Minggu, 22 November 2009

EVOLUSI JIWA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Mungkin sudah ratusan buku tasawuf membicarakan tentang evolusi jiwa, dan memang inilah yang menjadi pokok pembicaraan para syaikh sufi. Mereka melihat dan merasakan perubahan-perubahan jiwa dalam perjalanan ‘menuju’ Allah SWT, bahkan mereka berhenti sejenak (wuquf) pada setiap pemberhentian itu (stasiun) meneliti dan menulisnya atau berbagi pengalaman ruhaninya kepada murid-muridnya, khususnya cara-cara atau kaifiat untuk mencapainya. Agar diketahui ciri-ciri, sifat dan rasa yang hakiki, supaya para murid dapat memahami dan bilamana disuatu kelak mengalaminya, maka ia dapat dengan tepat mengetahui kebenarannya. Mereka menyebutnya ilmu tahapan, atau ilmu maqom-maqom. Pada umumnya untuk mencapai maqom-maqom itu, mereka melakukan praktik wirid, dzikir, tafakur, muroqobah, muhasabah, sedangkan ibadah yang wajib tidak dibahas disini, karena bersifat umum bagi setiap orang yang mengaku beriman, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Meskipun pada tahapan tertentu, maqom menjadi hijab, karena setiap maqom berkaitan dengan upayanya dalam melakukan riyadhah dan mujahadah, sedangkan keberserahan setelah keberupayaan, fana dari upayanya, atau fana dari dirinya dan baqo bersama Tuhanya menjadi akhir perjalanan. Setiap kelompok syaikh sufi mempunyai kaifiat yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama, oleh sebab itu, munculah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pembimbing ruhani, diantaranya tarekat Qodiriyah, Naqsyabandiyah, Chistiyah, Sanusiyah, Samaniyah, Tijaniyah, Sadziliyah dan masih banyak lagi. Seperti praktik dzikir, ada kelompok tarekat yang melakukannya secara berbunyi dan menggunakan gerakan-gerakan serta hitungan tertentu, ada pula kelompok lain yang praktik dzikirnya diam dan tidak bergerak, demikian pula tentang praktik muroqobah, ada yang duduk seperti tahiyatul akhir dan ada yang duduk sebaliknya, ada yang mencapai tingkatan dua puluh dan ada pula yang hanya empat. Nah, praktik-praktik itu hanyalah sebuah sarana bukan tujuan, dan merupakah ciri khas dari kelompok sebuah tarekat. Akan tetapi menjadi wajib hukumnya untuk taat dan mengikuti secara tepat kaifiatnya bagi orang-orang yang menganutnya. Tentunya praktik-praktik itu dicontohkan oleh para masyaikh terdahulu yang berpedoman kepada Abu Bakar as Siddiq,ra., dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., yang menerimanya langsung dari Rasulullah,saw., yang bersifat khusus.

Pengajian secara informal bersama seorang mursyid merupakan hal yang langka di era yang serba materialistk ini. Keajaiban-keajaiban (karomah, bagi para waliyullah) atau maunah (bagi para mukmin) sering terlihat dan terasa, walaupun murid-murid yang awam beranggapan bahwa karomah atau maunah itu mestilah dapat dilihat oleh panca indera, sebagaimana mu’jizat para nabi. Pendapat ini salah, karena karomah berbeda dengan mu’jizat, yang pertama datang dan pergi atas kehendak Tuhan, dan diperuntukkan hanya untuk wali-Nya saja, dan bukan konsumsi orang lain, sehingga bentuk karomahnya bisa bersifat lahir dan batin, dan Allah berkehendak untuk dapat disaksikan dan dirasakan oleh murid-murid tertentu saja. Sedangkan yang kedua, datang karena doa seorang nabi dan memang tujuannya untuk diperlihatkan kepada orang lain guna mengukuhkan keimanannya. Dalam kesempatan itu, seorang salik dapat bertanya secara langsung tentang keadaan dirinya atau kesulitan-kesulitan didalam perjalan spiritualnya. Karena, pada umunya pengajian tarekat yang diadakan secara formal, belangsung secara monologis, tidak ada kesempatan bagi seorang salik mengajukan pertanyaan. Meskipun, tanpa pertanyaan pun, seorang mursyid dapat memahami warna jiwa dari murid-muridnya yang hadir. Sehingga ujaran-ujarannya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan bisu murid-muridnya itu. Hal ini merupakan salah satu ciri yang wajib yang ada pada pembimbing ruhani, sebagaimana ucapan Imam Junayd,ra., : ‘Seorang pembimbing ruhani pasti mengetahui semua yang terjadi pada salah seorang muridnya.’ Diriwayatkan bahwa, terpikir oleh Khayr Nassaj bahwa Imam Junayd,ra., sedang menunggu didepan pintunya, dan ia ingin mengusir pikiran itu, karena dalam tradisi tarekat, nyaris mustahil seorang mursyid berkunjung kerumah muridnya. Pikiran yang sama terulang dua dan tiga kali, sehingga ia pergi keluar dan mendapati Imam Junayd,ra., yang mengatakan : ‘Jika engkau mengikuti apa yang terlintas dalam benakmu, tidak perlu bagiku berdiri berlama-lama disini.’ Begitu pula tatkala beberapa orang murid sedang ngariung bersama Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), tiba-tiba beliau memekik : ‘Ruh saudara kita, H Memed, yang sedang sakit berkunjung kesini, sebuah isyarat ia akan segera berpulang keharibaan-Nya.’ Segera murid-murid yang mendengar itu begegas berziarah dan mendapati keadaanya yang sudah payah. Tiga hari setelah kejadian ini, H Memed menghembuskan nafasnya yang terakhir (semoga Allah mensucikan, mengampuni semua dosanya dan menyayanginya).

Disebut buah kelapa, bilamana ia terdiri dari kulit, batok, buah dan air. Tidak tepat, jika kulit dan batok kelapanya saja disebut kelapa, meskipun keduanya adalah bagian darinya. Demikian juga sosok manusia, ia akan disebut manusia manakala lengkap terdiri dari materi yang lahir dan materi yang batin. Materi yang lahir berupa badan, Syaikh (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya cangkang, sedangkan materi yang batin terdiri dari hati, ruh dan jiwa. Ruh mempunyai penasihat bernama akal dan jiwa mempunyai panglima bernama syahwat. Para syaikh sufi sepakat bahwa hati (qolbu) adalah tempat (lokus) ruh dan jiwa. Kata ‘tempat’ atau ‘lokus’ untuk materi-materi yang halus menjadi pokok perbedaan pendapat, khususnya yang berkenaan dengan letak hati (qolbu) pada sosok manusia. Memang, sejak dahulu kala orang-orang kafir Quraysy sudah bertanya kepada Rasulullah,saw., tentang sifat dan hakikat ruh, Allah SWT berfirman : ‘Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS 017 : 85) Rasulullah,saw., bersabda : ‘Ruh-ruh adalah tentara, mereka yang mengenal satu sama lain bersepakat dan mereka yang tidak mengenal satu sama lain berselisih.’ Ruh adalah substansi dan bukan atribut, karena , selama ia masih berkaitan dengan badan, Allah SWT terus menerus mencipta kehidupan baginya, dan kehidupan itu adalah atribut dan dengannya ia hidup. Ruh meliput atau ada yang mengatakan tersimpan dalam badan dan bisa dipisahkan darinya sewaktu ia masih hidup, seperti dalam keadaan tidur. Tapi bilamana ruh meninggalkan badan, akal-pikiran dan pengetahuan tidak lagi bisa ada dalam dirinya, karena itu Rasulullah,saw., mengatakan bahwa ruh-ruh para syahid berada dalam tembolok burung. Dengan demikian, ruh itu tentu substansi (dzat) atau materi yang halus, yang datang dan pergi menurut perintah Allah. Dan ruh itu bisa dilihat oleh mata hati dan bisa menempati tembolok burung atau bisa menjadi tentara yang bergerak kesana-kemari, sebagaimana hadis diatas. Oleh karenanya disaat Mi’raj, Rasulullah,saw., melihat di langit, nabiyullah Adam,as., Yusuf,as., Musa,as., Harun,as., Isa.,as., dan nabiyullah Ibrahim,as. Dan tidak heran bilamana Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dapat merasakan dan mengenal kehadiran ruh murid-muridnya. Dan diriwayatkan bahwa Imam Uways al Qarani,ra., berkata kepada seseorang yang menziarahinya : ‘Assalamulaikum, wahai Harim bin Hayyan!’ Harim berseru : ‘Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah Harim?’ Imam Uways al Qarai,as., menjawab : ‘Ruhku telah mengenal ruhmu.’
Tarekat merupakan paguyuban, yang dipimpin oleh seorang mursyid sebagai pembimbing ruhani bagi para murid-muridnya. Didalamnya terdapat aturan-aturan yang sangat ketat, khususnya pelaksanaan cara-cara (kaifiat) melakukan peribadatan, hal ini merupakan pondasi yang kokoh, karena barang siapa salah menjalankan kaifiatnya, maka hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, dan mungkin saja berbahaya bagi perkembangan jiwanya. Seorang mursyid mempunyai metodologi khusus yang diterima turun temurun dari para masyaikh terdahulu, guna mengantar murid-muridnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT secara benar, cepat dan tepat. Metode, cara-cara atau kaifiatnya shahih dan telah terbukti mujarob, hampir semua metodenya tidak terlepas dari melakukan tindakan riyadhah dan mujahadah, atau dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah. Sehingga maqom-maqom diraih, kesucian demi kesucian tergapai, tahap demi tahap mencapai kedekatan dengan Tuhannya. Semua syaikh sufi sepakat bahwa tempat tambang makrifat adalah hati (qolbu). Oleh karenannya, hampir semua bentuk peribadatannya dipusatkan atau diarahkan kepada hati (qolbu) ini. Maka yang diperlukan bagi seorang salik, adalah patuh terhadap bimbingan mursyidnya, dan mengerti serta memahami mengapa ia ditakdirkan masuk dalam orang-orang yang bertarekat, orang-orang yang mensucikan dirinya, sebagaimana doa yang ia lantunkan dalam setiap kesempatan “Yaa Allah, Engkaulah yang aku maksud, ridho-Mu yang aku harapkan, karuniakan kepadaku rasa cinta kepada-Mu dan sebenar-benar mengenal-Mu, Wahai Yang Maha Belas Kasih, Ilahii anta maqsudi waridhoka matlubi ‘atini mahabbataka wa ma’rifataka ya arhamar rohimiin.”

Yang selalu ditilik oleh Allah SWT pada diri manusia adalah materi yang batin, yakni hati (qolbu), bukan materi yang lahir, oleh karenanya ia menjadi pusat perhatian para syaikh sufi, dan menjadi wajib hukumnya untuk selalu mewaspadai terhadap pengaruh-pengaruh yang buruk. Jika hati (qolbi) diperumpamakan sebagai sebuah ruangan, maka penghuni dalam ruangan itu, bersama-sama antara ruh (cahaya) dan jiwa (kegelapan). Ruh dicipta di alam amr, dan mengenal Tuhan sebagai Tuhan harus dikenal, ia menyerap sifat-sifat Tuhan, oleh karenanya sangat tepat bila diperumpamakan cahaya, sedangkan jiwa tercipta manakala ruh telah menyatu dengan badan, dan karena berada di dunia ini, maka sifat-sifatnya dominan seperti sifat dunia, yakni kegelapan. Oleh sebab itu, hati bisa terkadang bercahaya dan terkadang gelap, tergantung pihak mana yang mempengaruhinya. Sekarang! ruangan itu berada didalam rumah (badan manusia), dan rumah ini dibuat dari empat unsur alam semesta, yakni tanah, air, api dan angin, yang secara keseluruhan bersifat kegelapan, persis seperti sifat jiwa. Karena sifat dan unsurnya sama, rumah dan jiwa menjadi menyatu dan sulit dipisahkan, laksana sepasang kekasih yang mabuk asmara. Sedangkan ruh menyatu dengan ruangan itu, karena asalnya memang bukan pada rumah itu, dan bukan pula di tempat dimana rumah itu berdiri, melainkan dari alam yang tinggi, alam kesucian, atau alam amr. Al hasil, ruangan menjadi gelap, ruh (cahaya) kalah dominan dibanding kegelapan. Lama kelaman jika tidak waspada, dan tidak memberi suplemen pada ruh (cahaya) maka ruangan seluruhnya menjadi gelap gulita. Jika sudah demikian, yang memancar dari rumah tadi adalah kegelapan, tak sedikitpun ada cahaya. Maka dari itu, manusia yang demikian tidak dapat melihat kebenaran-kebenaran dan segala sesuatu gerak gerik dan ucapannya hanyalah kepalsuan belaka.

Mursyid adalah pembimbing ruhani, karena ruangan pada rumahnya bercahaya, yang menjadikan rumahnya pun bercahaya. Oleh sebab itu, menjadi tepat jika ia membimbing murid-muridnya mengembalikan ruangan tadi menjadi bercahaya, walaupun sangat sulit namun bukan hal yang mustahil. Yang pertama dan wajib bagi seseorang adalah memperoleh taufik dan hidayah-Nya, lalu patuh dan taat menjalankan pekerjaan tarekat, atas bimbingan dari seorang mursyid. Praktik dzikir menjadi pekerjaan yang dominan, dengan selalu menyebut asma Allah sebagai pemberi cahaya langit dan bumi, maka ruh tadi akan semakin bercahaya, dan menggeser sedikit demi sedikit kegelapan pada ruangan, sebagaimana yang termaktub didalam al Qur’an : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.’ (QS 024 : 35) Lalu setelah ruangan itu bercahaya, pekerjaan selanjutnya adalah muroqobah atau meditasi untuk mempengaruhi hati (qolbu) agar selalu merasa kehadiran Tuhan (Hudur al-Haq), merasa diawasi dan bersama-sama dengan-Nya, serta merasa diliput oleh-Nya terus menerus sepanjang kehidupannya, dalam keadaan terjaga ataupun tertidur.

Tarekat Qodiriyah, melakukan ritual peribadatannya dikhususkan pada hati (qolbu) baik dzikir, tafakur (kontemplasi) atau muroqobah (meditasi). Demikian pula tarekat Naqsyabandiyah, akan tetapi, tarekat ini mempunyai keyakinan bahwa didalam ruangan tadi masih tedapat ruangan-ruangan yang lain sebanyak tujuh ruangan. Atau dengan kata lain bahwa didalam hati (qolbu) masih terdapat materi-materi halus (lathifah) yang lain, dan hati (qalbu) sebagai ummul lathifah atau ibu dari pada lathifah. Kedua tarekat ini mempunyai metodologi yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama. Oleh sebab itu, Syaikh Ahmad Khatib as Sambasi (semoga Allah mensucikan ruhnya), menggabungkan ke dua tarekat ini menjadi tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sebagai pewaris mutiara ilmu kesufian dari tarekat ini mengatakan bahwa letak hati (qolbu) sebagai tambang makrifat ini, berada pada dua jari dibawah susu sebelah kiri. Ditempat inilah terdapat harta karun yang tidak ternilai harganya dan dijaga sangat ketat oleh sifat binatang ternak dan buas, sifat rububiyah dan sifat syaithoniyah, serta didepan ‘pintu’ hati dijaga oleh para syaithon yang berusaha menyesatkan anak cucu Adam. Nah, jika hati (qolbu) menjadi lokus dari pada dua entitas yang saling tarik menarik, ruh mengajak kearah kesucian dan kembali keasal muasalnya, yakni ‘dekat’ dengan Pencipta-Nya, dan jiwa mengajak kepada hal-hal yang kotor (buruk) agar terjerambab di alam dunia ini, agar manusia semakin tertabiri dari Tuhan, sesuai dengan keterkaitannya terhadap anasir, tanah, air, api dan angin. Oleh karenanya, jiwa dan badan menyatu dan lengket, sulit dipisahkan, dan selalu bertindak mengarah kepada kejahatan, melanggar hukum suci, syariat agama. Maka dari itu, orang-orang yang mencari Tuhan tidak akan pernah mengendorkan perjuangannya melawan jiwa rendahnya, sehingga dengan demikian mereka bisa menggunakan kekuatan ruh dan akal, yang menjadi rumah bagi rahasia Ilahi. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bahwa jiwa dapat dipengaruhi.’ Yakni, melalui bimbingan dari seorang mursyid dalam melaksanakan pekerjaan tarekat, maka tahap demi tahap jiwa akan terpengaruhi oleh sifat-sifat Tuhan dan sedikit demi sedikit akan selaras dengan anasir alam semesta ini.

Kelompok syaikh sufi, mempunyai terminologi dalam menyampaikan pengalaman ruhaninya. Setelah bersungguh-sungguh melakukan praktik-praktik riyadhah dan mujahdah sesuai dengan metodologi masing-masing, jiwa mengalami evolusi, bergerak sedikit demi sedkit, atau tahap demi tahap menggugurkan sifat buruk (majmumah) dan terbukanya sifat-sifat yang terpuji (mahmudah). Perubahan-perubahan pada jiwa (evolusi) ini ada yang menyebut maqom-maqom, yang dimulai dari maqom taubat, sabar, syukur, tawakal dan sampai pada maqom ridha. Ada pula yang menyebutnya dari nafsul imarah, nafsul lawwamah, nafsul mulhimah, nafsul muthmainah, nafsul mardiyah, nafusl radiyah dan yang tertinggi adalah nafsul kamilah. Meskipun cara penyampaiannya berbeda namun mempunyai arti yang sama, terserah mana yang akan digunakannya. Begitu pula letak daripada materi-materi yang halus pada manusia, berbeda tempat namun mempunyai tujuan yang sama pula. Semoga Allah SWT meridhoi ktia semua, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.