada Allah SWT saja. Sebagaimana orang sakit yang berhenti meminta kesembuhan dari dokter, kecuali hanya membutuhkan pertolongan Allah saja. Keduanya bergantung kepada Allah, meskipun mempunyai tanda yang berbeda, yang pertama derita karena kekurangan harta benda yang kedua derita karena sakit.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Kita adalah golongan orang yang faqir, tetapi bukan faqir kepada Allah SWT melainkan faqir terhadap dunia.’ Karena faqir adalah sebuah maqom yang tinggi, didalamnya ada sabar, qinaah dan keridhaan. Pantas saja jika Imam Hujwiri menempatkan bab faqir pada kitabnya yang masyhur itu, ‘Kasyful Mahjub’ setelah ilmu. Seorang salik berkata kepada salik yang lain, bahwa pengajian tarekat kita sudah lebih dari dua puluh tahun, tetapi ada kejadian yang menyentuh hati, dan bukan sekali saja terjadi, melainkan terjadi beberapa kali, yakni, jika seorang sahabat yang miskin jatuh sakit lalu beberapa hari kemudian wafat, sedikit sekali sahabat yang menjenguknya, padahal orang tersebut adalah sahabat senior dalam pengajian. Tetapi begitu ada keluarga dari sahabat yang kaya harta benda sakit lalu wafat, hampir seluruh sahabat pengajian hadir. Padahal Rasulullah,saw., bersabda : ‘Orang yang merendahkan diri dihadapan orang kaya dikarenakan kekayaanya, berarti dia telah kehilangan dua pertiga agamanya.’ Mengapa dua pertiga? Karena, orang yang merendahkan dirinya bisa dengan ucapan atau lidahnya lantaran nafs-nya meskipun hatinya melarangnya, oleh sebab itu dikatakan dua pertiga, tetapi jika hatinya juga menyetujuinya maka akan kehilangan seluruh agamanya. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum faqir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah SWT pada Hari Kebangkitan.’

Suatu ketika seorang salik sedang shalat Jum’at di salah satu Masjid di Sentul City, Bogor. Sang Khatib berkata : ‘Seorang sufi itu haruslah kaya harta benda, sehingga ia bisa berbagi kepada orang yang membutuhkan, jika seorang sufi itu miskin, maka ada unsur keterpaksaan dalam menjadi sufi.’ Setelah turun dari mimbar, ia melihat Syaikhuna (semoga Allah merahamatinya) sedang duduk dibarisan depan, sontak ia berkata : ‘Nah, kalau ini sufi beneran!’ Riwayat ini shahih, dan sungguh mengerikan, bagaimana seorang ulama yang kondang bisa berkata seperti itu, padahal ia tidak pernah hidup dalam dunia kesufian dan belum pernah merasakan menjadi sufi. Pendapatnya meleset dan jauh dari kebenaran. Karena sufi adalah orang-orang yang telah sampai kepada Allah SWT. Sedangkan orang-orang yang dalam perjalanan menuju tuhan adalah orang-orang yang bertasawuf atau dalam istilah kesufian disebut muthasowif. Sesungguhnya tidak ada kaitannya antara kekayaan dengan kemiskinan dalam menempuh jalan kesufian. Bisa saja orang-orang miskin menjadi sufi, begitu pula orang-orang kaya menjadi sufi, dan sejarah telah membuktikan hal yang demikian, terserah bagaimana Allah SWT memilihnya. Jika untuk menjadi sufi haruslah kaya terlebih dahulu, maka sama saja artinya bahwa sebuah tarekat tidak boleh diikuti oleh orang-orang miskin dan hanya orang-orang kaya yang berada didalamnya, sungguh ironis!

Yang mulia Rasulullah,saw., pernah berdoa : ‘Yaa Allah jadikan aku hidup miskin,dan jadikanlah aku mati miskin dan bangkitkan aku dari kematian ditengah-tengah orang-orang miskin.’

Nah, jika kata ‘miskin’ dalam hadis mulia diatas diartikan sebagai tidak mempunyai harta benda maka tidak seorangpun didunia ini yang mau melantunkan doa itu, karena hampir semua manusia takut menghadapi kemiskinan. ‘Miskin’ yang dimaksud adalah merasa butuh hanya kepada Allah SWT saja, sehingga dalam hidup, mati dan kebangkitan hanya membutuhkan Allah saja. Para syaikh sufi mengatakan bahwa kefaqiran adalah sebuah maqom yang tinggi, melibihi kesucian itu sendiri.