Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Pengajian Jum’at malam beberapa waktu yang lalu, membahas tentang makna syukur, kemudian membandingkan keutamaan antara syukur dengan sabar, yang bersumber dari kitab Qutul Qulub karya Syaikh abu Thalib al Makki,ra. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bagi saya, tidak peduli, mana yang lebih utama antara sabar dan syukur, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menggapai kedua maqom yang mulia itu, dengan mengerjakan dengan sungguh-sungguh dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, daripada hanya pandai berbicara tetapi tidak pandai bekerja.’ Ujaran ini dalam sekali maknanya, bahwa bukan perkara mudah untuk bisa sampai pada maqom syukur dan sabar. Seorang salik harus mawas diri dan sering merapat kepada sang guru dan memohon petuah tentang cara-cara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam perjalanannya, agar kedua maqom yang luhur itu dapat dicapainya. Semakin seorang murid giat bekerja atau berdzikir pada lathifahnya, maka semakin ia sadar, bahwa ia semakin jauh dari kesempurnaan, semakin merasa tidak lebih baik dari orang lain, lidahnya menjadi kelu dihadapan para sahabatnya apalagi dihadapan gurunya. Oleh karenanya, bila guru memerintahkan untuk berbicara, serasa ada dua buah gunung membebani pundaknya, karenanya, gunakan kesempatan yang berharga itu untuk bertanya kepada sang guru. Sebaliknya, jika ia merasa lebih baik dari murid-murid yang lain, dan merasa pantas memberikan 'tauziah' atau nasihat dihadapan guru, maka ia terperosok kedalam jurang yang dalam. Seseorang yang hatinya masih terkait dengan dunia, bicaranya tak akan membekas dihati pendengarnya. Berbicara kosong akan merendahkan harkat ilmu kalam dan menghina hukum suci. Yang boleh memberikan tauziah hanyalah dia yang diamnya menganiaya agama, dan yang bicaranya akan menyingkirkan kezaliman. Berbicara harus demi keagungan Islam bukan dirinya, keselamatan jiwa manusia bukan mencari kemasyhuran sendiri, dan keridhaan Tuhan Yang Maha Pengasih bukan suka cita manusia semata-mata. Barang siapa berbicara menurut kehendak Tuhan dan karena Tuhan, kata-katanya mempunyai kekuatan dan wibawa yang berkesan pada orang-orang durjana, tetapi jika seseorang berbicara menurut kemauannya sendiri, kata-katanya lemah dan tak berbobot serta tidak bermanfaat bagi pendengarnya. Ilmu kesufian adalah ilmu tahapan yang diperoleh dari melakukan riyadhah dan mujahadah. Bisa saja seseorang memasuki maqom syukur terlebih dahulu, baru kemudian memasuki maqom sabar, ada juga yang sebaliknya, dan demikian pula ada yang kedua maqom itu berdatang silih berganti, terserah bagaimana Allah SWT mengaturnya. Akan tetapi semua syaikh sufi sepakat, bahwa memasuki alam kesucian wajib hukumnya melakukan pertaubatan terlebih dahulu sampai orang itu kukuh didalamnya dan tidak menyia-nyiakan kewajiban yang timbul akibat pertaubatannya, maka ia telah mencapai maqom taubat.
Tentang sabar sudah disampaikan pada bab terdahulu, pada prinsipnya sabar terbentuk dari ketegaran dalam menghadapi sasaran bidikan anak panah kesulitan-kesulitan, tekanan atau kesempitan kehidupan, yang kesemuanya ada dalam ketetapan-Nya. Jika ia tetap berdiri teguh dihadapan-Nya seraya tetap mematuhi dan menaati hukum-Nya, ia telah masuk dalam maqom sabar. Sedangkan bila ia lari ketika panah takdir-Nya menembus dadanya, lalu ia membangkang terhadap perintah dan larangan-Nya, karena dirasakan begitu berat tekanan itu, berarti ia meninggalkan kedudukannya yang selama ini ia jaga dan pelihara. Allah SWT berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.’ (QS 002 : 153) Dikatakan bahwa Allah beserta orang yang sabar namun tidak demikian kepada yang shalat, karena begitu sulitnya orang mampu bersabar dalam menghadapi panah takdir-Nya. Oleh sebab itu, orang-orang yang sabar masih memerlukan pertolongan dan peneguhan, sebagaimana tercermin pada ayat berikut : ‘Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.’ (QS 016 : 127). Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana menyongsong pertolongan Allah SWT? Tidak ada jalan lain kecuali dengan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, atau seseorang dapat berpedoman kepada sebuah ayat al Qur’an : ‘Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (qs 002 : 152) Dan juga dapat berpedoman pada sebuah hadis qudsi : ‘Aku seperti apa yang dipikirkan hamba-Ku mengenai-Ku, dan Aku bersamanya seandainya ia mengingat-Ku. Seandainya ia mengingat-Ku didalam dirinya, Aku pun mengingatnya di dalam diri-Ku, seandainya ia mengingat-Ku di dalam kelompok orang, maka Aku akan mengingatnya di hadapan kelompok yang lebih baik dari mereka, seandainya ia mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sedepa, dan seandainya ia mendekati-Ku sedepa, Aku akan mendekatinya selangkah. Jika ia berjalan mendekati-Ku, Aku berlari mendekatinya.’
Sedangkan syukur adalah keterbukaan hati, terbentuk dari kegembiraan, karena melihat kemurahan, kebaikan, kasih sayang, karunia dan nikmat-nikmat-Nya. Shalat merupakan perwujudan syukur, sebagaimana yang terdapat pada hadist shahih bahwa Rasulullah,saw., melakukan shalat malam sampai kakinya yang diberkahi itu bengkak sebagai tanda syukur atas nikmat-nikmat yang ia peroleh dari Allah SWT. Atau sebuah riwayat mengatakan bahwa, Malaikat mendatangi Nabiyullah Idris,as., menyampaikan berita bahwa Allah telah ridha terhadapnya. Nabiyullah Idris,as., menangis mendengar itu, kemudian ia meminta kepada Allah supaya membiarkannya tetap hidup, ditanya alasannya, beliau menjawab bahwa : ‘Sebelumnya aku beramal untuk diriku sendiri. Kini aku ingin tetap hidup, supaya aku bisa beramal untuk-Nya sebagai rasa syukurku atas keridhaan-Nya terhadapku.’ Kemudian malaikat itu membentangkan sayapnya dan berkata : ‘Duduklah! Idris,as., pun duduk diatas sayap malaikat, lalu malaikat itu membawanya naik ke langit.” Dari kedua riwayat shahih itu, tercermin bahwa syukur sebagai perwujudan amal setelah Allah ridha terhadapnya.
Dipandang dari sudut lain, yakni lawan dari sabar adalah keluh kesah sedangkan lawan daripada syukur adalah kufur. Orang yang berkeluh kesah dalam menghadapi takdir-Nya adalah dosa, sedangkan orang yang kufur terhadap nikmat-nikmat dari Allah menjadikan murka-Nya. Demikian pula bila dilihat dari quantitas, bahwa sesuatu yang jumlahnya sedikit akan lebih baik dari yang jumlahnya banyak. Dari seluruh manusia, jumlah orang yang beriman tentu lebih sedikit, yang berpangkat wali lebih sedikit dari yang mukmin, dan jumlah para nabi lebih sedikit dari para wali, lalu jumlah rasul lebih sedikit dari jumlah nabi. Begitu pula bahwa orang yang bersyukur itu sangat sedikit jumlahnya, oleh sebab itu baginya kedudukan yang teramat mulia disisi Tuhannya, sebagaimana firman-Nya : ‘Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.’ (QS 032 : 9)
Pada umumnya, awalnya adalah sabar, kemudian diikuti oleh syukur, seperti telah dikisahkan pada bab sabar terdahulu, bahwa Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) malah bersyukur tatkala seorang dokter memvonis bahwa ia mengindap suatu penyakit yang sangat membahayakan. Syukurnya tampak jelas dari kesabarannya, karena syukur itu tersembunyi, sebagaimana api yang tersembunyi didalam batu. Sewaktu kecil kita sering bermain batu berwarna putih yang terdapat disekitar rel kereta api, bila kedua batu itu digesekkan dengan keras akan menimbulkan percikan api, lalu dengan mendekatkan kertas koran pada percikan api itu, terciptalah api. Demikian halnya dengan syukur, yaitu mengakui karunia dan nikmat-Nya, memuji Sang Pemberi nikmat, tunduk dan merendahkan diri pada keagungan-Nya, serta memasrahkan jiwa kepada-Nya. Semua ini tersimpan didalam hati (qolbu), seperti api yang tersimpan didalam batu putih tadi. Untuk mengeluarkan api syukur didalam hati, harus ada gesekan yang keras, serta harus tersedia kertas koran agar api dapat menyala. Nah, gesekan yang keras adalah ujian atau cobaan, sedangkan kertas koran adalah nikmat dan karunia-Nya. Dengan ujian dan cobaan saja, api syukur tidak akan bisa dinyalakan, karena yang keluar bukan api syukur melainkan sabar dan pasrah. Supaya api syukur dapat menyala, maka harus ada kertas koran, yaitu nikmat dan karunia-Nya. Sebagaimana yang termaktub didalam firman-Nya : ‘Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi Setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.’ (QS 014 : 5)
Dalam ilmu kesufian, masa diujinya hati para wali dengan bermacam-macam penderitaan yang datang kepada mereka dari Allah SWT, seperti kesedihan, kesempitan, keseganan disebut Imtihan, Allah SWT berfirman : 'Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.' (QS 049 : 3) Sedangkan bila yang diuji adalah hati dan badan mereka dalam bentuk penyakit dan kemalangan disebut bala. Makin berat penderitaan seseorang maka semakin ia dekat dengan Tuhan, karena penderitaan adalah pakaian mereka dan tempat penggodokan orang-orang suci serta santapan para nabi-nabi. Rasulullah,saw., bersabda : 'Kami, nabi-nabi adalah yang paling banyak menderita diantara manusia.' Juga beliau bersabda : 'Nabi-nabi adalah yang paling banyak menderita diantara manusia, kemudian wali-wali, dan kemudian orang-orang lain menurut peringkat mereka masing-masing.' Oleh sebab itu, baik Imtihan ataupun bala pada hakikatnya adalah rahmat, makanya mereka orang-orang suci itu menerimanya dengan rasa syukur, sebagaimana guru tercinta kita dalam memandang dan menghadapi penyakit yang seorang dokter menyebutnya sangat membahayakan itu.
Seseorang mesti jeli melihat ketetapan Allah SWT dan perintah-Nya, ketetapan-Nya melibatkan sedih atau gembira, senang atau susah, sehat atau sakit, kaya atau miskin, serta kesempitan dada atau kelapangan bagi seseorang, yang ketetapan-Nya itu tertulis didalam lembaran yang terpelihara (lauh mahfud) jauh hari sebelum ruh dan jasad manusia dicipta. Begitu di tampakkan pada seseorang, ia tidak akan mampu menghidar, dan seseorang tidak mempunyai pilihan. Sedangkan perintah-Nya sangat jelas, bila panah ketetapan-Nya yang berkenaan dengan kesulitan datang kepada seseorang, maka diperintahkan untuk bersabar, dan sebaliknya bila yang datang adalah panah ketetapan-Nya berupa kesenangan atau kelapangan maka diperintahkan untuk bersyukur, dan seseorang mempunyai pilihan untuk taat atau membangkang. Dan barang siapa mampu berdiri kukuh menjalani dengan teguh perintah-Nya dalam menghadapi ketetapan-Nya maka ia telah masuk kedalam maqon syabar dan syukur, atau mukmin.
Demikian, semoga apa-apa yang diperoleh oleh guru tercinta kita, Allah SWT berkenan melimpahkan kedalam dada kita, amiin yaa Allah ya Rabbal Alamiin.
Selasa, 24 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.