Jumat, 05 Maret 2021

HAKIKAT TAWADHU

Bismillahir Rohmanir Rohim

Pada umumnya masyarakat di Indonesia memahami arti tawadhu adalah rendah hati, jadi siapapun yang merasa rendah hati sudah memiliki tawadhu. Didalam ilmu kesufian tidaklah demikian, karena orang yang menetapkan kepada dirinya sifat tawadhu, maka ia adalah orang yang sebenar-benar sombong. Tawadhu adalah orang yang kedudukannya berada di atas kemudian dia merendah kepada orang yang di bawahnya, bukan orang yang kedudukannya di bawah merendah kepada yang diatasnya. Pejabat merendah kepada rakyat, bukan rakyat merendah kepada pejabat, tuan guru merendah kepada murid, bukan murid kepada tuan guru, dan orang alim kepada orang bodoh dan bukan sebaliknya itulah tawadhu. Contohnya, seorang guru masuk ke majlis, lalu berpura-pura batuk agar orang mengetahui kedatangannya, maka rusaklah majlis itu, karena meskipun ia seorang guru namun tidak menghargai majlis ilmu, karena apapun alasannya majlis ilmu lebih mulia daripadanya. Di zaman Imam Malik,ra, disaat majlis ilmu berlangsung, tiba-tiba ada khalifah mengunjunginya, lalu orang-orang di majlis berdiri, maka Imam Malik,ra, pergi meninggalkan majlis itu. Suatu hari ia ditanya alasanya dan berkata: ‘Karena ilmu dihinakan dan dunia ditinggikan.’ Juga di zaman Umar bin Abdul Aziz,ra, ketika beliau masuk kedalam majlis ilmu yang tengah berlangsung lalu orang-orang berdiri menyabutnya, beliau marah dan berkata: ‘Kalian tengah mengaji dengan tuan guru, saya pun datang untuk mengambil ilmu dan ilmu jauh lebih mulia dibanding saya, maka tidak sepantasnya kalian mengabaikan ilmu dan menghurmati saya.’ Maka dengan demikian jika seseorang merasa dirinya hina dan tidak melihat dirinya punya kedudukan dan mempunyai nilai maka takabur pun lenyap, jika takabur lenyap maka yang tinggal adalah sifat tawadhu. Tetapi seseorang jika merasa mulia, bernilai, apalagi merasa telah menyembunyikan kedudukannya agar terlihat tawadhu, maka ini adalah takabur.

Memang orang yang tawadhu tidak berarti duduk paling belakang dalam majlis, tetapi jika seseorang yang tinggi dan luhur yang sepatutnya duduk di depan, kemudian datang ke majlis dan majlis sudah mulai, maka dia merasa tidak adab jika melangkahi orang-orang untuk dapat tempat didepan, maka ia duduk dibarisan itu berakhir, meskipun itu dekat tempat sampah. Tawadhu itu muncul ketika merasakan Keagungan Allah dan merasa dirinya hina. Orang punya sifat sabar karena Allah telah memberi sifat sabar kepadanya, maka dia mampu menyabari Allah, juga berlaku pada sifat-sifat yang lain, misalnya sifat siddiq maka seseorang mampu jujur kepada Allah, sifat ridho maka dia ridho kepada Allah, sifat tawakal maka dia bertawakal kepada Allah, nah sifat-sifat inilah yang melihat Kebesaran Allah, sifat-sifat inilah yang menyaksikan bahwa dia tiada, jika seseorang telah memiliki sifat-sifat ini, maka hati menjadi khusyuk dan tawadhu. Jadi bisa dikatakan bahwa sifat tawadhu itu tumbuh dari sifat kehambaan, sifat kehambaan itu tumbuh karena menyaksikan Keagungan Allah, menyaksikan Keagungan Allah itu tumbuh jika memiliki akhlak mulia. Jadi bukan merasa tawadhu, karena itulah takabur hakiki, Syekh Ibnu Athaillah,qs, mengatakan : ‘Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya. Namun, orang yang tawadhu itu ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.’ Yang mulia baginda Nabi,saw, tidak pernah ada yang mendahului mengucapkan salam kepadanya, meskipun ada sahabat yang berupaya ingin mendahuluinya, namun tidak pernah berhasil, suatu ketika seorang sahabat bersembunyi di belakang Nabi,saw, agar dapat mendahului memberikan salam, namun sebelum sahabat itu mengucap salam beliau mendahuluinya, artinya tidak ada sifat tawadhu yang lebih tinggi daripada baginda Rasulullah,saw, karena beliau dapat melihat belakang sama baiknya dengan melihat ke depan, melihat jahir sama jelasnya dengan melihat batin. Meskipun syariat mengatakan bahwa yang berjalan memberikan salam kepada yang duduk, yang dibawah mengucapkan salam kepada yang diatas, yang datang mengucapkan salam kepada yang diam, akan tetapi akhlak melampaui batas-batas itu, pemilik akhlak yang tinggi selalu memberi salam tanpa melihat batas-batas itu, karena tidak melihat agama ini secara tekstual, melainkan melihatnya secara kontekstual. Jadi sifat tawadhu itu lahir dari sifat hamba, orang baru merasa hamba ketika dia melihat Keagungan Allah, dan orang baru merasa dan menyaksikan Keagungan Allah apabila dia memiliki sifat-sifat mulia atau akhlak al-karimah, sifat itu yang membuat penglihatan bahwa dirinya hina. Jadi ketika Allah memberikan sifat-sifat mulia itu atau dalam isitlah kesufian disebut maqomat ruhiyah, seseorang bukan merasa semakin tinggi, akan tetapi malah sebaliknya semakin menyaksikan hakikat dirinya tiada, itulah kemudian Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengatakan barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Allah.

Syekh sufi menyebut ciri-ciri orang yang tawadhu, apabila dicaci atau direndahkan tidak marah, karena merasa seseorang mencaci sesuatu yang benar, karena segala kebaikan ditangan Allah (biyadihil khair), dia melihat bahwa dia tidak ada, maka dikatakan buruk, dikatakan bodoh, malah dalam hatinya berkata kamu telah mengatakan sesuatu yang haq, aku tak ada, aku bodoh, karena yang Alim hanyalah Allah dan yang baik hanyalah Allah, bahkan ketika di tuduh melakukan dosa besar pun memang inilah sifat dasar manusia. Ciri yang lain adalah dia tidak sama sekali berusaha untuk mempunyai kedudukan, nilai, harga diri didepan orang, dan dia tidak merasa bahwa dia punya tempat di hati orang. Bahkan seorang Aulia ketika ada orang memuliakan akan mengatakan karena dia cinta kepadaku, kalau seseorang benci maka yang baik pun akan dikatakan buruk, Allah menutupi aibku dengan cintanya, jika Allah buka aib ku maka dia akan benci yang luar biasa kepadaku, itu sebab Aulia tidak bergantung kepada orang yang suka ataupun orang yang benci, semuanya Allah yang membuatnya, dia berada di lautan tapi tidak goncang oleh ombak, itulah orang yang bersama Kebesaran Allah dan Keagungan Allah.

Tawadhu yang hakiki bukan sifat yang ditumbuhkan oleh pikiran, itu adalah ketundukan jiwa karena telah mempunyai sifat-sifat mulia, maqamat ruhiyah atau Allah tajallikan sifat-sifat itu dan orang yang tidak punya sifat tawadhu, tidak dapat mengetahui orang yang tawadhu. Jika Allah memberi sifat taubat maka didalamnya ada tawadhu juga jika memberi sifat zuhud sekaligus dengan tawadhu. Orang bertobat melihat dirinya merasa tak betul, tak ada, kurang, hina, setelah itu berdirilah di atas sifat tobat itu sifat-sifat lain, maka taubat itu seperti pondasi bumi, maka orang yang tidak mempunyai tobat maka tidak akan pernah memperoleh sifat-sifat mulia, akhlak-akhlak mulia, maqom ruhiyah, seperti orang tidak mempunyai tanah tetapi ingin membangun rumah, seperti itu, maka bertambahnya sifat yang diperoleh maka akan bertambah pula tawadhu, maka baru kemudian dia menyaksikan dirinya tidak ada, inilah hakiki.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.