Sabtu, 27 Juli 2013

ANAK BUKAN MURID

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Seorang ulama mengatakan bahwa derajat para nabi berbeda-beda, semakin tinggi kedudukannya maka setiap kesalahan yang dibuatnya akan segera ditegur, sebagaimana Rasulullah,saw., yang segera ditegur oleh Allah SWT lantaran bermuka masam dan mengacuhkan seorang buta yang menghendaki wejangan dari mulut suci itu, tetapi beliau,saw., malah tidak berpaling dari pembesar Quraisy. Dengan adanya teguran ini, beliau,saw., berterima kasih kepada orang buta itu, bukannya memakinya.

Seorang syaikh yang dekat dengan Allah SWT ditegur dengan cara lain manakala melakukan kesalahan, Syaikh Abu Thurab an-Nakhsyaby,qs., bercerita : "Jiwaku tidak pernah cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali saja. Aku ingin sekali makan roti dan telur ketika aku sedang berada dalam perjalanan. Lalu aku pun memasuki sebuah kampung. Seseorang bangkit dan memegang tanganku sambil berkata : 'Orang ini adalah salah seorang dari perampok itu.' Lalu orang-orang disitu memukuliku tujuh puluh kali. Seorang laki-laki diantara mereka mengenaliku dan menyela : 'Ini adalah Abu Thurab an-Nakhsyaby!' Mendengar itu, mereka cepat-cepat minta maaf kepadaku, dan laki-laki itu lalu membawaku kerumahnya karena rasa hormat dan kasihan kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur. Maka aku berkata kepada diri sendiri : 'Makanlah setelah tujuh puluh kali pukulan!'".

Demikian juga bila yang mulia Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) sudah jatuh hati kepada salah seorang muridnya, maka murid kesayangan itu akan diperlakukan seperti anaknya. Bila sang anak melakukan kesalahan maka akan segera ditegur, yang bertujuan agar kemajuan spiritualnya tidak terhambat. Sesekali beliau menguji dengan 'meminta' sedikit sesuatu yang dicintai muridnya itu, untuk mengetahui apakah zuhud sudah kukuh didalam hatinya. Perbuatan yang tersembunyi maknanya itu, kadangkala disalah artikan, seolah-olah sang syaikh membutuhkan bantuan dari muridnya. Terapi spiritual selanjutnya akan diberikan kepada sang anak, agar ia dapat menyadari bahwa tugas seorang guru bukan 'meminta' dari muridnya, melainkan 'memberi' cahaya ditengah kegelapan perjalanan murid-muridnya.

Sesungguhnya wajar bila sang anak atau sang murid tidak mengerti makna hakiki dibalik perbuatan gurunya, jika kebodohannya atau ketidak tahuannya itu segera ditindak lanjuti dengan bertobat, maka sempurnalah manifestasi sifat gurunya sebagai pembimbingnya, yang akan mengeluarkannya dari kebodohan menuju kecerdasan spiritual, karena orang yang mengetahui makna-makna yang hadir didalam hatinya adalah orang pilihan Tuhan. Nabiyullah Musa,as., pun pernah mengalami hal yang demikian atas perbuatan yang dilakukan oleh Nabiyullah Khidir,as., yang tidak dapat dipahaminya hingga tiga kali, yang pada akhirnya berpisah karenanya.

Keimanan yang baik itu manakala dapat memberi sesuatu yang dicintainya dengan ringan. Jika memberi mobil kepada seseorang sama rasanya dengan memberi sendok makan, maka keimanannya dalam keadaan baik dan sebaliknya bila memberi sendok makan serasa memberi mobil maka kegelapan hatinya semakin pekat.

MAKNA BUKAN BENTUK

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Jika hakikat segala sesuatu tersingkap, maka Yang Mulia Rasulullah,saw., yang diberkati ketajaman mata hati, yang disinari dan menyinari, tidak akan pernah melantunkan doa ini : 'Ya Allah, tunjukkan pada kami segala sesuatu sebagaimana hakikatnya yang tersembunyi.'

Seorang salik bertanya kepada murid yang lain berkenaan dengan wejangan yang mulia Syaikh Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), yang mengatakan bahwa : ‘Setinggi-tinggi pencapaian seorang salik maka serendah-rendahnya pencapaian seorang Syaikh, atau setinggi-tinggi maqom seorang salik sama dengan munafiknya seorang Syaikh.’ Dijawab oleh murid itu : ‘Jika tidak hati-hati mencermati wejangan itu, maka akan timbul buruk sangka bahwa Syaikh masih ada kesombongan didalam hatinya. Sesungguhnya tidak demikian, dalam pertemuan itu Syaikhuna (semoga Allah mrahmatinya) mencium bau seseorang salik yang berbangga atas riyadhah dan mujahadahnya yang hebat, sehingga ia merasa pantas mendapatkan pujian dan tempat yang tinggi disisi gurunya. Untuk memadamkan api ujub yang sedang menyala, maka Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyiramnya dengan air perkataan seperti itu. Agar dengan segera api ujub sang salik padam, sehingga sang salik dapat melanjutkan perjalanannya dengan baik dan sayap ma'rifatnya semakin kuat untuk terbang. Tidak ada seorang syaikh pun yang tidak menghendaki muridnya akan menetas dari sangkar telur dan menjadi induk yang lebih baik darinya, karena hal tersebut merupakan kebahagiaan bagi seorang syaikh yang silsilahnya dapat berlanjut.

Makna selalu sembunyi dalam bentuk, sebagaimana Lailatul Qodar yang bersembunyi di bulan Ramadhon. Bentuk adalam penampakan luar. Makna adalah hakikat yang tidak terlihat, realitas yang tersembunyi. Oleh karenanya yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : 'Jangan berburuk sangka.'

Seseorang datang menjumpai seorang syaikh, dan ketika melihat sang syaikh menangis, ia bertanya : 'Mengapa Anda menangis?' Sang syaikh menjawab : 'Aku lapar.' Ia mencela : 'Seorang seperti Anda, menangis karena lapar?' Sang syaikh balas mencela : 'Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya menjadikan aku lapar adalah agar aku menangis.' Terlihat dengan jelas dalam riwayat ini bahwa derajat menangis karena lapar berbeda dengan menangis karena Allah SWT, oleh karena setiap makna yang sangat tersembunyi atas tindakan seorang syaikh, sebagaimana rambut diatas batu hitam pada malam hari, maka sejatinya kita memohon pertolongan kepada Allah SWT kiranya berkenan menguatkan kita untuk tidak berburuk sangka.

SYUKUR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’ (QS 14 : 7)

Riwayat, seorang salik tatkala menerima karunia dari Allah SWT seberapapun besarnya ia melakukan syukur dengan melakukan tindak peribadatan yang tangguh, ketangguhan ibadahnya itu melebihi para salik yang lain, karena syukurnya yang demikian baik menurut kadar seorang salik, Allah SWT menambah-nambah nikmat atas apa-apa yang diinginkannya, sampai ia mempunyai keturunan dan harta benda yang banyak. Hatinya menjadi lapang dan ringan melakukan peribadatan dengan hartanya. Rasa hurmat dan kepatuhan kepada syaikhnya terjalin dengan hebat. Sahabat-sahabatnya yang dalam tekanan kehidupan dibantunya. Manakala penghasilannya mulai berkurang, ia mengeluh, tanpa disadarinya keluhannya itu sebagai tanda kufur nikmat, padahal harta bendanya masih sangat banyak. Semakin ia mengeluh semakin Allah SWT menyempitkan dadanya dan menghinggapkan perasaan susah dan kekhawatiran, sehingga hilanglah perbuatan-perbuatan yang terpuji tadi, hilanglah kecantikan yang menjadikan makhluk lain iri, hatinya menjadi berat untuk melakukan peribadatan dengan hartanya, bayang-bayang kemiskinan menghantuinya dan berbohong mulai lancar dilakukan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering bercerita : 'Manusia sering lupa, yang tadinya tidak punya apa-apa, lalu Allah SWT memberinya 100 ekor ternak dan pada suatu ketika dirampas-Nya kembali sebanyak 40 ekor, maka manusia menjadi takut akan kemiskinan dan menjadi kikir, padahal tadinya tanpa harta benda yang banyak, ia biasa-biasa saja, sekarang dengan 60 ternak ia malah lupa diri.'

Pada saat berbuka puasa, ada kelompok orang yang tertawa terbahak-bahak, mendengar itu Syaikh Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Orang-orang yang tertawa seperti itu dalam waktu tidak lama akan mengalami kegundahan dan rasa was-was yang berkepanjangan.’ Dilain kesempatakan beliau berkata bahwa : ‘Tertawa terbahak-bahak akan menggelapkan hati.’ Hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang terlihat oleh para syaikh, sebagaimana orang awan melihat bahwa orang yang minum racun akan mati. Karena sebab-sebab suatu takdir diciptakan oleh Allah SWT yang merupakan sesuatu yang berlaku umum. Jika setitik noda menempel kedalam hati sebagai akibat dari tertawa yang melampaui batas, maka akibat dari itu akan segera dirasakan. Orang tua mengatakan jangan tertawa terbahak-bahak karena engkau akan segera menderita kesedihan dan menangis. Mengapa demikian? Sebagai hukuman bagi pemilik hati karena tidak amanah dalam menjaganya. Satu-satunya yang ditilik oleh Allah SWT adalah hati, jika ia bersih akan merefleksikan sifat-sifat Ketuhanan, jika ia ternodai maka syaithon akan mudah menyusup dan membisikan hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama. Jika demikian maka hati adalah satu-satunya tempat tambang ma’rifat. Jika ma’rifat merupakan sesuatu yang dicintai dan keharusan bagi manusia, agar Allah SWT dapat dikenal, maka seseorang akan menjaga sedemikian rupa agar tidak terkotori, sebagaimana jika ia mencintai sebuah permata yang baru dibelinya, maka ia akan menjaganya dengan cara apapun untuk tidak terkena noda sedikitpun. Akan tetapi kebanyakan orang tidak peduli terhadap hal ini.

Tertawa adalah sebagai akibat dari rasa gembira yang tidak tertampung lagi oleh pertahanan hati, semakin hebat kegembiraannya maka semakin besar tertawanya. Nah kegembiraan yang dinikmati oleh manusia oleh sebab apapun, wajib hukumnya untuk dizakatkan atau mengeluarkan shodaqoh atau dalam bentuk peribadatan sebagai rasa syukur. Agar noda-noda yang menempel kedalam hati segera terbersihkan, agar kegundahan dan was-was tidak berdatang. Oleh sebab itulah kegembiraan tatkala hubungan antara suami dan istri wajib segera ditindaklanjuti dengan mandi besar atau mandi junub lalu mendirikan sholat sunah dan berdzikir sebagai rasa syukur. Bila mandi junub tidak dilakukan, kita semua tahu konsekwensinya sebagaimana yang tertuang didalam syariat, dan bila seseorang wafat dalam keadaan junub maka jahanam tempatnya, naudzubillah mindzalik. Jadi wajar bila seorang sufi mengatakan bahwa segala sesuatu ada zakatnya. Seseorang bisa melihat bahwa dalam kenikmatan satu hari dan agar manusia tidak tenggelam dalam lautan kesulitan, diwajibkan untuk melakukan shalat 5 waktu, menyisihkan waktunya untuk mengingat Sang Penciptanya atau meninggalkan dunia, atau zuhud sesaat. Lalu kenikmatan dalam satu tahun, diwajibkan manusia untuk berpuasa dalam satu bulan lamanya.

Seorang murid berkata kepada Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) : ‘Aku bersyukur karena karir dan bisnisku menjadi sangat baik.’ Karena kegembiraan ini, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) memerintahkannya untuk mengeluarkan harta bendanya untuk dishodaqohkan kepada pihak yang berhak menerimanya sesuai syariat agama. Jadi syukur dapat dikatakan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah SWT atas kegemberiaan yang dirasakannya, lalu ia berbagi kegembiraan itu kepada orang lain. Ada syukur yang berbeda, seorang murid menyampaikan keadaannya kepada Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bahwa jika ia telah menyelesaikan peribadatan dimalam hari lalu dilanjutkan dengan shalat Subuh dan berdzikir hingga waktu syuruq lalu ia bersyukur kepada Allah SWT atas rasa gembiranya lantaran peribadatan itu bukannya keluh kesah karena lelah. Yang pertama bersyukur karena merasakan kegembiraan masalah dunia, dan yang kedua bersyukur karena telah di anugerahi makna-makna yang datang di hatinya. Manusia yang bersyukur lantaran sebab nikmat yang diterimanya akan berhenti bersyukur jika ia merasa tidak ada lagi nikmat baru yang diterimanya. Sedangkan orang yang bersyukur karena makna-makna yang hadir, ia tidak pernah berhenti bersyukur, karena makna-makna selalu hadir kedalam hati sang pendzikir. Tanda orang yang demikian adalah, lisannya selalu mengucapan Alhamdulillah pada setiap perbuatannya dan hatinya bermusyahadah. Imam Sybly,qs., berkata : 'Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.'

Nabiyullah Idris,as., memperoleh kabar gembira pengampunan, lalu beliau memohon diberi panjang umur. Ketika ditanya alasanya, dijawab : ‘Agar aku dapat bersyukur kepada-Nya, karena sebelum ini aku telah berjuang hanya untuk memperoleh ampunan.’ Kemudian salah satu malaikat mengembangkan sayapnya dan membawanya kelangit.

Imam Junayd,qs., berkata : ‘Syukur adalah jika orang tindak menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.’

Imam Syibli,qs., berkata : ‘Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.’

Rasulullah,saw., beribadah malam sampai kakinya bengkat, ditanya alasannya, beliau,saw., menjawab : ‘Tidakkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?.’

Nabiyullah Daud,as., bertanya : 'Illahi, bagaimana aka dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan bersyukur itu sendiri adalah nikmat dari-Mu?' Allah mewahyukan kepadanya : 'Sekarang, engkau benar-benar telah bersyukur kepada-Ku.'