Kamis, 11 Maret 2021

BERJALAN MENUJU ALLAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Ada yang mengatakan bahwa jiwa atau nafsu manusia itu laksana pusat kota artinya sangat sibuk dan banyak pendatang serta hiruk pikuk dan tidak pernah sepi. Terbukti memang, bahwa ketika manusia sedang sendiri namun pikirannya tidak pernah behenti, gambar atau permasalahan kehidupan muncul silih berganti. Jika seorang sufi itu merasa sendiri ditengah keramaian, maka manusia biasa merasa ramai dikesendiriannya. Oleh sebab itu jika tidak dilakukan penertiban maka yang terjadi adalah kekacauan dan kehancuran. Tetapi apakah manusia mempunyai kesadaran akan hal ini? Ironisnya jika tidak ada pusat kota, maka manusia sangat sulit melakukan perjalanan, karena disitulah tersedia berbagai macam sarana untuk memudahkan perjalanannya, begitu pula manusia, berkumpulah berbagai bentuk anggota tubuh (jawarih) yang masing-masing mempunyai keinginan dan bersatu menjadi syahwat, maka jika manusia tidak memiliki nafsu maka mustahil dapat merealisasikan perjalanannya menuju kepada Allah. Itulah mengapa para sufi mengatakan bahwa nafsu itu adalah substansi manusia. Manusia diperintah untuk beribadah atau mengenal Allah atau katakan dalam bahasa tasawufnya berjalan menuju kepada Allah. Disinilah pokok pembahasannya, bahwa yang paling mudah untuk mecapai tujuan yang tidak ada tujuan lagi adalah dengan jalan mengikuti kepada orang yang telah sampai (wushul) kepada-Nya, bahasa tasawufnya disebut sebagai suhbah atau mempunyai guru ruhani untuk berqudwah dengan cara tarbiyah, kepada seorang mursyid yang kamil. Dari wejangan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dapat dipahami bahwa keberhasilan pendidikan ruhani bilamana memenuhi tiga syarat, yang pertama adanya murid yang jujur (siddiq) menginginkan Allah, yang kedua adalah manhaj yang shahih atau motede tarbiyah yang memang sudah teruji kebenarannya dan ketiga adalah adanya guru pembimbing ruhani yang sempurna atau mursyid kamil.

Al Qur’an itu penuh dengan perumpamaan atau mitsal yang sangat tinggi dan mempunyai makna yang berlapis-lapis. Begitu juga dalam dunia tasawuf, mereka mentransformasikan pengalaman ruhaninya atau dzauqiyah kedalam bahasa akal (aqliyah). Oleh sebab itu istilah tentang berjalan menuju Allah berbeda-beda, namun mempunyai makna yang sama. Perjalanan menuju kepada Allah bukanlah perjalanan physical atau bahkan pikiran, karena physical dan pikiran tidak akan pernah pergi ke Allah, jadi yang dimaksud dengan kembali kepada Allah atau berjalan menuju kepada Allah adalah perjalanan yang dilakukan dengan melintasi dan meninggalkan nafsu. Maka ketika Nabi Adam,as diturunkan ke bumi setelah makan buah khuldi, itu sebetulnya bukan dijauhkan justru untuk didekatkan atau disempurnakan. Maka jika tidak ada tubuh, tidak akan ada nafsu dan tidak pernah bisa berjalan menuju kepada Allah, maka dengan adanya nafsu adalah merupakan rahmat. Karena sesungguhnya tidak ada ‘jarak’ antara manusia dengan Allah, sehingga perjalanan menuju Allah adalah perjalanan melintasi, melewati dan melepasi nafsu saja, atau dalam istilah tasawuf dikatakan sebagai mujahadatun nufus atau berperang melawan hawa nafsu, atau ada istilah lain yang mengatakan menghilangkan hawa nafsu, ini adalah istilah-istilah yang dibuat oleh para sufi yang menggambarkan bahwa seolah-olah perjalan ini menempuh jarak yang jauh, padahal dikatakan didalam Al Qur’an bahwa Allah lebih dekat daripadamu dari urat lehermu. Lalu apa yang dimaksud dengan jauh? Itulah hijab! jika ada hijab itu jauh dan jikalau hijab itu dibuka artinya dekat, jadi semakin banyak hijab dibuka maka akan semakin dekat, maka dapat dikatakan bahwa perjalanan menuju kepada Allah itu adalah menyingkap hijab (kasyful hijab), oleh sebab itu dikatakan bahwa perjalanan ini tidak pernah berakhir. Misalnya hijab itu kufur, lalu kufur dibuang dengan masuk Islam, setelah masuk Islam lalu beribadah, maka ibadah pun hijab, manakala ibadahnya bermotifkan imbalan, maka mesti karena Allah, ibadah karena Allah pun hijab mesti ibadah dengan Allah. Apa yang Allah berikan kepada manusia sesungguhnya bukan Allah, meskipun itu ma'rifat, kasyaf dan zuhud. Nah maka yang dimaksud jauh adalah sesuatu yang menghijabi perjalanan, maka perjalanan orang menuju kepada Allah atau thoriq itu adalah jika menyaksikan bahwa apa yang dilakukan adalah anugerah dari Allah SWT. Maka permulaan orang awam merasakan bahwa jika ibadahnya banyak rasanya dekat, dan jika masiat rasanya jauh, jadi jauh dan dekat diukur kepada amal, ini pada permulaan orang beribadah kepada Allah, tetapi setelah itu, jauh adalah apabila beribadah dengan dirinya dan dekat manakala ibadah itu dengan anugerah Allah, dengan sifat yang Allah anugerahkan. Maka berarti perjalanan kepada Allah adalah bagaimana agar menghilangkan nafsu itu. Imam Abdul Ghani an-Nabulsi,qs, mengumpamakan nafsu itu seperti cermin, nafsu itulah yang membuat kita menyaksikan bahwa kita ada.

Maka kesimpulannya ketika seseorang tidak ada nafsu, tidak ada syahwat, maka tidak perlu ada perjalanan kepada Allah, karena perjalanan kepada Allah itulah melepasi, menghapus atsarnya nafsu. Bilamana ibadah karena dirinya, dalam tingkatan yang tinggi itu dosa atau ibadah tidak khusyuk adalah dosa. Imam Abul Hasan As-Syadzili,ra, bermimpi Rasulullah,saw dan bertanya engkau mengatakan orang yang bershalawat kepadamu Allah bershalawat kepada mereka sepuluh kali, apakah itu yang hadir atau yang gofil bacaannya? Rasulullah,saw menjawab yang gofil, lalu ditanya bagaimana jika hudhur? Rasulullah,saw menjawabnya tidak terhitung, tidak ada hisab. Artinya orang yang hudhur adalah orang yang memiliki syuhud, karena dia sudah tidak menghitung perbuatannya yang dikaitkan dengan pahala melainkan seolah-olah melihat Allah yang berbuat semuanya (musyahadah). Jadi kalau manusia mengaku bahwa peribadatan dan perbuatan baiknya karena dirinya, maka Allah akan menghitung mana yang salah dan mana yang benar, yang pasti semuanya salah. Maka jika masih ada nafsu, manusia akan melihat segala sesuatu dia yang berupaya dan membuatnya dan itulah yang perlu ditinggalkan, itulah yang dimakasud 'perjalanan' yang mesti dilepasi menuju kepada Allah SWT, yaitu an nufus. Itu sebab Imam Abu Madyan al-Ghaust,qs, mengatakan ‘orang yang belum membunuh nafsunya belum melihat Haq’, orang juga menganggap bahwa membunuh nafsu itu membunuh kelezatannya, membunuh syahwatnya, bukan, tetapi membunuh ashar-nya, membunuh ketergantungannya, membunuh itimadnya adapun diri atau nafsu tidak dapat dibuang. Di tv ada seorang ulama di Indonesia diwawancarai, pak Kyai kenapa punya istri tiga apakah waktu menikah dengan nafsu? Tidak dijawabnya, karena baginya menjawab dengan mengatakan menikah dengan nafsu itu buruk, maka jika syeikh sufi ditanya apakah dengan nafsu maka akan dijawab kalau tidak dengan nafsu untuk apa dinikahi. Jadi yang dimasud dengan dimatikan nafsu itu, di bunuh nafsu itu, di mujahadah nafsu itu, adalah rasa independent-nya. Oleh karena itu Imam Abdul Qodir al-Jailani,qs, atau Imam Hatim al-Asham,qs, mengatakan bahwa mematikan nafsu ini, melawan nafsu ini, perlu mematikan empat jenis nafsu, maka ada istilah empat kematian, yang pertama disebut ‘mautun ahmar’ mati merah, maka jika seorang syeikh memakai jubah atau topi merah berarti itu sudah mati merah, mati merah ini adalah mukhalafatu nafs, itu sebuah simbolik melawan nafsu, nafsu tidak ingin shalat malam, dzikir, baca Al Qur’an, puasa, maka dia melawannya dengan melakukan itu semua karena dan dengan Allah, yang kedua ‘mautun aswan’ mati hitam, adalah menanggung gangguan manusia, orang tidak suka, orang menghina, orang mencerca maka ditanggung, ditahan dan tidak membalasnya. Dan kemudian mati putih, mati putih inilah puasa makan daging atau makan yang bernyawa, kalau di Jawa Tengah, melakukan semua mati ini disebut mati geni, geni itu api, nafsu, mematikan nafsu itu jika dilakukan semuanya sekaligus biasanya mati geni tiga hari, tidak tidur, tidak makan dan tidak bertemu orang, maka ada istilah puasa mutih yang putih-putih saja yang boleh dimakan, nasi putih, ubi kayu putih, minum air putih dan yang terakhir mati ahbar atau mati hijau memakai baju yang buruk-buruk, tambal-tambal itu juga melawan nafsu, tetapi di Maroko tambal-tambalnya dibuat indah. Tidak semua di dalam tasawuf menyuruh memakai baju tambal-tambal, terutama dalam tarekat syadziliyah tidak menganut mati hijau, bahkan disuruh memakai baju yang mewah-mewah, kesemuanya ini dalam rangka mujahadatun-nufus melawan nafsu. Makanya Nabi,saw menyebut ahli surga itu sifatnya tiga, menyambung silaturahmi kepada orang yang memutusnya, memberi kepada orang yang tidak memberi kepada kita dan memaafkan pada orang yang menyakiti kita, bahkan meminta maaf. Secara fitrah bahwa nafsu ini, tubuh ini mempunyai sifat baik dan buruk bawaan (jibiliyah), maka ketika orang melakukan ibadah dia akan mengakui bahwa dia yang melakukannya, karena dia mempunyai sifat itu, maka ketika manusia belum mempunyai sifat rohani, dia mesti melawan nafsu itu, dengan cara membetulkan tujuannya atau tawajjuh kepada Allah secara jujur. Madrasah tarekat itu manhaj utamanya adalah meninggalkan semua amal ibadahnya yang selama ini selain Allah menjadi karena dan dengan Allah, lillah, bukan hanya sekedar banyak shalat taubat, dzikir dan selalu berwudhu, karena banyak kelompok pengajian yang bukan tarekat pun telah melakukan hal ini.

Seorang syeikh, seseorang murabbi dialah yang mengajarkan, menguji, mendidik murid-muridnya untuk melakukan segala sesuatu karena dan dengan Allah. Karena hanya dengan ibadah yang dilakukan karena dan dengan Allah itulah yang akan Allah turunkan sifat-sifat-Nya atau disebut tajalli dan itulah perjalanan menuju kepada Allah. Artinya selain seseorang itu melakukan mujahadatun nufus, maka perlu bersuhbah, artinya seorang murid memerlukan tarbiyah dari seorang guru, karena seorang guru pernah menjalani tarbiyah dari guru sebelumnya dan telah menerima waris ruhani. Artinya ketika nafsu melakukan sesuatu sudah di bawah kekuasaan rohani, bahwa melakukannya karena dan dengan Allah, melihat karena Allah, mendengar karena Allah, berbicara karena Allah, karena jika belum ada rohani maka masih ada pengakuan dalam diri bahwa aku memberi, aku mujahadah, aku riyadhah, aku dzikir, aku puasa dan sama dengan binatang serta tidak berjalan menuju kepada Allah dan hal ini malah akan mempertebal hijab.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.