Sabtu, 31 Juli 2010

KEBIJAKSANAAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian Jum’at malam menyinggung tentang kebijaksanaan Lukmanul Hakim,as., yang begitu hebatnya, khususnya tentang khauf (takut) dan raja (harap). Karena hal ini telah dibicarakan pada bagian terdahulu, maka kita simak saja sebuah kisah yang lain, yang tidak kalah bagusnya, yang dikutip dari kitab mastnawi karya Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,qs.: Gurunya sejak lama sudah mengetahui bahwa kesadaran muridnya yang satu ini jauh lebih unggul daripada kesadaran dirinya. Seringkali, sang guru pun menyuruhnya untuk berbicara didepan murid-murid yang lain disaat pengajian tiba, dan juga mengambil alih peran sebagai Syaikh atau sebagai Guru, manakala Sang Guru berada jauh diluar kota, dengan berkata : ‘Luqman, tempat ini sepantasnya engkau duduki, biarkan aku melayanimu.’

Tidak terpikirkan oleh Luqman,as., apalagi mengharapkan untuk menjadi seorang syaikh, apalagi guru, karena ia menyadari bahwa untuk memimpin dirinya sendiri tidaklah mudah, apalagi memimpin orang lain. Oleh karenanya, ia tetap memasang kewaspadaan yang tinggi dan tidak terkecoh, serta tidak tergoda oleh tawaran sang mursyid dan tetap melayaninya. Pada suatu hari, Sang Guru mendapatkan kiriman buah melon. Lalu dipotongnya sendiri buah itu, dan setiap potongan diberikannya kepada Luqman. Luqman pun memakannya, sambil memuji rasa buah itu, ‘Sungguh manis, seperti madu,’ sampai dia menghabiskan tujuh belas potong. Tinggalah sepotong lagi, maka timbul keinginan dalam diri Sang Guru untuk mencicipinya. Ketika dimasukkan kedalam mulutnya, dia baru tahu betapa asamnya buah itu. ‘luqman, buah se-asam ini engkau puji, dan engkau katakan bahwa manisnya seperti madu? Begitulah Sang Mursyid menegur muridnya. Luqman,as., menundukkan kepalanya dan berkata : ‘Maafkan aku guru, aku tidak ingin guru memakan melon yang asam itu, maka aku bermaksud menghabiskannya sendiri. Karena dalam kehidupan ini, sudah cukup banyak manisan yang kuperoleh dari tanganmu. Baru pertama kali ini, engkau memberikan buah yang asam, apakah aku harus menolaknya? Lagipula, buah yang asam itu sudah tersentuh oleh tanganmu yang manis, yang engkau potong dengan pisau kasih sayangmu. Tidak guru! Aku tidak akan pernah menolak pemberianmu.’

Inilah cinta, buah asam terasa manis karena cinta. Jarum usang berubah menjadi emas karena cinta. Jiwa yang kotor menjadi bersih juga karena cinta. Orang yang cacat kesadarannya tidak akan pernah merasakan manisnya cinta. Tidak pernah bisa membedakan apa yang disukai dan dibenci oleh yang dicinta. Mereka yang buta dari cinta, secara lahiriyah terlihat selalu bersama dengan yang dicinta, namun untuk melayani dirinya bukan melayani yang dicinta. Cinta hanyalah bagi orang-orang yang telah berhasil membunuh dirinya, yang hidup dalam diri yang dicinta. Untuk mengenal cinta dibutuhkan kesadaran yang tinggi. Dibutuhkan rahmat dari Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Jumat, 30 Juli 2010

YAQIN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : 'Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.' (QS 015 : 99)

Keyakinan merupakan buah dari menanam bibit kepatuhan. Selagi berupa bibit dan tanpa adanya pengetahuan (‘ilm) tentang pohon dan buahnya, seseorang belum yaqin apakah bibit yang akan ditanam akan tumbuh seperti pohon yang dimaksud dan menghasilkan buah yang diinginkan. Sebagaimana ayat diatas, adalah sebuah perintah untuk menyembah Tuhan sampai datang sebuah keyaqinan, bahwa yang disembah adalah Tuhan yang dimaksud. Jadi hubungan antara tindakan kepatuhan dan keyaqinan, seperti hubungan badan dengan ruh, menjadi hidup dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karenanya, pertolongan (tawfiq)dan petunjuk Tuhan (hidayah) menjadi faktor utama bagi seseorang untuk menuju kepatuhan, sedangkan perolehan keyaqinan adalah murni tindakan Tuhan. Jadi, mustahil mengenal Tuhan tanpa melalui tindak kepatuhan atas segala yang diperintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.

Dari keterangan diatas, dapat diketahui bahwa yang bisa membebaskan seseorang dari keraguan dan kegelisahan, adalah keyaqinan. Tanpa keyaqinan, bibit tidak akan ditanam. Pengetahuan (‘ilm) adalah keyaqinan kepada realitas objek yang diketahui. Oleh karenanya, bilamana pengetahuan diperoleh, yang tersembunyi menjadi seperti yang terlihat sesungguhnya. Maka, seseorang akan melihat pohon dan buahnya dikemudian hari, sebagaimana ia mengetahuinya melalui pengetahuan (‘ilm) saat sekarang. Jika tidak, maka, pengetahuannya tentang objek yang dimaksud keliru.

Sekarang dilihat dari perspektif yang berbeda, agar kita semua dapat memahami yang dimaksud dengan keyakinan di dunia kesufian. Jika ayat diatas merupakan perintah untuk menyembah Tuhan agar diperoleh keyaqinan, maka keyaqinan mempunyai tingkatan dan tahapan. Karena menyembah Tuhan diwajibkan bagi orang Islam selama ia hidup dan tidak gila, maka begitu pula keyaqinan yang akan ia peroleh berjenjang-jenjang pula.
Semua orang sepakat untuk tidak meragukan keberadaan matahari, karena tiga alasan, pertama, beroleh petunjuk oleh sebab kecemerlangan cahayanya dan dapat merasakan kehangatannya, dalam istilah tasawuf disebut dengan ‘ilm al-yaqin, sehingga ia diketahui, dibuktikan dan tampak jelas. Kedua, melihat wujud matahari, dan inilah yang disebut dengan ‘ayn al-yaqin. Ketiga, memancarkan cahaya mata dalam cahaya matahari, dan inilah yang disebut haqq al-yaqin, dengan demikian, penglihatan menjadi mata dan mata menjadi penglihatan. Jadi, dapat dianalogikan bahwa keyakinan ibarat pohon, akarnya adalah ‘ilm al-yaqin dan cabang-cabang dalam keyakinan adalah ‘ayn al-yaqin dan haqq al-yaqin. Nah, tanpa akar tidak mungkin ada cabang, demikian pula tanpa ‘ilm al-yaqin tidak akan ada ‘ayn al-yaqin dan haqq al-yaqin. Akar pada umumnya tersembunyi didalam tanah, sebagaimana cahaya hakikat yang tersembunyi dari sifat-sifat kemanusiaan. Begitu akar atau cahaya hakikat terungkapkan, melalui peniadaan sifat-sifat kemanusiaan, dengan melakukan tindak riyadhah dan mujahadah yang gigih, maka akan diperoleh ‘wajd’ dan dirinya diliputi oleh rasa kegembiraan, itulah yang disebut ‘ilm al-yaqin. Bukti keterungkapannya berupa ‘wajd’ atau keterpesonaan atau ekstase, dan bukan dengan bimbingan akal dan pengetahuan dari membaca dan mendengar saja. Begitu pula ‘ayn al-yaqin niscaya bisa diperoleh melalui perenungan (kontemplasi), sedangkan haqq al-yaqin melalui meditasi (muroqobah). Bimbingan akal dan pengetahuan dari membaca dan mendengar tidak akan pernah menimbulkan ‘rasa’. Sebagaimana orang yang percaya adanya matahari namun tidak pernah merasakan cahaya kehangatan dan kecemerlangannya, sehingga tidak menjadi petunjuk (huda) baginya.

Imam Hujwiri,ra., berkata bahwa yang dimaksud oleh kaum sufi dengan ‘ilm al-yaqin adalah pengetahuan tentang praktik keagamaan di dunia ini yang sesuai dengan perintah-perintah Tuhan. Dan yang mereka maksud dengan ‘ayn al-yaqin adalah pengetahuan tentang keadaan menjelang mati dan saat meninggalkan dunia ini. Sedang yang mereka maksud dengan haqq al-yaqin adalah pengetahuan intuitif tentang penglihatan (akan Allah) yang akan ditampakkan di surga, dan tentang sifat alamiahnya. Nah, ketiganya merupakan ‘pengetahuan’ yang dapat dirasakan oleh seseorang pada saat ini atas sesuatu yang bagi orang lain masih merupakan cita-citanya.

Oleh karenanya keimanan bisa saja melekat pada semua orang mukmin, akan tetapi keyaqinan hanya milik orang mukmin tertentu saja. Karena, ‘ilm al-yaqin adalah ilmu tentang ‘hal’, bukan apa yang bisa diketahui melalui bukti yang kuat saja. Kegelapan keraguan tidak bisa sekaligus dihilangkan, kecuali dengan terbitnya matahari hakikat. Allah SWT berfirman : 'Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin ('ilm al-yaqin), niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (QS 102 : 5-7)

Selasa, 13 Juli 2010

ADAB DI KHOLAQOH DZIKIR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Seorang salik berkata : “Syaikh sering memberikan perumpamaan kepada orang yang kepalanya dipenuhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari panca indera, namun tidak di-amal-kan, dengan sebutan ‘berat kedepan’ atau dalam bahasa sunda disebut ‘berat keharep’.” Ini sebuah contoh bahwa para salik begitu sangat mencintai syaikhnya, karena tanda cinta adalah mengingat dan menyebut-nyebut namanya secara terus menerus, menyitir pembicaraannya, meniru dan membicarakan perilakunya. Dijadikannya syaikh sebagai suri tauladan dalam mengarungi kehidupan ini. Mabuk cinta kepada syaiknya lebih hebat ketimbang mabuk yang lain. Mabuk mungkin saja bisa terjadi hanya beberapa saat, tetapi mabuk anggur cinta terjadi disetiap saat, disetiap tarikan nafas, jadi wajar saja bila Hakim Sanai mengatakan bahwa : ‘Dimana ada anggur yang memabukkan, beradalah selalu disana.’

Pengetahuan yang diperoleh lewat panca indra (jawarih) hanya menjadi beban, persis seperti seekor keledai yang mengangkat setumpuk buku, sangat berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh dari ‘pengamalan’, yang justru bisa meringankan beban, yang bisa membantu dan meningkatkan kesadaran dan membangkitkan rasa takut kepada Allah SWT. Pengetahuan yang tidak berasal dari pengamalan diri, tidak akan membebaskan dari keangkuhan dan keinginan yang tak kunjung habis, serta tidak akan menimbulkan rasa takut kepada Allah SWT. Sebagaimana cat air yang cepat luntur.

Sesaat sebelum dimulainya dzikir bersama, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu berkata : “Pada saat menyebut kalimat ‘Laa Ilaaha Illallaah’, lupakan yang lain dan hanya mengingat Dzat Allah semata.” Karena himbauan dari beliau ini selalu diucap, jadi mudah dilupakan, tidak dikaji makna terdalamnya, nyaris semua salik ingin cepat-cepat berdzikir, karena didalamnya ada irama dan nada yang menghentak jiwa, buktinya disaat menggerakan kepala, badan jadi turut serta bergerak, persis seperti orang yang sedang menikmati sajian jiwa. Akan tetapi meskipun mulutnya mengucap ‘Laa Ilaaha Illallaah’ namun pikirannya melayang entah kemana. Hal ini terjadi terus menerus, hampir disetiap kesempatan berdzikir. Padahal ucapannya merupakan ikrarnya kepada Allah, yakni, tidak ada yang lain kecuali Allah, termasuk menghapus pikiran yang lain, dan ingatannya hanya kepada Allah semata, jadi ikrarnya bohong belaka. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Paling tidak jawarihnya menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah,’ ini bukan pujian tetapi sindirian yang keras, karena himbauan untuk melupakan yang lain dan hanya mengingat Dzat Allah semata tidak dikerjakan. Jika yang dimaksud dengan berdzikir itu hanya menyebut-nyebut kalimat toyibah ini, maka anak-anak pun mampu melakukannya, tetapi jika memenuhi unsur sebagaimana yang mulia syaikh katakan sangat sulit dilakukan. Karena didalamnya anda tiga unsur yang harus dipenuhi, yang pertama menyebut, yang kedua melupakan dan yang ketiga mengingat, inilah kesempurnaan dzikir, inilah pintu makrifat. Barang siapa berdzikir dengan cara ini, niscaya Allah SWT akan menaburinya pengetahuan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kekuatan untuk mengabaikan hawa nafsu dengan segala keinginannya dan menghiasinya dengan akhlak dan adab yang baik menurut akal dan syariat. Hubungan antara murid dengan gurunya menjadi sangat hebat kedekatannya (fana'u syaikh), selayaknya gerbong dengan lokomotifnya, apa-apa yang terlihat oleh lokomotif terlihat juga oleh gerbongnya, ia ridho dibawa kemana saja oleh lokomotifnya, meskipun kadar penglihatan dan perasaan berbeda, tetapi ia berada pada jalur yang sama.

Melupakan pikiran-pikiran yang membelenggu jiwa adalah pekerjaan yang sangat sulit dilakukan, apalagi mengingat Dzat Allah semata, oleh karenanya ada hadist yang mengatakan bahwa : ‘Barang siapa menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah dengan ikhlas, maka surga baginya.’ Nabi,saw., juga bersabda : ‘Barang siapa meninggal dunia dalam kondisi meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah, niscaya ia masuk surga.’ Dalam riwayat lain : ‘Barang siapa meninggal dunia dalam kondisi bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, niscaya ia masuk surga.’ Makna kesaksian disini adalah pengetahuan disertai keyakinan. Nah, keyakinan diperoleh dari mengamalkan pengetahuan yang benar seacara istiqomah. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Keyakinan adalah keseluruhan iman.’

Seorang salik yang sadar akan hal ini, ia akan selalu memohon pertolongan dari Allah SWT agar kualitasnya dzikirnya ditingkatkan, lalu ia menghias dirinya dengan pakaian yang serba putih dan bersih, memakai wewangian, memakai sorban dan kopiah berwana hijau, mandi sunah sebelum memasuki kholaqoh dzikir, berwudlu yang sempurna, tidak bersender pada apapun, mengikatkan hati (robithoh) hanya kepada yang mulia Syaikhuna, dan memasang niat yang tulus, menghadiahkan seluruh fadhilahnya teruntuk kedua orang tua yang masih ada ataupun yang sudah tiada, mematuhi kaifiat yang benar dalam berdzikir. Khususnya disaat disebut nama-nama akhli silsilah, memasang rasa hurmat, karena mereka hadir. Tidak menyalami syaikh ketika dzikir sudah dimulai, dan tidak pula meletakkan minuman dan beras ditengah-tengahnya. Dimanapun diletakkan dan berharap memperoleh barokah dari kholaqoh dzikir niscaya akan sama. Setelah selesai berdzikir, ia pun tidak bersegera makan dan minum, karena dengan makan dan minum natija dzikirnya tidak akan terasakan. Ia akan segera meninggalkan rubat, karena Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) malu mengusir murid-muridnya.

Melupakan pikiran yang sedang berkecamuk meskipun sulit, namun bisa dilakukan, karena tidak mungkin seseorang secara bersamaan memikirkan dua hal yang berbeda, oleh karenanya, untuk menghapus pikiran adalah dengan memikirkan sesuatu yang lain. Seperti bila seseorang sedang memikirkan gunung, lalu dirubahnya memikirkan tentang lautan, maka gunung lenyap dalam pikiran dan lautan memenuhi relung pikirannya. Demikian pula dalam berdzikir, ingatannya harus diarahkan kepada sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas, tidak bermula. Sifat-sifat-Nya senantiasa ada dan tegak bersama-Nya. Tidak mungkin Dia ada tanpa sifat-Nya. Sebaliknya, tidak mungkin sifat-Nya ada tanpa Dzat-Nya. Seluruh sifat Allah adalah sifat ketuhanan dan tidak bisa dikatakan sebagai diri-Nya. Diri-Nya bukanlah sifat-sifat itu dan bukan pula selain-Nya. Allah SWT adalah Esa. Dia tegak berdiri sendiri. Dia tidak membutuhkan yang lain dengan sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat-Nya sejak azali tegak dengan-Nya dan tidak terhingga sesuai dengan sifat-Nya yang tak bermula dan tak terhingga. Dia wajib ada dengan sendirinya. Dia mustahil membutuhkan. Syaikh Ibn Athoillah,ra., berkata : ‘Tauhid adalah kesudahan paling mulia dan paling sempurna. Mengerti tauhid menambah kejelasan dan kesadaran bagi orang yang berzikir, sementara mengamalkan kosekuensi tauhid menambah petunjuk dan taufik bagi orang yang meniti jalan kepada-Nya.’

Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., berkata : ‘Janganlah puas dengan hanya mengulangi Nama-Nya. Jika pembebasan yang kau inginkan, minumlah dari cawan Dia. Cukup sudah engkau mengulangi Nama-Nya. Sekarang, temukan Sang Pemilik Nama. Jangan tertipu oleh bayangan bulan. Lihatlah bulan yang ada di atas. Cukup sudah membebani dirimu dengan pengetahuan dari luar. Padahal, pengetahuan para nabi ada didalam dirimu sendiri. Untuk memperolehnya, untuk mengalaminya, engkau tidak membutuhkan buku, melainkan guru.’ Nabi,saw., bersabda, : ‘Diantara umatku, ada yang bertabiat sama seperti aku. Jiwa mereka melihat aku dalam cahaya yang sama sebagaimana aku melihat mereka.’

Demikian mudah-mudahan bermanfaat bagi para sahabat.

Jumat, 09 Juli 2010

WARNA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Tulisan ini maupun yang terdahulu dan insya Allah yang akan datang, bila Allah mengkaruniakan kecerdasan, kesehatan jasmani dan rohani, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan bagi yang membutuhkannya saja, dan yang mendapatkan tawfik untuk meneladaninya, karena Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) telah memerintahkannya untuk menulis. Dengan ketawadhuan yang tak terkira, beliau sendirilah yang melakukan koreksi-koreksi terhadap naskah ini. Oleh sebab itu, semua tulisan ini dimulai dengan Basmallah, sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci al Qur’an, agar penulis dan pembacanya dihindarkan dari rasa bangga bila muncul pujian, rasa kesal bila muncul kritikan, dan agar memperoleh berkah darinya. Karena ilmu adalah cahaya apabila diamalkan dan memberikan cahaya pula kepada yang lain. Dan sebaliknya ilmu menjadi sia-sia bila tidak diamalkan, pemiliknya menjadi senang meracau dan membosakan bagi pendengarnya. Nah, tulisan ini adalah hasil dari mendengar, melihat dan khususnya dalam pengamalan-pengamalan ilmu yang dihibahkan oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), serta dalam pengawasannya secara terus menerus. Inti materi yang penting dalam naskah ini, adalah tentang proses pensucian manusia melalui perjuangan melawan keinginan-keingan diri (nafs), dengan cara dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, oleh karenanya disajikan secara berulang-ulang dan dalam sudut pandang yang berbeda-beda, namun mempunyai kesamaan makna, sebagaimana ayat-ayat dan cerita-cerita dalam al Qur’an juga demikian, agar selalu mudah diingat dan dimaknai oleh para pembaca.

Selepas pengajian pada Jum’at malam, seorang salik berkata kepada yang lain : ‘Tadi, disaat berdzikir, sepintas aku melihat warna kuning meliput diriku.’ Salik yang lain tidak mau kalah dan berkata : ‘Yaa warnanya kuning yang tiada taranya, tidak ada warna seperti itu di dunia ini, tidak ada bahasa untuk melukiskannya.’ Percakapan sejenis ini sering terdengar dalam pergaulan bertarekat, sesungguhnya percakapan itu ditunggangi harapan, yakni harapan ingin dianggap bahwa dirinya sudah berada pada maqom yang tinggi, padahal tidaklah demikian adanya. Semua terminologi dalam tasawuf yang dicetuskan oleh para masyaikh terdahulu, niscaya dapat diuraikan dan dapat dipahami, bila tidak sia-sialah tujuannya. Tujuan daripada dibuatnya terminologi itu adalah agar para penerusnya dapat memahami tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan spiritual yang dialami oleh mursyidnya. Dari yang disebut taubat, sabar, syukur, harap, takut, malu, waktu, ridha, sampai dengan istilah fana, baqo, da’im, aqrob, bersatu, melebur, kesemua terminology ini dapat diuraikan. Demikian pula tentang warna yang muncul didalam perjalanan spiritual, yang hakikatnya menunjukkan keadaan spiritual sang pejalan, bukan secara harfiah menjelaskan tentang warna-warninya. Keadaan yang demikian, tidak saja hinggap kepada murid yang baru, melainkan kepada murid lama sekalipun, karena kecerobohannya dan tidak memasang kewaspadaan dalam perjalanannya, penyakit hati ini memang sulit ditundukkan. Penghuni-penghuni sejati alam dunia ini, selalu beranggapan dirinya lebih baik dari orang lain, padahal mereka baru saja selepas mengaji, yang bertujuan untuk membersihkan hati dari kotoran-kotorannya, agar ia merasa makhluk yang hina, yang tidak lebih baik dari apapun, agar dirinya ‘fana’, sungguh ironis memang. Seorang salik yang baik, selalu sibuk menghias batinnya, bukan lahirnya dengan pakaian yang bagus-bagus atau hal lain, orang yang sibuk menghias batinnya, niscaya lupa menghias lahirnya, meskipun tidak ada larangan memakai sesuatu yang indah-indah, karena Allah itu Indah dan mencintai yang indah. Seorang syaikh yang agung berpakaian mewah disaat menjelang ajalnya, selebihnya dihari-hari lain ia berpakaian sederhana saja. Kisah-kisah diatas sangat menyedihkan, karena manusia dipandang lebih tinggi daripada semua entitas lain yang diciptakan. Binatang dan tumbuh-tumbuhan, maupun malaikat dan jin, tidak dianggap sempurna, karena mereka gagal menyatukan dalam diri mereka unsur-unsur wujud yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Kedudukan manusia yang mulia itu berasal dari komposisi unsur-unsur alam fisik dan alam spiritual, atau alam syahadah dan alam ghaib. Ini menyiratkan bahwa manusia merupakan gabungan dari seluruh tingkat manifestasi Tuhan, dan karena itu diciptakan menurut citra Tuhan sebagaimana disebutkan didalam sabda Nabi Muhammad,saw., : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut citra-Nya.’

Meskipun penciptaan Nabiyullah Adam,as., menurut citra-Nya yang sempurna, bukan berarti wujud manusia dikaruniai dengan sifat-sifat Tuhan, karena sifat Tuhan tidak bisa dibagi-bagi, ia maujud didalam esensi-Nya, tetapi hanya menganugerahkan atau menciptakannya didalam diri manusia sifat-sifat mulia. Sebagaimana sifat-sifat-Nya yang terpantul didalam cermin yang dihibahkan kepada manusia, yang mempunyai kemampuan memikul amanat suci yang terdiri atas pengetahuan tentang esensi Tuhan. Tubuh manusia bertindak sebagai batas, yang dengannya hakikat misteri yang lebih tinggi nan bercahaya, dibedakan dari unsur dan energi yang lebih rendah nan gelap. Dan yang lebih penting, tubuh manusia berperan sebagai tujuan dalam penyatuan dua kategori kekuatan ini. Agar manusia selalu berada pada dua entitas yang saling tarik menarik, inilah uniknya manusia itu. Meskipun, diawalnya manusia berada pada tingkat kesempurnaan dan berada pada alam yang tinggi, tiba-tiba ia harus berada pada tempat yang serendah-rendahnya, dan ia harus mendakinya kembali selama ia hidup di alam dunia ini. Nah dalam pendakian inilah, para pejalan berjumpa dengan warna-warni yang mewakili keberhasilannya dalam keteguhannya melakukan riyadhah dan mujahadah, yang dilihat bukan oleh mata inderawinya melainkan mata hatinya, dan di alam spiritual bukan alam syahadah. Sebagaimana orang-orang islam yang ingin mendekati Kabah, sebagian ada yang menyadarinya dan sebagian lagi tidak, bahwasannya mereka melalui pintu-pintu di Masjidil Haram yang ditandai dengan warna-warna yang berbeda-beda Allah SWT berfirman : 'Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya.' (QS 095 : 4-5)

Haruslah disadari bahwa, didalam diri manusia terdapat ‘potensi’ untuk mencapai kedudukan mulia sebagai pemikul amanat Tuhan, yang hanya bisa diaktualisasikan melakui proses praktik pensucian diri, atau praktik spiritual. Nah, praktik spiritual ini hanya bisa dijumpai didalam organisasi tarekat, khususnya tarekat yang mu’tabaroh. Oleh karenanya diperlukan seorang pembimbing ruhani, atau seorang guru mursyid untuk meraihnya, tanpanya, semua pencarian akan sia-sia. Dalam bentuk lahirnya, tubuh manusia sama dengan kategori hewan lainnya, sekalipun ia adalah anggota yang tertinggi dalam kelompok ini. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tubuh jasmani manusia tersusun atas empat unsur, tanah, air, api dan udara.’ Seorang syaikh juga mengatakan bahwa : ‘Manusia terdiri dari jiwa (tanah), hati (air), ruh (api) dan wujud (udara).' Oleh sebab itu, berdasarkan pembentukannya, manusia cenderung berperilaku seperti hewan, yang dikuasai oleh keinginan-keinginan diri. Dengan tiadanya cahaya spiritual, empat bagian unsur manusia itu, cenderung kepada wataknya masing-masing, jiwa dengan kehinaan dan kekesalan, hati kepada perhatian dan keinginan duniawi, wujud terdalam kepada hawa nafsu dan cinta diri, dan ruh kepada kesombongan. Dengan proses pensucian diri yang terus menerus dan dibawah bimbingan seorang mursyid, tubuh jasmani diberkahi oleh-Nya dengan cahaya spriritualitas, hal ini akan mengubah diri mereka kedalam bentuk yang sesuai dengan karateristik manusia yang salih, jiwa memperoleh kesucian sebagai ganti dari kehinaan, dan mengganti kekesalan dengan ketenangan, hati memperhatikan dirinya pada akhirat dan berkahnya, wujud terdalam menjadi pencinta Tuhan dan melakukan ibadah kepada-Nya, dan ruh menggantikan kesombongan dengan rahmat. Perubahan ini terjadi melalui perkembangan-perkembangan spiritual yang sistimatis atau bisa disebut maqom-maqom, yang penciptaannya di alam spiritual selaras dengan penciptaan tubuh manusia dialam fisik. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Bahwa unsur spiritual manusia, adalah terdiri dari tujuh tingkat yang sangat halus dan bertingkat-tingkat kehalusannya, yang disebut ‘lathifah’.’ Karena ia berada di dalam tubuh manusia atau dialam fisik, ia bercampur antara sifat-sifat kebaikan (mahmudah) dan keburukan (majmumah). Sifat majmumah ini seperti memegangi sayap untuk dapat berkembang dan terbang. Oleh karenanya untuk dapat terbang kealam ruhani, seseorang wajib berupaya meniadakan keburukannya, dengan cara-cara sesuai dengan bimbingan guru mursyid. Setiap substansi halus (lathifah) ini, secara progresif lebih sempurna menggambarkan proses aktualisasi kondisi tertinggi yang mungkin dapat dicapai manusia.

Cara-cara pembersihan sifat-sifat majmumah pada ketujuh lathifah adalah dengan dzikir ismu Dzat, yakni pada setiap lathifah ini menyebut Allah … Allah … Allah pada bilangan tertentu. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) setiap menijazahkan pekerjaan ini kepada murid-muridnya, selalu mengingatkan pentingnya mengkuti kaifiat yang benar, menghadirkan rasa-rasa tertentu dan memahami makna doa-doanya, bahkan untuk murid-murid tertentu diwajibkan melakukan muroqobah (meditasi) kepada ketujuh lathifah ini. Sehingga akan menghasilkan cahaya dzikir dalam dirinya, dan melihat berbagai warna sesuai dengan tingkat kemajuannya. Sewaktu ia melangkah maju melalui hierarki tujuh substansi halus, limpahan cahaya meningkat sebagaimana halnya kemurnian warnanya. Warna-warna dan visi-visi ini ditunjukkan oleh Tuhan kepadanya sesuai dengan firman-Nya : ‘Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.’ (QS 055 : 22) Mutiara adalah cahaya-cahaya misteri wujud yang sangat dalam yang didapat dari keberupayaannya menyelam kedasar samudera, sedang batu permata (marjan) diangkat dari dalam bumi atau laut yang rendah, merupakan api cinta hati. Nah, warna-warna itu akan berdatang kepada para pejalan, salah satunya bisa melalui mimpi, warna kuning ditampilkan dalam bentuk tanaman padi yang menguning, warna merah ditunjukkan dari buah delima atau api, warna putih dari salju atau awan atau kabut, warna hitam dari gelapnya malam dan warna hijau dari dedaunan atau hutan yang lebat. Kesemuanya ini mencerminkan kemajuan-kemajuan spiritual yang dengan mudah dapat dilihat oleh syaikhnya, oleh karenanya berhati-hatilah bila menceritakan mimpi-mimpi kepadanya, karena dengan ketajaman basirahnya akan dapat dikenali qualitas mipi itu, apalagi bila ada seorang salik yang mengarang atau menambah-nambahkan mimpinya.

Demikian juga, bila anggota-anggota badan terlena oleh kesenangan dan terkotori oleh keinginan-keinginan diri (nafs), ia akan melihat dalam mimpinya bara api atau lava yang menakutkan lagi menyala-nyala, dan hinggap sebuah rasa yang menggetarkan hati bahwa ia akan dilempar dan dibakar ditempat itu. Ia bisa juga melihat angin ribut, kilat, atau ombak besar yang bergulung, atau keadaan-keadaan berbahaya dan kegelapan yang dirasakan sangat mengerikan. Atau mimpi lain yang membuat hati kaku karena melihat air yang keruh dan kotor, atau jalan sempit dan gelap tanpa berujung, dan istana-istana yang runtuh dan penuh dengan sampah, setiap kali ia mencoba keluar dari keadaan ini, ia selalu gagal. Pada kondisi ini, akan Nampak dalam visinya binatang-binatang berbahaya seperti ular, kalajenking, singa, macan, beruang dan anjing muncul dan menyiksanya. Kodisi yang demikian itu akan sirna dengan sendirinya, bila riyadhah dan mujahadahnya menjadi semakin murni, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengatakan : ‘Bila diperoleh isyarat-isyarat dalam mimpi-mimpi yang menakutkan segera bershodaqoh.’ Intinya, memerangi hawa nafsu selama hidupnya, menafikan dari segala keinginan yang mengajak kepada kejahatan, meminimalkan menikmati sesuatu yang halal, agar sifat-sifatnya berubah menjadi sifat-sifat yang terpuji, sehingga gambaran atau mimpi-mimpi atau visi yang menakutkan dan menjijikkan seperti digambarkan diatas, ditransformasikan menjadi gambaran yang menyenangkan, seperti munculnya binatang yang langka dan menyenangkan hati seperti rusa dan burung-burung yang berwarna-warni serta bersuara indah. Jadilah ia warna-warna murni yang dipersonifikasikan, sehingga akhlaknya indah dan tindak tanduknya bermanfaat bagi makhluk lain di alam semesta ini.