Selasa, 28 Juni 2016

JAUH DAN DEKAT

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Yang mulia Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Berdekatlah kepada seorang ulama, yang manakala engkau melihatnya maka Allah SWT di ingat.’ Wejangan ini mengingatkan kepada sebuah hadis yang mengatakan suatu ketika Hanzhalah,ra., sedang bersama Rasulullah,saw., dan berkata : ‘Ketika berada bersamamu, kemudian engkau mengingatkan tentang surga dan neraka, kami sekan-akan melihat keduanya dengan jelas. Namun, ketika kami beranjak dari hadapanmu, kami kembali sibuk dengan kehidupan dan istri kami, serta banyak lalai.’ Mendengar itu Rasulullah,saw., bersabda : ‘Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Wahai Hanzhalah, seandainya kalian selalu berada dalam keadaan seperti ketika bersamaku dan senantiasa mengingat Allah (dzikrullah), niscaya malaikat akan menyalami kalian di jalan-jalan dan di pembaringan kalian, Namun, sesaat, sesaat.’

Apa yang dirasakan oleh sahabat Hanzhalah,ra., dirasakan pula oleh murid-murid tarekat yang berdekat dengan mursyidnya, meskipun dengan kadar yang berbeda. Karena ulama adalah warosyatul anbiya atau pewaris para nabi, dan seorang mursyid ditengah-tengah muridnya bagaikan Rasulullah,saw., di tengah sahabat-sahabatnya. Ulama adalah orang yang menjatuhkan rasa hurmat dan patuh serta mengambil ilmu dari ulama terdahulu dan seterusnya bertingkat-tingkat (nuurun ala nuur) yang pada akhirnya sampai kepada Abu Bakar as Siddiq,ra., atau Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., yang kedua orang agung ini meneguk air ilmunya langsung dari cawan kenabian, yaitu Rasulullah,saw. Atau dalam istilah tasawuf disebut sebagai golden chain atau ratai emas atau ahli silsilah, yang sekarang dikenal dengan sebutan mursyid atau pembimbing ruhani.

Yang dimaksud degan ‘berdekat’ adalah yang terhubung secara ruhani, meskipun phisiknya jauh, dalam dunia kesufian disebut sebagai robithoh. Abu Lahab dan Abu Jahl secara phisik berdekat dengan Rasulullah,saw., namun tidak terhubung secara ruhaniyah, maka mereka tidak dapat mengambil manfaat keimanan dan malah memusuhinya. Kisah, Abu Lahab menggenggam kerikil di telapak tangannya, dan bertanya kepada Rasullulah,saw., : ' Wahai Muhammad katakan, benda apa yang ada dalam genggamanku?.' Rasulullah,saw., diam lalu secara ajaib batu kerikil itu mengeluarkan suara yang didengar oleh Abu Lahab bahwa tidak ada tuhan yang aku sembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Mendengar itu Abu Lahab tidak juga menyatakan ke imanannya, melainkan pergi sambil berkata bahwa Rasulullah,saw., adalah penyihir. Oleh sebab itu, melatih diri untuk selalu robithoh kepada guru, merupakan perbuatan riyadhah yang sangat bermafaat bagi kemajuan ruhani. Di karenakan secara spiritual akan tersambung kepada Rasulullah,saw., melalui mata ratai ahli silsilah tadi. Seorang ulama mengatakan bahwa dzikrullah yang disertai dengan robithoh bagi seorang murid kepada gurunya lebih baik 10.000X dari pada dzikrullah tanpa robithoh.

Cinta itu bersambut, tidak bisa dikatakan cinta manakala seseorang mengaku mencintai orang lain, tetapi orang lain itu tidak mencintainya. Demikian pula bila seorang murid mencintai gurunya tentu sang guru juga mencintainya. Cinta mempunyai tanda, salah satunya adalah dengan banyak mengingat dan menyebut-nyebut namanya yang disertai dengan taat atau disiplin dalam mengerjakan seluruh pekerjaan tarekat yang di ijazahkan kepadanya, terlepas sang murid berada dekat atau jauh secara phisik dari gurunya. Bila sudah demikian, robithoh yang dilakukan akan memperoleh saluran cahaya keruhanian yang besar, yang akan tersambung kepada Rasulullah,saw., melalui jalur para ahli silsilah secepat kedipan mata. Mustahil cinta dari seorang guru kepada muridnya diukur dari banyaknya pemberian materi, karena, siapapun bisa saja memberi materi, bahkan orang yang bukan murid atau bukan seiman sekalipun. Bisa jadi murid yang berada jauh ditengah hutan dan belum pernah memberikan materi, lebih dicintai oleh gurunya ketimbang yang lain.

Selepas melakukan khalwat selama 10 hari, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada murid-muridnya : ‘Saya melihat kalian telah gigih melakukan peribadatan selama khalwat, khususnya dalam berdzikir kecuali robithoh.’ Ucapan ini sungguh menusuk dan menyayat hati, semua murid lengah, dikarenakan pelaksanaan khalwat di rubat dan posisi murid-murid bersebelahan dengan sang mursyid, menjadikan hal yang fundamental didalam beribadah yang berupa robithoh terlupakan. Hal ini merupakan bukti bahwa masih banyak murid-murid lebih mengutamakan bentuk ibadah yang berupa cabang dari pada yang pokok.

Demikian semoga ada manfaatnya.


ZUHUD DAN UZLAH

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Banyak pendakwah yang masih baru, salah mengartikan tentang zuhud. Yang dimaksud zuhud oleh mereka, adalah meninggalkan kehidupan bermasyarakat lalu mengasingkan diri dan tidak ada tuntunannya dalam beragama, demikian ucapnya disalah satu masjid di Bogor pada kultum di bulan Ramadhon. Ucapan ini salah kaprah, perlu penjelasan agar mereka tidak berburuk sangka kepada para Zahid (orang yang zuhud). Dalam terminologi tasawuf menyendiri disebut sebagai khalwat dan menyendiri ditengah keramaian disebut khalwat dar ajuman sedangkan hidup menyendiri disebut uzlah. Jadi yang mereka maksud adalah uzlah bukan zuhud. Uzlah tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dan diperbolehkan bila diperlukan. Orang yang memilih uzlah karena beranggapan bahwa dirinya tidak memberikan manfaat melainkan mudharat bagi masyarakat disekitarnya. Mudahnya begini, orang yang bicaranya selalu meyakiti orang lain akan lebih baik baginya bila diam, sedangkan untuk para ulama, bicaranya akan lebih baik daripada diamnya. Tidurnya orang yang jahil merupakan ibadah, tetapi terjaganya para mursyid lebih baik daripada tidurnya. Oleh sebab itu orang yang mempunyai kesadaran akan kelemahan dirinya akan melakukan perbaikan, salah satu jalannya dengan uzlah. Rasulullah,saw., pun pernah beruzlah di gua hira selama beberapa waktu, yang akhirnya menerima wahyu yang pertama. Semoga Allah menambahkan ilmu yang benar dan bermanfaat kepada mereka.

Sedangkan zuhud, mempunyai pengertian yang berbeda dari pada uzlah. Zuhud mempunyai tahap awal dan akhir. Tahap awal adalah berupaya untuk memperoleh keadaan ruhani yang lebih tinggi dengan cara melatih diri agar hatinya tidak terikat oleh dunia (mujahadah), atau boleh dikatakan sebagai memusuhi dunia. Dimulai dari upaya, lama kelamaan akan menjadi teguh, dan bila sudah teguh dalam istilah tasawuf disebut sebagai 'maqom zuhud'. Bukankah rukun Islam mengajarkan orang muslim untuk zuhud? Seperti meninggalkan dunia untuk mengerjakan shalat lima waktu, meninggalkan yang halal pada siang hari, berbagi harta dan mensucikan diri dengan pergi haji hanya untuk Allah SWT. Lawan daripada zuhud adalah mencintai dunia (hubbud dunya). Banyak ayat al Qur'an dan hadis yang melarang mencintai dunia, karena mempunyai konsekwensi yang sangat buruk. Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa kebalikan dari sesuatu yang dilarang oleh agama mempunyai manfaat yang baik bagi orang lain dan dirinya sendiri. Pada umumnya, robohnya bangunan keimanan dikarenakan orang mencintai dunia (hubbud dunya) yang menjadikan dirinya kikir (bakhil), sedangkan orang yang zuhud akan menghiasi imannya dengan bangunan keyaqinan yang indah. Orang yang zuhud bisa saja mempunyai harta yang banyak, namun hati mereka tetap terpusat kepada Allah SWT dan tidak terganggu atau terpengaruh oleh rayuan dan pesonanya, oleh karenanya ia menjadi dermawan. Sedangkan tahap akhir dari pada zuhud sebagaimana yang Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah katakan bahwa : ‘Gugurnya keberupayaan memusuhi dunia, melainkan hatinya sudah hampa dari dunia.’

Dizaman Rasulullah,saw., ada kelompok sahabat yang melakukan zuhud, mereka selalu berada di serambi rumah beliau,saw. Dan disebut sebagai ahli shuffah. Karena kezuhudan mereka, tempat ini sekarang disebut sebagai raudhah. Orang yang ke Madinah akan berebut untuk mendapatkan tempat di raudhah, karena mereka menyadari ketinggian fadhilah atau keutamaannya bila melakukan peribadatan disana. Abu Bakar as Siddiq,ra., menyerahkan seluruh harta bendanya untuk Islam, sedangkan Umar bin Khatab.ra., setengahnya. Yang pertama dalam tahap akhir zuhud sedangkan yang kedua masih dalam keadaan bermujahadah.

Darimana zuhud lahir? Setiap perkawinan niscaya akan melahirkan sesuatu, sebagai contoh : perkawinan Pena dan Lembaran Yang Terjaga melahirkan seluruh ciptaan, perkawinan langit dan bumi melahirkan kehidupan, perkawinan ruh dan badan melahirkan hati dan jiwa dan perkawinan manusia akan melahirkan manusia. Perkawinan antara Nuurullah dengan hati maka akan melahirkan zuhud. Bila sudah zahud, Nuuurullah akan memancar ke seluruh jiwa dan raga, sehingga matanya dapat melihat dan mengambil pelajaran, telinganya bisa mendengar dan menghayati dengan baik, mulutnya sibuk berdzikir dan seluuh jiwa dan raganya akan beribadah dengan kualitas yang yang berbeda dari sebelumnya (ubudiyah). Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya sebagai diperolehnya kejelasan-kejelasan.

Penjelasan dari Qurasy Shihab,qs., yang memberikan analogi Nuurulah sebagai frekeunsi radio sungguh sangat tepat. Beliau ditanya, mengapa orang yang rajin beribadah tetapi tidak banyak berpengaruh terhadap perilaku buruknya? Dijawab: 'Orang yang ingin mendengarkan siaran radio harus mengetahui frekuensi yang tepat, tanpanya mustahil memperoleh kontak, meskipun radio itu didekatkan ke pusat siaran sekalipun. Demikian juga, meskipun Allah berada lebih dekat dari pada urat leher manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak dapat merasakan kehadiran-Nya, karena masalahnya seperti radio tadi yang tidak tepat frekuensinya.'

Tidak ada yang bisa sampai kepada matahari kecuali hanya cahaya matahari saja. Karena ia terbit darinya dan tak bercerai siang ataupun malam dengannya. Matahari hanya dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahayanya, mataharipun tak dapat dilihat. Namun cahaya matahari, bukanlah matahari. Cahaya matahari adalah getaran transversal dan longitudinal dari matahari itu sendiri. Rasulullah adalah satu-satunya manusia akhir zaman yang mendapat Nuurullah dalam dadanya. Mutlak jika hendak mendapatkan frekuensi Allah atau Nuurullah, harus berpegangan pada ujung dari Nuur itu yang berada dalam dada Rasulullah. Caranya dengan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah serta memperbanyak sholawat atas Nabi,saw. Ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa amal seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT dan akan mengambang diantara langit dan bumi, tanpa bershalawat kepada Rasulullah,saw.

Sebuah riwayat mengatakan bahwa ada seorang ahli shuffah meninggal dunia. Di sampingnya ditemukan dua keping dinar. Melihat itu Rasulullah,saw., bersabda : ‘Ini dua barang dari neraka.’ Riwayat ini perlu mendapatkan penjelasan, agar tidak berburuk sangka kepada orang-orang yang dilapangkan harta bendanya. Banyak sahabat Rasulullah,saw., meninggal dunia dan meninggalkan harta yang tidak sedikit, tetapi beliau,saw., tidak bersabda seperti itu. Sebab, mereka tidak menyembunyikan sesuatu yang berlawanan dengan penampilan lahirnya. Sementara orang itu menampakan kemisikinan padahal memiliki dua dinar. Banyak ulama di zaman kini yang mengaku miskin, padahal hartanya banyak, saldo tabungannya melimpah dan hidupnya mewah. Ketika apa yang disembunyikan tampak maka Rasulullah,saw., bersabda seperti diatas. Oleh karenanya ada pepatah mengatakan bahwa lebih baik berpura-pura kaya daripada menampakkan kemiskinan yang bertujuan agar tidak ada kesan meminta-minta, daripada orang yang kaya berpura-pura miskin, yang menandakan ia bakhil (kikir) dan takut bilamana ada orang yang meminta bantuan kepadanya. Allah SWT banyak memuji orang yang miskin tetapi menyembunyikan kemiskinannya dan berhenti dari meminta kepada makhluk, karena hal ini perlambang kefakiran, dan kefakiran adalah tasawuf. Sedangkan bagi orang yang bakhil, Allah SWT berfirman : 'Sekali-kali janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.' (QS. 3 : 181).

Banyak hadis berkenaan dengan masalah kekikiran ini, diantaranya Rasulullah,saw., bersabda : 'Orang yang bakhil jauh dari Allah, jauh dari surga dan jauh dari manusia,' dan 'Lalu penyakit apalagi yang lebih parah dari pada sifat bakhil.' dan 'Hati-hatilah kalian terhadap perbuatan kikir, karena sifat kikir telah menyesatkan orang-orang yang sebelum kalian. Mereka menghalalkan barang yang telah diharamkan, mengalirkan darah dan memutuskan hubungan silaturahmi karena terdorong oleh sifat-sifat kikir mereka.' dan 'Bukanlah termasuk orang yang beriman apabila seseorang di antara kalian tidak mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.' dan 'Seorang yang kaya kemudian melihat saudaranya dalam keadaan sengsara dan membutuhkan pertolongan, tetapi ia bersikap acuh tidak mau mengulurkan tangannya memberi pertolongan atau santunan, maka ia termasuk orang yang paling jauh dari rasa keimanan.'

Nah, kezuhudan berkaitan erat dengan menghilangkan kekikiran dan meningkatkan kejujuran, orang yang zuhud akan menjadi dermawan dan sifat kejujurannya akan tumbuh sperti pohon yang kokoh, disebabkan hatinya hampa terhadap dunia dan menjadikan dirinya tidak akan melakukan siasat buruk yang merugikan pihak lain. Oleh sebab itu, sangat bermanfaat bilamana sang Zahid adalah pedagang. Karena bagi pedagang yang jujur, Rasulullah,saw., bersabda : ‘Pedagang yang jujur akan dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, para syuhada dan orang saleh.’ Karena, pedagang yang jujur akan menyampaikan amanat dan nasihat, lahir dan batin mereka bersih, berjihad melawan dirinya terhadap rayuan akan berolehnya keuntungan yang besar, dan selalu mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.

Demkkian para sahabat, semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita.

Kamis, 23 Juni 2016

LEBARAN DAN KETUPAT

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Beberapa sahabat mengiringi Syaikhuna (semoa Allah merahmatinya) berziarah ke makam Sunan Kalijaga,ra. Dalam perjalanan menuju ke makam, banyak dijumpai kios-kios kecil yang menjual berbagai macam perlengkapan sholat dan wirid, tetapi ada juga yang menjual golok, pedang dan pisau. Setelah selesai melakukan ritual ziarah, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berhenti ditempat ini, lalu mengambil golok dan ditebaskan ke tangan kirinya. Ajaib, tangan beliau tidak terluka sedikit pun dan golok menjadi bengkok. Penjual golok tercengang, kagum, tetapi terlihat sedikit bingung lantaran goloknya bengkok. Untuk menyenangkan sang penjual, seorang murid membeli golok dimaksud dengan harga yang baik. Ditanya oleh murid-muridnya alasan mengapa beliau melakukan yang demikian, dijawab : ‘Kegagahan Sunan Kalijaga sangat terasa dan membias kedalam dada, maafkan saya.’

Jika rasa gagah atau ketinggian derajat seorang wali dapat dirasakan demikian hebatnya, maka ajaran dan gagasan serta wejangannya tentu dapat juga menggugah hati yang sedang kacau, namun berlaku bagi orang yang yaqin. Sebagai bentuk pengajaran untuk masyarakat jawa pada waktu itu agar selalu mawas diri (muhasabah) dan melakukan tindakan yang terpuji, adalah melakukan pendekatan secara budaya, sambil menyisipkan pokok ajaran Islam. Salah satu karya Sunan Kalijaga,ra., yang fenomenal namun terlihat sederhana, adalah perayaan setelah selesai melakukan puasa sunah pada bulan Syawal yang dimulai dari tanggal 2 hingga 7 (enam hari), dengan sebutan ‘Lebaran Ketupat’ atau dalam Bahasa jawanya disebut sebagai ‘Bakdo Tupat.’ Dinamai lebaran ketupat, karena makanan utamanya adalah ketupat yang diberi lauk pauk yang pada umumnya dibuat dari sari kelapa atau santan. Bahan ketupat terbuat dari beras dan dibungkus janur lalu di rebus lama. Beras berasal dari pohon yang selalu merunduk sebagai analogi tawadhu, sedangkan janur atau daun kelapa diambil dari akar bahasa Arab Ja'a nur (dibungkus cahaya). Yang maksudnya adalah bila seseorang sudah selesai menjalankan puasa wajib dan ditambah dengan puasa sunah serta mengakui segala kesalahannya (mujahadah), maka hatinya akan seperti kupat yang dibelah, putih, bersih dan bercahaya.

Ternyata makna kupat adalah inti sari dari tasawuf, yaitu mengenal diri atau mengakui kesalahan-kesahalan diri yang dalam Bahasa jawa disebut ‘ngaku lepat’ yang disingkat menjadi ‘kupat’ atau dalam Bahasa Indonesia disebut ‘ketupat’. Di wujudkan dalam bentuk sungkeman sebagai penghormatan kepada orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan. Saat ini menjadi populer dengan ucapan ‘mohon maaf lahir dan batin’ yang disampaikan kepada keluarga, tetangga, kerabat, sahabat dan teman saat berjumpa selepas selesai berpuasa satu bulan penuh. Sedangkan setelah mampu mengakui kesalahan ‘ngaku lepat’, disarankan melakukan empat tindakan atau dalam bahasa jawa disebut sebagai ‘laku papat’ yang disingkat menjadi ‘kupat’. Oleh karenanya kupat mempunyai dua makna, yakni ngaku lepat dan laku papat. Empat tindakan yang dimaksud adalah, yang pertama memohon maaf kepada setiap orang yang dikenal dan dijumpainya, yang kedua bersedekah atau zakat untuk kaum dhuafa, ke tiga menjaga tali silaturahim dan yang ke empat tidak mengulangi perbuatan yang tercela (Taubat), menjaga hati agar tetap bersih (Safa), menjauhi perkara yang diragukan (Wara) serta melenyapkan kedirian (Fana).

Ini adalah salah satu bukti bahwa Sunan Kalijaga,ra., atau para wali songo mengajarkan tasawuf di negeri kita dengan pendekatan budaya dan mendahulukan kasih sayang serta menjauhi paksaan. Demikian pula yang dilakukan oleh Sunan Giri,ra., dan Sunang Bonang,ra., dengan menggubah lagu daerah dan permainan rakyat yang berjudul 'cublak-cublak suweng dan lir-ilir serta tombo ati. Pendekatan yang demikian indah pada abad ke empat belas yang dilakukan oleh para waliyullah atau wali songo, dikatakan bid'ah dan sesat oleh kelompok tertentu yang baru lahir di abad ke sembilan belas, naudzubillah mindzalik tsuma naudzubillah mindzalik. Semoga Allah menuntun-Nya ke jalan yang lurus.

Demikian semoga ada manfaatnya.

Selasa, 21 Juni 2016

POKOK DAN CABANG

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Di dunia ini tidak ada sekolah yang secara formal menyediakan pendidikan terhadap tahapan evolusi jiwa, kecuali hanyalah tentang bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia secara ilmiah atau biasa yang disebut dengan psikologi, praktisinya disebut sebagai psikolog. Meskipun orang yang ingin menjadi psikolog tidak harus merasakan sakit mental terlebih dahulu. Pengetahuan tentang cara berenang dengan berenang itu berbeda, begitu pula pengetahuan tentang seluk beluk cara membuat santan berbeda dengan membuat santan. Orang yang mempelajari seluk beluk tentang cara berenang dan cara membuat santan belum merasakan ‘rasa’ saat berenang dan ‘rasa’ santan. Meskipun para psikolog dapat secara ilmiah menulis gambaran tentang rasa-rasa itu, yang didapat dari penelitian terhadap orang-orang yang pernah merasakannya, tetapi mereka jauh dari rasa-rasa itu sendiri. Oleh karenanya terasa aneh jika seorang yang mengajarkan cara berenang dan cara membuat santan tetapi belum pernah berenang dan makan santan. Jika orang seperti ini dijeburkan kedalam sungai tentu ia akan berteriak minta pertolongan dari orang lain.

Seseorang yang sehat secara lahir belum tentu sehat secara batin. Untuk memperoleh informasi yang akurat tentang kesehatan tubuhnya, seseorang dapat melakukan general checkup ke laboratorium. Jika hasil laboratorium menyatakan sehat secara lahir, tetapi masih merasakan sesuatu yang tidak mengenakan didalam dirinya, maka bisa saja ia terjangkit sakit secara kejiwaan. Biasanya mereka akan terus melakukan pendekatan secara medis dan pergi ke psikolog untuk mendapatkan terapi penyembuhannya.

Kisah, ada seorang pemuda yang merasa kematiannya sudah didepan mata, hal ini menjadikannya ada sesuatu rasa yang sangat menghimpit jiwa dan dirasakan hampir pada setiap saat. Sudah dicoba dengan berbagai cara untuk menghilangkannya, tetapi gagal. Dimulai dari refresing keberbagai tempat yang nyaman, baik didalam negeri maupun luar negeri, bahkan pergi haji dan umrah, tetapi tetap saja perasaan itu ada dan sangat semakin mengganggu jiwanya. Pertemuan yang rutin kepada psikolog yang top dan meminum obat yang disarankan juga belum membuahkan hasil. Akhirnya ia mencoba penyembuhan secara spiritual dan pergi mengunjungi seorang ulama atas petunjuk dari temannya. Ia bertemu dengan seorang mursyid atau pembimbing ruhani dari sebuah tarekat. Mursyid tersebut berkenan menerima sebagai muridnya dan diberikan pekerjaan dzikir dan wirid yang harus dikerjakan pada setiap waktu terntentu. Hal tersebut dikerjakannya dengan tekun dan rasa hurmat. Dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan, ia sembuh dari penyakit kejiwaannya. Orang ini menyadari betapa mahal dan langka ilmu yang diperolehnya dan tidak bisa diukur dengan harta benda dunia. Maka setiap ia menyebut nama mursyidnya, matanya berkaca-kaca dan dadanya sesak.

Sakit kejiwaan adalah buah dari menanam perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Semakin sering seseorang menanamnya, maka akan semakin besar kemungkinannya menuai hasilnya dalam bentuk sakit yang demikian. Jika tidak diperoleh hidayah, maka orang ini tidak saja menderita di dunia tetapi juga di akhirat nantinya, karena ia kembali kepada Tuhannya dalam keadaan jiwa yang sakit dan kotor. Di dalam Al Qur’an Allah SWT memuji orang-orang yang membersihkan jiwanya dengan sebutan ‘Sungguh orang yang beruntung’ dan sebaliknya yang mengotori jiwanya disebut sebagai ‘Sungguh orang yang merugi.’ Sebelum menyatakan ini, Allah bersumpah dengan sumpah yang besar dan tidak ada satu surat pun yang sumpah-Nya lebih banyak dan besar dari pada surat ini. Mengapa membersihkan jiwa menjadi sangat penting? Karena, terdapat perintah dari Allah SWT : 'Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali hanyalah untuk beribadah kepada-Ku.’ Dan tidak mungkin seseorang dapat beribadah kepada-Nya dengan benar dan tepat tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu. Nah, untuk mengenal-Nya dibutuhkan pengenalan terhadap dirinya sendiri terlebih dahulu. Sebagaimana hadis yang mengatakan bahwa ‘Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.’ Sedangkan untuk mengenal diri sendiri tidaklah mungkin dilakukan kecuali atas bimbingan seorang mursyid, karena Allah SWT mengkaruniai ilmu dan rasa tentang seluk beluk hati dan cara pembersihannya. Ilmu yang diajarkan bukan berupa pengetahuan saja, melainkan wajib dikerjakan agar mengetahui 'rasanya'. Sang mursyid menyebutnya sebagai 'Ma'lam ya sulam yarif, kerjakan dahulu baru rasakan.' Kemudian setelah mengerjakan ilmu yang diketahuinya maka Allah akan mewariskan ilmu yang belum diketahuinya, 'Man amila bima alima warratsahullahu ilma maa lam ya'lam." Hal tersebut jelas sekali bahwa segala sesuatu ada pokok dan ada cabangnya, atau ada pondasi dan ada bangunannya. Tidak mungkin cabang ada tanpa pokok dan demikian pula bangunan ada tanpa pondasi.

Di negeri kita agama Islam adalah warisan dari orang tua, jarang yang menemukannya sendiri atau mempelajari terlebih dahulu, termasuk orang-orang yang sekolah di negeri Arab sekalipun. Tanpa disadari mereka terjebak kepada peribadatan yang bersifat cabang dari pada yang pokok. Allah SWT berfirman : ‘Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal’ (QS 47 : 19). Jelas sekali bahwa perintah tauhid mendahului perintah untuk memohon ampun. Atau dalam ayat lain dapat dijumpai bahwa perintah tauhid mendahului perintah takwa. Rukun Islam, rukun Iman dan ihsan, semuanya diawali dengan tauhid, yang pertama adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang lain kecuali Allah, yang kedua adalah percaya kepada Allah dan yang ketiga adalah jika beribadah seolah-olah 'merasa' melihat Allah atau 'merasa' dilihat Allah. Sehingga tauhid adalah pokok sedangkan bentuk peribadatan lain adalah cabangnya. Seorang mursyid selalu mengawali setiap tindakannya dengan Basmallah dan dilanjutkan dengan sebuah doa ‘Illahi anta maqsudi waridhoka matlubi a’tini mahabataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin. Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ya Allah Engkaulah yang aku maksud, ridho-Mu yang aku harapkan dan karuniakan rasa cinta kepada-Mu dan mengenal-Mu.’ Atau memurnikan taudid terlebih dahulu didalam hati barulah kemudian melakukan tindak peribadatan yang lain, agar cabang atau bangunannya tidak sia-sia lantaran tidak ada pokok atau pondasinya.

Bukankah pertanyaan yang diajukan kepada seorang didalam kubur berkenaan dengan masalah ushul (pokok-pokok agama), bukan tentang furu (cabang}? Pertanyaan yang muncul adalah siapakah Tuhanmu? Apa agamamu? siapa nabimu? Jadi bukan tentang amal apa yang dilakukan. Juga di Hari Kiamat yang pertama ditanya adalah tentang iman kemudian baru tentang amal. Lalu amal tersebut diberi pahala sesuai dengan kadar kekuatan ushul (pokok), yaitu niat.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Sejak kecil sampai usia tua kebanyakan manusia menggunakan jiwa dan raganya hanya untuk mengurus dunia dan lemah melakukan riyadhah dan mujahadah sehingga tauhid tetap samar.'

Demikian semoga Allah menyayangi kita semua.

Jumat, 17 Juni 2016

MURID DAN MURAD

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Seseorang tidak bisa memaksa orang lain untuk menghentikan aktifitas dzikir berjamaah, ziarah kubur, tahlilal atau merayakan maulid Nabi,saw., meskipun hukumnya sunah. Bahkan orang juga tidak diperbolehkan memaksa orang lain untuk melakukan shalat, puasa, zakat dan berhaji meskipun hukumnya wajib. Menyampaikan peringatan itu merupakan kebaikan, akan tetapi memaksakan kehendak itu merupakan keburukan, meskipun tentang agama, karena tidak ada paksaan dalam beragama. Sesungguhnya hanya dirinya yang dibebankan untuk semua itu. Orang lain tidak dapat meraih kebaikan dari orang lain sedikit pun, tetapi ia meraih kebaikan untuk dirinya sendiri dan akan berada dalam timbangannya sendiri, bukan timbangan orang lain. Tidak ada dosa orang lain dapat ditanggung oleh orang lain, terdapat ayat Al Qur’an menyatakan tentang ini.

Sesungguhnya seorang murid diperintahkan untuk meluruskan nafsnya yang hanya satu, bukan nafs orang lain. Ia belum mengenal nafsnya, lalu bagaimana mungkin ia bisa mengenal nafs orang lain? Ini sebuah bukti bahwa seorang murid sedang dikendalikan oleh nafsnya bukan mengendalikannya. Orang yang mampu dan sedang memperbaiki sesuatu, karena ia mengetahui kerusakannya dan mempunyai kesadaran serta kemauan yang keras, bahwa bila didiamkan akan menjadikan kerusakan yang lebih parah. Tidaklah mungkin bagi seorang murid dapat mengetahui penyakit yang sedang dideritanya, kecuali melalui perjuangan yang gigih dan atas bimbingan seorang guru spiritual. Karena jiwa ini laksana seekor sapi yang makanannya adalah penyakit hati. Oleh sebab itu, jiwa merasa nyaman bila seseorang sedang mengibarkan bendera penyakit hatinya. Dirumah-rumah orang tua dulu, banyak dijumpai lukisan seseorang sedang menggembala sapi. Yang artinya bahwa tanpa penggembala, sapi akan tumbuh liar dan tidak mengetahui tujuan untuk apa ia dicipta. Sapi tidak pernah mengangkat kepalanya saat makan, kecuali setelah memenuhi keinginan dan hajatnya di dunia, tidak heran bila binatang ternak dicela dalam Al Qur'an. Sungguh ironis, bila murid memempatkan dirinya sebagai penggembala padahal ia adalah seekor sapi. Ia hanya mengetahui sebagian kecil dari kebaikan tetapi tidak mengetahui sebagian besar kebaikan lainnya. Terhadap sesuatu yang ia tidak ketahui, ia bodoh dan tidak berupaya untuk mengetahuinya. Kerusakan yang ia ketahui justru ia abaikan proses perbaikannya, ia tinggalkan mujahadah dan malah mencari pujian.

Seorang murid yang senang memberi nasihat akan sulit menerima nasihat dari orang lain. Jika ia suka berbicara maka ia akan benci dan merasa marah bila ada orang lain yang berbicara. Bila ia senang memimpin maka ia tidak suka dipimpin. Itulah karakter nafs bagi seorang murid, tinggi hati! Jika seorang murid pergi ke kholaqoh dzikir tanpa niat yang lain kecuali dzikrullah dan tidak ada orang yang mengenalnya dan ia tidak mengenal seorang pun, maka ia akan lebih mudah selamat dari serangan musuhnya yaitu nafsnya atau dirinya sendiri. Tetapi jika kehadirannya ingin mendapat perhatian dari orang yang dikenal dan orang-orang mengenalnya, maka seluruh perbuatannya adalah ujian baginya, dan mustahil bisa lulus dari ujian ini. Amalnya akan musnah, hangus terbakar oleh penyakit-penyakit hatinya, tetapi ia menyangka telah beramal yang baik.

Wajar jika arti murid dalam dunia tasawuf adalah yang berkehendak dan murad adalah yang dikehendaki. Seharusnya kehendaknya ditujukan untuk mencermati dan meniliti dirinya sendiri yang kemudian memperbaikinya, namun ditengah perjalanan kehendaknya bisa berubah ingin memperbaiki orang lain. Selintas memberi nasihat dan menyampaikan ilmu kepada orang lain seperti sebuah kebaikan, tetapi karena jiwanya belum siap, maka akan menjadi keburukan baginya. Tugas seorang murid berbeda dengan murad, jika murid mencoba mengambil alih tugas murad, maka akan gagal dan membahayakan bagi perkembangan nafsnya. Tidaklah mungkin sapi menggembala sapi.

Amal saleh yang dilakukan oleh seorang murid yang belum istiqomah dalam melaksanakan pekerjaan dari gurunya dan tidak menyadari tentang penyakit-penyakit hatinya atau kelemahannya, merupakan makanan yang empuk bagi perasaan tinggi hati. Itulah salah satu penyebab tinggi hati berkuasa dalam jiwa dan melahirkan sikap meremehkan orang lain. Inilah salah satu penyakit hati yang umum menjangkiti para murid.

Murid yang baik akan menemukan penyakit-penyakit hatinya dalam perilaku lahir maupun batin didalam perjalanan spiritualnya, semakin teguh mendawamkan dzikir dan ubudiyah, maka semakin sering pula ia menjumpainya. Sesungguhnya inilah bentuk sajian ruhani dari Allah SWT agar sang murid mengenal dirinya, melalui pengenalan terhadadp penyakit-penyakit hatinya, lalu berupaya menemukan obatnya. Bukan menikmati penyakitnya sebagai makanan utama jiwanya. Jiwanya harus diajak berpuasa dari menikmati hidangan penyakit jiwanya, dengan cara memeranginya (mujahadah).

Demikian para sahabat, semoga Allah SWT menolong kita semua.

Selasa, 14 Juni 2016

KEBAIKAN DAN KEBURUKAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Guru kami tercinta Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : 'Tasawuf adalah penyucian diri.'

Penyucian diri adalah hijrah dari kehidupan yang buruk menuju kepada kehidupan yang baik. Kehidupan adalah perbuatan dan perbuatan tanpa niat akan sia-sia. Sebagaimana hadis yang mulia mengatakan bahwa seluruh perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan. Oleh karenanya sebelum memasuki alam kesucian harus dimulai dengan niat dan tekat yang kuat, sebagaimana mendaki gunung akan dijumpai beraneka ragam rintangan dalam perjalanannya, maka tanpa sebuah niat dan tekad yang kuat akan sia-sialah perjalanannya.

Orang yang berbuat tanpa diawali dengan penyucian diri maka akan sulit baginya untuk bisa berbuat kebaikan, karena adanya keburukan-keburukan yang tidak terlihat olehnya sebagai penghambat. Oleh karena itu, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Meninggalkan keburukan lebih diutamakan, baru kemudian mengejar kebaikan.’ Memperoleh ilmu tentang keburukan atau seluk beluk hati tidak mungkin bisa diperoleh, kecuali pada salah satu organisasi tarekat yang mutabaroh. Gejala ini sudah terlihat sejak di zaman Rasulullah,saw., sahabat yang belajar tentang keburukan atau kemunafikan lebih sedikit jumlahnya dibanding dengan yang belajar tentang kebaikan. Beberapa sahabat yang diketahui adalah Abu Bakar as Siddiq,ra., Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., Huzaifah al Yamani,ra., dan Abu Darda,ra. Sehinggga setiap ada pertanyaan yang menyangkut tetang hal ini, maka akan dijawab 'Tanyakan kepada Huzaifah'. Ada orang bertanya kepada Huzaifah: 'Kami melihat tuan mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah kami dengar dari sahabat-sahabat Rasulullah,saw., yang lain. Dari mana tuan memperolehnya?' Lalu jawabnya: 'Rasulullah,saw., telah menentukannya kepadaku. Orang banyak bertanya kepada Rasulullah,saw., tentang hal yang baik-baik, tapi aku bertanya dari hal yang jahat-jahat agar aku mengetahuinya dan menjauhkan daripadanya. Sedang mengenai yang baik-baik aku tidak takut ketinggalan mengerjakannya. Sesungguhnya barang siapa yang tidak kenal kejahatan, ia tidak akan kenal kebaikan.' Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Darda,ra., bahwa Rasulullah,saw., bersabda : 'Rasa cinta pada sesuatu bisa membutakan dan menulikanmu. Dunia itu lawan akhirat. Oleh karena itu, siapa saja yang mencintai dunia berarti telah buta dan tuli dari akhirat. Sebaliknya, siapa saja yang mencintai akhirat berarti telah buta dan tuli dari dunia. Nafsu itu lawan dari Tuhannya. Hawa nafsu mengajak manusia untuk menaatinya. Siapa saja yang mencintai hawa nafsu berarti telah buta dan tuli dari Allah SWT, Sebaliknya, siapa saja yang mencintai Allah SWT berarti telah buta dan tuli dari hawa nafsu.'

Dari ke dua hadis diatas, sangat jelas sekali maknanya, bahwa musuh dalam proses penyucian diri bukan berada diluar melainkan didalam diri, yaitu nafs, karena ia terus menerus menentangnya. Sifat dasar nafs adalah selalu menjauh dari perbuataan taat atau mengajak kepada keburukan-keburukan. Oleh karenanya mengetahui seluk beluk keburukan diri wajib diketahui dan setelah mengetahuinya baru dipelajari cara-cara memperanginya. Mengapa ini demikian penting? karena ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa 'Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.' Hadis ini sama maknanya sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Darda,ra. bahwa 'Siapa saja yang mencintai hawa nafsu berarti telah buta dan tuli dari Allah SWT, sebaliknya, siapa saja yang mencintai Allah SWT berarti telah buta dan tuli dari hawa nafsu. Ujung dari pada penyucian diri adalah mengenal dan mencintai-Nya atau menjadi buta dan tuli terhadap hawa nafsu. Ketaatan merupakan bangunan dari pondasi Penyucian diri, maka tidaklah mungkin berbuat ketaatan tanpa penyucian diri. Hidayah dan inayah-Nya merupakan penggerak dari proses penyucian diri ini.

Bilamana penyucian diri merupakan proses yang utama sebelum perbuatan taat, maka menjadi wajib hukumnya untuk mengetahui ilmu tentang sebab-sebab yang mendatangkan kebaikan dan menjauhkan diri dari keburukan serta hubungan yang kuat dengan Allah SWT., Syaikhuna (semoga Allah merhmatinya) menyebut sebagai ‘Tasawufan rojulu.’ Mungkin yang dimaksud dengan rojulu adalah berasal dari kata rijal atau pria, oleh sebab itu orang-orang yang berjalan dijalan penyucian diri ini disebut sebagai pria meskipun ia seorang wanita. Sebagaimana Imam Junaid,qs., menyebut syaidah Rabiyah,ra., sebagai 'pria di zamannya'.

Barang siapa yang bertekad untuk menyucikan diri dan khawatir akan kerusakannya, ia akan mencari berbagai cara dan sarana dengan pikiran yang cerdas agar ia bisa sampai kepada pengetahuan tentang cara dan sarana itu. Kisah, dua orang bersaudara setelah selesai dari pendidikannya di pesantren mencari seorang guru guna membimbingnya untuk penyucian diri, karena mereka meyakini bahwa proses penyucian diri ini tidaklah mungkin dapat dilakukannya sendiri tanpa seorang pembimbing. Selama dua tahun mereka keluar masuk hutan dan naik turun gunung untuk mendapatinya, tetapi hasilnya nihil. Lalu mereka mendirikan pesantren didaerahnya dan menyebarkan ilmu syariah yang diperoleh selama sekolah. Akan tetapi semangat untuk menemukan seorang guru tetap mendominasi hatinya. Suatu saat salah seorang itu sedang membuka internet, dilihatnya tulisan tentang tasawuf dan terdapat informasi tentang pembimbing ruhaninya. Bergegas mereka menuju kesana dan akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari selama ini. Semoga Allah menyayangi kedua orang ini dan selalu menuntunnya kejalan yang lurus. Inilah sebuah bukti bahwa Hidayah dan inayah-Nya merupakan penggerak dari proses penyucian diri ini.

Bila sudah menemukan, maka wajib hukumnya untuk mempertahankan dengan sekuat tenaga. Kemudian seluruh perberbuatan didasarkan kepada ilmu dan pengetahuan yang diperoleh dari seorang pembimbing ruhani atau mursyid atau syaikh. Sebelum berbuat harus diketahui terlebih dahulu tentang penyakit-penyakit perbuatan. Jika dianalogikan mendaki gunung, maka pengetahuan tentang jalan pendakian yang benar harus lebih diutamakan daripada proses pendakiannya. Kebutuhan seseorang akan pengetahuan tentang jiwanya, atau musuh utama dalam proses penyucian diri, khususnya keburukan-keburukannya jauh lebih mendesak, daripada kebaikannya, agar jiwanya menjadi sehat, menjadi tenang (nafsul muthmainah).

Perbuatan baik itu banyak jenisnya, maka tidak semua perbuatan baik harus dilakukan, kita boleh memilih dan memilah yang sesuai dengan kemampuan, tetapi semua perbuatan buruk wajib ditinggalkan. Salah satu cara meninggalkan perbuatan buruk adalah tenggelam dalam perbuatan baik.

Sebuah keniscayaan bahwa pengetahuan tentang keburukan mengandung dua pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang keburukan dan kebaikan. Namun, pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mengandung pengetahuan tentang keburukan. Bilamana seseorang mampu memisahkan kebaikan dari pada keburukan, maka ia akan meninggalkan keburukan dan yang tersisa hanyalah kebaikan. Sedangkan bilamana seseorang yang sangat mengerti tentang kebaikan, tetapi ia tidak mampu mendeteksi keburukan yang terkandung didalamnya, maka akan rusaklah kebaikan itu. Oleh sebab itu Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu berkata : ‘Kerjakanlah terlebih dahulu larangan-larangan dari Allah SWT kemudian baru mengerjakan perintah-perintah-Nya.’

Jika syaithon menyesatkan dengan jalan keburukan adalah hal yang biasa dan mudah diketahui, tetapi jika menyesatkan dengan jalan kebaikan adalah hal yang luar biasa, karena bisa jadi kita belum memiliki pengetahuan tentang keburukan yang bercampur dalam kebaikan. Sehingga kita mengira telah berada di atas kebenaran padahal tersesat dari jalan Allah. Semua itu bisa terjadi karena banyaknya penyakit didalam perbuatan dan sedikitnya pengetahuan tentang berbagai penyakit itu. Kita berlindung kepada Allah SWT dari godaan syaithon yang terkutuk.


Demikian para sahabat, semoga Allah mengkarunia kita kearifan dan kebjikasanaan dalam melakukan proses penyucian diri ini.

Senin, 13 Juni 2016

RENDAH HATI DAN TINGGI HATI

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Tawadhu atau merasa rendah hati adalah keberhasilan seseorang dalam melakukan riyadhah dan mujahadah dengan disiplin yang sangat tinggi. Keberhasilannya merupakan perbuatan Allah (af'al) yang merubah hati seseorang dari tinggi hati menjadi rendah hati, sedangkan upayanya adalah tindakan manusia. Riyadhah dan mujahadah bukan penyebab langsung dari diperoleh karunia yang hebat ini, tetapi tanpanya jangan pernah mengharapkannya. Sifat tinggi hati adalah biasa bagi para murid namun menjadi luar biasa bagi para ulama. Biasanya sifat tinggi hati ini akan ditampakkan secara lahiriyah, namun berhati-hatilah jika ia mampu bersembunyi didalam hati. kitab-kitab yang membahas tentang rendah hati sangat mudah ditemukan, tetapi sulit menemukan yang menjelaskan tentang tinggi hati.

Sifat tinggi hati ini akan lebih merusak dan lebih buruk dampaknya jika terjadi pada orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang agama.Tandanya, mereka akan mudah marah pada diri sendiri karena merasa dilecehkan, khususnya jika teman-teman yang lain tidak menghargainya, apalagi masyarakat mengacuhkannya. Yang menonjol adalah akan cepat merasa iri dan mengejar kemuliaan. Mestinya orang seperti ini tidak membolehkan rasa tinggi hati bercokol didalam hati, tetapi malah ditempatkan diatas kepalanya dan bukan ditelapak kakinya. Orang yang rendah hati adalah hamba sedangkan yang tinggi hati adalah tuan, tujuan ibadah adalah agar menjadi hamba-Nya bukan tuan.

Kita harus waspada manakala lahiriyah menampakkan kerendahan hati tetapi hati justru mengharapkan kemuliaan. Meskipun orang lain tidak mengetahui tetapi Allah SWT mengetahui-Nya. Kita ingin mendekat kepada-Nya tetapi kita melakukan kebohongan terhadap-Nya. Kita ingin memperoleh pengampunan-Nya tetapi perbuatan kita malah menyulut kemurkaan-Nya. Kita bertekad ingin memusuhi dunia (zuhud) sementara perasaan mulia tetap dipelihara dan berada dalam satu tempat. Jika sifat tinggi hati masih bercokol didalam hati maka, kita tidak mungkin bisa mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri, kita juga tidak mungkin dapat menahan emosi, kita tidak mungkin akan selalu dalam kondisi jujur, kita tidak mungkin dapat menyingkirkan perasaan sifat dengki dan fanatik, kita juga tidak mungkin dapat memberikan nasihat yang tulus dan mustahil kita bisa menghargai orang lain.

Meskipun sangat sulit untuk memperoleh sikap dan perasaan rendah hati atau tawadhu tetapi bukan hal yang mustahil, oleh karenanya barang siapa bersungguh-sungguh berusaha untuk menyingkirkan perasaan mulia dari dirinya, niscaya Allah akan memberikan pertolongan. Jika Allah berkenan mengganti perasaan tinggi hati menjadi rendah hati, maka perjalanannya menuju keridhoan Allah akan menjadi lebih mudah baginya. Perjalanannya menuju kekuatan iman, jalan istiqamah, dan jalan orang-orang saleh menjadi lebih mudah. Ia akan mendapatkan kemudahan dalam bersikap jujur di setiap amalnya. Jiwanya akan merasa tenang dalam sikap rendah hati dan kesederhanaan. Jalannya menuju keadilan menjadi menyenangkan baginya.

Semoga Allah SWT menolong kita semua.

HAK DAN KEWAJIBAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Yang mulia baginda Rasulullah,saw., pernah berkata kepada istrinya : ‘Wahai Aisyah, izinkanlah aku untuk beribadah kepada Tuhanku.’ Lalu Aisyah,ra., mengizinkannya dengan rasa senang. Hadis ini memperlihatkan bahwa beliau,saw., selalu menjunjung tinggi hak seseorang dan tidak ingin mengabaikannya, karena malam itu adalah malam giliran Aisyah,ra., yang merupakan hak baginya dan menjadi kewajiban baginda Rasulullah,saw., walaupun yang akan dilakukannya merupakan ibadah kepada Allah. Karena meninggalkan kewajiban kepada makhluk dan mengutamakan ibadah sunah akan menjadikan ibadah sunah itu menjadi sia-sia.

Kisah yang lain bahwa Rasulullah,saw., pernah menggunting jubahnya, lantaran ada seekor kucing sedang tidur diatasnya. Beliau,saw., tidak mau mengganggu dan membangunkannya, karena ia pun mempunyai hak untuk tidur. Beliau,saw., selalu mengedepankan hak makhluk dan tidak menuntut haknya, inilah tanda cahaya akhlak yang begitu tinggi. Guru kita tercinta Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) sering mengingatkan murid-muridnya untuk merendahkan atau melirihkan suara sewaktu melakukan dzikir Jahr secara berjamaah, karena tidak ingin para tetangga merasa terganggu meskipun mereka tidak seiman. Walaupun banyak hadis yang memperlihatkan bahwa fadhilah berdzikir jahr secara berjamaah sangat besar, bahkan Nabi,saw., menyebutnya sebagai 'taman daripada taman surgawi.' dan 'terdapat ribuan malaikat mentautkan sayapnya dari orang-orang yang berdzikir ini sampai ke arsy'. Sesungguhnya dzikir jahr bila dilakukan dengan suara lirih dan syahdu pun tidak akan mengurangi fadhilahnya dan insya Allah akan tetap sama, bahkan lebih bersih hasilnya, karena tidak mengganggu tetangga yang sedang istirahat atau tidur.

Tujuan berdzikir salah satunya adalah untuk melemahkan hawa nafsu atau keinginan-keinginan diri dan bukan mengikutinya, oleh karenanya salah besar bila kita tidak meperdulikan likungan disekitar kita. Patuh dan hurmat terhadap anjuran guru adalah pilihan yang bijaksana. Sesungguhnya hakikat dzikir jahr adalah mendatangkan rasa yang keras bukan suara yang keras untuk me'nafy'kan atau meniadakan segala sesuatu dan meng'isbat'kan atau mengkukuhkan hanya Allah saja kedalam latifatul qolbi.

Buah dari pada berdzikir adalah ilmu dan kejelasan-kejelasan, sehingga akan mengerti kedudukan ibadah wajib dibanding dengan ibadah sunah. Jangan karena ibadah yang kedudukannya sunah lalu melupakan ibadah yang kedudukannya wajib. Ibadah wajib laksana pondasi sedangkan ibadah sunah bangunan diatasnya, bisa jadi bangunan bisa porak peranda lantaran tersapu angin topan, namun pondasinya tetap kokoh. Bisa jadi ibadah sunah kita bisa sia-sia karena mengabaikan kewajiban kita menjaga dan menghormati hak-hak para tetangga.

Mari kita perhatikan sebuah hadis yang sangat popular dikalangan orang-orang yang bertasawuf, yang didahului oleh pemenuhan perintah yang wajib baru kemudian memperbanyak ibadah sunah, yang disampaikan oleh sahabat Abu Hurairah,ra., bahwa Rasulullah,saw., bersabda : "Allah berfirman 'Barang siapa memusuhi wali Ku, maka Aku telah menyatakan perang kepadanya. Tidak ada orang yang dapat mendekatkan hamba Ku kepada Ku dengan sesuatu yang Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba Ku masih mendekati Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi alat pendengarannya yang dengannya dia mendengar. Aku menjadi alat penglihatannya yang dengannya ia melihat. Aku menjadi tangannya yang dengannya dia memukul dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku sungguh Aku akan kabulkan, dan jika ia memohon akan perlindungan-Ku, Aku akan melindunginya.'"

Beliau,saw., juga pernah melarang orang yang berpuasa terus menerus dan bangun malam tanpa tidur, karena tubuh dan keluarga mempunyai hak.

Demikian semoga Allah mengkarunia ilmu yang bermanfaat.

Minggu, 12 Juni 2016

PINTAR DAN BODOH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Seseorang yang telah melakukan dawamudz dzikri selama lebih dari sepuluh tahun belum tentu terbebas dari penyakit-penyakit hatinya. Bisa jadi karena diperolehnya ilmu agama selama itu, malah membuatnya semakin 'bodoh’ dalam melihat aib dirinya sendiri dan ‘pintar’ melihat aib orang lain. Jika dilihatnya orang lain khususnya orang-orang yang dikenalnya melakukan aib menurut kadarnya, maka ia menjadi 'cerdas' dalam menganalisanya dan hati menolak untuk memakluminya, apalagi menutupi aibnya. Syahwatnya mendorong untuk menceritakannya kepada orang lain, maka sempurnalah kejahatannya. Tetapi bila dirinya yang melakukan aib, maka ia menjadi 'bodoh' dalam menganalisanya dan mencoba untuk memaklumi dan menutupi rapat-rapat. Persis seperti perkataan orang tua 'Kuman diseberang lautan tampak sedangkan gajah di pelupuk mata tidak tampak.' Semakin banyak seseorang mengetahui aib orang lain, maka semakin samar melihat aibnya sendiri dan berlaku sebaliknya jika aibnya sendiri tampak baginya, maka aib orang lain akan pudar.

Oleh karenannya, sikap yang bijaksana bila melihat aib sesorang adalah menganggap perbuatan itu dilakukannya oleh diri sendiri dan memberikan maaf serta memakluminya, tetapi jangan pernah memaafkan dan memaklumi aib sendiri. Tidak mungkin memberisihkan aib dengan lemah lembut, karena ia akan kembali lagi, tetapi bersihkan dengan sikap tegas dengan keras agar ia jera.

Jiwa manusia dicipta mempunyai potensi-potensi yang demikian, ditambah rasa amarah, hasrat, takut, syahwat, alpa, ragu dan syirik oleh sebab itu memeranginya (mujahadah) menjadi wajib hukumnya bagi orang-orang yang mengaku bertasawuf, untuk bisa memeranginya harus mengenal gerak gerik nafs, untuk bisa mengenal gerak geriknya, harus secara istiqomah selalu menilai diri sendiri bukan diri orang lain. karena mujahadah adalah kendaraan yang tepat untuk cepat sampai kepada terminal hati yang siap atau terbuka menerima limpahan musyahadah. Jika musyahadah diraih, maka segala sesuatu yang samar akan menjadi jelas. Kecerdasan spiritualnya digunakan untuk melihat aib dirinya sendiri bukan orang lain, lalu mengobatinya dengan pertaubatan yang teguh dan memohon kepada Allah SWT untuk menutupnya. Inilah tanda-tanda keberhasilan seseorang dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Semoga Allah SWT memberi ampunan kepada kita semua.

COBAAN ATAU MUSIBAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Hampir semua orang bila menerima musibah menyebutnya sebagai cobaan, akan tetapi tidak demikian bila berupa tindak peribadatan yang berupa sholat malam, shodaqoh, puasa dan lain-lain. Mereka lupa bahwa peribadatan yang dilakukannya masih berupa harta sementara yang tersimpan didalam qolbi dan belum merupakan amal yang aman, karena selalu diintai oleh perampok (syaithon). Bukti bahwa syaithon selalu siap mencuri amal-amal ini adalah adanya dorongan untuk menceritakan amal kebaikan yang dilakukannya kepada orang lain begitu kuat, karena adanya harapan akan pujian agar dianggap dirinya sebagai orang yang ahli ibadah. Dorongan ini berlangsung terus menerus sampai seseorang bertekuk lutut, itulah ciri-ciri perbuatan laknatullah, syaithoon. Jika seseorang bisa lepas dari tipu daya ini, maka dorongan lain akan muncul sangat besar, yaitu berupa kebanggaan terhadap dirinya sendiri. Sehingga tindak peribadatan yang pernah dilakukannya akan berubah menjadi dosa bukannya kebaikan.

Orang yang selalu memeriksa dirinya sendiri (muhasabah) akan jelas melihat hal ini dan menjaga lisannya untuk tidak banyak berbicara. Karena setiap kata yang keluar dari mulut kebanyakan menjadi dosa bukan amal, disebabkan kendaraan suara atau kata-kata adalah hawa nafsu atau keinginan-keinginan akan pujian. Mengikutinya merupakan biang keladi robohnya bangunan keimanan. Bahkan yang mulia baginda Rasulullah,saw., melarang kita untuk banyak bicara dan bersabda bahwa letak keselamatan adalah ‘diam’.

Kata-kata itu tajam bagaikan pedang, bisa melukai dan membuat gembira pendengarnya, tetapi kebanyakan melukai dirinya sendiri. Oleh sebab itu, jangan gunakan pedang jika tidak terpaksa, simpan rapat-rapat didadalam gudang. Karena musuh bukan berada di luar melaikan berada di dalam diri sendiri. Takutlah akan bahaya lisan melebihi rasa takut terhadap pedang yang siap memancung leher. Orang yang bermujahadah lalu terbunuh oleh pedang orang akan mendapatkan pahala surga, sementara kejahatan lisan akan menyeret ke jahanam, kecuali jika Allah memberi ampunan. Semakin tajam pedang lisan, maka korban pertamanya adalah pemilikinya sendiri.

Semoga Allah SWT menolong kita semua, amiin yang Allah ya Robbal alamiiin.

Selasa, 07 Juni 2016

MENYEKUTUKAN ALLAH

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Perbuatan yang membuat seluruh amal menjadi sia-sia adalah menyekutukan Allah. Seluruh jenis dosa bisa memperoleh ampunan dari-Nya kecuali yang satu ini. Betapa menakutkan! Karena untuk melihat dan mengetahui perbuatan ini dibutuhkan ilmu yang tinggi, ilmu yang saat ini hanya dimiliki oleh para syaikh sufi.

Menyekutukan Allah bertingkat-tingkat jenisnya, ada yang jelas dan ada yang samar, ada yang bersifat lahir atau batin. Termasuk dalam perbuatan ini adalah menampilkan perilaku yang baik dihadapan orang lain (riya) agar mendapatkan pujian. Berdusta dalam ucapan atas sesuatu yang tidak ia perbuat, sesuatu yang bukan keadaan spiritualnya atau yang belum pernah ia alami. Mengucapkan kata-kata indah agar diagungkan oleh orang lain. Menceritakan kebaikannya kepada orang lain (sum’a). Lalu bangga terhadap amal-amal yang telah ia lakukan (ujub). Jika demikian adanya, adakah diantara kita yang telah terbebas dari tindakan ini? jawabnya 'tidak'. Oleh sebab itu, guru tercinta kita Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allh merahmatinya) menganjurkan agar selalu berkumpul dengan para ulama atau kepada orang-orang yang mempunyai ilmu yang cukup. Karena bagi seorang murid, guru bisa berfungsi untuk melihat perbuatan-perbuatan yang samar menjadi jelas, sehingga terlihat kesalahan dan kelemahan-kelemahan yang telah dilakukan.

Betapa sulit meng-esa-kan Allah se-esa-esa-Nya, walaupun sudah di-upayakan dengan banyak berdzikir dengan menyebut kalimat thoyibah, yaitu ‘Laa Ilahaa Illallaah’, tetapi tetap saja kemurnian tauhid sangat sulit diperoleh. Karena harus ada 'penghapusan' segala sesuatu selain Allah dari dalam hati, sedangkan perbuatan berupa 'penghapusan' adalah milik Allah bukan makhluk. Oleh karenanya, mohon ampunan dan pertolongan dari Allah SWT wajib dilakukan pada setiap keadaan.

Para sahabat yang tercinta, pernahkan kita melakukan muhasabah atau memeriksa diri sendiri terhadap hal diatas? Adakah penyesalan? Adakah upaya untuk memperbaikinya? Jika ditemukan jawabannya ‘ya’ maka bersyukurlah, karena itu merupakah karunia dari Allah yang sangat besar.

Jika demikian menjadi jelas, makna yang tersirat atas apa yang disabdakan oleh baginda Rasulullah,saw., bahwa tak seorangpun yang akan diselamatkan oleh amal-amalnya. Akan tetapi sebagai bakti kita, sebagai penghurmatan kita atas diciptakannya kita oleh Allah SWT, sebagai manusia yang didalamnya terdapat berjuta-juta keindahan dan kebaikan, serta potensi untuk mengenal dan mencitai-Nya, maka menjadi wajib hukumnya untuk melakukan riyadhah dan mujahadah terus menerus agar beroleh muysahadah, agar beroleh kejelasan-kejelasan, agar janji Allah SWT dalam hadis qudsi bahwasannya ‘Rahmat-Ku mendahului murka-Ku’ benar-benar tertanam didalam dada dan kita menjadi selalu berprasangka baik terhadap-Nya, karena Dia juga berfirman bahwa : ‘Aku bagaimana prasangka hamba-Ku.’

Demikian para sahabat, semoga Allah SWT menolong kita semua, amiiin.