Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Tulisan ini maupun yang terdahulu dan insya Allah yang akan datang, bila Allah mengkaruniakan kecerdasan, kesehatan jasmani dan rohani, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan bagi yang membutuhkannya saja, dan yang mendapatkan tawfik untuk meneladaninya, karena Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) telah memerintahkannya untuk menulis. Dengan ketawadhuan yang tak terkira, beliau sendirilah yang melakukan koreksi-koreksi terhadap naskah ini. Oleh sebab itu, semua tulisan ini dimulai dengan Basmallah, sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci al Qur’an, agar penulis dan pembacanya dihindarkan dari rasa bangga bila muncul pujian, rasa kesal bila muncul kritikan, dan agar memperoleh berkah darinya. Karena ilmu adalah cahaya apabila diamalkan dan memberikan cahaya pula kepada yang lain. Dan sebaliknya ilmu menjadi sia-sia bila tidak diamalkan, pemiliknya menjadi senang meracau dan membosakan bagi pendengarnya. Nah, tulisan ini adalah hasil dari mendengar, melihat dan khususnya dalam pengamalan-pengamalan ilmu yang dihibahkan oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), serta dalam pengawasannya secara terus menerus. Inti materi yang penting dalam naskah ini, adalah tentang proses pensucian manusia melalui perjuangan melawan keinginan-keingan diri (nafs), dengan cara dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, oleh karenanya disajikan secara berulang-ulang dan dalam sudut pandang yang berbeda-beda, namun mempunyai kesamaan makna, sebagaimana ayat-ayat dan cerita-cerita dalam al Qur’an juga demikian, agar selalu mudah diingat dan dimaknai oleh para pembaca.
Selepas pengajian pada Jum’at malam, seorang salik berkata kepada yang lain : ‘Tadi, disaat berdzikir, sepintas aku melihat warna kuning meliput diriku.’ Salik yang lain tidak mau kalah dan berkata : ‘Yaa warnanya kuning yang tiada taranya, tidak ada warna seperti itu di dunia ini, tidak ada bahasa untuk melukiskannya.’ Percakapan sejenis ini sering terdengar dalam pergaulan bertarekat, sesungguhnya percakapan itu ditunggangi harapan, yakni harapan ingin dianggap bahwa dirinya sudah berada pada maqom yang tinggi, padahal tidaklah demikian adanya. Semua terminologi dalam tasawuf yang dicetuskan oleh para masyaikh terdahulu, niscaya dapat diuraikan dan dapat dipahami, bila tidak sia-sialah tujuannya. Tujuan daripada dibuatnya terminologi itu adalah agar para penerusnya dapat memahami tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan spiritual yang dialami oleh mursyidnya. Dari yang disebut taubat, sabar, syukur, harap, takut, malu, waktu, ridha, sampai dengan istilah fana, baqo, da’im, aqrob, bersatu, melebur, kesemua terminology ini dapat diuraikan. Demikian pula tentang warna yang muncul didalam perjalanan spiritual, yang hakikatnya menunjukkan keadaan spiritual sang pejalan, bukan secara harfiah menjelaskan tentang warna-warninya. Keadaan yang demikian, tidak saja hinggap kepada murid yang baru, melainkan kepada murid lama sekalipun, karena kecerobohannya dan tidak memasang kewaspadaan dalam perjalanannya, penyakit hati ini memang sulit ditundukkan. Penghuni-penghuni sejati alam dunia ini, selalu beranggapan dirinya lebih baik dari orang lain, padahal mereka baru saja selepas mengaji, yang bertujuan untuk membersihkan hati dari kotoran-kotorannya, agar ia merasa makhluk yang hina, yang tidak lebih baik dari apapun, agar dirinya ‘fana’, sungguh ironis memang. Seorang salik yang baik, selalu sibuk menghias batinnya, bukan lahirnya dengan pakaian yang bagus-bagus atau hal lain, orang yang sibuk menghias batinnya, niscaya lupa menghias lahirnya, meskipun tidak ada larangan memakai sesuatu yang indah-indah, karena Allah itu Indah dan mencintai yang indah. Seorang syaikh yang agung berpakaian mewah disaat menjelang ajalnya, selebihnya dihari-hari lain ia berpakaian sederhana saja. Kisah-kisah diatas sangat menyedihkan, karena manusia dipandang lebih tinggi daripada semua entitas lain yang diciptakan. Binatang dan tumbuh-tumbuhan, maupun malaikat dan jin, tidak dianggap sempurna, karena mereka gagal menyatukan dalam diri mereka unsur-unsur wujud yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Kedudukan manusia yang mulia itu berasal dari komposisi unsur-unsur alam fisik dan alam spiritual, atau alam syahadah dan alam ghaib. Ini menyiratkan bahwa manusia merupakan gabungan dari seluruh tingkat manifestasi Tuhan, dan karena itu diciptakan menurut citra Tuhan sebagaimana disebutkan didalam sabda Nabi Muhammad,saw., : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut citra-Nya.’
Meskipun penciptaan Nabiyullah Adam,as., menurut citra-Nya yang sempurna, bukan berarti wujud manusia dikaruniai dengan sifat-sifat Tuhan, karena sifat Tuhan tidak bisa dibagi-bagi, ia maujud didalam esensi-Nya, tetapi hanya menganugerahkan atau menciptakannya didalam diri manusia sifat-sifat mulia. Sebagaimana sifat-sifat-Nya yang terpantul didalam cermin yang dihibahkan kepada manusia, yang mempunyai kemampuan memikul amanat suci yang terdiri atas pengetahuan tentang esensi Tuhan. Tubuh manusia bertindak sebagai batas, yang dengannya hakikat misteri yang lebih tinggi nan bercahaya, dibedakan dari unsur dan energi yang lebih rendah nan gelap. Dan yang lebih penting, tubuh manusia berperan sebagai tujuan dalam penyatuan dua kategori kekuatan ini. Agar manusia selalu berada pada dua entitas yang saling tarik menarik, inilah uniknya manusia itu. Meskipun, diawalnya manusia berada pada tingkat kesempurnaan dan berada pada alam yang tinggi, tiba-tiba ia harus berada pada tempat yang serendah-rendahnya, dan ia harus mendakinya kembali selama ia hidup di alam dunia ini. Nah dalam pendakian inilah, para pejalan berjumpa dengan warna-warni yang mewakili keberhasilannya dalam keteguhannya melakukan riyadhah dan mujahadah, yang dilihat bukan oleh mata inderawinya melainkan mata hatinya, dan di alam spiritual bukan alam syahadah. Sebagaimana orang-orang islam yang ingin mendekati Kabah, sebagian ada yang menyadarinya dan sebagian lagi tidak, bahwasannya mereka melalui pintu-pintu di Masjidil Haram yang ditandai dengan warna-warna yang berbeda-beda Allah SWT berfirman : 'Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya.' (QS 095 : 4-5)
Haruslah disadari bahwa, didalam diri manusia terdapat ‘potensi’ untuk mencapai kedudukan mulia sebagai pemikul amanat Tuhan, yang hanya bisa diaktualisasikan melakui proses praktik pensucian diri, atau praktik spiritual. Nah, praktik spiritual ini hanya bisa dijumpai didalam organisasi tarekat, khususnya tarekat yang mu’tabaroh. Oleh karenanya diperlukan seorang pembimbing ruhani, atau seorang guru mursyid untuk meraihnya, tanpanya, semua pencarian akan sia-sia. Dalam bentuk lahirnya, tubuh manusia sama dengan kategori hewan lainnya, sekalipun ia adalah anggota yang tertinggi dalam kelompok ini. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tubuh jasmani manusia tersusun atas empat unsur, tanah, air, api dan udara.’ Seorang syaikh juga mengatakan bahwa : ‘Manusia terdiri dari jiwa (tanah), hati (air), ruh (api) dan wujud (udara).' Oleh sebab itu, berdasarkan pembentukannya, manusia cenderung berperilaku seperti hewan, yang dikuasai oleh keinginan-keinginan diri. Dengan tiadanya cahaya spiritual, empat bagian unsur manusia itu, cenderung kepada wataknya masing-masing, jiwa dengan kehinaan dan kekesalan, hati kepada perhatian dan keinginan duniawi, wujud terdalam kepada hawa nafsu dan cinta diri, dan ruh kepada kesombongan. Dengan proses pensucian diri yang terus menerus dan dibawah bimbingan seorang mursyid, tubuh jasmani diberkahi oleh-Nya dengan cahaya spriritualitas, hal ini akan mengubah diri mereka kedalam bentuk yang sesuai dengan karateristik manusia yang salih, jiwa memperoleh kesucian sebagai ganti dari kehinaan, dan mengganti kekesalan dengan ketenangan, hati memperhatikan dirinya pada akhirat dan berkahnya, wujud terdalam menjadi pencinta Tuhan dan melakukan ibadah kepada-Nya, dan ruh menggantikan kesombongan dengan rahmat. Perubahan ini terjadi melalui perkembangan-perkembangan spiritual yang sistimatis atau bisa disebut maqom-maqom, yang penciptaannya di alam spiritual selaras dengan penciptaan tubuh manusia dialam fisik. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Bahwa unsur spiritual manusia, adalah terdiri dari tujuh tingkat yang sangat halus dan bertingkat-tingkat kehalusannya, yang disebut ‘lathifah’.’ Karena ia berada di dalam tubuh manusia atau dialam fisik, ia bercampur antara sifat-sifat kebaikan (mahmudah) dan keburukan (majmumah). Sifat majmumah ini seperti memegangi sayap untuk dapat berkembang dan terbang. Oleh karenanya untuk dapat terbang kealam ruhani, seseorang wajib berupaya meniadakan keburukannya, dengan cara-cara sesuai dengan bimbingan guru mursyid. Setiap substansi halus (lathifah) ini, secara progresif lebih sempurna menggambarkan proses aktualisasi kondisi tertinggi yang mungkin dapat dicapai manusia.
Cara-cara pembersihan sifat-sifat majmumah pada ketujuh lathifah adalah dengan dzikir ismu Dzat, yakni pada setiap lathifah ini menyebut Allah … Allah … Allah pada bilangan tertentu. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) setiap menijazahkan pekerjaan ini kepada murid-muridnya, selalu mengingatkan pentingnya mengkuti kaifiat yang benar, menghadirkan rasa-rasa tertentu dan memahami makna doa-doanya, bahkan untuk murid-murid tertentu diwajibkan melakukan muroqobah (meditasi) kepada ketujuh lathifah ini. Sehingga akan menghasilkan cahaya dzikir dalam dirinya, dan melihat berbagai warna sesuai dengan tingkat kemajuannya. Sewaktu ia melangkah maju melalui hierarki tujuh substansi halus, limpahan cahaya meningkat sebagaimana halnya kemurnian warnanya. Warna-warna dan visi-visi ini ditunjukkan oleh Tuhan kepadanya sesuai dengan firman-Nya : ‘Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.’ (QS 055 : 22) Mutiara adalah cahaya-cahaya misteri wujud yang sangat dalam yang didapat dari keberupayaannya menyelam kedasar samudera, sedang batu permata (marjan) diangkat dari dalam bumi atau laut yang rendah, merupakan api cinta hati. Nah, warna-warna itu akan berdatang kepada para pejalan, salah satunya bisa melalui mimpi, warna kuning ditampilkan dalam bentuk tanaman padi yang menguning, warna merah ditunjukkan dari buah delima atau api, warna putih dari salju atau awan atau kabut, warna hitam dari gelapnya malam dan warna hijau dari dedaunan atau hutan yang lebat. Kesemuanya ini mencerminkan kemajuan-kemajuan spiritual yang dengan mudah dapat dilihat oleh syaikhnya, oleh karenanya berhati-hatilah bila menceritakan mimpi-mimpi kepadanya, karena dengan ketajaman basirahnya akan dapat dikenali qualitas mipi itu, apalagi bila ada seorang salik yang mengarang atau menambah-nambahkan mimpinya.
Demikian juga, bila anggota-anggota badan terlena oleh kesenangan dan terkotori oleh keinginan-keinginan diri (nafs), ia akan melihat dalam mimpinya bara api atau lava yang menakutkan lagi menyala-nyala, dan hinggap sebuah rasa yang menggetarkan hati bahwa ia akan dilempar dan dibakar ditempat itu. Ia bisa juga melihat angin ribut, kilat, atau ombak besar yang bergulung, atau keadaan-keadaan berbahaya dan kegelapan yang dirasakan sangat mengerikan. Atau mimpi lain yang membuat hati kaku karena melihat air yang keruh dan kotor, atau jalan sempit dan gelap tanpa berujung, dan istana-istana yang runtuh dan penuh dengan sampah, setiap kali ia mencoba keluar dari keadaan ini, ia selalu gagal. Pada kondisi ini, akan Nampak dalam visinya binatang-binatang berbahaya seperti ular, kalajenking, singa, macan, beruang dan anjing muncul dan menyiksanya. Kodisi yang demikian itu akan sirna dengan sendirinya, bila riyadhah dan mujahadahnya menjadi semakin murni, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengatakan : ‘Bila diperoleh isyarat-isyarat dalam mimpi-mimpi yang menakutkan segera bershodaqoh.’ Intinya, memerangi hawa nafsu selama hidupnya, menafikan dari segala keinginan yang mengajak kepada kejahatan, meminimalkan menikmati sesuatu yang halal, agar sifat-sifatnya berubah menjadi sifat-sifat yang terpuji, sehingga gambaran atau mimpi-mimpi atau visi yang menakutkan dan menjijikkan seperti digambarkan diatas, ditransformasikan menjadi gambaran yang menyenangkan, seperti munculnya binatang yang langka dan menyenangkan hati seperti rusa dan burung-burung yang berwarna-warni serta bersuara indah. Jadilah ia warna-warna murni yang dipersonifikasikan, sehingga akhlaknya indah dan tindak tanduknya bermanfaat bagi makhluk lain di alam semesta ini.
Jumat, 09 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.