Sabtu, 22 Februari 2020

ILMU

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Seorang murid tarekat berkata : ‘Tidak penting ilmu bagiku, yang utama adalah taklid kepada guru dan melaksanakan pekerjaan tarekat, yaitu dzikir dan mujahadah.’ Pernyataan murid ini salah, dia kira hanya dengan taklid kepada guru bisa mencapai tujuan, padahal Allah hanya bisa dikenali dengan ilmu bukan kebodohan (jahl). Manusia merasa gagah hidup di dunia ini, sesungguhnya akal yang mengatakan itu, jika akalnya hilang tak ubahnya seperti binatang berkaki dua. Maka akal adalah alat untuk membedakan sesuatu itu baik atau buruk dan bermanfaat atau memberikan mudharat, oleh sebab itu akal wajib selalu diberi asupan ilmu, untuk memperoleh cahaya agar jelas melihat sesuatu.

Ulama terdahulu mengatakan ‘sedikit ilmu asal bermanfaat’, maksudnya bukan merasa cukup meskipun sedikit ilmu melainkan jangan menunggu ilmu yang diperoleh bertumpuk, tetapi segera amalkan meskipun sedikit. Jika ilmunya sedikit maka amalnya juga sedikit, karena amal membutuhkan ilmu sebagai pemimpinnya, bila tidak akan sia-sia amalnya meskipun sebanyak buih dilautan. Dilingkungan kita, ada keluarga, tetangga, dan teman, kita membutuhkan ilmu untuk beramal, karena menurut syariah perlakuan kepada mereka berbeda-beda. Amal bisa diartikan sebagai aktifitas yang menggunakan naluri dan pikiran baik, dan nilai-nilai kebaikan itu mesti berdasarkan akal, dan akal memerlukan ilmu. Nah, ini yang dimaksud dengan berakal, bukan hanya untuk mengetahui baik dan buruk saja, melainkan mengetahui dampak buruk atau akibat dari sesuatu perbuatan. Sampai ditahap inilah batas akal, untuk pergi lebih jauh dari itu akal tidak sanggup, harus menggunakan batin, atau menggunakan hati yang bersih, ma'rifat, firasat, bahasa hadisnya ‘ittaqu firasatal mu’mina, yangzhuru bi nurillah’ berhati-hatilah dengan firasat orang mukmin karena dia memandang dengan cahaya Allah. Jika akal dipaksakan melebihi ini, maka masuknya ke dalam khayal, karena wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh akal itu adalah hakikat, makin hakikat maka semakin tidak dapat dijangkau oleh akal. Oleh karenanya, menurut ahli hakikat apa yang dicapai oleh akal adalah khayal, tetapi menurut ahli aqli adalah hakikat.

Saking pentingnya ilmu didalam tasawuf maka dua buah kitab yang masyhur karya Imam Hujwiri,qs, dan Sayid Abdul Qodir al-Jilani,qs, diawali dengan bab ilmu. Ilmu itu hanya bisa dipahami oleh orang yang mempunyai akal, oleh karenanya pintu ma’rifat adalah akal dan baru kemudian ruhani, seluruh kitab-kitab tasawuf atau pemilik maqomat menyatakan demikian. Hanya orang gila yang tidak memerlukan ilmu karena akalnya hilang. Sesungguhnya didalam kholaqoh tarekat pun terdiri dari majlis ilmu dan majlis dzikir, sehingga bisa dikatakan bahwa pengajaran (ta’lim) dan pendidikan (tarbiyah) adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, seperti melihat dan mata, tidaklah mungkin orang melihat tanpa mata, tetapi kalau mata tidak melihat, apa manfaatnya? Sebelum ritual dzikir dimulai biasanya guru kami Syaikh Waasi’ Achmad Syaehudin (semoga Allah merahmatinya) memberikan tauziah berkenaan dengan ilmu yang berhubungan dengan tasawuf, meskipun ada tarekat yang melakukan sebaliknya, dimulai dzikir dahulu lalu tauziah. Ta'lim seluruhnya adalah untuk akal sedangkan tarbiyah untuk ruhani, sehingga dikatakan bahwasanya ilmu itu tidak menjadikan taqwa, karena ilmu itu mengetahui sesuatu berdasarkan hakikat, sedangkan hakikat sesuatu ada pada hati. Ilmu akan melahirkan hakikat manakala diamalkan, hakikat adalah nur. Bisa jadi orang hafal al Qur’an tetapi belum memperoleh maknanya karena belum mengamalkannya, jangankan perintah yang lain, sholat saja berat untuk diamalkan, kecuali bagi orang yang ruhaninya lebih dominan daripada nafsunya. Imam Bukhari,ra, misalnya ketika ditanya oleh Imam Muslim,ra, bagaimana engkau menulis hadits itu? Dijawab : ‘Aku hafalkan, Aku amalkan dan baru Aku tuliskan, dan Aku tidak menulis sebelum Aku amalkan.’

Hakikat ilmu di dunia tasawuf disebut sebagai maqomat, sedangkan hakikat ilmu lahir dari pengamalan ilmu, oleh sebab itu jangan mentang-mentang sudah bertarekat dan berdzikir serta mujahadah, beranggapan bahwa ilmu itu tidak berguna. Syaikh Ibnu Athoilah,qs, mengatakan bahwa barang siapa belajar ilmu dan memahaminya, seperti mencium baunya ma'rifat, wanginya hakikat. Nah, kalau mencium wanginya saja tidak, bagaimana mendapatkannya? Ilmu adalah salah satu sifat Allah SWT, bahkan orang yang punya ilmu saja tanpa memenuhi hak-haknya, itu pun di akhirat tidak disiksa, oleh sebab itu syaikh sufi selalu mengajarkan muridnya untuk menguasai ilmu terlebih dahulu, baik dengan cara membaca atau ta’lim. Didalam salah satu karya Imam Ibnu Arabi,qs, menjelaskan bahwa nanti di yaumil akhir para ahli ilmu merasa takut akan ditanyakan tentang kewajiban mempunyai ilmu, disaat itu para ulama tertunduk dan wajahnya memerah serta malu dihadapan Allah, lalu Allah SWT berkata : ‘Aku letakkan ilmu-Ku kepadamu bukan untuk Aku siksa, hari ini Aku berikan ampunkan bagi semua pemilik ilmu.’ Itu baru dapat ilmu, bagaimana kalau dapat Allah? Yang artinya bahwa jangan berhenti membaca, menulis dan mengkaji ilmu saja melainkan pengamalannya lebih diutamakan. Sebagaimana riwayat Imam al Ghazali,ra, setelah menemukan guru tasawuf dan melakukan khalwat, beliau berkata : ‘Dulu aku membuang-buang masa.’ Kita bisa bayangkan meskipun beliau sudah menjadi mujtahid mutlak namun pada saat belum bertasawuf beliau mengatakan bahwa telah membuang-buang masa.

Demikian semoga bermanfaat wallahualam bisawab.

Jumat, 21 Februari 2020

TAREKAT -THORIQOH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Tarekat adalah sebuah madrasah yang unik, yang didalamnya terdapat guru dan murid yang mempunyai tekad yang kuat untuk mengenal Allah.

Secara phisisk terlihat sama antara madrasah tarekat dengan sekolah pada umumnya, ada guru dan murid. Bedanya, murid disekolah pada umumnya akan diajar oleh gurunya, sedangkan pada tarekat, murid akan dididik (tarbiyah) dengan cara qudwah. Gurunya memiliki akhlak yang baik, maka murid berkehendak meneladaninya dengan cara mencontoh bukan membaca buku. Karena pembentukan akhlak itu harus melalui pendidikan (tarbiyah) dan bukan pengajaran (ta’lim) saja. Apabila seseorang telah mengikat persahabatan untuk meneladani (qudwah) maka hal ini dapat disebut sebagai proses tarekat, dan sebaliknya orang yang bertarekat namun tidak meneladani (qudwah) gurunya, maka dia belum bertarekat. Karena tarekat itu sebetulnya adalah jalan untuk menumbuhkan sifat Ketuhanan atau sifat-sifat ruhani. Ada juga yang mengatakan bahwa tarekat itu jalan untuk mempertemukan syariat dengan hakikat, sebagai contoh bahwa seseorang sudah memberi tapi belum mempunyai sifat dermawan, maka memberinya merupakan keterpaksaan. Nah, agar memberi itu berbuah menjadi amal maka harus ikhlas. Memberi adalah ajaran syariat sedangkan dermawan adalah sifat ruhani, yang diwariskan melalui keteladanan (qudwah), maka apabila seseorang berkeinginan melaksanakan perintah-perintah syariat secara sempurna, dalam hal ini memberi, maka harus memiliki hakikat memberi itu, karena memberi itu tumbuh dari sifat dermawan. Mencari sifat dermawan itu sama artinya dengan mencari hakikat, cara yang termudah untuk mendapatkannya adalah bersama dengan orang yang dermawan, dan orang yang dermawan itu bersedia mendidiknya (tarbiyah), inilah yang disebut dengan tarekat atau thoriqoh. Syekh Yusuf Makassar,qs, dalam kitab sirr al Asror (judul kitab ini sama dengan judul kitab karya Hadrat Syaikh Abdul Qodir al-Jilani,qs) berkata bahwa tarekat itu mencontoh akhlaknya Nabi,saw dan pintunya adalah mahabbah. Karena bisa saja orang mengikuti lahiriyah Nabi,saw, saja seperti rukuknya, sujudnya, jalannya, pakaiannya, tetapi jiwanya macam Abu Jahal.

Guru di madrasah tarekat disebut sebagai Syaikh, adalah yang mempunyai ‘hal’ atau keadaan jiwa yang dapat membangkitkan, membangun keinginan rohani murid untuk dekat kepada Allah. Syaikh itu bukan hanya mendidik murid untuk melawan hawa nafsu saja, melainkan juga membawa murid kepada Allah. Keperluan murid kepada Syaikh adalah untuk mewarisi akhlak. Syaikh merupakan anugerah dari Allah SWT, dan hadiah dari Allah untuk murid, jika sang murid benar di dalam irodahnya. Murid adalah seorang yang memurnikan keinginannya kepada Allah bukan kepada yang lain, maka jika seseorang menginginkan Allah, maka Allah akan temukan kepada seorang Syaikh. Oleh karenanya, seorang Syaikh itu tidak mudah memberi baiat. Karena kebanyakan orang hanya ikut-ikutan saja ingin bertarekat, melihat informasi di media sosial ada guru dengan jubah dan sorban tebal dan muridnya banyak, maka ingin ikutan, itu pikiran dan tindakan yang salah. Karena madrasah tarekat itu hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, artinya bahwa Allah yang akan memberikan petunjuk-Nya. Itu sebab setiap orang yang bertarekat mesti memeriksa dirinya sendiri, sesungguhnya apa yang dinginkannya, kalau niatnya tidak lurus maka akan jumpa guru yang tidak lurus pula, meskipun nama tarekat sama, wiridnya dan dzikirnya sama, tetapi tawajuhnya yang tidak sama. Itu sebab hakikat tarekat adalah shidqut tawajjuh artinya tujuan yang betul-betul menginginkan Allah. Dan murid itu adalah orang yang memurnikan kehendaknya atau irodahnya hanya kepada Allah (tajjarud).

Hampir di semua kitab tasawuf yang menjelaskan maqomat ruhiyah terdapat penjelasan maqom sabar, para syaikh sufi menjelaskan dari sudut pandang yang bebeda-beda tetapi mempunyai kesamaan makna. Demikian pula pada pengajian kami, Syaikh Wassi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) mensyarahkan bab sabar yang terdapat pada kitab Al Luma karya Syaikh Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi,qs. Lalu apakah dengan mengikuti pengajian ini murid-murid menjadi sabar?

Sabar seperti cahaya, jika jendela dan pintu rumah hati tidak terbuka maka cahaya sabar tidak akan pernah masuk, meskipun dibacakan dan dijelaskan tentang sabar kepadanya ratusan kali banyaknya. Yang pertama adalah tarbiyah wajib dilakukan oleh guru yang mempunyai sifat sabar, bagaimana mau mewarisi sifat sabar kepada muridnya jika dia tidak punya? Oleh sebab itu manhaj tarekat bukan ta’lim saja melainkan tarbiyah, jika ta’lim saja hanya akan sampai kepada akalnya. Sabar adalah sifat ruhani, salah satu sifat Allah SWT yang ditajallikan pertama kali kepada Rasulullah,saw, kemudian diwariskan kepada para sahabat dan ulama sesudahnya. Jasad bisa saja mati, tetapi cahaya sabar ini akan terus berpindah dari pemilik yang satu kepada penerusnya, pewarisnya. Sabar adalah salah satu dari sekian banyak akhlak mulia atau maqom ruhiyah, atau anwar, atau Nur Muhammad atau Hakikat Muhamamadiyah, Oleh sebab itu ada hadis yang mengatakan bahwa ulama itu perwaris para nabi. Prakteknya adalah dengan cara tarbiyah artinya guru yang mepunyai sifat ruhani atau maqom ruhiyah, akan memperlakukan muridnya dengan sabar, maka sang murid akan terwarisi sifat sabar itu, manakala sang murid membuka jendela dan pintu mahabbah kepada gurunya dengan cara suhbah. Seperti orang tua yang menegur anaknya dengan cara membentak menggunakan kata ‘sabar!’, bagaimana dengan cara ini sifat sabar bisa ditiru oleh anaknya? Bukannya sabar yang berpindah melainkan amarahnya. Aqidah akhlak adalah tarbiyah, karena tarbiyah adalah proses pewarisan, pesenergian, pemindahan, pembentukan, ini yang hamper punah pada saat ini.

Banyak orang yang mengambil gelar kesarjanaan agama pada Universitas yang berada di luar negeri, manhajnya adalah ta’lim bukan tarbiyah, maka para sarjananya banyak yang saling memberikan kritikan khusnya kepada tasawuf atau tarekat. Bahkan di pondok pesantren pun manhajnya hanya ta’lim bukan tarbiyah. Sehingga menilai sesuatu bukan dengan ruhaninya melainkan dengan nafsunya. Berbeda dengan madrasah tarekat, ada murid yang kesehariannya khidmat kepada gurunya, melayani dengan membawakan kitabnya, menyiapkan minum, obat-obatan, membukakan pintu, maka jika sang guru adalah pemilik cahaya, pemilik maqomat ruhiyah atau Nur Muhammad, akan pindah kepada sang murid, inilah yang dinamakan waris-mewariskan, artinya sang murid tidak di ta’lim melainkan tarbiyah. Oleh sebab itu tidak di bolehkan bagi seseorang yang tidak merasakan pengalaman tarbiyah dari guru mursyidnya menjadi guru tarekat. Bagaimana bisa orang yang tidak ingin menjadi murid ingin mempunyai murid. Dijaman sekarang banyak orang mengajar hanya untuk mendapatkan uang bukan ingin memindahkan waris. Hasilnya adalah meskipun sholat tapi ghibah jalan terus, berjuang atas nama Islam tetapi menghancurkan hati manusia. Dinegara Arab sudah terjadi perang saudara, kita pun hakikatnya demikian pula, karena semua mengaku pergi ke Allah padahal sedang pergi ke dirinya dan paling jauh pergi ke jamaahnya.

Demikian semoga bermanfaat wallahualam bisawab.