Selasa, 29 Desember 2020

MAKNA MAULID - AKHLAK DAN ADAB

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

eSHa 29/12/2020

Yang mulia baginda Nabi Muhammad,saw, bersabda : ‘innama bu'istu liutammima makarimal akhlak.’

Adanya hadis diatas menjadikan manusia berlomba untuk memperbaiki akhlak, khususnya para orang tua dalam menididik anak-anaknya. Merasa dengan demikian sudah turut membantu Rasulullah,saw, dalam membangun akhlak manusia. Bahkan di tahun 1970an pada setiap Sekolah Dasar ada kurikulum tentang agama dan budi pekerti (akhlak), tetapi di era tahun 2000an sudah tidak ada. Apakah cukup pendidikan dari orang tua dalam mendidik anak-anaknya dalam membangun akhlak yang baik?

Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya : ‘Wama khalaqtul jinna wal Insa illa liya'budun.’ Tetapi kebanyakan manusia jika ditanya apa yang diinginkan di dalam hidup ini jawabannya adalah kebahagiaan. Disebabkan definisi kebahagiaan berbeda-beda sesuai dengan warna jiwa seseorang, maka kebanyakan mencarinya di tempat yang salah dan tidak mendapatkannya, meskipun sudah berkecukupan harta benda dan tahtanya. Seorang Syeikh mengatakan bahwa : ‘Sesungguhnya kebahagiaan itu ada didalam akhlakul karimah atau akhlak yang terpuji.’ Dan dikatakan bahwa : ‘Ibadah adalah kehambaan dan kehambaan itu tidak tercapai melainkan apabila memiliki akhlak yang mulia.’ Apakah yang dimaksud dengan akhlak adalah menundukkan diri tatkala bertemu dengan orang yang lebih tua, atau memberi tempat duduk bagi wanita, atau duduk bersila dan menundukkan kepada dihadapan guru?.

Para syekh sufi berdiri pada prinsip bahwa yang dimaksud dengan hadist : ‘innama bu’istu liutammima makarimal akhlak, adalah bahwa Nabi,saw dijadikan rasul dengan membawa Al Qur’an dan sunahnya semata-mata sebagai konsep untuk melahirkan akhlak.’ Jadi sama artinya bahwa sebetulnya agama ini diturunkan untuk membangun akhlak, bahkan dikatakan tanpa ada agama manusia tidak akan bisa berakhlak, akhlak yang dimaksud adalah akhlak kasbiyah, akhlak yang dicapai melalui pelaksanaan agama atau bisa disebut sebagai adab, oleh karenanya bila tidak ada agama maka tidak akan ada adab. Perangkat utama yang dibutuhkan manusia untuk melaksanakan akhlak adalah akal, karena fungsi akal adalah ‘mengikat’, itu sebab orang yang tidak berakal tidak ada taklif atau kewajiban agama, dan yang lain adalah ilmu, dengan adanya ilmu maka dapat mengamalkan ‘agama’ itu sendiri.

Dalam hadis itu baginda Nabi,saw mengatakan ‘liutammima’ yang sering diartikan sebagai sempurna, sedangkan para syeikh sufi memberikan makna untuk mempersiapkan atau untuk mewujudkan atau untuk membangun akhlakul karimah, atau dengan kata lain untuk menanam biji akhlak dan menyiraminya dengan pelaksanaan agama sehingga tumbuh cabang dan buah akhlak-akhlak yang mulia. Akhlak yang dimaksud adalah yang tumbuh dari melaksanakan agama, oleh karena itu perlu dipahami bahwasannya akhlak itu ada dua, akhlak jibiliyah (bawaan) dan akhlak kasbiyah (adab). Akhlak jibiliyah adalah akhlak bawaan atau fitrah atau dalam bahasa kimia disebut inheren, akhlak yang sudah ditanamkan kedalam tubuh ini, seperti rasa jahe di dalam batang jahe. Akhlak ini tidak bisa dirubah, tidak bisa dihilangkan, semua manusia mepunyainya, sebagaimana Allah SWT firmankan : ‘wanafsi wama syawwaha, fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,’ maknanya bahwa tubuh ini sudah dipersiapkan dan sudah mengandung bawaan sifat ‘fujur’ dan sifat ‘takwa’, sedangkan yang dimaksud dengan akhlak kasbiyah (adab) adalah yang diperoleh melalui upaya, sebagaimana lanjutan ayat diatas : ‘qod aflaha man zakkaha’ maksudnya adalah orang yang melakukan pembersihan diri akan mendapatkan akhlak kasbiyah (adab). Maka pada setiap manusia untuk melahirkan perbuatan baik dan buruk pastilah menggunakan akal dan ilmu, oleh sebab itu ketika akal tidak ada atau tidak waras, maka tidak akan mampu untuk mengaplikasikan kebaikan ataupun keburukan, padahal sifatnya inheren atau ada dalam tubuhnya. Jadi sebodoh-bodohnya orang tetap mempunyai pikiran baik dan buruk. Yang perlu disadari bahwa akhlak jibiliyah atau akhlak bawaan ini bersifat ‘ananiyah’ atau pribadi atau selalu bersentuhan dengan maslahat pribadi. Oleh karenanya jika melakukan kebaikan maka keuntungannya mesti kembali kepada dirinya, kalau tidak maka tidak mau melakukannya. Misalnya, memberi makan orang atau membantu orang lain dalam bentuk materi atau tenaga dan pikiran adalah perbuatan baik, tetapi karena ada tuntutan ucapan terima kasih maka munculah perbuatan buruk, padahal agama memerintah tanpa pamrih. Memberi adalah kebaikan tetapai menuntut ucapan terima kasih adalah keburukan, atau dengan kata lain bahwa kebaikan yang sudah diberikan akan berakhir dengan keburukan. Para sahabat Rasulullah,saw, ketika memberi mereka takut jika akan ada balasan ucapan terima kasih, karena mereka mempunyai akhlak kasbiyah (adab), akhlak diniyah, atau para syeikh sufi mengatakan akhlak Al Muhammadiyah.

Sungguh sangat jelas bahwa agama diturunkan sebagai media untuk membangun akhlak, namun membangun akhlak didalam rohani bukan jasmani, oleh karenanya Al Qur’an itu adalah hidayah ruhiyah, sebagaimana ayat awal dalam surat al baqoroh ‘Dzalikal kitabu la raiba fih’ kata ‘rai’ saja sudah mencerminkan ruhiyah bukan aqliyah, dan hudalil muttaqin, bahwa Nabi,saw pernah berkata sampai tiga kali ‘at taqwa hahuna’ sambal menepuk dadanya (latifatul qolbi). Tetapi yang sangat penting bahwa untuk mendapatkan akhlak kasbiyah (adab) ini, manusia mesti melakukan agama secara ‘lillaahi ta'ala’. Oleh karenya manusia belum bisa melaksanakan agama jika motor penggeraknya adalah sifat kebaikan bawaan (akhlak jibiliyah), ini tidak lah cukup, karena sifatnya individual dan egois atau pamrih. Maka ciri-ciri orang yang melaksanakan agama menggunakan akhlak bawaan adalah ‘ananiyah’ atau mengaku, ananiyah itu artinya egois, motivasinya adalah kepentingan pribadi, maslahat diri, yang kedua mengaku bahwa sudah menyabari, sudah meridhoi, sudah mensyukuri, padahal itu bukan akhlak yang sebenarnya, itu akhlak bawaan, anak kecil pun juga punya meskipun akalnya belum di taklik, tapi sifat baik buruknya sudah ada, dan melakukan kebaikan hanya untuk kemaslahatan pribadi, kalau tidak ada kebaikannya pada diri, maka anak kecil itu tidak akan melakukannya, sampai dewasa akan begitu terus. Maka orang seperti ini akan sering mengguman : ‘saya kurang bagaimana sabar, saya kurang bagaimana ridho, saya kurang bagaimana dan bagaimana,’ karena merasa yang telah dilakukannya tidak ada maslahat yang kembali kepada dirinya. Adapun akhlakul karimah yang disebut-sebut dalam Alquran dan hadis yang dikatakan ‘wa innaka la'ala khuluqin adzim’ itu adalah akhlak kasbiyah (adab), orang sufi mengatakan ahklak sayidina Muhammad,saw. Apabila orang memiliki akhlak kasbiyah ini dan ditanya apa rasanya, maka akan dijawab rasa Muhammad,saw.

Imam Ibnu Arabi,qs, pernah memberikan analogi bagaimana orang yang memiliki akhlak kasbiyah (adab) dapat merasakan kehadiran Nabi,saw. Dikatakan seperti anak muda ketika belum menjadi ayah, dia tidak mengerti rasa sebagai ayah, tetapi setelah dia punya anak dan istri barulah ayah itu ada pada dirinya, yang sebelumnya tidak dipahami baru kemudian dapat dipahami, maka akan mengerti mengapa ayahnya dahulu bersikap begini dan begitu, perumpamaannya seperti itu. Seseorang tidak akan paham Nabi,saw kecuali jika memiliki akhlak kasbiyah itu, kita pun tidak paham bagaimana menjalankan agama kalau tidak mempunyai akhlak kasbiyah. Tidak ada jalan untuk memperolehnya kecuali melalui pelaksanakan agama ini tetapi lillaah atau orientasi hati jujur kepada Allah (siddiqut tawajjuh). Banyak penceramah di tv, apabila mengajak orang shalat mesti embel-embelnya nanti rezekinya banyak, kalau mengajak orang shodaqoh mesti akan mendapat balasan yang berlipat ganda, jika bisnisman jatuh atau gagal lalu kalau pengen maju mesti sodaqoh nanti dapat ini dan dapat itu, ini kan ajaran sesat dalam konteks tasawuf. Kita perlu orang-orang yang membangun agama di dalam jiwanya, melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah. Tetapi dalam dalam lain waktu penceramah tadi berbicara aqidah, bahwa rezeki sudah Allah tentukan tidak ada kaitannya dengan upaya manusia, itu pertanda bahwa agama itu hanya dalam nash, hanya dalam lisan, tidak dalam hakikat jiwanya. Satu-satunya cara untuk mendapatkan akhlak kasbiyah (adab) itu melainkan beribadah karena Allah saja, shalat karena Allah, shodaqoh karena Allah, ngaji karena Allah, nanti ngajarnya juga Karena Allah, semuanya karena Allah, barulah akan terbangun manusia rohani yang berakhlak kasbiyah (adab), pada gilirannya baru bisa dengan betul melaksanakan agama seperti yang dikehendaki Allah. Maka selama melakukan agama itu tidak karena Allah, maka pelaksanaan agama itu akan diakui oleh akhlak jibiliyahnya, aku sudah shalat, aku sudah puasa, aku sudah shodaqoh, aku sudah mengajar, aku sudah dzikir, bahkan tidak boleh dihina, tidak boleh dicaci atau di remehkan, karena selalu mengaku dan merasa alim, atau mengaku keturunan orang besar, atau keturunan ulama dan lain sebagainya, seolah-olah agama itu miliknya. Dan ciri yang terparah manakala selalu mengaku yang terbesar dan terbaik meskipun terkadang ucapannya merendah tetapi mengharapkan pujian, dipikirannya selalu mengakui ‘ana khairun minhu’, seperti iblis yang pertama kali mengatakan itu.

Mawlid sebetulnya media untuk memperoleh waris akhlak Nabi Muhammad,saw, akhlak-akhlak ruhiyah, akhlak diniyah ‘innama bu’istu liutammima makarimal akhlak.’ Orang mungkin sudah mencapai ilmu yang cukup untuk melaksanakan agama, tetapi mereka tidak mempunyai tarbiyah membangun akhlak ruhiyahnya atau akhlak kasbiyah. Sebenarnya tasawuf adalah madrasah yang mengajarkan agar umat Islam dapat mencapai akhlak kasbiyah itu, karena tasawuf sebenarnya hanya sebuah madrasah tarbiyah untuk meluruskan atau membetulkan tujuan hidup ini, tujuan ibadah ini dari karena selain Allah kepada karena Allah. Kebengkokan ini memang perlu waktu untuk diluruskan, jangan sekali-kali masuk ke dalam tasawuf dengan buru-buru baiat, kecuali sudah mengerti bahwa sebetulnya taubat itu bukan dari dosa akibat melanggar syariah melainkan taubat dari ibadah yang selama ini belum karena Allah. Karena jika taubat dari dosa tidak perlu masuk tasawuf, karena semua umat Islam jika berdosa lalu bertobat, lalu apa bedanya? Orang masuk kedalam tasawuf meski menyadari bahwa tasawuf adalah merubah tawajjuh siddiq lillaah. Jadi baiat adalah pintu gerbang besar untuk menanggalkan selain Allah dan meninggalkan dirinya untuk masuk kepada menunggalkan Allah SWT dan madrasah tasawuf untuk membangun akhlak ruhiyah, kasbiyah, diniyah, Muhammadiyah untuk mengalahkan akhlak Jibiliyah, akhlak bawaan. Dalam Bahasa lain, maksudnya adalah bahwa dominasi akhlak ruhani (adab) sangat kuat sehingga akhlak nafsiah nya itu menjadi mati, dan menjadi kendaraan untuk menuju kepada Allah SWT. Orang yang demikian akan mampu mengendalikan akhlak jasadiyahnya, baik nafsu syahwat atau ghodobiyah yang Allah anugerahkan sebagai nikmat besar dalam tubuh ini.

Nah maka kita masing-masing introspeksi kepada diri kita semua bahwa Maulid, ini sebetulnya sebuah media propaganda untuk memperkenalkan akhlak Rasulullah saw yang kita perlukan, yang dalam isyarohnya bahwasanya Nabi,saw meminta dicintai lebih daripada cinta kepada diri, yang maksudnya karena sifat baik yang ada dalam tubuh ini merupakan sifat bawaan dan cintanya kepada diri, sebagaimana dalam Al Qur’an dikatakan betapa manusia itu mencintai dirinya ‘li hubbil khairy lasyadid’, maka selama hidup harus berjuang melaksanakan agama karena Lillaah, agar bisa membawa amanah ini sampai kepada Allah SWT. Jadi sebetulnya tujuan daripada hidup ini adalah untuk liya'budun aliyarifun yaitu untuk mendapat akhlak sayyidina Muhammad,saw dan dengan agama ini kita dapat berakhlak kasbiyah, pada gilirannya ketika sudah ada akhlak kasbiyah, kita melaksanakan agama dengan akhlak itu dan itulah yang dikatakan menjadi Muhammad,saw.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.