Selasa, 30 Maret 2010

PERTAHANAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Berbuat baik itu tidak mudah, seorang dokter menjadi jelek dalam pandangan orang sakit yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang sakit, karena memberikan obat pahit kepadanya. Begitu pula seseorang akan marah, bila ibu jarinya dipotong, tanpa mengetahui bahwa tindakan itu untuk menyelamatkan seluruh tangannya agar tidak membusuk lantaran titanus yang dideritanya. Dalam kehidupan bertarekat juga demikian, oleh sebab tidak mengetahui manfaat yang akan diperolehnya, banyak murid yang malas mengerjakan pekerjaan tarekat dari gurunya. Ini adalah sifat dasar nafs, yakni menolak sesuatu yang dirasa membebaninya, padahal pekerjaan utama bagi para pejalan adalah memeranginya, bertempur melawan dirinya sendiri, melemahkan egonya. Tanpa sebuah kesadaran bahwa pekerjaan tarekat itu akan membawanya kepada penyembuhan terhadap penyakit-penyakit hati yang dideritanya, yang mengakibatkan ia tidak mengenal dirinya sendiri apalagi Tuhannya, maka pengakuannya bahwa ia adalah termasuk orang-orang yang bertarekat adalah sia-sia dan cita-citanya hanyalah sebuah angan-angan belaka.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) disaat keberangkatan ketanah suci berkata kepada seorang muridnya : ‘Kalau saja tidak bertentangan dengan adab seorang syaikh, aku sudah minta doa darimu.’ Mendengar itu sang murid bergembira dan meneteskan airmata. Bergembira karena ia menyadari bahwa dirinya termasuk murid yang jelek, dan gurunya memberikan perhatian kepadanya. Meneteskan airmata karena ia sadar bahwa teguran dari guru adalah tanda kasih sayangnya, dan marah gurunya adalah barokahnya. Karena seorang murid berkewajiban mendoakan gurunya, tanpa diminta meskipun hanya sebentar. Perkataan gurunya menjadi tanda bahwa ia tidak amanah dalam pekerjaannya. Syaikh Yahya bin Mu’adz,qs., berkata : ‘Ia adalah seorang teman yang jelek yang engkau perlu meminta maaf karena suatu kesalahan yang engkau telah perbuat kepadanya.' Karenanya, belum bisa disebut sebagai sahabat bila celaan tidak terasa manis dan pujian terasa pahit.

Seorang salik sambil menangis berkeluh kesah kepada gurunya, bahwa ia telah tersinggung oleh kelakuan murid yang lain. Sang guru terheran-heran, pasalnya ia mengadu sesuatu yang seharusnya ia syukuri. Tanpa disadari, sang murid telah membuat pertahanan yang merendahkan dirinya sendiri, yang justru memperlihatkan bahwa ia tidak amanah dalam menjalankan pekerjaan tarekat yang ia peroleh. Buktinya ia menanyakan kepada gurunya, mengapa ia diberi obat pahit, dan mengapa ibu jarinya dipotong. Orang yang tidak menyadari dirinya sakit, tidak bisa melihat sedikit kebenaran yang terkuak, tidak mengerti hakikat bertarekat. Apakah bertarekat itu sekedar membahas pengetahuan tentang tasawuf?, atau membicarakan keindahan perilaku para syaikh sufi saja? Tidak! tetapi pengamalan ilmu lebih diutamakan, terus menerus berjuang memerangi hawa nafsu atau kesenangan jiwa (mujahadah) dikedepankan, sehingga wejangan dari sang mursyid tidak menjadi retorika saja. Para pendzikir sejatinya lebih suka celaan dari pada pujian, dicela itu tanda kasih sayang Tuhan, sedangkan pujian itu tanda murka Tuhan, apalagi ini hanya sebuah koreksi dari saudara yang menyayanginya. Sungguh amat disayangkan, airmata yang teramat mahal harganya itu hanya dipersembahkan untuk memuaskan jiwa rendah. Kejadian ini membuat sang guru bersedih, dan berkata kepada salah seorang muridnya : ‘Saya prihatin, semakin banyak orang yang mengaji tetapi semakin sedikit yang bertasawuf.’ Ujaran ini mempunyai makna tersembunyi yang membutuhkan penjelasan. Dalam mencari kedekatan kepada Tuhan, adalah menjadi tabiat murid yang jera oleh popularitas daripada oleh sesuatu yang lain. Akibatnya murid yang takut akan bahaya ini selalu berupaya menghindarinya, takut kalau-kalau dia terdindingi dari Tuhan oleh sanjungan sesama murid yang lain. Tetapi sungguh ironis, pada masa kini orang-orang yang mengaku bertasawuf malah sebaliknya, yang dicari adalah pujian dan kepopularitasan. Seharusnya murid mempersiapkan diri untuk menanggung kemalangan, dan menyangkal kesenangan-kesenangan serta ikatan-ikatan pergaulannya, dengan harapan agar keagungan Tuhan diungkapkan kepadanya, maka semakin dia terpisah dari khalayak ramai, dia semakin bersatu dengan Tuhan. Tuhan memuji orang-orang yang tegar dan bersuka cita saat celaan tiba : ‘Dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.’ (QS 005 : 54)

Ibnu Khafif,qs., adalah sufi besar dari Persia, lahir pada tahun 270 H/882 M. Ia berasal dari keluarga kerjaaan, namun hidup asketisisme (zuhud). Setiap malam, ia berbuka puasa hanya dengan tujuh butir kismis. Suatu ketika ia tidak dapat menemukan kinikmatan dalam ibadah. Lalu ia menanyai pembatunya, ‘Apa yang telah engkau laukakan terhadapku?’ Dijawab oleh pembantunya : ‘Kemarin malam, Aku telah memberimu delapan butir kismis, karena engkau terlihat sangat lemah dan itu membuatku sedih.’ Mendengar itu, ia segera memecat pembantunya dan berkata : ‘Kalau begitu, engkau bukanlah sahabatku, seorang sahabat akan memberikan enam butir kismis bukan delapan.’ Pada kesempatan lain, ia bertemu dengan seorang pemuda akhli meditasi (muroqobah), ‘Wahai pemuda nasihatilah aku.’ Dijawab oleh pemuda itu : ‘Kami tidak punya lidah nasihat.’ Lalu ia tetap berdekat dengan pemuda itu selama tiga hari tanpa makan dan tanpa tidur, dalam hatinya berkata : ‘Apa yang mesti kukatakan agar pemuda ini mau menasihatiku?’ Si pemuda mengangkat kepalanya dan berkata : ‘Bersahabatlah dengan seseorang yang bila engkau memandangnya, Allah diingat, dan yang keterpesonaan padanya menggugah hatimu, seseorang yang menasihatimu dengan lidah amal, bukan dengan lidah kata-kata.’

Kisah lain, suatu hari, Hasan Al Basri,ra., tampak sedang merenung ditepi sungai Tigris, muridnya yang bernama Habib Al Ajami,ra., tiba di tempat itu. ‘Guru, mengapa anda berdiri disini?’ Tanya Habib,ra. ‘Aku ingin pergi kesuatu tempat, namun perahunya terlambat datang.’ Jawabnya. ‘Guru, apa yang terjadi padamu, semua yang kutahu, kupelajari darimu. Hilangkan kedengkian dalam hatimu. Tutuplah hatimu dari keduniawian. Ketahuilah bahwa penderitaan adalah hadiah yang amat berharga, dan semua urusan adalah dari Tuhan. Kemudian taruhlah kaki diatas air dan berjalanlah.’ Selesai berkata demikian, Habib,ra., melangkah diatas air dan meninggalkan tempat itu. Melihatnya, Hasan,ra., jatuh pingsan. Ketika ia siuman, orang-orang bertanya kepadanya, ‘Wahai Imam kaum muslim, apa yang terjadi padamu?’ dijawab : ‘Muridku, Habib, baru saja menegurku, kemudian ia melangkah diatas air dan pergi meninggalkan tempat ini, sementara aku tetap tak berdaya. Jika kelak, di Yaumil Qiyamah aku diperintahkan untuk menyeberangi jembatan itu (Sirath yang beliau maksud), dan aku tetap tak berdaya seperti ini, apa yang dapat aku lakukan?’ Kisah ini sungguh bagus, meskipun teguran datangnya dari murid, beliau tidak menanggapi secara berlebihan, apalagi tersinggung, malah digunakannya sebagai sarana untuk ‘wajd’ atau memperoleh ekstasi ruhani. Oleh karenannya, ia fana.

Dalam suatu pertemuan, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tak satupun diantara kalian dapat mendekatiku apalagi melebihiku, bila tiba waktunya akan saya beritahukan.’ Perkataan ini, bila diucapkan oleh awam terdengar angkuh, tapi dimulut seorang mursyid menjadi beda maknanya. Teguran keras ini meluncur begitu saja, beberapa murid sesak dadanya dan sebagian lagi malah bergembira. Kelompok yang pertama memandang indah pada dirinya sedangkan kelompok kedua memandang rendah dirinya sendiri, orang yang memandang indah pada dirinya adalah orang yang tinggi hati, sedangkan orang yang memandang rendah dirinya sendiri adalah orang yang tawadhu. Orang yang tinggi hati, derajatnya akan tergelincir pada setiap harinya, sedangkan orang yang tawadhu, derajatnya akan ditinggikan pada setiap detiknya. Seorang murid berkata kepada murid-murid yang lain : “Untuk apa pernyataan itu dibahas, bukankah syaikhuna juga pernah mengalami hal yang sama, tatkala beliau sedang duduk bersama sahabat yang lain, tiba-tiba gurunya berkata : ‘Kalian murid-murid yang bodoh.’” Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dilain kesempatan berkata : ‘Sebaik-baik alasan yang diberikan oleh seseorang, adalah pertahanan nafs-nya, yang mencermikan betapa besar egonya, sehingga tidak mampu melihat hikmah yang begitu jelas.’ Saling bertukar informasi sesama murid adalah perbuatan yang umum dilakukan didalam kehidupan bertasawuf. Meskipun informasi itu benar dan dapat mengusir buruk-buruk sangka yang tidak diperlukan dalam kehdiupan ini, namun karena derajat murid masih ditunggangi oleh egonya, maka segala sesuatu yang keluar dari mulutnya menjadi hambar. Oleh karenanya, bila mampu, lebih baik diam dan mencermati perilaku sang guru serta meneladaninya, daripada membuat pertahanan yang membuat hati semakin gelap dan jauh dari keridhoan-Nya.

Kisah diatas persis seperti ketika Allah SWT memerintahkan Adam,as., untuk tidak mendekati buah kuldi, lalu ditaatinya, dan memerintahkan Iblis yang terkutuk untuk sujud dihadapan Adam,as., akan tetapi ditolaknya. Sehingga tampak jelas bahwa kepatuhan adalah sifat kenabian dan pemberontakan adalah sifat iblis. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebut alasan sebagai pertahanan nafs, yang pada akhirnya akan membuat perbandingan, sebagaimana tindakan iblis yang pertama : ‘Aku diciptakan dari api sementara Adam dari tanah. Jelas api mengungguli tanah, karena api mewakili cahaya dan tanah mewakili kegelapan.’ Padahal pertahanan Iblis ini salah kaprah, karena keunggulan berasal dari pengendalian diri dan kebajikan dan tidak bisa dibadingkan dengan apapun juga. Sehingga karena Adam,as., dianugerahi kedua hal itu, maka meskipun ia diciptakan dari tanah, namun wajahnya bercahaya, tidak demikian dengan iblis, meskipun ia diciptakan dari api, namun wajahnya hangus terbakar.

Sejatinya murid bergembira tatkala gurunya berkata seperti itu, karena menunjukkan bahwa semua muridnya masih ‘bodoh’, yang berarti bahwa sang murid masih membutuhkan bimbingan yang terus menerus dari gurunya, dan sang guru masih ridho mengasuhnya, seperti bayi yang masih terus mencari puting susu ibundanya, daripada bernasib seperti Iblis yang akhirnya dilaknat oleh-Nya dan diusir dari tempat ketinggian serta jahanam tempat kembalinya. Para murid dapat bercermin pada riwayat ini, dirubat milik Syaikh Nuurunnaum Suryadipraja (semoga Allah mensucikan ruhnya), Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dihadapan beberapa muridnya mengatakan bahwa dirinya ‘bodoh’, mendengar itu Syaikh Nuurunnaum Suryadipraja menyahut : “Ya, karena gurunya juga ‘bodoh’.” Riwayat ini shahih dan sungguh indah, betapa ketinggian ruhani antara murid dan guru begitu tinggi, sehingga dengan ketawadhuannya membuat alam semesta ini merunduk. Tidak ada pertahanan dalam dirinya, egonya telah sirna, yang muncul hanya keindahan dan kejelasan-kejelasan.

Seperti makna murid dalam dunia kesufian yang berarti ‘yang berkehendak’, dan makna murad yang bermakna ‘yang dikehendaki’, yakni sang mursyid. Oleh karenanya, selama kesadaran dalam diri sang murid terus hidup bahwa dirinya menghendaki sang mursyid, maka apapun yang dilakukan oleh yang dikehendakinya, meskipun secara jahiran tampak kacau akan terlihat indah baginya. Sebaliknya bilamana seorang murid sudah berpaling dalam kehendaknya maka keindahan apapun yang dilakukan oleh sang mursyid akan tampak buruk baginya.

Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., dalam kitab masnawinya berkisah bahwa suatu ketika tiang yang biasa disandari oleh Rasulullah,saw., mengeluh, karena sudah ada tempat sandaran baru, yakni dinding diatas mimbar yang menjadi sandarannya. Rasulullah,saw., bertanya kepada tiang itu : ‘Inginkah engkau menjadi pohon kurma, sehingga orang dari barat dan timur mendatangimu untuk memperoleh buah? Atau, inginkah engkau menjadi pohon cemara yang hampir abadi, tegar dan selalu segar?’ Tiang itu menjawab : ‘Yang kuinginkan adalah keabadian hidup.’ Mendengar itu Rasulullah,saw., bergegas menguburkan tiang itu, sebagaimana lazimnya jasad manusia dikuburkan. Kisah ini amat elok, sarat dengan pelajaran tasawuf, dalam hal ini Rasulullah,saw., bertindah sebagai sang guru yang menawarkan dua pilihan, yakni pohon kurma yang mewakili pemberian manfaat kepada makhluk lain, berupa buah atau pohon cemara yang mewakili kemewahan hidup. Akan tetapi, sang murid sungguh siap keadaan ruhaninya, ia tidak memilih satu diantara dua pilihan melainkan menginginkan kehidupan bagi qolbunya, karena ia menyadari betapa sulitnya mengalahkan gerak-gerik egonya. Oleh karenanya, sang guru bersegera menguburkan egonya, dan hanya oleh orang-orang yang telah terkubur egonya, ego murid-murid dapat dikuburkan.

Sungguh bahagia pemilik ‘kesadaran’ seperti tiang tadi, jauh melampaui kesadaran dari murid-murid yang sibuk membahas anjuran dan ajaran sang mursyid. Yang bergulat antara ingin menjadi pohon kurma atau pohon cemara.
Semoga Allah SWT mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita semua, amiin.

Rabu, 03 Maret 2010

KEPERWIRAAN (FUTUWWAH)

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Seorang salik dalam keadaan bersedih yang amat sangat berusaha menyembunyikan kesedihannya, khawatir bila diketahui akan menggangu keceriaan yang sedang berlangsung diantara sahabatnya. Ditutupinya kesedihan itu dengan prilaku sebaliknya, sehingga tak satupun sahabatnya mengetahui keadaan sesungguhnya. Kesedihannya dikarenakan Ibunda tercintanya sedang sakit, yang berkata kepadanya : ‘Kecantikan telah hilang, yang tua minta dihormati dan yang muda minta disayang. Semua untuk dirinya bukan untuk orang lain, apalagi untuk Allah SWT. Aku telah ridho meninggalkan dunia yang seperti ini.’ Tak lama kemudian ia berjumpa dengan sahabat-sahabatnya, kebetulan sedang membicarakan tentang hal kesedihan, sang salik itu berkata : ‘Betapapun pengetahuan kesedihan ini dibicarakan, namun kalian tidak akan bisa merasakan kesedihan yang sedang dirasakan oleh orang-orang yang sedang bersedih, karena kalian sedang tidak dalam keadaan bersedih. Ketahuilah kesedihan itu sungguh pedih, seolah-olah berjuta-juta jarum bersarang didalam dada, sehingga daya harap (roja) begitu tinggi, ia maujud didalam kontemplasinya.’

Kecantikan telah lenyap! Begitulah kata seorang ibu yang sedang sakit, tak heran jika alam menjadi beringas, gempa bumi, banjir, longsor, kebakaran hutan dan badai terjadi dimana-mana, karena jijik dihuni oleh manusia yang menjadi durjana. Sifat kesatria tinggal cerita-cerita saja, dan hanya bisa ditemui didalam kitab-kitab para syaikh sufi, serta hanya bisa didengarkan dari para pendakwah saja, tanpa ada lagi tauladan, laksana mencari sebutir berlian disamudera nan luas. Sifat kesatria atau keperwiraan atau dalam istilah tasawuf disebut futuwwah, menjadi pembicaraan hangat para sufi terdahulu, pada saat itu, semua berlomba menghias alam semesta ini dengan futuwwah yang begitu indah dan menggetarkan hati. Imam Qusyairi,ra., didalam kitabnya yang masyhur Risalatul Qusyairiyah menggolongkan futuwwah kedalam maqom, sedangkan Syaikh Abu Abdirrahman al Sulami,qs., mengatakan bahwa futuwwah adalah tidak merusak kebaikan yang telah dibangun sebelumnya, bersikap lembut kepada orang bodoh dengan kemurahan hatinya, mendidik orang bakhil dengan kedermawanannya. Dizaman kini, orang menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, bahkan para ulama juga terhinggap penyakit yang demikian, persis seperti seorang wanita yang mengurai benangnya yang sudah dipintal dengan kuat sehingga tercerai berai kembali. bersikap kasar kepada orang bodoh, dengan menceramahinya secara panjang lebar, padahal contoh perilaku yang baik lebih berguna baginya, dan tidak satupun yang mendidik orang bakhil dengan hartanya, melainkan menghakiminya sebagai akhli bakhil.

Meskipun futuwwah tinggal cerita-cerita saja, dan orang-orang masa kini mengklaim sebagai pemiliknya tanpa menunjukkan bukti-bukti tindakan yang shahih, ada baiknya bila kita simak beberapa kisah apik yang terjadi dimasa silam sebagai pengetahuan. Sebuah riwayat mengatakan bahwa disaat akhli futuwwah sedang mengunjungi seorang laki-laki yang terkenal karena futuwwahnya. Laki-laki itu menyuruh pelayannya membawa tilam makanan, namun setelah ditunggu beberapa lama, pelayan itu tidak datang. Para tamu saling berpandangan seraya berkata, ‘Ini tidak benar dalam aturan futuwwah.’ Akhirnya, tidak lama kemudian pelayan itu pun muncul, laki-laki itu bertanya : ‘Mengapa begitu lama?’ Dijawab : ‘Ada seekor semut pada tilam itu. Tidaklah patut menurut futuwwah, membentangkan tilam untuk para tamu yang akhli futuwwah manakala ada semut diatasnya, sebaliknya, tidaklah benar pula mencampakkan semut dari kain tilam itu. Jadi saya menunggu sampai semut itu merayap meninggalkan tilam.’ Seorang tamu itu berkata : ‘Jika pelayannya saja mempunyai futuwwah yang begitu tinggi, bagaimana tuannya?’

Kisah, suatu ketika ada jemaah haji yang kehilangan uang, didekatnya ada seseorang, lalu ia memegang tangannya seraya berkata : ‘ Apakah engkau yang mencuri kantong uangku?’ orang itu bertanya : ‘Apa isi kantongmu?’ jemaah haji itu menjawab : ‘Uang sebanyak seribu dinar.’ Laki-laki itu lalu membawa kerumahnya dan memberinya uang seribu dinar. Jemaah haji itu akhirnya kembali ke penginapannya dan menemukan kantong uangnya yang dikiranya hilang. Lalu ia pun pergi menemui laki-laki tadi bermaksud mengembalikan uang yang telah diterimanya dan mengajukan permohonan maaf atas tuduhannya. Laki-laki itu berkata : ‘Aku tidak pernah menerima kembali barang yang telah aku berikan.’ Jemaah haji itu bertanya kepada laki-laki itu : ‘Siapakah nama tuan pemilik futuwwah yang demikian tingginya?’ dijawab : ‘Ja’far ash-Shaddiq.’

Imam Ja’far ash-Shaddiq,ra., adalah cicit Rasulullah,saw., dan juga berdarah Abu Bakar ash Shaddiq,ra., lahir pada tahun 83 H. Semasa kecil diasuh oleh ayahnya yang bernama Imam Muhammad Baqir,ra., dan juga kakeknya, Imam Ali Zainal Abidin,ra. Beliau hidup pada masa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Pada masa itu muncul doktrin-doktrin baru, yakni, muktazilah atau penganut faham qadariyah yang percaya bahwa manusia bebas menentukan pilihannya sendiri tanpa Tuhan mencampurinya, lalu doktrin jabariyah yang percaya bahwa manusia itu tidak mempunyai pilihan sama sekali, doktrin zandaqah, dan lain-lain. Oleh karenanya, sungguh sangat hebat tekanan kehidupannya, karena disamping harus berhadapan dengan penguasa bani Umayah, kemudian bani Abbasiyah, juga berhadapan dengan pengikut doktrin-doktrin yang baru tadi. Imam Jafar ash Shaddiq,ra., syahid diracun oleh Manshur penguasa dari bani Abbasiyah. Makamnya berada di komplek pemakaman Baqi di Madinah berdampingan dengan pusara ayahnya, Imam Muhammad Baqir,ra., dan pusara kakeknya, Imam Ali Zainal Abidin,ra. Kakek, ayah dan beliau sendiri adalah para akhli silsilah Qodiriyah, dan beliau juga akhli silsilah Naqsyabandiyah.

Suatu ketika beliau bertanya kepada Syaikh Syaqiq al-Balkhy,qs., : ‘Apa pendapatmu tentang futuwwah?’ Dijawab : ‘Jika kita diberi sesuatu, kita bersyukur dan jika tidak diberi, kita bersabar.’ Imam Ja’far,ra., berkata : ‘Anjing-anjing di Madinah juga bersikap seperti itu. Seharusnya jika kita diberi sesuatu kita berikan kepada orang lain, dan jika tidak diberi, kita bersyukur.’

Seorang salik berkata kepada salik yang lain : ‘Si fulan begini dan begitu kemana sifat kesatrianya?’ Dijawab : ‘Engkau menanyakan sesuatu yang sudah lama lenyap dari muka bumi ini, yakni futuwwah, tanyakan kepadaku tentang keserakahan, karena aku rajanya.’

Sebuah hadist mengatakan bahwa : ‘Allah Itu Indah dan mencitai keindahan.’ Karenanya, orang-orang yang percaya bahwa kecantikan itu bisa mewujud kembali, berusaha dengan sekuat tenaganya untuk meraihnya kembali, dengan teguh melaksanakan dawamudz dzikri wadawamun ubudiyah.