Senin, 16 Desember 2019

MARAHNYA GURU ADALAH BAROKAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Judul tulisan ini terasa absurd, seorang murid karena terlalu bersemangat memahami pengetahuan tasawuf, melakukan telaah terhadap wejangan-wejangan yang didengar dari gurunya. Murid-murid lain berpendapat seolah-olah telaahnya itu bertentangan, lalu sesuai dengan pemahamannya dengan segera menyampaikannya kepada sang Guru. Perilaku murid yang senang mengadu domba (namimah) seperti ini sudah ada sejak zaman dulu, Imam Syafi'i,ra, pernah bercerita bahwa:'Ada murid datang kepadanya mengatakan ada yang memburuk-burukannya, maka beliau menjawab kenapa engkau menancapkan anak panah ke hatiku yang tidak sampai kepadaku? Biarkan orang mengatakan tentang keburukanku dan aku tidak tahu, sehingga aku tetap berbuat baik, bergaul baik dengan mereka.' Murid seharusnya mencitai gurunya bukan mengoyak-ngoyak hatinya, jangan menyampaikan sesuatu atau berbicara yang menyakiti hati guru. Meskipun dimata Sang Guru semua murid adalah pasien penderita sakit jiwa dan guru adalah dokternya, oleh karenanya apapun yang keluar dari mulut pasien tidak akan mempengaruhi lautan jiwa sang dokter. Seorang guru ruhani melihat kejadian ini datangnya dari Allah, karena manusia adalah shuroh perbuatan-Nya atau jelmaan Sifat dan Asma-Nya, dan semua perbuatan-Nya bertujuan agar manusia mengenal-Nya. Akan tetapi untuk pendidikan jiwa atau tarbiyatun nafs wajiblah baginya untuk menegur murid. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, karena kadar ilmu yang berbeda. Sebagai contoh, seorang murid mengatakan bahwa waliyullah itu banyak, dan murid yang lain mengatakan sebaliknya bahwa waliyullah hanya satu. Yang pertama melihat dari jahir sedangkan yang kedua melihat dari Nuur Allah. Di mata sang Guru, keduanya tidaklah salah, apapun perbedaannya yang dilihat hanyalah Allah saja. Akan tetapi penyakit adu domba (namimah) adalah perbuatan keji, karena cenderung kepada fitnah, tanpa disadari murid telah menancapkan panah api kehati sang guru dan menampakkan kebencian kepada murid yang lain.

Murid yang telah melakukan telaah-telaah memohon maaf kepada Gurunya dan kepada murid yang lain, karena menyebabkan murid yang lain mengadukan hal ini kepada sang Guru. Apa hikmah kejadian ini? Kita harus menyadari bahwa Allah lah yang menguji setiap orang, Dia yang lebih mengetahui maslahat kita daripada diri kita sendiri, kesadaran ini akan menjadi sebab kebahagiaan, kesenangan, hiburan, ketawakalan dan kesabaran. Dia yang menetapkan berbagai perkara yang ditakdirkan dan pastilah perkara terbaik yang sesuai dengan kita. Sudah menjadi hukum bahwa orang yang selalu berbuat baik kepada kita bisa jadi sewaktu-waktu bersikap buruk dan berbuat kasar kepada kita. Meskipun demikian kita tetap sabar mengahadapi sikap buruknya karena mungkin saja sikapnya itu disadari oleh niat baik dari dalam lubuh hatinya. Demikian pula seorang hamba, jika ia mengetahui bahwa Allah SWT Maha Pemurah, Mahalembut dan Maha Melihat kepadanya, setiap perkara dan ujian yang dijatuhkan kepadanya tidak perlu dipedulikan karena Allah tidak menghendaki darinya kecuali kebaikan. Dengan kesadaran ini maka kita akan berbaik sangka kepada Allah dan meyakini bahwa itu adalah pilihan-Nya untuk kita. Kita harus yakin bahwa dalam ujian itu terkandung maslahat tersamar bagi diri kita yang tidak diketahui, kecuali oleh Allah. Dalam hal ini Allah SWT menganugerahi rasa sesal (nadam) yang sangat dalam dan membuatnya melakukan pertaubatan, serta tumbuh rasa takut yang luar biasa kepada-Nya. Dibanding dengan waktu mengaji yang begitu lama namun rasa takut yang hakiki tak jua tiba, begitu ada teguran dari gurunya maka lahirlah rasa takut itu. Itulah mengapa para syeikh sufi mengatakan bahwa kesalahan atau dosa itu adalah hikmah. Semoga Allah juga menganugerahi hal sama kepada sahabat murid yang mengadu domba (namimah). Orang bisa saja melakukan kesalahan karena emosi sesaat lalu mengkoreksi kesalahannya, ini lebih baik dibanding orang yang melihat kesalahan orang lain lalu menyebarkannya, persis seperti seruling syaithon. Seorang Syaikh berkata : 'Jika seorang yang berkutat dalam tarekat belum dapat memuliakan semua orang itu indikasi bahwa dia tidak mempunyai kekuatan tali kasih persaudaraan kepada sesama murid dan gurunya, yang artinya cinta kepada gurunya dusta.'

Jangan pernah buruk sangka kepada orang yang berdosa, dan menganggapnya hina, banyak contoh bahwa ketaatan justru membuat manusia menjadi sombong, sebaliknya dosa membuat orang menjadi tawadhu, karena Allah sayang kepada orang yang bertaubat, dan orang yang bertaubat adalah pembuat dosa. Makna dosa dalam agama adalah hikmah. Tidak heran jika Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) justru dekat secara ruhani kepada yang berdosa, karena itu adalah hikmah Allah. Disini titik yang tidak dipahami oleh banyak murid. Sehingga orang memandang buruk bagi yang berbuat dosa. Dizaman serba materialistik ini, berbicara salah saja sudah menjadi viral, apa tidak ada yang menutupi dan membalut luka itu? yang di viralkan itu umat Muhammad,saw, dan dosa bisa jatuh kepada siapa saja, karena itu Qohr Illaahi. Itulah sebuah bukti bahwa, bisa saja meskipun seseorang berada didekat gurunya, namun hidayah itu turun hanya kepada akalnya saja bukan ruhaninya.

Seorang Syaikh dari tarekat Sadziliyah berkata :'Sebenarnya mukadimah orang yang bertasawuf itu dimulai dengan adanya rasa takut (kosyah) kepada Allah SWT dan ingin mendekatkan diri kepada-Nya, lalu berbaiat kepada seorang Syaikh. Oleh karenanya orang yang tidak mempunyai rasa-rasa ini meskipun telah berbaiat tarekat, sejatinya dia belum bertasawuf, dan sebaliknya orang yang mempunyai rasa-rasa ini meskipun ia tidak berbaiat maka sejatinya ia sedang bertasawuf.' Oleh karenanya di era tahun 1970 an orang-orang yang bertarekat adalah para ulama fiqih yang usianya diatas 55 tahun, karena rasa takut tentang kematian datang menghampirinya dan ingin mengenal Allah SWT.

Waktu berjalan hampir dua tahun, sang murid tetap dalam keadaan rasa sesal (nadam) dan terus melakukan pertaubatan. Dimulai dari hal-hal yang melanggar syariah dan adab (menghapus kotoran bekas dosa), kemudian menaik kepada pengakuan akan ketaatan ibadahnya (menghapus kotoran bekas taat) serta taubat atas ibadahnya yang tidak ditujukan kepada Allah, dalam istilah tasawuf disebut sebagai takhali. Menarik diri dari pergaulan, merasa khawatir telaah-telaah terhadap wejangan gurunya akan memberikan pengaruh buruk kepada yang lain. Sebenarnya sifat ilmu yang ada pada diri sang murid mendorongnya untuk memberikan perhatian yang besar terhadap pengetahuan tasawuf yang diperoleh dari wejangan gurunya. Sehingga ia melakukan telaah-telaah, bukan untuk membandingkan satu dengan lainnya, melainkan untuk mengambil hikmah dari setiap ucapan para Aulia Allah yang terdapat pada kitab-kitab tasawuf. Karena ilmu itu bagaikan binatang buruan dan penangkapnya adalah catatan atau buku atau bahkan telaah, jangan biarkan binatang buruan itu lepas begitu saja. Jangan berpura-pura didepan guru mengangguk-anggukan kepala seolah-olah mengerti padahal tidak paham, begitu meninggalkan majlis, apa-apa yang didengar lupa dengan sekejap, itulah mengapa ilmu itu haru diikat dengan akal.

Didalam kesendiriannya, seorang murid menyampaikan berita bahwa : 'Guru telah memberi maaf dan sesungguhnya guru sudah mengetahuinya sejak sepuluh tahun yang lalu.' Mendengar berita ini, sang murid bersyukur, meskipun sejak dulu dia yakin bahwa guru tidak akan terganggu atas perbuatannya. Tidaklah mungkin seorang guru memberitahukan aib murid kepada murid yang lain. Dan anak panah yang dilepas guru tidak akan sampai kecuali bila murid yang mendengar menyampaikannya. Hal-hal demikian ini muncul dari nafsul imarah (ghodhobiyah) dan bukan nafsu syahwat, dan hal ini membuktikan bahwa nafsul imarah (ghodhobiyah) memang sulit untuk ditaklukkan. Manusia diuji oleh hawa nafsunya sendiri yang dipaksakan oleh Allah, atas kehendak-Nya, kita tidak mampu menolaknya. Oleh karena nafsu, manusia tidak dapat bertindak adil dengan dirinya, mana ada manusia yang mengaku dirinya salah meskipun salah. Guru dengan pandangan batin dengan tujuan tarbiyah akan mengatakan kepada seorang murid salah dan ‘marah’. Jika si murid langsung mendatangi gurunya dan memohon maaf, maka sang guru ketika mendengar itu akan berkata, ‘Aku yang salah.’ Guru membela muridnya yang salah dan menyalahkan yang benar, tujuannya untuk membebaskan daripada kungkungan nafsu, dalam rangka membangun tarbiyah. Tidaklah mungkin murid menyadari tipu muslihat nafsu, dengan sekedar memandang pada setiap waktu dan melawannya sendiri, kecuali mesti ada guru yang dia tunduk kepadanya. Ironisnya meskipun guru telah memberi maaf, tetapi beberapa murid masih terus memendam rasa marah, menunjukkan seolah-olah taklid kepada gurunya, yang menjadi pertanyaan apa yang diambil oleh murid dari gurunya? bukankah qudwah dan bukan nafsunya sendiri, gurunya sudah memberikan contoh dan menunjukkan sifat pemaaf dan sabar tetapi tidak diambil sebagai pelajaran (qudwah), sehingga mereka akan berjalan ditempat dan tidak berjalan menuju Allah.

Orang bila memperoleh kekayaan secara tiba-tiba, maka ia akan membeli barang-barang yang konsumtif, dan dipamerkan kepada orang lain, ini karena emosi, karena nafsu, tetapi tidak berlaku bagi orang yang memang sudah menjadi orang kaya lama. Begitu juga murid yang baru memperoleh anwar atau cahaya batin, ia akan meracau atau pamer untuk diketahui murid yang lain, oleh karena itu gunakanlah pemakluman atau pemaafan, begitulah yang tedapat pada kitab yang ditulis oleh Syaikh. Abdul Ghani An-Nabulsi,qs. di Damaskus, Syria.

Yang dikehendaki oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) kepada murid-muridnya adalah meluruskan pandangan hati hanya kepada Allah SWT (siddqut tawajjuh), bukan menyibukkan pandangan diri kepada dunia yang justru akan meniadakan Allah. Seorang wali pun selalu menyembunyikan kewalian dan karomahnya, khawatir sang murid tergelincir karena membesarkan dirinya bukan Allah. Oleh sebab itu seorang Aulia Allah berkata bahwa karomah adalah haidnya para wali, karena haid adalah kotoran maka harus disembunyikan. Seperti ketika seorang wali melihat orang yang berpenyakit hati berada dihadapannya, terlihat bagaikan wanita pingitan yang terbuka auratnya, maka beliau seolah-olah menutup wajahnya karena malu, lantas mengasihi dan menyayanginya. Itulah sifat yang paling menonjol dari Aulia Allah, sebagai tanda bahwa Asma Ar Rahmaan dan Ar Rahiim telah ditajallikan kedalam hati oleh-Nya, sehingga terlihat seperti 'penampakkan-Nya'. Begitu hebatnya Aulia Allah menyembunyikan kewalian dan karomah maka tidak ada seorangpun yang dapat mengenalnya kecuali wali yang lain. Syaikhuna pernah berkata bahwa : 'Tidak ada yang mengenal wali keuali wali.' Maka jangan pernah menyebut seseorang sebagai wali atas penglihatan dan penilaiannya sendiri. Kembali kepada siddqut tawajjuh, dengannya dapat menghindarkan seseorang dari sifat-sifat yang tercela atau buruk, khususnya dalam hal menabuh genderang gibah. Gibah itu membuat nafsu bergembira atau senang, tetapi membuat sang pembimbing atau sang guru bersedih, meskipun kesedihan sang Guru tidak diperlihatkan dan tidak akan terlihat. Oleh karenanya, bisa jadi murid-murid secara jasmani terlihat dekat dengan gurunya tetapi sesungguhnya jauh secara ruhani dan sebaliknya yang jauh secara jasmani sesungguhnya dekat ruhaninya.

Dari sekian banyak wejangan Syaikh. Wassi' Achmad Syaechuddin (semoga Allah merahmatinya) memberikan gambaran bahwa keadaan jiwa murid tampak pada pembicaraan dan perilakunya, bilamana ia punya sifat sabar dalam ruhaninya, maka setiap peristiwa yang menimpanya ia akan mampu bersabar, dan juga jika mempunyai sifat dermawan maka setiap memberi ia akan ikhlas, serta akan merasa cukup dalam setiap keadaan jika ia mempunyai sifat qona'ah. Nah manhaj atau metode yang diberikan oleh Syaikhuna kepada murid-murid berkenaan dengan pekerjaan tarekat adalah untuk memperoleh limpahan ruhani yang mulia ini. Sebaliknya jika yang dipunyai oleh seorang murid adalah sifat benci, maka yang diucapkan dan dilontarkan adalah hal-hal yang keji. Syaikh Nawawi al Bantani,qs pernah berkata 'Ya Allah, jika aku membeci seseorang saja, maka jangan engkau terima ibadahku.' Karena, benci adalah induk dari penyakit hati yang mengarah kepada syirik halus atau syirik khofi. Kita bisa membayangkan dengan menggunakan akal tentang sifat-sifat Maha Mulia Allah SWT, khususnya sifat yang berkenaan dengan pemberian ampun dan maaf, sifat ini terbanyak daripada sifat-sifat-Nya yang lain, maka Dia disebut Maha Pengampun dan Maha Pemaaf, karena selalu memberikan ampunan dan maaf kepada pelanggar hukum-hukum-Nya kecuali syirik. Nah orang-orang yang telah menerima limpahan (tajalli) sifat pemaaf ini, mudah memberi maaf kepada orang lain, karena memang sifatnya, sebagaimana mata yang mempunyai sifat melihat, maka dapat melihat. Sebaliknya orang yang tidak mempunyai sifat ini, akan secara terpaksa bila memberi maaf, sehingga suatu saat akan mengungkit kesalahan orang lain lagi, dan tidak akan mampu menutupinya. Sifat-sifat mulia yang terdapat pada ruhani seseorang adalah merupakan Tajalli dari sifat-sifat Maha Mulia Allah SWT. Para Syaikh Sufi terdahulu menyebutnya sebagai maqomat ruhiyah dan dizaman Imam Ibnu Arabi,qs disebut sebagai Nuur Muhammad, syuhud atau Akhlak Mulia dan orang yang beruntung memperolehnya disebut sebagai Insan Kamil atau Aulia Allah.

Barokah dari marahnya seorang guru kepada murid adalah pemicu madadnya sang guru guna wushul kepada Allah SWT. Sang murid barulah merasakan rasa takut kepada Allah yang hakiki setelah mengaji lebih dari 20 tahun lantaran sang guru menegurnya, dan sesungguhnya menurut Imam Ahmad Zarruq,qs keadaan takut seperti inilah sebagai syarat utama orang memasuki dunia tasawuf. Seorang syaikh berkata : 'Jika seseorang menyakiti hatimu dengan memfitnah atau apapun yang membuat hatimu sakit, maka obatilah hatimu dengan membebaskan hutangnya jika ia punya hutang, atau berikan ia seuatu yang diperlukan, dengan begitu engkau telah mengikuti sabda baginda Nabi Muhammad,saw, yakni balaslah keburukan dengan kebaikan, maka engkau akan memperoleh ketenangan.'

Kehendak Allah begitu tersembunyi karena muncul dari sifat Dzat yang Ghaib mutlak dan kehendak-Nya pastilah baik, karena seluruh kebaikan berada ditangan-Nya (biyadihil khaiir). Bagi sang Guru apapun perbuatan Allah yang ditampakkan kepada makhluk adalah baik, apakah itu berupa cacian ataupun pujian kepadanya, sehingga jika ada murid yang mengkritik atau bahkan mencacipun hakikatnya adalah baik, karena terlihat oleh hatinya (syuhud) bahwa Allah sedang mengujinya. Sedangkan bagi murid bila ditegur oleh gurunya, dadanya terasa sesak bagai tertimpa langit yang runtuh, padahal hakikatnya adalah kasih sayang dari sang guru.

Semoga bermanfaat, wallahualam bisawab.