Selasa, 24 November 2009

SYUKUR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian Jum’at malam beberapa waktu yang lalu, membahas tentang makna syukur, kemudian membandingkan keutamaan antara syukur dengan sabar, yang bersumber dari kitab Qutul Qulub karya Syaikh abu Thalib al Makki,ra. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bagi saya, tidak peduli, mana yang lebih utama antara sabar dan syukur, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menggapai kedua maqom yang mulia itu, dengan mengerjakan dengan sungguh-sungguh dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, daripada hanya pandai berbicara tetapi tidak pandai bekerja.’ Ujaran ini dalam sekali maknanya, bahwa bukan perkara mudah untuk bisa sampai pada maqom syukur dan sabar. Seorang salik harus mawas diri dan sering merapat kepada sang guru dan memohon petuah tentang cara-cara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam perjalanannya, agar kedua maqom yang luhur itu dapat dicapainya. Semakin seorang murid giat bekerja atau berdzikir pada lathifahnya, maka semakin ia sadar, bahwa ia semakin jauh dari kesempurnaan, semakin merasa tidak lebih baik dari orang lain, lidahnya menjadi kelu dihadapan para sahabatnya apalagi dihadapan gurunya. Oleh karenanya, bila guru memerintahkan untuk berbicara, serasa ada dua buah gunung membebani pundaknya, karenanya, gunakan kesempatan yang berharga itu untuk bertanya kepada sang guru. Sebaliknya, jika ia merasa lebih baik dari murid-murid yang lain, dan merasa pantas memberikan 'tauziah' atau nasihat dihadapan guru, maka ia terperosok kedalam jurang yang dalam. Seseorang yang hatinya masih terkait dengan dunia, bicaranya tak akan membekas dihati pendengarnya. Berbicara kosong akan merendahkan harkat ilmu kalam dan menghina hukum suci. Yang boleh memberikan tauziah hanyalah dia yang diamnya menganiaya agama, dan yang bicaranya akan menyingkirkan kezaliman. Berbicara harus demi keagungan Islam bukan dirinya, keselamatan jiwa manusia bukan mencari kemasyhuran sendiri, dan keridhaan Tuhan Yang Maha Pengasih bukan suka cita manusia semata-mata. Barang siapa berbicara menurut kehendak Tuhan dan karena Tuhan, kata-katanya mempunyai kekuatan dan wibawa yang berkesan pada orang-orang durjana, tetapi jika seseorang berbicara menurut kemauannya sendiri, kata-katanya lemah dan tak berbobot serta tidak bermanfaat bagi pendengarnya. Ilmu kesufian adalah ilmu tahapan yang diperoleh dari melakukan riyadhah dan mujahadah. Bisa saja seseorang memasuki maqom syukur terlebih dahulu, baru kemudian memasuki maqom sabar, ada juga yang sebaliknya, dan demikian pula ada yang kedua maqom itu berdatang silih berganti, terserah bagaimana Allah SWT mengaturnya. Akan tetapi semua syaikh sufi sepakat, bahwa memasuki alam kesucian wajib hukumnya melakukan pertaubatan terlebih dahulu sampai orang itu kukuh didalamnya dan tidak menyia-nyiakan kewajiban yang timbul akibat pertaubatannya, maka ia telah mencapai maqom taubat.

Tentang sabar sudah disampaikan pada bab terdahulu, pada prinsipnya sabar terbentuk dari ketegaran dalam menghadapi sasaran bidikan anak panah kesulitan-kesulitan, tekanan atau kesempitan kehidupan, yang kesemuanya ada dalam ketetapan-Nya. Jika ia tetap berdiri teguh dihadapan-Nya seraya tetap mematuhi dan menaati hukum-Nya, ia telah masuk dalam maqom sabar. Sedangkan bila ia lari ketika panah takdir-Nya menembus dadanya, lalu ia membangkang terhadap perintah dan larangan-Nya, karena dirasakan begitu berat tekanan itu, berarti ia meninggalkan kedudukannya yang selama ini ia jaga dan pelihara. Allah SWT berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.’ (QS 002 : 153) Dikatakan bahwa Allah beserta orang yang sabar namun tidak demikian kepada yang shalat, karena begitu sulitnya orang mampu bersabar dalam menghadapi panah takdir-Nya. Oleh sebab itu, orang-orang yang sabar masih memerlukan pertolongan dan peneguhan, sebagaimana tercermin pada ayat berikut : ‘Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.’ (QS 016 : 127). Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana menyongsong pertolongan Allah SWT? Tidak ada jalan lain kecuali dengan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, atau seseorang dapat berpedoman kepada sebuah ayat al Qur’an : ‘Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (qs 002 : 152) Dan juga dapat berpedoman pada sebuah hadis qudsi : ‘Aku seperti apa yang dipikirkan hamba-Ku mengenai-Ku, dan Aku bersamanya seandainya ia mengingat-Ku. Seandainya ia mengingat-Ku didalam dirinya, Aku pun mengingatnya di dalam diri-Ku, seandainya ia mengingat-Ku di dalam kelompok orang, maka Aku akan mengingatnya di hadapan kelompok yang lebih baik dari mereka, seandainya ia mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sedepa, dan seandainya ia mendekati-Ku sedepa, Aku akan mendekatinya selangkah. Jika ia berjalan mendekati-Ku, Aku berlari mendekatinya.’

Sedangkan syukur adalah keterbukaan hati, terbentuk dari kegembiraan, karena melihat kemurahan, kebaikan, kasih sayang, karunia dan nikmat-nikmat-Nya. Shalat merupakan perwujudan syukur, sebagaimana yang terdapat pada hadist shahih bahwa Rasulullah,saw., melakukan shalat malam sampai kakinya yang diberkahi itu bengkak sebagai tanda syukur atas nikmat-nikmat yang ia peroleh dari Allah SWT. Atau sebuah riwayat mengatakan bahwa, Malaikat mendatangi Nabiyullah Idris,as., menyampaikan berita bahwa Allah telah ridha terhadapnya. Nabiyullah Idris,as., menangis mendengar itu, kemudian ia meminta kepada Allah supaya membiarkannya tetap hidup, ditanya alasannya, beliau menjawab bahwa : ‘Sebelumnya aku beramal untuk diriku sendiri. Kini aku ingin tetap hidup, supaya aku bisa beramal untuk-Nya sebagai rasa syukurku atas keridhaan-Nya terhadapku.’ Kemudian malaikat itu membentangkan sayapnya dan berkata : ‘Duduklah! Idris,as., pun duduk diatas sayap malaikat, lalu malaikat itu membawanya naik ke langit.” Dari kedua riwayat shahih itu, tercermin bahwa syukur sebagai perwujudan amal setelah Allah ridha terhadapnya.

Dipandang dari sudut lain, yakni lawan dari sabar adalah keluh kesah sedangkan lawan daripada syukur adalah kufur. Orang yang berkeluh kesah dalam menghadapi takdir-Nya adalah dosa, sedangkan orang yang kufur terhadap nikmat-nikmat dari Allah menjadikan murka-Nya. Demikian pula bila dilihat dari quantitas, bahwa sesuatu yang jumlahnya sedikit akan lebih baik dari yang jumlahnya banyak. Dari seluruh manusia, jumlah orang yang beriman tentu lebih sedikit, yang berpangkat wali lebih sedikit dari yang mukmin, dan jumlah para nabi lebih sedikit dari para wali, lalu jumlah rasul lebih sedikit dari jumlah nabi. Begitu pula bahwa orang yang bersyukur itu sangat sedikit jumlahnya, oleh sebab itu baginya kedudukan yang teramat mulia disisi Tuhannya, sebagaimana firman-Nya : ‘Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.’ (QS 032 : 9)

Pada umumnya, awalnya adalah sabar, kemudian diikuti oleh syukur, seperti telah dikisahkan pada bab sabar terdahulu, bahwa Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) malah bersyukur tatkala seorang dokter memvonis bahwa ia mengindap suatu penyakit yang sangat membahayakan. Syukurnya tampak jelas dari kesabarannya, karena syukur itu tersembunyi, sebagaimana api yang tersembunyi didalam batu. Sewaktu kecil kita sering bermain batu berwarna putih yang terdapat disekitar rel kereta api, bila kedua batu itu digesekkan dengan keras akan menimbulkan percikan api, lalu dengan mendekatkan kertas koran pada percikan api itu, terciptalah api. Demikian halnya dengan syukur, yaitu mengakui karunia dan nikmat-Nya, memuji Sang Pemberi nikmat, tunduk dan merendahkan diri pada keagungan-Nya, serta memasrahkan jiwa kepada-Nya. Semua ini tersimpan didalam hati (qolbu), seperti api yang tersimpan didalam batu putih tadi. Untuk mengeluarkan api syukur didalam hati, harus ada gesekan yang keras, serta harus tersedia kertas koran agar api dapat menyala. Nah, gesekan yang keras adalah ujian atau cobaan, sedangkan kertas koran adalah nikmat dan karunia-Nya. Dengan ujian dan cobaan saja, api syukur tidak akan bisa dinyalakan, karena yang keluar bukan api syukur melainkan sabar dan pasrah. Supaya api syukur dapat menyala, maka harus ada kertas koran, yaitu nikmat dan karunia-Nya. Sebagaimana yang termaktub didalam firman-Nya : ‘Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi Setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.’ (QS 014 : 5)

Dalam ilmu kesufian, masa diujinya hati para wali dengan bermacam-macam penderitaan yang datang kepada mereka dari Allah SWT, seperti kesedihan, kesempitan, keseganan disebut Imtihan, Allah SWT berfirman : 'Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.' (QS 049 : 3) Sedangkan bila yang diuji adalah hati dan badan mereka dalam bentuk penyakit dan kemalangan disebut bala. Makin berat penderitaan seseorang maka semakin ia dekat dengan Tuhan, karena penderitaan adalah pakaian mereka dan tempat penggodokan orang-orang suci serta santapan para nabi-nabi. Rasulullah,saw., bersabda : 'Kami, nabi-nabi adalah yang paling banyak menderita diantara manusia.' Juga beliau bersabda : 'Nabi-nabi adalah yang paling banyak menderita diantara manusia, kemudian wali-wali, dan kemudian orang-orang lain menurut peringkat mereka masing-masing.' Oleh sebab itu, baik Imtihan ataupun bala pada hakikatnya adalah rahmat, makanya mereka orang-orang suci itu menerimanya dengan rasa syukur, sebagaimana guru tercinta kita dalam memandang dan menghadapi penyakit yang seorang dokter menyebutnya sangat membahayakan itu.

Seseorang mesti jeli melihat ketetapan Allah SWT dan perintah-Nya, ketetapan-Nya melibatkan sedih atau gembira, senang atau susah, sehat atau sakit, kaya atau miskin, serta kesempitan dada atau kelapangan bagi seseorang, yang ketetapan-Nya itu tertulis didalam lembaran yang terpelihara (lauh mahfud) jauh hari sebelum ruh dan jasad manusia dicipta. Begitu di tampakkan pada seseorang, ia tidak akan mampu menghidar, dan seseorang tidak mempunyai pilihan. Sedangkan perintah-Nya sangat jelas, bila panah ketetapan-Nya yang berkenaan dengan kesulitan datang kepada seseorang, maka diperintahkan untuk bersabar, dan sebaliknya bila yang datang adalah panah ketetapan-Nya berupa kesenangan atau kelapangan maka diperintahkan untuk bersyukur, dan seseorang mempunyai pilihan untuk taat atau membangkang. Dan barang siapa mampu berdiri kukuh menjalani dengan teguh perintah-Nya dalam menghadapi ketetapan-Nya maka ia telah masuk kedalam maqon syabar dan syukur, atau mukmin.

Demikian, semoga apa-apa yang diperoleh oleh guru tercinta kita, Allah SWT berkenan melimpahkan kedalam dada kita, amiin yaa Allah ya Rabbal Alamiin.

Minggu, 22 November 2009

EVOLUSI JIWA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Mungkin sudah ratusan buku tasawuf membicarakan tentang evolusi jiwa, dan memang inilah yang menjadi pokok pembicaraan para syaikh sufi. Mereka melihat dan merasakan perubahan-perubahan jiwa dalam perjalanan ‘menuju’ Allah SWT, bahkan mereka berhenti sejenak (wuquf) pada setiap pemberhentian itu (stasiun) meneliti dan menulisnya atau berbagi pengalaman ruhaninya kepada murid-muridnya, khususnya cara-cara atau kaifiat untuk mencapainya. Agar diketahui ciri-ciri, sifat dan rasa yang hakiki, supaya para murid dapat memahami dan bilamana disuatu kelak mengalaminya, maka ia dapat dengan tepat mengetahui kebenarannya. Mereka menyebutnya ilmu tahapan, atau ilmu maqom-maqom. Pada umumnya untuk mencapai maqom-maqom itu, mereka melakukan praktik wirid, dzikir, tafakur, muroqobah, muhasabah, sedangkan ibadah yang wajib tidak dibahas disini, karena bersifat umum bagi setiap orang yang mengaku beriman, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Meskipun pada tahapan tertentu, maqom menjadi hijab, karena setiap maqom berkaitan dengan upayanya dalam melakukan riyadhah dan mujahadah, sedangkan keberserahan setelah keberupayaan, fana dari upayanya, atau fana dari dirinya dan baqo bersama Tuhanya menjadi akhir perjalanan. Setiap kelompok syaikh sufi mempunyai kaifiat yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama, oleh sebab itu, munculah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pembimbing ruhani, diantaranya tarekat Qodiriyah, Naqsyabandiyah, Chistiyah, Sanusiyah, Samaniyah, Tijaniyah, Sadziliyah dan masih banyak lagi. Seperti praktik dzikir, ada kelompok tarekat yang melakukannya secara berbunyi dan menggunakan gerakan-gerakan serta hitungan tertentu, ada pula kelompok lain yang praktik dzikirnya diam dan tidak bergerak, demikian pula tentang praktik muroqobah, ada yang duduk seperti tahiyatul akhir dan ada yang duduk sebaliknya, ada yang mencapai tingkatan dua puluh dan ada pula yang hanya empat. Nah, praktik-praktik itu hanyalah sebuah sarana bukan tujuan, dan merupakah ciri khas dari kelompok sebuah tarekat. Akan tetapi menjadi wajib hukumnya untuk taat dan mengikuti secara tepat kaifiatnya bagi orang-orang yang menganutnya. Tentunya praktik-praktik itu dicontohkan oleh para masyaikh terdahulu yang berpedoman kepada Abu Bakar as Siddiq,ra., dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., yang menerimanya langsung dari Rasulullah,saw., yang bersifat khusus.

Pengajian secara informal bersama seorang mursyid merupakan hal yang langka di era yang serba materialistk ini. Keajaiban-keajaiban (karomah, bagi para waliyullah) atau maunah (bagi para mukmin) sering terlihat dan terasa, walaupun murid-murid yang awam beranggapan bahwa karomah atau maunah itu mestilah dapat dilihat oleh panca indera, sebagaimana mu’jizat para nabi. Pendapat ini salah, karena karomah berbeda dengan mu’jizat, yang pertama datang dan pergi atas kehendak Tuhan, dan diperuntukkan hanya untuk wali-Nya saja, dan bukan konsumsi orang lain, sehingga bentuk karomahnya bisa bersifat lahir dan batin, dan Allah berkehendak untuk dapat disaksikan dan dirasakan oleh murid-murid tertentu saja. Sedangkan yang kedua, datang karena doa seorang nabi dan memang tujuannya untuk diperlihatkan kepada orang lain guna mengukuhkan keimanannya. Dalam kesempatan itu, seorang salik dapat bertanya secara langsung tentang keadaan dirinya atau kesulitan-kesulitan didalam perjalan spiritualnya. Karena, pada umunya pengajian tarekat yang diadakan secara formal, belangsung secara monologis, tidak ada kesempatan bagi seorang salik mengajukan pertanyaan. Meskipun, tanpa pertanyaan pun, seorang mursyid dapat memahami warna jiwa dari murid-muridnya yang hadir. Sehingga ujaran-ujarannya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan bisu murid-muridnya itu. Hal ini merupakan salah satu ciri yang wajib yang ada pada pembimbing ruhani, sebagaimana ucapan Imam Junayd,ra., : ‘Seorang pembimbing ruhani pasti mengetahui semua yang terjadi pada salah seorang muridnya.’ Diriwayatkan bahwa, terpikir oleh Khayr Nassaj bahwa Imam Junayd,ra., sedang menunggu didepan pintunya, dan ia ingin mengusir pikiran itu, karena dalam tradisi tarekat, nyaris mustahil seorang mursyid berkunjung kerumah muridnya. Pikiran yang sama terulang dua dan tiga kali, sehingga ia pergi keluar dan mendapati Imam Junayd,ra., yang mengatakan : ‘Jika engkau mengikuti apa yang terlintas dalam benakmu, tidak perlu bagiku berdiri berlama-lama disini.’ Begitu pula tatkala beberapa orang murid sedang ngariung bersama Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), tiba-tiba beliau memekik : ‘Ruh saudara kita, H Memed, yang sedang sakit berkunjung kesini, sebuah isyarat ia akan segera berpulang keharibaan-Nya.’ Segera murid-murid yang mendengar itu begegas berziarah dan mendapati keadaanya yang sudah payah. Tiga hari setelah kejadian ini, H Memed menghembuskan nafasnya yang terakhir (semoga Allah mensucikan, mengampuni semua dosanya dan menyayanginya).

Disebut buah kelapa, bilamana ia terdiri dari kulit, batok, buah dan air. Tidak tepat, jika kulit dan batok kelapanya saja disebut kelapa, meskipun keduanya adalah bagian darinya. Demikian juga sosok manusia, ia akan disebut manusia manakala lengkap terdiri dari materi yang lahir dan materi yang batin. Materi yang lahir berupa badan, Syaikh (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya cangkang, sedangkan materi yang batin terdiri dari hati, ruh dan jiwa. Ruh mempunyai penasihat bernama akal dan jiwa mempunyai panglima bernama syahwat. Para syaikh sufi sepakat bahwa hati (qolbu) adalah tempat (lokus) ruh dan jiwa. Kata ‘tempat’ atau ‘lokus’ untuk materi-materi yang halus menjadi pokok perbedaan pendapat, khususnya yang berkenaan dengan letak hati (qolbu) pada sosok manusia. Memang, sejak dahulu kala orang-orang kafir Quraysy sudah bertanya kepada Rasulullah,saw., tentang sifat dan hakikat ruh, Allah SWT berfirman : ‘Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS 017 : 85) Rasulullah,saw., bersabda : ‘Ruh-ruh adalah tentara, mereka yang mengenal satu sama lain bersepakat dan mereka yang tidak mengenal satu sama lain berselisih.’ Ruh adalah substansi dan bukan atribut, karena , selama ia masih berkaitan dengan badan, Allah SWT terus menerus mencipta kehidupan baginya, dan kehidupan itu adalah atribut dan dengannya ia hidup. Ruh meliput atau ada yang mengatakan tersimpan dalam badan dan bisa dipisahkan darinya sewaktu ia masih hidup, seperti dalam keadaan tidur. Tapi bilamana ruh meninggalkan badan, akal-pikiran dan pengetahuan tidak lagi bisa ada dalam dirinya, karena itu Rasulullah,saw., mengatakan bahwa ruh-ruh para syahid berada dalam tembolok burung. Dengan demikian, ruh itu tentu substansi (dzat) atau materi yang halus, yang datang dan pergi menurut perintah Allah. Dan ruh itu bisa dilihat oleh mata hati dan bisa menempati tembolok burung atau bisa menjadi tentara yang bergerak kesana-kemari, sebagaimana hadis diatas. Oleh karenanya disaat Mi’raj, Rasulullah,saw., melihat di langit, nabiyullah Adam,as., Yusuf,as., Musa,as., Harun,as., Isa.,as., dan nabiyullah Ibrahim,as. Dan tidak heran bilamana Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dapat merasakan dan mengenal kehadiran ruh murid-muridnya. Dan diriwayatkan bahwa Imam Uways al Qarani,ra., berkata kepada seseorang yang menziarahinya : ‘Assalamulaikum, wahai Harim bin Hayyan!’ Harim berseru : ‘Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah Harim?’ Imam Uways al Qarai,as., menjawab : ‘Ruhku telah mengenal ruhmu.’
Tarekat merupakan paguyuban, yang dipimpin oleh seorang mursyid sebagai pembimbing ruhani bagi para murid-muridnya. Didalamnya terdapat aturan-aturan yang sangat ketat, khususnya pelaksanaan cara-cara (kaifiat) melakukan peribadatan, hal ini merupakan pondasi yang kokoh, karena barang siapa salah menjalankan kaifiatnya, maka hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, dan mungkin saja berbahaya bagi perkembangan jiwanya. Seorang mursyid mempunyai metodologi khusus yang diterima turun temurun dari para masyaikh terdahulu, guna mengantar murid-muridnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT secara benar, cepat dan tepat. Metode, cara-cara atau kaifiatnya shahih dan telah terbukti mujarob, hampir semua metodenya tidak terlepas dari melakukan tindakan riyadhah dan mujahadah, atau dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah. Sehingga maqom-maqom diraih, kesucian demi kesucian tergapai, tahap demi tahap mencapai kedekatan dengan Tuhannya. Semua syaikh sufi sepakat bahwa tempat tambang makrifat adalah hati (qolbu). Oleh karenannya, hampir semua bentuk peribadatannya dipusatkan atau diarahkan kepada hati (qolbu) ini. Maka yang diperlukan bagi seorang salik, adalah patuh terhadap bimbingan mursyidnya, dan mengerti serta memahami mengapa ia ditakdirkan masuk dalam orang-orang yang bertarekat, orang-orang yang mensucikan dirinya, sebagaimana doa yang ia lantunkan dalam setiap kesempatan “Yaa Allah, Engkaulah yang aku maksud, ridho-Mu yang aku harapkan, karuniakan kepadaku rasa cinta kepada-Mu dan sebenar-benar mengenal-Mu, Wahai Yang Maha Belas Kasih, Ilahii anta maqsudi waridhoka matlubi ‘atini mahabbataka wa ma’rifataka ya arhamar rohimiin.”

Yang selalu ditilik oleh Allah SWT pada diri manusia adalah materi yang batin, yakni hati (qolbu), bukan materi yang lahir, oleh karenanya ia menjadi pusat perhatian para syaikh sufi, dan menjadi wajib hukumnya untuk selalu mewaspadai terhadap pengaruh-pengaruh yang buruk. Jika hati (qolbi) diperumpamakan sebagai sebuah ruangan, maka penghuni dalam ruangan itu, bersama-sama antara ruh (cahaya) dan jiwa (kegelapan). Ruh dicipta di alam amr, dan mengenal Tuhan sebagai Tuhan harus dikenal, ia menyerap sifat-sifat Tuhan, oleh karenanya sangat tepat bila diperumpamakan cahaya, sedangkan jiwa tercipta manakala ruh telah menyatu dengan badan, dan karena berada di dunia ini, maka sifat-sifatnya dominan seperti sifat dunia, yakni kegelapan. Oleh sebab itu, hati bisa terkadang bercahaya dan terkadang gelap, tergantung pihak mana yang mempengaruhinya. Sekarang! ruangan itu berada didalam rumah (badan manusia), dan rumah ini dibuat dari empat unsur alam semesta, yakni tanah, air, api dan angin, yang secara keseluruhan bersifat kegelapan, persis seperti sifat jiwa. Karena sifat dan unsurnya sama, rumah dan jiwa menjadi menyatu dan sulit dipisahkan, laksana sepasang kekasih yang mabuk asmara. Sedangkan ruh menyatu dengan ruangan itu, karena asalnya memang bukan pada rumah itu, dan bukan pula di tempat dimana rumah itu berdiri, melainkan dari alam yang tinggi, alam kesucian, atau alam amr. Al hasil, ruangan menjadi gelap, ruh (cahaya) kalah dominan dibanding kegelapan. Lama kelaman jika tidak waspada, dan tidak memberi suplemen pada ruh (cahaya) maka ruangan seluruhnya menjadi gelap gulita. Jika sudah demikian, yang memancar dari rumah tadi adalah kegelapan, tak sedikitpun ada cahaya. Maka dari itu, manusia yang demikian tidak dapat melihat kebenaran-kebenaran dan segala sesuatu gerak gerik dan ucapannya hanyalah kepalsuan belaka.

Mursyid adalah pembimbing ruhani, karena ruangan pada rumahnya bercahaya, yang menjadikan rumahnya pun bercahaya. Oleh sebab itu, menjadi tepat jika ia membimbing murid-muridnya mengembalikan ruangan tadi menjadi bercahaya, walaupun sangat sulit namun bukan hal yang mustahil. Yang pertama dan wajib bagi seseorang adalah memperoleh taufik dan hidayah-Nya, lalu patuh dan taat menjalankan pekerjaan tarekat, atas bimbingan dari seorang mursyid. Praktik dzikir menjadi pekerjaan yang dominan, dengan selalu menyebut asma Allah sebagai pemberi cahaya langit dan bumi, maka ruh tadi akan semakin bercahaya, dan menggeser sedikit demi sedikit kegelapan pada ruangan, sebagaimana yang termaktub didalam al Qur’an : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.’ (QS 024 : 35) Lalu setelah ruangan itu bercahaya, pekerjaan selanjutnya adalah muroqobah atau meditasi untuk mempengaruhi hati (qolbu) agar selalu merasa kehadiran Tuhan (Hudur al-Haq), merasa diawasi dan bersama-sama dengan-Nya, serta merasa diliput oleh-Nya terus menerus sepanjang kehidupannya, dalam keadaan terjaga ataupun tertidur.

Tarekat Qodiriyah, melakukan ritual peribadatannya dikhususkan pada hati (qolbu) baik dzikir, tafakur (kontemplasi) atau muroqobah (meditasi). Demikian pula tarekat Naqsyabandiyah, akan tetapi, tarekat ini mempunyai keyakinan bahwa didalam ruangan tadi masih tedapat ruangan-ruangan yang lain sebanyak tujuh ruangan. Atau dengan kata lain bahwa didalam hati (qolbu) masih terdapat materi-materi halus (lathifah) yang lain, dan hati (qalbu) sebagai ummul lathifah atau ibu dari pada lathifah. Kedua tarekat ini mempunyai metodologi yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama. Oleh sebab itu, Syaikh Ahmad Khatib as Sambasi (semoga Allah mensucikan ruhnya), menggabungkan ke dua tarekat ini menjadi tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sebagai pewaris mutiara ilmu kesufian dari tarekat ini mengatakan bahwa letak hati (qolbu) sebagai tambang makrifat ini, berada pada dua jari dibawah susu sebelah kiri. Ditempat inilah terdapat harta karun yang tidak ternilai harganya dan dijaga sangat ketat oleh sifat binatang ternak dan buas, sifat rububiyah dan sifat syaithoniyah, serta didepan ‘pintu’ hati dijaga oleh para syaithon yang berusaha menyesatkan anak cucu Adam. Nah, jika hati (qolbu) menjadi lokus dari pada dua entitas yang saling tarik menarik, ruh mengajak kearah kesucian dan kembali keasal muasalnya, yakni ‘dekat’ dengan Pencipta-Nya, dan jiwa mengajak kepada hal-hal yang kotor (buruk) agar terjerambab di alam dunia ini, agar manusia semakin tertabiri dari Tuhan, sesuai dengan keterkaitannya terhadap anasir, tanah, air, api dan angin. Oleh karenanya, jiwa dan badan menyatu dan lengket, sulit dipisahkan, dan selalu bertindak mengarah kepada kejahatan, melanggar hukum suci, syariat agama. Maka dari itu, orang-orang yang mencari Tuhan tidak akan pernah mengendorkan perjuangannya melawan jiwa rendahnya, sehingga dengan demikian mereka bisa menggunakan kekuatan ruh dan akal, yang menjadi rumah bagi rahasia Ilahi. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bahwa jiwa dapat dipengaruhi.’ Yakni, melalui bimbingan dari seorang mursyid dalam melaksanakan pekerjaan tarekat, maka tahap demi tahap jiwa akan terpengaruhi oleh sifat-sifat Tuhan dan sedikit demi sedikit akan selaras dengan anasir alam semesta ini.

Kelompok syaikh sufi, mempunyai terminologi dalam menyampaikan pengalaman ruhaninya. Setelah bersungguh-sungguh melakukan praktik-praktik riyadhah dan mujahdah sesuai dengan metodologi masing-masing, jiwa mengalami evolusi, bergerak sedikit demi sedkit, atau tahap demi tahap menggugurkan sifat buruk (majmumah) dan terbukanya sifat-sifat yang terpuji (mahmudah). Perubahan-perubahan pada jiwa (evolusi) ini ada yang menyebut maqom-maqom, yang dimulai dari maqom taubat, sabar, syukur, tawakal dan sampai pada maqom ridha. Ada pula yang menyebutnya dari nafsul imarah, nafsul lawwamah, nafsul mulhimah, nafsul muthmainah, nafsul mardiyah, nafusl radiyah dan yang tertinggi adalah nafsul kamilah. Meskipun cara penyampaiannya berbeda namun mempunyai arti yang sama, terserah mana yang akan digunakannya. Begitu pula letak daripada materi-materi yang halus pada manusia, berbeda tempat namun mempunyai tujuan yang sama pula. Semoga Allah SWT meridhoi ktia semua, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

Minggu, 01 November 2009

UJARAN PERTAMA SULTHONUL AULIYA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Para sahabat tercinta, sebelum membaca ceramah pertama dari pemimpin tarekat Qodiriyah, Sulthonul Auliya Sayyidi Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir al Jailani al Bagdadi,qs., pada hari Jum’at 15 Syawal 545 H, mari bersama-sama kita bacakan Suratul Fatihah, Al Fatihah ........... Amiin.

Hati para waliyullah adalah suci dan bersih. Mereka adalah orang-orang yang sudah bercerai dari makhluk dan tenggelam dalam cinta kepada Sang Pencipta. Mereka telah menceraikan dunia dan mempersiapkan diri untuk Hari Kemudian. Kau tidak akan bisa mengenali mereka, karena kau tersesat dalam dunia ini. Terbentang jarak yang amat jauh antara kau dengan mereka. Jika ada saudaramu mukmin memberimu nasihat, jangan melakukan hal yang bertentangan dengan perkataannya, karena dia bisa melihat hal-hal pada dirimu yang tidak bisa kau lihat. Nabi,saw., bersabda : ‘Seorang mukmin adalah cermin bagi muslim lainnya.’ Seorang mukmin sejati akan selalu memberi nasihat kepada saudaranya sesama muslim, tulus dari dasar hatinya. Dengan terbuka dia katakan kelemahan dari kekurangan saudaranya. Allah Yang Mahasuci telah meletakkan di hati muslim semangat untuk menasihati saudaranya, termasuk nasihat dan menyampaikan kebenaran kepadamu, dan menjelaskan kepadamu apa yang dia pahami. Sebagai imbalannya, dia tidak menginginkan apa pun dari dunia ini maupun di dunia nanti. Yang dia inginkan hanyalah ridho Kekasihnya dan inilah yang menjadi doanya.

Ya, aku sangat berbahagia ketika umatku mencapai keberhasilan dan kemakmuran, dan kemunduran kaumku terasa olehku laksana panah-panah yang menusuk hatiku. Bila salah satu muridku mencapai keberhasilan, maka hati merasa sangat bahagia, sehingga ketundukkan hati dan kepalaku ke hadirat Sang Penciptaku. Wahai hamba Allah! Perbaikan keadaanmulah yang menjadi tujuanku. Aku tidak memiliki pamrih pribadi, karena jenjang itu telah kutaklukkan. Aku ingin menggandeng tanganmu dan membimbingmu menuju jalan yang lurus, maka jangan segan meminta pertolongan dan bantuanku di jalan ini, sehingga engkau dapat mencapai keberhasilan. Aku dapat memperindah dirimu di hadapan Allah dan bukan dalam pandangan manusia, yang kuinginkan adalah menunjukkan padamu siapakah dirimu sesungguhnya. Seperti apakah keadaanmu? Apakah seperti setititk air dalam segumpal daging yang mati, atau laksana sepotong bangkai yang dipenuhi belatung dan ulat, dibiarkan untuk burung pemakan bangkai dan hewan-hewan lain?

Engkau harus paham bahwa orang yang mengajakmu taat dan menjadi hamba para raja dunia ini, dan menuangkan pada hatimu ketamakan dunia, emas dan perak, yang kau anggap lebih berharga daripada harta kekayaanmu yang sejati (iman), sesungguhnya ia sedang menyesatkanmu. Dia tidak lain adalah syaithoon.

Ingatlah pada Allah! Balasan atas ketamakan ini tidak lain adalah hilangnya kemuliaan dan timbulnya kehinaan. Rasulullah,saw., tercinta telah menyatakan : ‘Orang yang paling pantas menerima murka Allah adalah orang yang menghasratkan hal-hal dunia melebihi kebutuhan dirinya, karena tamak.’ Jika kau berpikir manusia dapat memberimu keuntungan berlimpah, sehingga akan menelan segala sesuatu, maka sesungguhnya kau belum mengerti inti rahasia. Ini adalah bisikan syaithon dalam hatimu. Sesungguhnya kau bukanlah hamba Allah, tetapi kau adalah hamba nafsumu dan pembantu-pembantu syaithoon.

Ceraikan kecintaan pada uang dan harta benda dan cobalah bebaskan dirimu dari penjara dunia ini. Jika kau ingin merdeka darinya, maka kau memerlukan bimbingan seseorang. Maka kau harus mencari seorang pembimbing. Ingatlah, bahwa jika kau mencari bimbingan semacam itu dengan mata jasmanimu, itu tak ada bedanya dengan mencari-cari sesuatu dalam gelap. Bimbingan ini hanya bisa ditemukkan dengan menggunakan mata hati dan pandangan ruhani. Jika kau ingin menjumpai bimbingan itu, maka syaratnya adalah iman. Jika kau tidak memiliki iman, maka kau tidak akan pernah memiliki pandangan batin. Allah SWT., berfirman: ‘Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.’ (QS 22 : 46).

Perumpamaan ketamakan terhadap dunia adalah ibarat seseorang yang memberikan uang dinar untuk ditukar dengan jerami. Jerami akan segera terbakar dan musnah, sedangkan dinar yang sebelumnya kau miliki, hilang sudah. Jika imanmu lemah, pastilah kau akan memburu dunia. Cobalah perkuat imanmu sehingga derajatmu dapat terangkat dan memiliki keyakinan sejati kepada Allah. Bila imanmu bertambah kuat, maka kau akan melihat bahwa keyakinanmu kepada Allah bertambah kokoh pula, dan kau akan menyaksikan kebutuhanmu dipenuhi-Nya bahkan tanpa sepengetahuanmu. Bila kau menjauhi keramaian orang, kau akan menyadari bahwa kau mencapai tingkat di mana kau siap dan rela memberikan hidupmu ke tangan Malaikat Maut. Kau tidak akan memikirkan hal itu, juga mengenai ke mana gelombang Laut Kebenaran Sejati akan membawamu.

Maka, kekhawatiran dan kesenangan duniawi sama sekali tidak akan mempengaruhi pikiranmu dan mengganggu jiwamu. Nabi,saw., bersabda : ‘Ceraikanlah pikiranmu dari dunia ini semampu kalian.’ Wahai hamba Allah! Cobalah bebaskan dirimu dari belenggu dunia ini. Tambatkan dirimu dengan tali kokoh rahmat Allah, yang dengan mantap akan menarik bahtera hatimu menuju pantai sejati Samudera Cinta. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Dia Sang Mahatahu. Segala sesuatu ada di dalam kendali-Nya. Jika kau mendambakkan Dia, pertama-tama mintalah kebersihan bagi hatimu, mohonlah iman dan makrifat. Mohonlah ilmu. Mohonlah keridhoan hati. Mohonlah cahaya hati. Mohonlah cinta dan Kasih Sayang-Nya. Mintalah semua ini dari-Nya.

Jika engkau memperoleh ini semua, maka kau telah memiliki segalanya. Jangan tadahkan tanganmu kepada yang lain. Tujuanmu hanyalah Dia. Tidak ada guna memohon pada orang sombong dan angkuh di dunia ini. Wahai hamba Allah! Jika kau hanya mengucapkan kalimat syahadat dengan lidahmu, dan hatimu tidak memunculkan kesaksianmu ini dalam perbuatanmu, maka sesungguhnya kau belum bergerak selangkah pun menuju Sang Pencipta.

Kesungguhan perjalanan menuju Allah tergantung pada laju ruhani dan kekuatan hati. Kedekatan sejati adalah kedekatan jiwa. Amal saleh sejati adalah amal yang disertai jiwa, atau dengan kata lain, keikhlasan. Perbuatan baik ini hanya dapat dilaksanakan jika kau tetap berada di dalam batas-batas yang ditetapkan syariat dan disertai perlindungan syariat. Ini semua hanya bisa dicapai oleh hamba Allah yang sejati dan saleh. Ini harus menjadi mistar pengukurmu. Jika manusia tidak mempergunakan jiwanya sebagai mistar, maka dia tidak akan berhasil. Tindakan atau amalan yang dilakukan untuk memamerkan kesalehan diri, bukanlah amal saleh yang sejati. Amal kebaikan yang sejati dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Orang hanya wajib melaksanakan fa’idl-nya secara terbuka, karena memang diharuskan. Amalan seseorang tergantung kepada tauhid dan keikhlasannya. Jika dua hal ini tidak ada, maka amalan seseorang tidak ubahnya laksana sebuah bangunan tanpa pondasi yang kokoh. Tidak akan lama waktunya bagi bangunan itu untuk rubuh dan runtuh. Pertama-tama bangun dan perkokoh pondasi ini, setelah itu dirikanlah bangunan yang megah. Jika Allah berkehendak, maka bangunan semacam itu tidak akan pernah ambruk atau hancur, karena bangunan ini memiliki pondasi yang kokoh. Hanya dengan menerima Ke-Esa-an Allah, amal-amalmu akan dapat bercahaya di angkasa ruhani sebagaimana bulan purnama dan akan mencurahkan sinar sebagaimana matahari.