Selasa, 23 Maret 2021

TAUHID

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menjahirkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, jika tidak maka Allah tidak akan bisa dikenal. Nama dan sifat itu abstrak, tidak ada materinya, yang ada materinya adalah Dzat, sedangkan Dzat Allah adalah ghaib mutlak, maka jika bicara Dzat maka tanzih, murni, qudus, artinya tidak ada yang menyentuh dan membayangkannya meskipun khayal, pikiran, paham, apalagi mata jahir, Al Qur’an mengatakan ‘laisa kamislihi syaiun, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan DIA.’ Maka Allah tajjalikan, Allah berikan, Allah jelmakan, Allah wujudkan pada salah satu makhluk-Nya yang paling sempurna. Dan mazhar yang paling sempurna ini, Allah jadikan pola wujud, asal wujud, sehingga semua yang wujud asalnya dari pola ini, dan menjadi ringkasan atau intisari untuk setiap yang ada di alam semesta ini, asal wujud ini adalah sayyidina Muhammad,saw, yang bertugas untuk memberi petunjuk kepada semua makhluk dan menjahirkan Haq, maka disebut sebagai suratul Haq, oleh karenanya manusia adalah ‘suratul Haq’. Oleh karena itu apapun yang manusia jahirkan atau munculkan dari tubuh ini, adalah Allah yang menjahirkan, dan sebetulnya yang dijahirkan itu adalah sifat dan asma-Nya. Maka oleh sebab itu ada hadist yang mengatakan : ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu, siapa yang mengerti bahwa dirinya adalah mazhar Allah maka dia mengenal Allah.’ Jika sifat dan nama abstrak serta wujud adalah ghaib mutlak atau dalam dunia tasawuf disebut tanzih, lalu dimana dan bagaimana manusia bisa melihat Allah? Sesungguhnya tidak ada pesaing untuk dapat melihat Allah kecuali pada dirinya sendiri, artinya manusia diperintah untuk melihat Allah pada semua nasib dan takdir masing-masing. Ilustrasinya seperti projector, bahwa bayangan yang muncul di layar, adalah bentangan yang menyambung ke projector, bahwa manusia hanyalah bayangan yang dibentangkan dari zaman azali. Oleh karenanya untuk melihat kesempurnaan Allah, maka lihatlah asal wujud yaitu baginda Rasulullah saw, maka ketika ditanya akhlaknya Nabi,saw adalah khuluquhul Qur'an, seolah-olah khuluquhu Allah, maka orang sufi punya ibaroh, ‘berakhlaklah dengan akhlak Allah, bersifatlah dengan sifat Allah,’ ini maksudnya berakhlak dengan akhlak yang mulia, dan akhlak mulia itu berasal dari Allah seperti sabar, syukur, tawakal, ridho dan lain sebagainya, sebagaimana dalam Al Qur’an dikatakan ‘radiallahu anhum’ Allah ridho kepadanya berarti Allah mempunyai sifat ridha dan warodhuan baru orang bisa ridha kepada Allah, yang demikian itu untuk orang yang hatinya takut (khosyiah) kepada Tuhanya. Maksudnya tak seorangpun mampu ridho kecuali bila sifat ridho Allah ditajjalikan kepada orang itu.

Baginda Nabi Muhammad,saw itu sebagai perantara rangkaian tali, bayangan azali yang dibentangkan, maka manusia menyembah Allah mesti seperti Rasulullah saw, menjalankan perintah Allah mesti seperti Rasulullah saw secara syariat dzahir maupun batin. Sehingga apa yang baginda Nabi Muhammad, saw katakan dan lakukan mesti mengungkapkan tentang Keagungan dan Keindahan Allah, oleh sebab itu orang yang mengikutinya, akan dapat pula menyaksikan keagungan Allah, karena memperoleh waris ruhani. Sahabat Bilal,ra, seorang budak berkata ‘Ahad … Ahad … Ahad’ saat disiksa bukan Muhammad … Muhammad … Muhammad, meskipun cintanya kepada baginda Nabi,saw sangat dalam. Karena tarbiyah yang dilakukan oleh sayyidina Muhammad,saw, benar dan menunjukkan bahwa dirinya sebagai wasithoh, sehingga sahabat-sahabatnya menerima kebenaran dengan benar, persis seperti makna pada shalawat Fatih.

Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.

HAMBA - MERDEKA

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Tidak ada sesuatu apapun yang dapat memimpin, membimbing atau bahkan menyeret manusia sebagaimana yang dilakukan oleh angan-angan kosong (wahm). Inilah yang membuat manusia tidak pernah merasa puas atau menjadi tamak. Maksudnya begini selain Allah itu wahm, manusia ini hakekatnya jelmaan Sifat dan Asma Allah atau shurotul Haq, apabila manusia melakukan sesuatu bukan untuk Allah, berarti memandang ada selain Allah, padahal itu wahm, itu penyakit. Mengapa bisa demikian, karena di dadanya, di hatinya belum ada hakikat yang masuk ke dalamnya, yang berupa anwar, asror, maqomat, akhlak, atau apalah namanya, jadi tidak punya alat untuk melihat hakikat, maka yang dia lihat itu dianggap semuanya ada, padahal tidak ada. Persis seperti yang disabdakan oleh baginda sayidina Muhammad,saw, bahwa ‘'Annaasu niyamun fa'idza matu intabahu, sesungguhnya semua manusia ini tidur dan ketika mati baru bangun.” Maka jangan heran manakala ada seorang sufi yang mengatakan bahwa istrimu wahm, anakmu wahm, engkau berbuat untuk istri berarti untuk wahm, seharusnya untuk Tuhannya istri, untuk Tuhannya anak, untuk Tuhannya suami, barulah tidak wahm. Tipis sekali perbedaannya, hanya perlu memindahkan kecondongan hati, atau dalam istilah tasawuf dikatakan sebagai tawajjuh atau mudhoha. Apabila seseorang memiliki atau mempunyai hakikat di dalam dirinya, barulah condongnya hati ke hakikat dan bukan wahm. Apabila manusia mempunyai sifat-sifat mulia, anwar, tawakal, wara, kemudian qonaah, maka hilang sifat tamak, karena dia tawakal kepada hakikat, menerima apa yang diberikan oleh Pencipta. Maka gugur dihatinya hubungan kepada makhluk dan tidak kepada rezeki melainkan kepada Ar-Rozak, sehingga dikatakan orang yang ragu akan rezekinya berarti dia ragu kepada yang Maha Memberi Rizky.

Ironis, manusia mengejar sesuatu yang dianggap besar padahal hakitkatnya tidak ada atau wahm, lalu berputus asa pula disaat tidak memperolehnya. Maka manusia yang seperti ini disebut sebagai hamba wahm. Oleh karenanya untuk bisa sebagai manusia yang merdeka dan bukan hamba sahaya putuskan harapan dari angan-angan atau lepaskan harapan dari yang tidak ada. Dimasa perang, orang munafik menggoda istri-istri sahabat Rasulullah,saw, dengan mengatakan ‘Bagaimana bisa engkau membiarkan suamimu ikut perang, jika engkau menjadi janda siapa yang akan memberimu makan dan anak-anakmu?’ Dijawab : ‘Benar mereka yang memberiku makan, tetapi Allah yang memberi rizky.’ Orang yang merdeka dari segala sesuatu selain Allah, akan merasa ada dan tak ada sama saja, oleh sebab itu apabila orang tamak kepada sesuatu berarti dia hamba sesuatu itu, jika dia putus asa dari sesuatu itu berarti dia merdeka. Nah, kita ini sebetulnya hamba siapa dan merdeka dari siapa? Jika berharap kepada selain Allah dan putus asa dari Allah, berarti kita bukan hamba Allah melainkan hamba wahm, berarti kita selamanya tidur dan tidak pernah bangun, sebagaimana yang dikatakan baginda sayidina Muhammad,saw, : ‘'Annaasu niyamun fa'idza matu intabahu, sesungguhya semua manusia itu tidur, ketika mati baru bangun.”

Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.

Senin, 22 Maret 2021

TAMAK - WARA

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Di dunia tasawuf pengertian tamak bukan saja ditujukan bagi orang yang rakus terhadap harta benda saja, melainkan rakus terhadap keinginan selain Allah, seperti ingin dihormati orang, ingin dipuji orang, ingin dimuliakan orang. Tamak ini sangat berbahaya, karena sifatnya seperti minuman keras (khamr) yang memuaskan jiwa tetapi mematikan hati. Oleh sebab itu Syeikh Ibnu Athoilah,qs, mengatakan bahwa tidak akan tumbuh cabang-cabang kehinaan kecuali diatas benih ketamakan. Sifat-sifat yang hina dan rendah pada diri seseorang adalah akibat dari sebab menanam bibit ketamakan, seperti riyadhah dan mujahadah yang di aku sebagai perbuatannya dan bukan karena Allah, sehingga mereka menuntut kepada Allah akan balasannya. Oleh karena itu, meskipun mereka telah melakukan riyadhah dan mujahadah bertahun-tahun lamanya, yang didapat malah mempertebal hijab bukannya membersihkan noda-noda nafsu (atsaar). Orang yang seperti ini jauh dari ma’rifat tetapi merasa ma’rifat, ini sesat dan menyesatkan. Orang yang hina dan rendah itu bukan direndahkan orang lain, melainkan merasa dirinya hebat dan ingin menjadi panutan dan selalu ingin dimuliakan orang. Persis seperti seorang peminta-minta yang minta mulia karena dia tidak punya mulia. Padahal ahli hakikat memandang hidup ini sudah selesai, sudah jadi, sudah siap, lengkap dengan sebab akibatnya, semua telah ditetapkan di zaman azali oleh-Nya dan tertulis rapi di Lauhil Mahfudz, lalu bagaimana bisa manusia mengaku peribadatan itu atas upayanya? Seharusnya merasa malu mengakui sesuatu yang bukan miliknya. Itulah mengapa keinginan selain Allah dalam melakukan peribadatan disebut tamak.

Akal selalu membisikkan kedalam jiwa bahwa peribadatan ini atas jerih payahnya atas upayanya. Demikianlah sifat akal manakala ia sebagai penasihat jiwa atau nafsu, berbeda manakala ia sebagai penasihat ruhani. Itu sebab akal hanya meletakkan kaidah berdasarkan kebanyakan, kesamaan lalu disusun kaidah untuk menilai sesuatu. Dalam hal ini syeikh sufi mengatakan bahwasanya tajalli Allah itu berbeda setiap saat, bagi satu orang dan antara satu dengan lainnya, semata-mata hanya untuk menunjukkan kekuasaan mutlak itu ditangan Allah. Sehingga sangat penting memeriksa diri ini pada setiap melakukan ibadah sosial atau amal baik apapun, masih adakah keinginan selain hanya menjalankan perintah karena Allah? Maka sebesar mana dalamnya benih ketamakan itu, maka sebesar itu pula kerendahan amal itu. Bahkan seseorang yang keadaan ruhaninya tinggi mengatakan bahwa beribadah karena surga pun masih tergolong tamak. Pernyataan ini bernada pendidikan atau meletakkan istilah-istilah tarbiyah guna memurnikan tauhid kepada Allah. Seolah-olah janganlah engkau menanam benih di dalam hatimu keinginan selain Allah, karena jika di dalam hatimu ada tamak, maka yang keluar yang tumbuh itu mesti kehinaan.

Orang yang tamak kepada dunia pasti tidak wara, orang wara adalah orang yang apik, bersih, tidak ada keinginan apapun selain Allah. Orang yang mempunyai ilmu disebut alim, akan tetapi tidak sedikit orang yang alim tidak wara, inipun masih disebut tamak. Maka apabila seseorang itu alim dan sekaligus wara maka yang tampak adalah kebijaksanaan, semua yang dikatakan dan dilakukannya penuh hikmah yang menunjukkan Kebesaran dan Kasih Sayang Allah SWT. Sedangkan ciri-ciri orang yang hanya mempunyai ilmu saja tanpa wara, adalah dia akan selalu memaksakan orang lain menurut pikirannya, pahamnya dan apa yang diamalkannya. Sedangkan ciri-ciri orang yang bijaksana adalah, dia menyuruh orang berdasarkan kemampuan dan karakter orang itu sendiri dan tidak memaksakan di atas kehendaknya.

Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.

Jumat, 12 Maret 2021

WAKTU

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Yang mulia baginda Nabi Muhammad,saw pernah mengatakan ‘li waqtun, Saya punya waktu’, apa maksud waktu itu? Waktu menurut dunia tasawuf adalah durasi hidup yang paling kecil, tempo, atau ajal. Seperti dalam film, setiap gambar yang muncul dilayar adalah satu potong klise yang muncul lalu hilang dan muncul lagi, begitu dicepatkan maka tidak terasa jedanya, maka jadilah sebuah cerita film yang bersambung hingga film selesai. Nah, sesungguhnya durasi hidup manusia hanya satu klise saja atau satu ajal, persis seperti maklumat manusia yang tertulis rapi dan sempurna di lauh mahfudz dari awal hingga akhir (qodho), yang takdirnya dijelmakan menjadi manusia dibumi (qodar) secara sesaat atau tempo persis seperti klise film tadi, untuk membuktikan bahwa manusia itu selalu baru (hudust) dan hanya Allah saja yang Qodim. Al Qur’an mengatakan bahwa: “Maka jika datang waktu kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan mendahulukannya sedetikpun”. Ironisnya, manusia tidak merasa bahwa hidup itu sebentar atau satu tempo atau satu klise film, kecuali apabila mempunyai ma’rifat, maka akan mampu menyaksikannya, karena manusia beradaptasi kepada wujud ini dengan jasmani, jika dengan rohani maka akan merasakan hakikat kehidupan ini, yang sebentar saja dan selalu baru. Oleh sebab itu, orang yang ma’rifat selalu ingat mati, rasanya kematian itu ada di kelopak matanya, seperti gambar di layar takut berhenti tidak ada klise berikutnya. Baginda Nabi Muhammad,saw, bersabda : ‘li waqtun, saya punya waktu’ artinya saya punya durasi kehidupan yang paling kecil, tidak ada yang dapat meliputi diwaktu itu seperti meliputi aku, siapapun tidak punya, baik itu malaikat yang muqorrob. Mengenai muqorrob ini ada salah satu syarah daripada Syeikh Abdul Ghoni an Nabulsi,qs, bahwa makna malak muqurrob adalah wali, malak itu sebutan bagi orang yang mempunyai sifat malaiki, akhlak mulia, karena dijaman Rasulullah,saw, ada orang sholeh yang memiliki sifat malaikat. Siapapun selain aku sabda baginda Nabi Muhammad,saw, jelmaan-Nya atau tajjali-Nya tidak sesempurna aku, sifat mulia yang Allah jelmakan kepadaku adalah yang paling sempurna. Maka kenikmatannya pun dalam menjalani jelmaan-jelmaan-Nya tidak seindah yang dirasakan oleh baginda Rasulullah saw.

Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.

Kamis, 11 Maret 2021

BERJALAN MENUJU ALLAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Ada yang mengatakan bahwa jiwa atau nafsu manusia itu laksana pusat kota artinya sangat sibuk dan banyak pendatang serta hiruk pikuk dan tidak pernah sepi. Terbukti memang, bahwa ketika manusia sedang sendiri namun pikirannya tidak pernah behenti, gambar atau permasalahan kehidupan muncul silih berganti. Jika seorang sufi itu merasa sendiri ditengah keramaian, maka manusia biasa merasa ramai dikesendiriannya. Oleh sebab itu jika tidak dilakukan penertiban maka yang terjadi adalah kekacauan dan kehancuran. Tetapi apakah manusia mempunyai kesadaran akan hal ini? Ironisnya jika tidak ada pusat kota, maka manusia sangat sulit melakukan perjalanan, karena disitulah tersedia berbagai macam sarana untuk memudahkan perjalanannya, begitu pula manusia, berkumpulah berbagai bentuk anggota tubuh (jawarih) yang masing-masing mempunyai keinginan dan bersatu menjadi syahwat, maka jika manusia tidak memiliki nafsu maka mustahil dapat merealisasikan perjalanannya menuju kepada Allah. Itulah mengapa para sufi mengatakan bahwa nafsu itu adalah substansi manusia. Manusia diperintah untuk beribadah atau mengenal Allah atau katakan dalam bahasa tasawufnya berjalan menuju kepada Allah. Disinilah pokok pembahasannya, bahwa yang paling mudah untuk mecapai tujuan yang tidak ada tujuan lagi adalah dengan jalan mengikuti kepada orang yang telah sampai (wushul) kepada-Nya, bahasa tasawufnya disebut sebagai suhbah atau mempunyai guru ruhani untuk berqudwah dengan cara tarbiyah, kepada seorang mursyid yang kamil. Dari wejangan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dapat dipahami bahwa keberhasilan pendidikan ruhani bilamana memenuhi tiga syarat, yang pertama adanya murid yang jujur (siddiq) menginginkan Allah, yang kedua adalah manhaj yang shahih atau motede tarbiyah yang memang sudah teruji kebenarannya dan ketiga adalah adanya guru pembimbing ruhani yang sempurna atau mursyid kamil.

Al Qur’an itu penuh dengan perumpamaan atau mitsal yang sangat tinggi dan mempunyai makna yang berlapis-lapis. Begitu juga dalam dunia tasawuf, mereka mentransformasikan pengalaman ruhaninya atau dzauqiyah kedalam bahasa akal (aqliyah). Oleh sebab itu istilah tentang berjalan menuju Allah berbeda-beda, namun mempunyai makna yang sama. Perjalanan menuju kepada Allah bukanlah perjalanan physical atau bahkan pikiran, karena physical dan pikiran tidak akan pernah pergi ke Allah, jadi yang dimaksud dengan kembali kepada Allah atau berjalan menuju kepada Allah adalah perjalanan yang dilakukan dengan melintasi dan meninggalkan nafsu. Maka ketika Nabi Adam,as diturunkan ke bumi setelah makan buah khuldi, itu sebetulnya bukan dijauhkan justru untuk didekatkan atau disempurnakan. Maka jika tidak ada tubuh, tidak akan ada nafsu dan tidak pernah bisa berjalan menuju kepada Allah, maka dengan adanya nafsu adalah merupakan rahmat. Karena sesungguhnya tidak ada ‘jarak’ antara manusia dengan Allah, sehingga perjalanan menuju Allah adalah perjalanan melintasi, melewati dan melepasi nafsu saja, atau dalam istilah tasawuf dikatakan sebagai mujahadatun nufus atau berperang melawan hawa nafsu, atau ada istilah lain yang mengatakan menghilangkan hawa nafsu, ini adalah istilah-istilah yang dibuat oleh para sufi yang menggambarkan bahwa seolah-olah perjalan ini menempuh jarak yang jauh, padahal dikatakan didalam Al Qur’an bahwa Allah lebih dekat daripadamu dari urat lehermu. Lalu apa yang dimaksud dengan jauh? Itulah hijab! jika ada hijab itu jauh dan jikalau hijab itu dibuka artinya dekat, jadi semakin banyak hijab dibuka maka akan semakin dekat, maka dapat dikatakan bahwa perjalanan menuju kepada Allah itu adalah menyingkap hijab (kasyful hijab), oleh sebab itu dikatakan bahwa perjalanan ini tidak pernah berakhir. Misalnya hijab itu kufur, lalu kufur dibuang dengan masuk Islam, setelah masuk Islam lalu beribadah, maka ibadah pun hijab, manakala ibadahnya bermotifkan imbalan, maka mesti karena Allah, ibadah karena Allah pun hijab mesti ibadah dengan Allah. Apa yang Allah berikan kepada manusia sesungguhnya bukan Allah, meskipun itu ma'rifat, kasyaf dan zuhud. Nah maka yang dimaksud jauh adalah sesuatu yang menghijabi perjalanan, maka perjalanan orang menuju kepada Allah atau thoriq itu adalah jika menyaksikan bahwa apa yang dilakukan adalah anugerah dari Allah SWT. Maka permulaan orang awam merasakan bahwa jika ibadahnya banyak rasanya dekat, dan jika masiat rasanya jauh, jadi jauh dan dekat diukur kepada amal, ini pada permulaan orang beribadah kepada Allah, tetapi setelah itu, jauh adalah apabila beribadah dengan dirinya dan dekat manakala ibadah itu dengan anugerah Allah, dengan sifat yang Allah anugerahkan. Maka berarti perjalanan kepada Allah adalah bagaimana agar menghilangkan nafsu itu. Imam Abdul Ghani an-Nabulsi,qs, mengumpamakan nafsu itu seperti cermin, nafsu itulah yang membuat kita menyaksikan bahwa kita ada.

Maka kesimpulannya ketika seseorang tidak ada nafsu, tidak ada syahwat, maka tidak perlu ada perjalanan kepada Allah, karena perjalanan kepada Allah itulah melepasi, menghapus atsarnya nafsu. Bilamana ibadah karena dirinya, dalam tingkatan yang tinggi itu dosa atau ibadah tidak khusyuk adalah dosa. Imam Abul Hasan As-Syadzili,ra, bermimpi Rasulullah,saw dan bertanya engkau mengatakan orang yang bershalawat kepadamu Allah bershalawat kepada mereka sepuluh kali, apakah itu yang hadir atau yang gofil bacaannya? Rasulullah,saw menjawab yang gofil, lalu ditanya bagaimana jika hudhur? Rasulullah,saw menjawabnya tidak terhitung, tidak ada hisab. Artinya orang yang hudhur adalah orang yang memiliki syuhud, karena dia sudah tidak menghitung perbuatannya yang dikaitkan dengan pahala melainkan seolah-olah melihat Allah yang berbuat semuanya (musyahadah). Jadi kalau manusia mengaku bahwa peribadatan dan perbuatan baiknya karena dirinya, maka Allah akan menghitung mana yang salah dan mana yang benar, yang pasti semuanya salah. Maka jika masih ada nafsu, manusia akan melihat segala sesuatu dia yang berupaya dan membuatnya dan itulah yang perlu ditinggalkan, itulah yang dimakasud 'perjalanan' yang mesti dilepasi menuju kepada Allah SWT, yaitu an nufus. Itu sebab Imam Abu Madyan al-Ghaust,qs, mengatakan ‘orang yang belum membunuh nafsunya belum melihat Haq’, orang juga menganggap bahwa membunuh nafsu itu membunuh kelezatannya, membunuh syahwatnya, bukan, tetapi membunuh ashar-nya, membunuh ketergantungannya, membunuh itimadnya adapun diri atau nafsu tidak dapat dibuang. Di tv ada seorang ulama di Indonesia diwawancarai, pak Kyai kenapa punya istri tiga apakah waktu menikah dengan nafsu? Tidak dijawabnya, karena baginya menjawab dengan mengatakan menikah dengan nafsu itu buruk, maka jika syeikh sufi ditanya apakah dengan nafsu maka akan dijawab kalau tidak dengan nafsu untuk apa dinikahi. Jadi yang dimasud dengan dimatikan nafsu itu, di bunuh nafsu itu, di mujahadah nafsu itu, adalah rasa independent-nya. Oleh karena itu Imam Abdul Qodir al-Jailani,qs, atau Imam Hatim al-Asham,qs, mengatakan bahwa mematikan nafsu ini, melawan nafsu ini, perlu mematikan empat jenis nafsu, maka ada istilah empat kematian, yang pertama disebut ‘mautun ahmar’ mati merah, maka jika seorang syeikh memakai jubah atau topi merah berarti itu sudah mati merah, mati merah ini adalah mukhalafatu nafs, itu sebuah simbolik melawan nafsu, nafsu tidak ingin shalat malam, dzikir, baca Al Qur’an, puasa, maka dia melawannya dengan melakukan itu semua karena dan dengan Allah, yang kedua ‘mautun aswan’ mati hitam, adalah menanggung gangguan manusia, orang tidak suka, orang menghina, orang mencerca maka ditanggung, ditahan dan tidak membalasnya. Dan kemudian mati putih, mati putih inilah puasa makan daging atau makan yang bernyawa, kalau di Jawa Tengah, melakukan semua mati ini disebut mati geni, geni itu api, nafsu, mematikan nafsu itu jika dilakukan semuanya sekaligus biasanya mati geni tiga hari, tidak tidur, tidak makan dan tidak bertemu orang, maka ada istilah puasa mutih yang putih-putih saja yang boleh dimakan, nasi putih, ubi kayu putih, minum air putih dan yang terakhir mati ahbar atau mati hijau memakai baju yang buruk-buruk, tambal-tambal itu juga melawan nafsu, tetapi di Maroko tambal-tambalnya dibuat indah. Tidak semua di dalam tasawuf menyuruh memakai baju tambal-tambal, terutama dalam tarekat syadziliyah tidak menganut mati hijau, bahkan disuruh memakai baju yang mewah-mewah, kesemuanya ini dalam rangka mujahadatun-nufus melawan nafsu. Makanya Nabi,saw menyebut ahli surga itu sifatnya tiga, menyambung silaturahmi kepada orang yang memutusnya, memberi kepada orang yang tidak memberi kepada kita dan memaafkan pada orang yang menyakiti kita, bahkan meminta maaf. Secara fitrah bahwa nafsu ini, tubuh ini mempunyai sifat baik dan buruk bawaan (jibiliyah), maka ketika orang melakukan ibadah dia akan mengakui bahwa dia yang melakukannya, karena dia mempunyai sifat itu, maka ketika manusia belum mempunyai sifat rohani, dia mesti melawan nafsu itu, dengan cara membetulkan tujuannya atau tawajjuh kepada Allah secara jujur. Madrasah tarekat itu manhaj utamanya adalah meninggalkan semua amal ibadahnya yang selama ini selain Allah menjadi karena dan dengan Allah, lillah, bukan hanya sekedar banyak shalat taubat, dzikir dan selalu berwudhu, karena banyak kelompok pengajian yang bukan tarekat pun telah melakukan hal ini.

Seorang syeikh, seseorang murabbi dialah yang mengajarkan, menguji, mendidik murid-muridnya untuk melakukan segala sesuatu karena dan dengan Allah. Karena hanya dengan ibadah yang dilakukan karena dan dengan Allah itulah yang akan Allah turunkan sifat-sifat-Nya atau disebut tajalli dan itulah perjalanan menuju kepada Allah. Artinya selain seseorang itu melakukan mujahadatun nufus, maka perlu bersuhbah, artinya seorang murid memerlukan tarbiyah dari seorang guru, karena seorang guru pernah menjalani tarbiyah dari guru sebelumnya dan telah menerima waris ruhani. Artinya ketika nafsu melakukan sesuatu sudah di bawah kekuasaan rohani, bahwa melakukannya karena dan dengan Allah, melihat karena Allah, mendengar karena Allah, berbicara karena Allah, karena jika belum ada rohani maka masih ada pengakuan dalam diri bahwa aku memberi, aku mujahadah, aku riyadhah, aku dzikir, aku puasa dan sama dengan binatang serta tidak berjalan menuju kepada Allah dan hal ini malah akan mempertebal hijab.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

Sabtu, 06 Maret 2021

MENGAPA AKU SELALU BERCERITA TENTANG AKU

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Imam Junaid,ra, meraknya para sufi berkata bahwa awal dosa adalah merasa ada. Ciri orang yang merasa ada adalah setiap pembicaraan dan perilakunya ditujukan untuk menunjukkan bahwa dirinya hebat. Ini sebagai bukti bahwa meskipun mulutnya sering menyebut nama Tuhan dan membicarakan nama dan sifat-Nya namun hatinya mendustakannya. Harus disadari bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia, maka hawa nafsunya minta atau menuntut bagiannya. Dan ironisnya bahwa hawa nafsu itu tidak bisa dihilangkan, itu subtansi dan karunia dari Allah SWT. Oleh sebab itu jika hawa nafsu dianalogikan sebagai kuda, maka dibutuhkan penunggannya agar kuda mempunyai tujuan yang benar dan tidak asal berlari, nah penunggang itu adalah cahaya pada ruhani manusia, cahaya ini diperoleh dari pemberian Allah SWT tanpa sebab dan sekehendak-Nya. Dalam dunia tasawuf cahaya ini disebut sebagai maqomat ruhiyah atau akhlak karimah, dan dipercaya bahwa dengan jalan riyadah dan mujahadah maka maqomat ruhiyah ini kemungkinan bisa diperoleh, Imam Ghazali,ra, menyebutnya dengan melakukan proses takhali, tahali dan kemudian tajjali.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa dalam hidup ini tidak ada pilihan kecuali piliha-Nya, oleh karenanya jangan ikut campur dalam mengatur kehidupan ini. Wejangan ini keluar dari keadaan yang tinggi, karena sudah menisbatkan segala sesuatunya kepada Allah SWT, persis seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Arabi,qs, bahwa manusia ini adalah jelmaan sifat dan perbuatan-Nya. Sebagaimana projector, gambar yang ada di layar telah ditentukan pada potongan-potongan negative film yang ada pada projector itu dengan terpaksa atau sukarela.

Orang yang telah menyaksikan sifat Tuhannya, tidak punya berita tentang dirinya, ia tidak peduli apakah seseorang sepakat dengan pendapatnya atau tidak sepakat, tidaklah akan bersarang dan menggores hatinya. Meskipun banyak orang bisa mengerti dan memahami pengertian diatas, akan tetapi jika memahaminya terhadap teks saja meskipun betul, itu tidak hakiki, itu palsu. Artinya, meskipun akal (maklumat) sebagai jalan pertama dan utama untuk menjadikan karakter dalam ruhani (maqomat), namun pemahaman akal masih didominasi oleh ke akuan (ananiyah), yang tentunya setiap perbuatannya akan dinisbatkan kepada kepentingan dirinya atau hawa nafsunya, oleh karenanya orang mesti membangun jembatan agar maklumat bisa mulus menuju atau menjadi maqomat, jembatan itu adalah tasawuf. Mari kita pahami hadis tentang ihsan: ‘Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak. Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ Seolah-olah melihat Allah adalah musyahadah atau syuhud sedangkan seolah-olah Allah melihatmu adalah muroqobah. Nah musyahadah atau syuhud dan muroqobah hanya dapat diperoleh melalui tarbiyah ruhiyah atau taskinatun nafs dengan jalan suhbah sebagai qudwah, karena jalan satu-satunya untuk memperoleh ‘waris ruhani’ adalah dengan jalan suhbah, sebagaimana sahabat-sahabat yang bersuhbah kepada baginda Rasulullah,saw. sehingga lahirlah cinta atas dasar waris ruhani ini, yang mengakibatkan selalu dirliputi rasa rindu (syauq). Oleh karenanya ada hadis yang mengatakan bahwa: ‘Al-ulama waratsatul anbiya’ yang berarti ulama adalah pewaris para-Nabi.’ Begitu syariat turun maka bergembiralah mereka, karena mendapatkan bentuk atau cara mengungkapkan kerinduan kepada kekasihnya, dalam bentuk shalat, puasa, zakat dan pergi haji serta amal baik lainnya yang kesemuanya dilakukannya dari, dengan dan untuk Allah.

Mu'min yang sempurna itu disibukki oleh memuji sifat-sifat Allah, sifat-sifat Indah (Jamalullah), sifat-sifat Keperkasaannya (Jalalullah) dan sifat-sifat Kesempurnaannya (Kamalullah) dan selalu menisbatkan sifat-sifat itu kepada-Nya dan tidak tersisa sedikitpun untuk yang lainnya. Mengapa? Karena dia melihat dirinya tiada, setiap mulai bicara ada pun bukan merasa ada, melainkan Allah yang Ada. Nah karena semua sifat baik berada di tangan Allah, maka sifat buruk itu adalah tiada, bagaimana mungkin yang tiada dinisbatkan kepada yang Ada? Oleh sebab Itu buruk dinisbatkan kepada yang tiada, yaitu manusia, maka ketika orang memuji baginda Nabi,saw, wajah yang mulia merona merah, bahkan wajahnya ditutupi karena malu, karena orang yang memujinya menyangka itu sifatnya, padahal semua sifat baik itu milik Allah. Akan tetapi kepada sayyidina Abu Bakar,ra, malah disuruh memujinya, lantaran ketinggian keadaan ruhaninya yang mengetahui bahwa yang dipuji bukan baginda Rasulullah,saw, melainkan Allah SWT. Riwayat ini memperlihatkan perbedaan dengan kebanyakan orang, yang mana bila dipuji lantas merasa senang, maka dikipasnya pujian itu agar membesar. Nah mu’min sempurna itu jiwanya disibukkan oleh melihat keindahan Allah, meskipun iblis yang dilihatnya akan terlihat keindahan Allah. Oleh sebab itu ketika mereka melihat orang sholeh, dia melihat dengan mata cinta, karena dia melihat Allah telah mentajjalikan sifat-Nya kepadanya. Kisah, seorang guru dan muridnya, ketika gurunya berubah kafir, muridnya mendatanginya tanpa memandang hina, tetapi memandang dengan mata cinta. Saat berjumpa, gurunya sudah merasa malu dan menyuruhnya pergi, maka si murid mengatakan: ‘Engkau adalah syaikhu, engkau guruku, wahai guruku aku tidak pernah merasakan apa murninya cintaku kepadamu seperti hari ini, engkau dulu yang mengajarkan aku, bahwa hati manusia ditangan Allah bukan ditangan manusia, sekarang aku menyaksikan kebenaran kata-kata itu, bolehkah aku katakan kepadamu wahai guruku, kembalilah kepada jalan Allah’. Perkataan itu tanpa adanya bobot rasa menggurui melainkan meluncur dengan kendaraan cinta, mendengar itu gurunya pun menangis dan seketika kembali ke jalan Allah. Inilah contoh kisah orang yang disibukkan oleh Allah, yang lahir dari menyaksikan sifat Indah dan menisbatkan sifat Indah itu kepada Allah, maka timbul fana daripada melihat dirinya hebat, baik, pandai, bersyukur, ridho dan lain sebagainya. Ketika orang mengatakan saya sudah berhaji kemudian saya banyak melakukan kebaikan, itu menisbatkan perbuatan-perbuatan baik kepada dirinya, padahal hakekatnya adalah fi’il Allah, yang baik-baik itu kepunyaan Allah, ketika Allah tidak memberi baik kepada kita, maka apa yang kita bisa lakukan? Syariat membagi sesuatu itu baik dan buruk, padahal sebelum ada syariat tidak ada baik dan buruk, oleh karena itu sifat baik yang semula ada (fitrah) adalah untuk memelihara dirinya, akan tetapi agama mengatakan untuk berbuat kepada Allah, agama itu adalah untuk hikmat kepada Allah, itu yang disebut ibadah, kepada istri kepada suami, kepada anak, kepada guru, kepada murid, maknanya ibadah kepada Allah, Itulah hikmat.

Mukmin yang sempurna tidak menisbatkan perbuatan baik dan keadaan yang mulia dalam dirinya, bahkan tidak menoleh sama sekali, ia sibuk memuji Allah daripada melihat sifat-sifat baik kepada dirinya. Bahkan lebih jauh dari itu, ia pun disibukkan oleh hak-hak Allah daripada untuk haknya atau bagian nafsunya. Terdapat dalam hadits, seorang hamba di akhirat nanti ditanya kenapa engkau tidak bersyukur di dunia kepada manusia? Dijawab karena aku hanya ingin bersyukur kepada Engkau dan Engkau tidak boleh disamakan dengan yang lain, Dijawab tandanya bahwa engkau bersyukur kepada Allah adalah engkau bersyukur kepada makhluk-Nya, itu sebab imam Ibnu Arabi,ra, berkata orang yang mengenal Allah hanyalah orang yang berakhlak kepada semua makhluk Allah, tidak peduli siapa orang itu, karena dia sibuk pada hak Allah, jika ada orang datang minta tolong maka segera akan dipenuhi sebagai pemenuhan hak Allah. Bukanlah seorang pencinta yang mengharap ganti dari kekasihnya, sedangkan kita shalat, puasa, selalu memikirkan balasan dari Allah yang berupa ini dan itu. Bukanlah pencinta yang hakiki orang yang mengharapkan dari kekasihnya ganti dari amal yang dilakukannya berupa surga atau takut neraka atas dosa yang diperbuatnya. Orang-orang sufi melakukan peribadatan bukan karena wajib, melainkan karena mahabbah, makanya kata mereka thoriquna mahabbatullah amal, jalan kami cinta bukan amal, bukan berarti orang tidak beramal, artinya mereka melakukan ibadah itu bukan atas dasar wajib, melainkan atas dasar cinta. Nabi,saw berkata di akhir zaman nanti ada orang yang diikat untuk dibawa ke surga, karena ibadahnya merupakan pelaksanaan kewajiban dan selalu mengharapkan surga, kalau tidak diwajibkan maka tidak beribadah, artinya kalau tidak ada surga maka dia tidak beribadah. Sayyidina Ali,ra, sejak dulu sudah berkata, aku akan tetap beribadah meskipun Allah tidak memberi surga, itulah bunyi dari rohani yang hakiki, maka seorang pencinta yang hakiki adalah bukan orang yang mengharapkan ganti dari kekasihnya atau meminta balasan dunia, barang benda dunia dan akhirat, ini muhibb yang hakiki. Itu sebab Imam Ibnu Arabi,qs, mengatakan wujudmu anugerah Allah, yang dimaksud bahwa ciptaan ini dilahirkan, diciptakan dari cinta dan Allah tidak pernah mengambil atau meminta upah dari apa yang Dia buat, sampai mati pun manusia dilumuri nikmat dan pemberian Allah itu tidak pernah berhenti, oleh sebab itu para Aulia tidak berani minta kepada Allah. Apa kata hadrat Maulana Rumi,qs Allah tahu isi hatimu sebelum kau mengucapkan doa pada Allah, tapi Allah ilhamkan doa kepadamu agar kau merasa lezat bermunajat kepada-Nya. Itu sebabnya cinta hakiki adalah si pencinta telah mendapatkan atau mengambil sifat kekasihnya, si pencinta telah mendapatkan sifat kekasihnya, ketika seseorang sudah mendapatkan semua sifat Allah Itulah cinta yang Hakiki, karena dia telah memiliki sifat yang dicintainya, itu sebab Syeikh Mansyur Al Hallaj,ra, mengatakan ‘aku mencintaiku, karena tidak ada kecuali aku.’

Wallahualam bisawab, semoga ada manfaatnya.

Jumat, 05 Maret 2021

HAKIKAT TAWADHU

Bismillahir Rohmanir Rohim

Pada umumnya masyarakat di Indonesia memahami arti tawadhu adalah rendah hati, jadi siapapun yang merasa rendah hati sudah memiliki tawadhu. Didalam ilmu kesufian tidaklah demikian, karena orang yang menetapkan kepada dirinya sifat tawadhu, maka ia adalah orang yang sebenar-benar sombong. Tawadhu adalah orang yang kedudukannya berada di atas kemudian dia merendah kepada orang yang di bawahnya, bukan orang yang kedudukannya di bawah merendah kepada yang diatasnya. Pejabat merendah kepada rakyat, bukan rakyat merendah kepada pejabat, tuan guru merendah kepada murid, bukan murid kepada tuan guru, dan orang alim kepada orang bodoh dan bukan sebaliknya itulah tawadhu. Contohnya, seorang guru masuk ke majlis, lalu berpura-pura batuk agar orang mengetahui kedatangannya, maka rusaklah majlis itu, karena meskipun ia seorang guru namun tidak menghargai majlis ilmu, karena apapun alasannya majlis ilmu lebih mulia daripadanya. Di zaman Imam Malik,ra, disaat majlis ilmu berlangsung, tiba-tiba ada khalifah mengunjunginya, lalu orang-orang di majlis berdiri, maka Imam Malik,ra, pergi meninggalkan majlis itu. Suatu hari ia ditanya alasanya dan berkata: ‘Karena ilmu dihinakan dan dunia ditinggikan.’ Juga di zaman Umar bin Abdul Aziz,ra, ketika beliau masuk kedalam majlis ilmu yang tengah berlangsung lalu orang-orang berdiri menyabutnya, beliau marah dan berkata: ‘Kalian tengah mengaji dengan tuan guru, saya pun datang untuk mengambil ilmu dan ilmu jauh lebih mulia dibanding saya, maka tidak sepantasnya kalian mengabaikan ilmu dan menghurmati saya.’ Maka dengan demikian jika seseorang merasa dirinya hina dan tidak melihat dirinya punya kedudukan dan mempunyai nilai maka takabur pun lenyap, jika takabur lenyap maka yang tinggal adalah sifat tawadhu. Tetapi seseorang jika merasa mulia, bernilai, apalagi merasa telah menyembunyikan kedudukannya agar terlihat tawadhu, maka ini adalah takabur.

Memang orang yang tawadhu tidak berarti duduk paling belakang dalam majlis, tetapi jika seseorang yang tinggi dan luhur yang sepatutnya duduk di depan, kemudian datang ke majlis dan majlis sudah mulai, maka dia merasa tidak adab jika melangkahi orang-orang untuk dapat tempat didepan, maka ia duduk dibarisan itu berakhir, meskipun itu dekat tempat sampah. Tawadhu itu muncul ketika merasakan Keagungan Allah dan merasa dirinya hina. Orang punya sifat sabar karena Allah telah memberi sifat sabar kepadanya, maka dia mampu menyabari Allah, juga berlaku pada sifat-sifat yang lain, misalnya sifat siddiq maka seseorang mampu jujur kepada Allah, sifat ridho maka dia ridho kepada Allah, sifat tawakal maka dia bertawakal kepada Allah, nah sifat-sifat inilah yang melihat Kebesaran Allah, sifat-sifat inilah yang menyaksikan bahwa dia tiada, jika seseorang telah memiliki sifat-sifat ini, maka hati menjadi khusyuk dan tawadhu. Jadi bisa dikatakan bahwa sifat tawadhu itu tumbuh dari sifat kehambaan, sifat kehambaan itu tumbuh karena menyaksikan Keagungan Allah, menyaksikan Keagungan Allah itu tumbuh jika memiliki akhlak mulia. Jadi bukan merasa tawadhu, karena itulah takabur hakiki, Syekh Ibnu Athaillah,qs, mengatakan : ‘Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya. Namun, orang yang tawadhu itu ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.’ Yang mulia baginda Nabi,saw, tidak pernah ada yang mendahului mengucapkan salam kepadanya, meskipun ada sahabat yang berupaya ingin mendahuluinya, namun tidak pernah berhasil, suatu ketika seorang sahabat bersembunyi di belakang Nabi,saw, agar dapat mendahului memberikan salam, namun sebelum sahabat itu mengucap salam beliau mendahuluinya, artinya tidak ada sifat tawadhu yang lebih tinggi daripada baginda Rasulullah,saw, karena beliau dapat melihat belakang sama baiknya dengan melihat ke depan, melihat jahir sama jelasnya dengan melihat batin. Meskipun syariat mengatakan bahwa yang berjalan memberikan salam kepada yang duduk, yang dibawah mengucapkan salam kepada yang diatas, yang datang mengucapkan salam kepada yang diam, akan tetapi akhlak melampaui batas-batas itu, pemilik akhlak yang tinggi selalu memberi salam tanpa melihat batas-batas itu, karena tidak melihat agama ini secara tekstual, melainkan melihatnya secara kontekstual. Jadi sifat tawadhu itu lahir dari sifat hamba, orang baru merasa hamba ketika dia melihat Keagungan Allah, dan orang baru merasa dan menyaksikan Keagungan Allah apabila dia memiliki sifat-sifat mulia atau akhlak al-karimah, sifat itu yang membuat penglihatan bahwa dirinya hina. Jadi ketika Allah memberikan sifat-sifat mulia itu atau dalam isitlah kesufian disebut maqomat ruhiyah, seseorang bukan merasa semakin tinggi, akan tetapi malah sebaliknya semakin menyaksikan hakikat dirinya tiada, itulah kemudian Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengatakan barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Allah.

Syekh sufi menyebut ciri-ciri orang yang tawadhu, apabila dicaci atau direndahkan tidak marah, karena merasa seseorang mencaci sesuatu yang benar, karena segala kebaikan ditangan Allah (biyadihil khair), dia melihat bahwa dia tidak ada, maka dikatakan buruk, dikatakan bodoh, malah dalam hatinya berkata kamu telah mengatakan sesuatu yang haq, aku tak ada, aku bodoh, karena yang Alim hanyalah Allah dan yang baik hanyalah Allah, bahkan ketika di tuduh melakukan dosa besar pun memang inilah sifat dasar manusia. Ciri yang lain adalah dia tidak sama sekali berusaha untuk mempunyai kedudukan, nilai, harga diri didepan orang, dan dia tidak merasa bahwa dia punya tempat di hati orang. Bahkan seorang Aulia ketika ada orang memuliakan akan mengatakan karena dia cinta kepadaku, kalau seseorang benci maka yang baik pun akan dikatakan buruk, Allah menutupi aibku dengan cintanya, jika Allah buka aib ku maka dia akan benci yang luar biasa kepadaku, itu sebab Aulia tidak bergantung kepada orang yang suka ataupun orang yang benci, semuanya Allah yang membuatnya, dia berada di lautan tapi tidak goncang oleh ombak, itulah orang yang bersama Kebesaran Allah dan Keagungan Allah.

Tawadhu yang hakiki bukan sifat yang ditumbuhkan oleh pikiran, itu adalah ketundukan jiwa karena telah mempunyai sifat-sifat mulia, maqamat ruhiyah atau Allah tajallikan sifat-sifat itu dan orang yang tidak punya sifat tawadhu, tidak dapat mengetahui orang yang tawadhu. Jika Allah memberi sifat taubat maka didalamnya ada tawadhu juga jika memberi sifat zuhud sekaligus dengan tawadhu. Orang bertobat melihat dirinya merasa tak betul, tak ada, kurang, hina, setelah itu berdirilah di atas sifat tobat itu sifat-sifat lain, maka taubat itu seperti pondasi bumi, maka orang yang tidak mempunyai tobat maka tidak akan pernah memperoleh sifat-sifat mulia, akhlak-akhlak mulia, maqom ruhiyah, seperti orang tidak mempunyai tanah tetapi ingin membangun rumah, seperti itu, maka bertambahnya sifat yang diperoleh maka akan bertambah pula tawadhu, maka baru kemudian dia menyaksikan dirinya tidak ada, inilah hakiki.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.