Selasa, 13 Juli 2010

ADAB DI KHOLAQOH DZIKIR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Seorang salik berkata : “Syaikh sering memberikan perumpamaan kepada orang yang kepalanya dipenuhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari panca indera, namun tidak di-amal-kan, dengan sebutan ‘berat kedepan’ atau dalam bahasa sunda disebut ‘berat keharep’.” Ini sebuah contoh bahwa para salik begitu sangat mencintai syaikhnya, karena tanda cinta adalah mengingat dan menyebut-nyebut namanya secara terus menerus, menyitir pembicaraannya, meniru dan membicarakan perilakunya. Dijadikannya syaikh sebagai suri tauladan dalam mengarungi kehidupan ini. Mabuk cinta kepada syaiknya lebih hebat ketimbang mabuk yang lain. Mabuk mungkin saja bisa terjadi hanya beberapa saat, tetapi mabuk anggur cinta terjadi disetiap saat, disetiap tarikan nafas, jadi wajar saja bila Hakim Sanai mengatakan bahwa : ‘Dimana ada anggur yang memabukkan, beradalah selalu disana.’

Pengetahuan yang diperoleh lewat panca indra (jawarih) hanya menjadi beban, persis seperti seekor keledai yang mengangkat setumpuk buku, sangat berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh dari ‘pengamalan’, yang justru bisa meringankan beban, yang bisa membantu dan meningkatkan kesadaran dan membangkitkan rasa takut kepada Allah SWT. Pengetahuan yang tidak berasal dari pengamalan diri, tidak akan membebaskan dari keangkuhan dan keinginan yang tak kunjung habis, serta tidak akan menimbulkan rasa takut kepada Allah SWT. Sebagaimana cat air yang cepat luntur.

Sesaat sebelum dimulainya dzikir bersama, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu berkata : “Pada saat menyebut kalimat ‘Laa Ilaaha Illallaah’, lupakan yang lain dan hanya mengingat Dzat Allah semata.” Karena himbauan dari beliau ini selalu diucap, jadi mudah dilupakan, tidak dikaji makna terdalamnya, nyaris semua salik ingin cepat-cepat berdzikir, karena didalamnya ada irama dan nada yang menghentak jiwa, buktinya disaat menggerakan kepala, badan jadi turut serta bergerak, persis seperti orang yang sedang menikmati sajian jiwa. Akan tetapi meskipun mulutnya mengucap ‘Laa Ilaaha Illallaah’ namun pikirannya melayang entah kemana. Hal ini terjadi terus menerus, hampir disetiap kesempatan berdzikir. Padahal ucapannya merupakan ikrarnya kepada Allah, yakni, tidak ada yang lain kecuali Allah, termasuk menghapus pikiran yang lain, dan ingatannya hanya kepada Allah semata, jadi ikrarnya bohong belaka. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Paling tidak jawarihnya menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah,’ ini bukan pujian tetapi sindirian yang keras, karena himbauan untuk melupakan yang lain dan hanya mengingat Dzat Allah semata tidak dikerjakan. Jika yang dimaksud dengan berdzikir itu hanya menyebut-nyebut kalimat toyibah ini, maka anak-anak pun mampu melakukannya, tetapi jika memenuhi unsur sebagaimana yang mulia syaikh katakan sangat sulit dilakukan. Karena didalamnya anda tiga unsur yang harus dipenuhi, yang pertama menyebut, yang kedua melupakan dan yang ketiga mengingat, inilah kesempurnaan dzikir, inilah pintu makrifat. Barang siapa berdzikir dengan cara ini, niscaya Allah SWT akan menaburinya pengetahuan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kekuatan untuk mengabaikan hawa nafsu dengan segala keinginannya dan menghiasinya dengan akhlak dan adab yang baik menurut akal dan syariat. Hubungan antara murid dengan gurunya menjadi sangat hebat kedekatannya (fana'u syaikh), selayaknya gerbong dengan lokomotifnya, apa-apa yang terlihat oleh lokomotif terlihat juga oleh gerbongnya, ia ridho dibawa kemana saja oleh lokomotifnya, meskipun kadar penglihatan dan perasaan berbeda, tetapi ia berada pada jalur yang sama.

Melupakan pikiran-pikiran yang membelenggu jiwa adalah pekerjaan yang sangat sulit dilakukan, apalagi mengingat Dzat Allah semata, oleh karenanya ada hadist yang mengatakan bahwa : ‘Barang siapa menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah dengan ikhlas, maka surga baginya.’ Nabi,saw., juga bersabda : ‘Barang siapa meninggal dunia dalam kondisi meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah, niscaya ia masuk surga.’ Dalam riwayat lain : ‘Barang siapa meninggal dunia dalam kondisi bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, niscaya ia masuk surga.’ Makna kesaksian disini adalah pengetahuan disertai keyakinan. Nah, keyakinan diperoleh dari mengamalkan pengetahuan yang benar seacara istiqomah. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Keyakinan adalah keseluruhan iman.’

Seorang salik yang sadar akan hal ini, ia akan selalu memohon pertolongan dari Allah SWT agar kualitasnya dzikirnya ditingkatkan, lalu ia menghias dirinya dengan pakaian yang serba putih dan bersih, memakai wewangian, memakai sorban dan kopiah berwana hijau, mandi sunah sebelum memasuki kholaqoh dzikir, berwudlu yang sempurna, tidak bersender pada apapun, mengikatkan hati (robithoh) hanya kepada yang mulia Syaikhuna, dan memasang niat yang tulus, menghadiahkan seluruh fadhilahnya teruntuk kedua orang tua yang masih ada ataupun yang sudah tiada, mematuhi kaifiat yang benar dalam berdzikir. Khususnya disaat disebut nama-nama akhli silsilah, memasang rasa hurmat, karena mereka hadir. Tidak menyalami syaikh ketika dzikir sudah dimulai, dan tidak pula meletakkan minuman dan beras ditengah-tengahnya. Dimanapun diletakkan dan berharap memperoleh barokah dari kholaqoh dzikir niscaya akan sama. Setelah selesai berdzikir, ia pun tidak bersegera makan dan minum, karena dengan makan dan minum natija dzikirnya tidak akan terasakan. Ia akan segera meninggalkan rubat, karena Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) malu mengusir murid-muridnya.

Melupakan pikiran yang sedang berkecamuk meskipun sulit, namun bisa dilakukan, karena tidak mungkin seseorang secara bersamaan memikirkan dua hal yang berbeda, oleh karenanya, untuk menghapus pikiran adalah dengan memikirkan sesuatu yang lain. Seperti bila seseorang sedang memikirkan gunung, lalu dirubahnya memikirkan tentang lautan, maka gunung lenyap dalam pikiran dan lautan memenuhi relung pikirannya. Demikian pula dalam berdzikir, ingatannya harus diarahkan kepada sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas, tidak bermula. Sifat-sifat-Nya senantiasa ada dan tegak bersama-Nya. Tidak mungkin Dia ada tanpa sifat-Nya. Sebaliknya, tidak mungkin sifat-Nya ada tanpa Dzat-Nya. Seluruh sifat Allah adalah sifat ketuhanan dan tidak bisa dikatakan sebagai diri-Nya. Diri-Nya bukanlah sifat-sifat itu dan bukan pula selain-Nya. Allah SWT adalah Esa. Dia tegak berdiri sendiri. Dia tidak membutuhkan yang lain dengan sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat-Nya sejak azali tegak dengan-Nya dan tidak terhingga sesuai dengan sifat-Nya yang tak bermula dan tak terhingga. Dia wajib ada dengan sendirinya. Dia mustahil membutuhkan. Syaikh Ibn Athoillah,ra., berkata : ‘Tauhid adalah kesudahan paling mulia dan paling sempurna. Mengerti tauhid menambah kejelasan dan kesadaran bagi orang yang berzikir, sementara mengamalkan kosekuensi tauhid menambah petunjuk dan taufik bagi orang yang meniti jalan kepada-Nya.’

Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., berkata : ‘Janganlah puas dengan hanya mengulangi Nama-Nya. Jika pembebasan yang kau inginkan, minumlah dari cawan Dia. Cukup sudah engkau mengulangi Nama-Nya. Sekarang, temukan Sang Pemilik Nama. Jangan tertipu oleh bayangan bulan. Lihatlah bulan yang ada di atas. Cukup sudah membebani dirimu dengan pengetahuan dari luar. Padahal, pengetahuan para nabi ada didalam dirimu sendiri. Untuk memperolehnya, untuk mengalaminya, engkau tidak membutuhkan buku, melainkan guru.’ Nabi,saw., bersabda, : ‘Diantara umatku, ada yang bertabiat sama seperti aku. Jiwa mereka melihat aku dalam cahaya yang sama sebagaimana aku melihat mereka.’

Demikian mudah-mudahan bermanfaat bagi para sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.