Jumat, 14 Oktober 2016

FAQIR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Enam belas tahun yang lalu, Syaikh Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) beserta beberapa muridnya berziarah ke Lubuk Linggau, mengunjungi muridnya yang baru membuka kholaqoh dzikir disana. Setibanya, sebagian murid menjerit dan menangis melihat keadaan kehidupannya, mereka tinggal di tengah hutan dengan rumah yang sangat sederhana, tanpa daun pintu dan jendela, hanya ditutup dengan kain. Kami heran, bagaimana bisa mereka menjalani kehidupan yang demikian tanpa memperlihatkannya dan tanpa meminta. Keadaan ini sangat kontras dengan keadaan murid-murid yang datang kesana, baginya kemiskinan merupakan momok yang sangat menakutkan sedangkan bagi murid-murid yang berada disana telah mengalaminya tanpa berkeluh kesah dan wajah-wajahnya memperlihatkan kegembiraan. Apakah murid-murid di Lubuk Linggau telah masuk kedalam maqom faqir atau karena terbiasa dengan kehidupan yang demikian, kami tidak mengetahui namun mengharapkannya, agar kami dapat belajar darinya.

Dua kitab tasawuf kuno yaitu Al Luma karya Syaikh Abu Nassir As Sirrad,qs., dan Qutub Qulub karya Syaikh Abu Thalib al Makky,qs., merupakan kitab rujukan bagi kitab-kitab tasawuf terkemudian. Al Luma menjadi referensi bagi Imam Qusyairi,qs., dalam menyusun kitab Risalatul Qusyairah dan Qutul Qulub menjadi dasar penyusunan beberapa kitab karya Imam Al Ghazali,qs. Pengajian bulan September 2016 membahas tentang faqir dari kitab Al Luma yang disampaikan oleh Ustadz Yordanis Salam. Guru kami tercinta Syakh Waasi’ Ahmad Sayechudin (semoga Allah merahmatinya) menyederhanakan pembahasan tersebut dengan mengatakan bahwa : ‘Faqir adalah tidak punya apa-apa,’ dan ‘merasa dicukup-cukupkan.’ Maksudnya adalah, orang yang tidak punya apa-apa adalah miskin, yang membutuhkan harta benda dunia, sehingga selalu berada dalam lautan kesulitan, namun membatasi diri dari meminta-minta. Tentunya yang dibutuhkan untuk menopang kehidupannya adalah sandang, pangan dan tempat tinggal. Kondisi yang demikian ini berlangsung terus menerus dan dalam waktu yang lama. Namun demikian ia tetap berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mendapatkannya. Akan tetapi, acap kali apa yang diperolehnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Orang yang beriman diperintahkan untuk bersedekah kepadanya. Dibutuhkan mata batin untuk dapat melihat orang yang faqir. Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman: ‘Bersedekahlah bagi orang-orang fakir yang terikat pada jalan Allah, mereka tidak dapat berusaha di bumi (mencari penghidupan). Orang yang tidak tahu, mengira mereka itu orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Engkau dapat mengetahui dengan tanda-tanda mereka; tidak meminta kepada manusia berulang-ulang. Dan apa-apa yang kamu nafkahkan dari harta maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.’ (QS 002 : 273)

Dan jika yang diharapkan tak kunjung tiba setelah melakukan upayanya yang maksimal, maka ia akan melepaskan upayanya dan hanya berpaling hanya kepada Allah SWT semata. Nah, jika sang faqir menanggung semua kesulitannya demi Allah SWT, itu adalah sebuah kemuliaan. Sedangkan jika mengandalkan upayanya agar terbebas dari kesulitan, maka ini disebut sebuah kehinaan, karena ia menuhankan dirinya sendiri. Kefakiran mempunyai bentuk dan makna, bentuknya adalah kemiskinan dan maknanya adalah merasa membutuhkan Allah SWT. Oleh karenanya meskipun seseorang yang kaya harta benda dunia namun keadaannya selalu membutuhkan Allah SWT saja, maka ia dapat disebut sebagai faqir secara hakikat. Sedangkan jika yang dibutuhkan pujian dari makhluk maka ini merupakan kehinaan baginya. Rasulullah SAW bersabda :“Yang disebut miskin bukanlah orang yang pekerjaannya mengemis keliling kampung, sehingga tertolak dari satu dua suap nasi atau satu dua biji kurma. Namun miskin menurut definisi Islam harus ditolong dan diperhatikan, yaitu orang yang tiada usaha/tidak punya penghasilan tetap untuk mencukupi nafkahnya, dan tidak mengundang perhatian umum untuk disantuni/ disedekahi dan tidak pula keliling mengemis ke pintu setiap orang”.

Dalam dunia kesufian, faqir merupakan sebuah maqom yang tinggi, bahkan di abad kesembilan, kefaqiran menjadi kebanggaan orang-orang yang bertasawuf. Para dawisy memakai pakaian yang bertambal sebagai lambang kafakiran, mereka tidak mencari nafkah melainkan mengabdikan dirinya dengan melakukan peribadatan yang keras. Masyarkat Islam terdahulu sangat memuliakan mereka lantaran bekas-bekas peribatannya Nampak pada wajahnya yang bercahaya dan bukan karena kemiskinannya. Tidak mungkin menjelaskan kefaqiran tanpa menjelaskan tentang sabar terlebih dahulu, karena mustahil seseorang dapat mencapai maqom faqir tanpa melalui maqom sabar. Syaikh Abul Al Hasan Nuri,qs., menggambarkan ciri seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa pun, dia diam, dan bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain lebih berhak memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah memberikannya.

Menurut Syaikh Abu Nassir As Sirrad,qs., tingkatan tertinggi maqom faqir adalah bilamana ia tidak meminta apa pun kepada seseorang, baik secara lahir maupun batin dan tidak menunggu apapun dari seseorang. Jika diberi sesuatu ia tidak mengambilnya. Tingkatan kedua sama dengan tingkatan tertinggi namun jika diberi ia akan menerimanya. Sedangkan yang terendah adalah ia merasa senang mengungkapkan keadaannya kepada sebagian sahabatnya, tanpa berharap mendapatkan bantuan darinya. Lalu sebagai kaffarah ia bersedekah.
Imam Junayd,qs., berkata bahwa tanda-tanda orang fakir yang jujur adalah tidak meminta dan tidak memperlihatkan tanda kefakirannya dan jika ditawari ia terdiam.

Sedangkan Syikah Sahl bin Abdullah,qs. Berkata bahwa seorang fakir yang jujur adalah ia tidak meminta dan tidak menolak bila diberi serta tidak pula menyimpan apa yang diterimanya.

Tidak ada satupun orang yang bertasawuf tanpa melalui tahapan kefakiran, oleh karenanya begitu pentingnya kefakiran ini, ada beberapa syaikh yang berani berpendapat bahwa kefakiran mengungguli kesucian.

Demikian para sahabat semoga bermanfaat.