Jumat, 30 Oktober 2009

HATI (QOLBU)

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS 013 : 28)’

Seorang salik terkejut mendengar celotehan bocah kecil yang masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar yang berkomentar tentang gempa bumi yang sedang melanda di beberapa kota di Indonesia, bahwa gempa bumi itu, bumi bergoyang-goyang mengikuti tingkah laku orang-orang masa kini, yang suka bernyanyi dan bergoyang-goyang mengikuti irama lagu. Makanya banyak-banyak shalat dan puasa agar bumi menjadi tenang. Bocah kecil itu begitu tajam ucapannya, tanpa disadarinya ia telah berbicara tentang anasir, insya Allah pada bab mendatang akan disampaikan pengajian tentang anasir, yakni hubungan antara Sang Pencipta, alam semesta (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos).

Ayat diatas jelas sekali maknanya, yakni ketenangan seseorang terletak pada hatinya, dan ketenangan hati diperoleh dari hasil dzikir-dzikirnya, tentunya dzikir kepada Allah (dzikrullah) bukan dzikir dunia. Seseorang boleh melihat kedalam dirinya apakah ketenangannya diperoleh disaat angka rekening tabungan banknya banyak atau sebaliknya kegundahannya datang tatkala angka rekening banknya menipis. Jika ketenangannya dikarenakan cahaya ketuhanan yang menguasai hatinya karena dzikir-dzikirnya, maka ia termasuk golongan orang-orang yang berbahagia di dunia ini dan akhirat nantinya, sebaliknya jika ketenangannya disebabkan karena adanya harta bendawi yang menumpuk didalam rekeningnya atau uangnya menjadi banyak maka ia termasuk golongan orang-orang yang tertipu, meskipun ia juga telah melakukan dzikir-dzikir, namun jelas ia telah salah dalam mematuhi kaifiat dzikir yang benar, dan tidak melakukan tindak mujahadah. Yang pertama, ruhnya telah mendominasi jiwanya, lalu cahaya ketuhanan memenuhi ruang hatinya, sehinga keimanannya bertambah-tambah kuat, dan tuhannya adalah Allah SWT semata, sedangkan yang kedua jiwanya telah mendominasi ruhnya dan kegelapan telah memenuhi hatinya, sehingga keimanannya merosot tajam, dan tuhannya adalah harta bendawi dunia, naudzubillah mindzalik.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Seseorang menjadi mulia tatkala ia mampu mewaspadai gerak gerik hatinya.'

Hati (Qolbu) menjadi pusat perhatian para syaikh sufi, karena merupakan tambang makrifatullah, jika ia baik maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Hati yang dimaksud adalah suatu yang halus yang terdapat pada manusia bukan hati organ tubuh. Hati (Qolbu) secara etimologis berarti membalik, mengalihkan, mengubah. Jika sebuah gelas diisi penuh dengan anggur, maka ia akan berwarna merah atau putih, tergantung dari pada warna anggurnya. Jika gelasnya tenang maka isinya juga akan tenang, demikian pula jika isinya tenang maka gelasnya akan tenang pula. Demikian pula dengan hati manusia, sebagai tempat (lokus) antara ruh dan jiwa, lokus dari kebaikan dan keburukan, keimanan dan kemunafikan, kebenaran dan kepalsuan. Ketika Allah SWT menciptakan hati (qolbu), malaikat Ridhwan (penjaga surga) berkata : ‘Berikan kepadaku, sebab didalamnya ada madu keakraban dan anggur kesucian.’ Malaikat Malik (penjaga neraka) berkata : ‘Berikan kepadaku, sebab didalamnya ada gejolak api hasrat dan api nafsu.’ Para malaikat muqorobin (penyangga Arasy) berkata : ‘Berikan kepada kami, sebab ia adalah arasy cinta mulia dan hamparan luas kebaikan.’ Malaikat yang lain berkata : ‘Berikan kepada kami, sebab ia adalah langit penuh hiasan, pikiran-pikirannya mengalir bagaikan bintang-gemintang yang melesat cepat.’ Lalu Allah SWT membubarkan mereka dan berkata : ‘Qalbu itu berada diantara dua jari-jari Dzat Yang Maha Pengasih.’ Rasulullah,saw., sering melantunkan sebuah doa : ‘Wahai Dia yang membuat hati berubah-ubah, tetapkan hatiku pada agama-Mu.’ Yakni, ‘Tidak ada putra Adam yang hatinya tidak berada diantara dua jari Tuhan. Siapa pun yang Dia inginkan, dibuat-Nya berjalan lurus, dan siapa pun yang Dia inginkan, dibuat-Nya berjalan bengkok.’ Hati berada diantara dua jari Tuhan, diantara keridhoan-Nya dan kemurkaan-Nya, Rahmat-Nya dan Keadilan-Nya. Hati juga bisa selembut malaikat dan segelap syaithon. Kadang-kadang angin rahmat berhembus yang membuatnya senang, dan kadang-kadang angin panas menerjangnya yang membuatnya lelah. Hati menjadi bingung diantara kedua jenis sifat dan kedua keadaan ini. Oleh karenanya hati merupakan pusat seorang manusia. Allah menaruh perhatian khusus kepadanya, dan yang ditilik dari manusia adalah hatinya bukan yang lain, bahkan tindakan-tindakan jawarih manusia yang tidak dibarengi dengan hati bukan merupakan dosa : ‘Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. (QS 033 : 5). ‘Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.’ (QS 002 : 25) demikian pula terdapat hadits yang mengatakan bahwa : ‘Allah tidak melihat badanmu atau bentukmu, melainkan kedalam hatimu.’

Sifat ruh adalah Ilahiyah, bercahaya dan tinggi sedangkan sifat jiwa adalah duniawi, rendah, gelap dan syaithoniyah. Hati sebagai lokus dari keduanya, menjadi berubah-ubah mengikuti angin yang membawanya. Kadang-kadang ia menuju yang tinggi dan menjadi satu dengan ruh dan kadang-kadang ia mendatangi yang rendah dan menjadi satu dengan jiwa. Ketika ia menjadi satu dengan ruh, ia mendominasi jiwa. Selanjutnya tidak ada lagi yang muncul kecuali kesesuaian dan kepatuhan. Ketika menjadi satu dengan jiwa, ia mendominasi ruh. Selanjutnya tidak ada lagi yang muncul kecuali penentangan dan ketidakpatuhan. Berubah-rubahnya hati adalah seperti berubah-ubahnya lingkaran langit, berubahnya peredaran planet-lanet atau galaksi. kadang-kadang ia membawa matahari kebawah dunia dan dunia menjadi gelap, dan kadang-kadang ia membawa dunia kebawah matahari dan membuatnya bercahaya. Ruh itu laksana matahari, jiwa itu seperti bumi dan hati itu seperti lingkaran langit.

Tugas para Syaikh sufi adalah terpusat pada pembersihan hati dari noda bawaan dan noda dunia. Jika dijelaskan metodologi Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah dalam upayanya untuk membersihkan hati, maka kitab ini akan menjadi tebal sekali dan membosankan untuk dibaca. Pendeknya, pendidikan keruhanian dan kejiwaan yang shahih hanya dipunyai oleh guru mursyid, seorang syaikh yang mendapat otoritas untuk menyebarkannya. Hati, ruh dan jiwa merupakan sesuatu yang halus yang ada pada manusia, dan hati menjadi tempat (lokus) ruh dan jiwa secara bersama-sama. Sesuatu yang halus hanya bisa dilihat dan dirasakan oleh indera yang halus pula, sedangkan sesuatu yang kasar hanya bisa didengar dan dilihat oleh indera yang kasar pula, seperti telinga dan mata. Pandangan para syaikh dari tarekat ini terhadap sesuatu yang halus pada manusia (lathifah), terdapat tujuh tingkatan kelembutan, sebagaimana langit diciptakan tujuh lapis, dan demikian pula bumi, serta surga diciptakan tujuh lapis demikian pula neraka. Namun demikian telah dikatakan pada bab-bab terdahulu bahwa hakikat angka tujuh mewakili sesuatu yang banyak dan mendekati tak terhingga. Ketujuh tingkatan kelembutan itu yang pertama adalah Latifatul Qolbi, didalam Latifatul Qolbi ada Latifatul Ruh, didalam Latifatul Ruh ada Latifatul Sirri, didalam Latifatul Siiri ada Latifatul Khofi, didalam Latifatul Khofi ada Latifatul Akhfa, kelima tingkatan kelembutan (lathifah) ini dicipta di alam amr (alam perintah) tanpa evolusi dan terletak disekitar dada manusia. Lalu didalam Latifatul Akhfa ada Latifatul Nafsun Natiqo, didalam Latifatul Nafsun Natiqo ada Latifatul Kullu Jasad. Kedua lathifah yang terakhir disebut ini letaknya disekitar kepala manusia dan mempunyai hubungan dengan anasir, tanah, air, api dan angin. Didalam ketujuh lathifah ini bersama-sama berkumpul sifat-sifat yang mahmudah (terpuji) dan sifat-sifat yang majmumah (tercela), sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat syaithoniyah, sifat-sifat binatang jinak dan binatang buas. Nah, lokasi tambang kesempurnaan manusia ada pada ketujuh tempat ini, aktifitas menambangannya harus dengan dzikir dan muroqobah. Setiap harinya, paling tidak pada ketujuh tingkatan kelembutan (lathifah) ini berdzikir menyebut ismudzat Allah … Allah … Allah sebanyak 11.000, atau khusus pada latifatul qolbi melakukan muroqobah sebanyak dua puluh (20) tingkatan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Barang siapa mampu masuk dengan benar dua (2) muroqobah awal, yakni ahadiyah dan maiyah maka orang itu telah memasuki awal kewalian, dan bila berhasil memasuki muroqobah yang ke tiga (3), aqrobiyah, maka ia telah memperoleh kewalian sugro atau kewalian kecil. Sedangkan barang siapa mampu memasuki muroqobah ke empat (4), muroqobah al-mahabbat fi al-dairat al-ula, sampai ke tujuh(7), maka ia akan memperoleh kewalian Qubro atau kewalian besar, dan seterusnya bila ia dapat memasuki muroqobah ke delapan (8) sampai ke dua puluh (20) maka ia telah memperoleh kewalian ulya atau kewalian malaikat.’ Yang dimaksud dengan masuk dengan benar dalam muroqobah adalah ia akan merasa dirinya sirna dan berada dalam Haribaan-Nya, dalam lingkaran Kasih dan Sayang-Nya, terus menerus dalam Kehadiran-Nya (Hudurul Haq) dan bersama-Nya. Yang dimaksud dengan kebersamaan dengan-Nya, adalah Allah SWT akan senantiasa menjaga pendengaran, penglihatan dan seluruh tindak tanduknya. Disamping itu Allah SWT akan senantiasa mengabulkan doa dan permintaannya yang terkait dengan urusan dunia atau urusan akhirat. Bukanlah kebersamaan Allah berarti Dzat-Nya menyatu dengan dirinya. Karena kebesaran dan keagungan Dzat Allah mustahil untuk menyatu pada dzat makhluk yang sangat kecil dan hina.

Jika pangkat kewalian tercermin pada tingkatan pekerjaan muroqobah, maka muroqobah bukan pekerjaan biasa, melainkan sebuah anugerah dari Allah SWT. Seorang Syaikh menjadi pena Tuhan tatkala mengijazahkan pekerjaan ini, tak sedikitpun campur tangan darinya, terkecuali doa-doanya saja, yang membuat Allah meridhoi orang-orang yang dimaksud oleh syaikhnya. Sungguh sangat memprihatinkan, saat ini ada sebuah tarekat yang dengan mudah mengijazahkan muroqobah satu (1) hingga dua puluh (20) tingkatan, padahal tak satupun tingkatan muroqobah dapat dimasukinya dengan mudah dan dalam waktu yang singkat, melainkan harus dilakukan dengan riyadhah yang terus menerus dan dibawah pengawasan seorang mursyid, ini wajib hukumnya. Ijazah dzikir-dzikir dan muroqobah hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah khirkoh dalam tarekatnya, bilamana seorang syaikh memberikan izin kepada wakil talqin, hal ini berlaku selama syaikhnya masih hidup, dan jika syaikhnya telah wafat, maka haram hukumnya seorang wakil talqin mengijazahkan pekerjaan tarekat, hal ini berlaku diseluruh tarekat di dunia fana ini. Maka jika ada yang melanggar peraturan keras ini, pekerjaan tarekatnya tidak menghasilkan buah melainkan hanya menuai kelelahan phisik dan menghancurkan keimanan serta menutup pintu amal. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Barang siapa mampu memasuki satu tingkatan muroqobah dengan benar dalam waktu enam bulan, maka ia termasuk manusia yang jenius.' Karena jelas, bahwa jumlah wali itu terbatas dan sangat sedikit serta tidak akan berubah jumlahnya dari saat penciptaan hingga akhir zaman nantinya, kecuali jika Allah berkehendak lain. Dan sangat nyata, bahwa kewalian itu niscaya bisa diperoleh dengan mempersiapkan hati (qolbu) yang bersih nan bercahaya dengan jalan melakukan dzikir-dzikir dan muroqobah. Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah,ra., yang berkata: "Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, 'Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku lindungi.'" Ciri-ciri waliyullah sebagaimana firman-Nya : ‘Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’ QS 010 : 62) dan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Tanda-tanda kewalian melekat pada seseorang, ialah, manakala engkau melihatnya lantas Allah diingat. Dan bila engkau berdekat dengannya, maka seluruh beban yang membelenggu qolbu menjadi sirna.' Semoga Allah SWT mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita semua, Amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

Senin, 26 Oktober 2009

LAA ILAAHA ILLALLAAH

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfiman : 'Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, (QS 015 : 92)'

Begitu banyak ayat Al Qur’an dan al Hadits yang mengutamakan orang-orang yang berdzikir, meskipun demikian sedikit sekali orang-orang yang mengerjakannya. Tidak mengherankan jika orang-orang yang berdzikir itu mendapatkan keistimewaan. Ini sebuah bukti bahwa sesuatu yang bersifat istimewa berjumlah sedikit walaupun mempunyai fadhilah yang banyak, seperti sebuah ayat didalam Al Qur’an yang menyatakan bahwa ‘Amat sedikitlah kamu bersyukur.’ (QS 007 : 10) walaupun balasan syukur ini adalah bertambah-tambah nikmat dari-Nya dan sebaliknya ancaman bagi orang-orang yang tidak bersyukur adalah azab. (QS 014 : 7). Demikian pula dikatakan bahwa orang-orang yang tidak berdzikir itu adalah golongan yang melampaui batas sebagaimana firman-Nya : ‘Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.’ (QS 018 : 28)

Dalam perjalanan mengaji dari Bogor ke Jakarta, Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menyampaikan penjelasan berkenaan dengan ayat diatas, bahwasanya seseorang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah suatu kelak akan dimintai pertanggung jawaban, apakah ia telah mengucapkannya dengan tulus dan telah mengamalkan semua tuntutannya. Sebagaimana sabda Rasulullah,saw : “Kebaikan para pemilik Laa Ilaaha Illallaah senantiasa diterima, sementara kesalahan mereka selalu diampuni dan mereka senantiasa dihindarkan dari musibah berkat Laa Ilaaha Illallaah yang mereka ucapkan, selama mereka tidak berpaling kepada urusan dunia yang dapat mengurangi kesempurnaan agama mereka. Jika mereka berpaling, maka ucapan Laa Ilaaha Illallaah ditolak oleh para malaikat, yang kemudian berkata kepada mereka : ‘Kalian telah berdusta. Kalian bukan ahli Laa Ilaaha Illallaah, kalian mengucapkannya tanpa ketulusan dan tidak benar.’” Ketulusan berarti, melindunginya dari perkara-perkara yang diharamkan, tidak rakus akan dunia, kikir dan menumpuk-numpuk harta, serta berucap dengan ucapan para ulama namun berbuat dengan perbuatan para pendosa. Murid-murid yang mendengar hanya terdiam, seakan-akan kehidupannya berhenti, karena tak satu pun yang mampu memelihara amanah kalimat laa ilaaha illallaah yang telah mereka ucap, semakin banyak dzikir yang dilakukan maka semakin besar pula kebohongan yang telah dibuatnya, bukankah ini sebuah tanda kemunafikan? Sedangkan disuatu kesempatan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa untuk mengikis kemunafikan adalah dengan banyak menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Perjalanan menuju kepada-Nya mestilah didahului oleh sebuah hidayah, dan diperlukan seorang pemandu, karena perjalanannya sangat sulit, licin dan terjal serta banyak musuh menghadang. Manusia tidak ada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya, termasuk didalamnya ketaatan, riydadhah dan mujahadah. Syaikhuna (semoga Allah merhamatinya) berkata : ‘Tidak ada satu pun jalan untuk menuju kepada-Nya, melainkan dengan menafikan atau meniadakan segala sesuatu ciptaan (Laa Ilaaha) dan mengisbatkan atau mengkukuhkan Allah saja (Illallaah) didalam hati, Laa Ilaaha Illallaah.’ Oleh karenanya, tidak ada jalan lain, para murid wajib mendawamkan dzikir ini dengan sekuat tenaganya, setelah itu berjuang untuk memelihara ketulusannya dan berserah kepada-Nya. Terbunuh selagi dimedan juang adalah syuhada, dan sebaliknya berserah tapa didahului oleh upaya yang gigih adalah kebohongan belaka.

Inilah satu-satunya kalimat yang menembus ciptaan-ciptaan dan sampai bersih kepada Sang Pencipta. Laa Ilaaha Illallaah, segala sesuatu selain Allah adalah realitas palsu, dari dahulu hingga kini dan akan tetap demikian adanya sampai kapanpun, bahkan sebelum waktu itu ada dan sampai dengan waktu itu tidak ada, yang ada hanya Dia. Laa Ilaaha Illallaah, segala sesuatu selain Allah adalah tabir-tabir, atau hijab-hijab. Laa Ilaaha Illallaah, segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan (kosmos) dan kosmos meliputi langit dan bumi beserta isinya, baik yang terinderawi maupun yang tidak, baik berupa alam-alam ghaib, makhluk-makhluk ghaib ataupun alam nyata dan makhluk nyata, termasuk gerak gerik lahiriyah maupun batiniyah. Dzat yang mempunyai sifat Wujud, Qidam dan Baqa hanyalah Allah saja, selainnya hanyalah fenomena. Betapa kalimat thoyibah ini mempunyai makna yang sedemikian tinggi dan tuntutan yang sedemikian beratnya. Si pengucap harus bermujadah terus menerus sampai ajal menjemputnya, melawan dengan sungguh-sungguh tabiat alamiahnya, memberhangus nafs dan syahwatnya, agar fana darinya, agar merasa ‘tiada’, dan bersatu dengan-Nya laksana sungai yang bermuara kelautan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) nyaris tak sadarkan diri tatkala memberikan tauziah tentang tauhid, tiba-tiba beliau berhenti berkata-kata dan memekik Hu .. Hu … Hu… tubuhnya gemetar dan terlihat terhuyung-huyung, nyaris pingsan. Keadaan atau maqom kebersatuan ini sangat sulit dicapai, namun bukan hal yang mustahil, pintu untuk memasukinya sangat jelas namun sekilas, laksana kilat dimalam hari. Pintu satu-satunya untuk mencapai kedudukan ruhaniyah yang sedemikian tingginya itu, mewajibkan menyebut-nyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya dan pada setiap kesempatan serta berperang melawan hawa nafsu sepanjang kehidupannya. Menyebutnya dimulai dengan lidah, lalu bersama-sama antara lidah dengan hati, lalu hati saja dan pada akhirnya seluruh unsur yang ada pada sosok manusia (kullu jasad), baik yang lahir maupun batin, semua menyebut kalimat terbaik dialam semesta ini, Laa Ilaaha Illallaah.

Analoginya, seseorang yang tinggal disebuah desa selalu berkata dengan lantangnya bahwa, tidak ada seorang raja pun diatas dunia kecuali engkau. Mendengar dari menterinya bahwa ada seseorang yang selalu berkata seperti itu, sang raja ingin menguji kebenaran ucapannya, dengan memberikan hadiah berupa sebuah pedang, seekor kuda dan sebuah kitab yang berisi perintah dan larangan sebagai bekal untuk mencapai istana raja. Semakin sering orang itu menyebut-nyebutnya maka semakin tajam pedangnya dan semakin gagah kudanya. Meskipun sang raja mengetahui dengan pasti, apakah orang itu berdusta dengan banyak berbuat maksiat, apakah pedang dan kudanya itu digunakan untuk mengikuti hawa nafsunya, apakah pedangnya itu telah digunakan untuk merobek-robek kitab yang diterimanya dan kudanya digunakan untuk menginjak-injaknya, atau sebaliknya, yakni digunakan untuk menebas semua alang-alang, membunuh semua penghadang dijalannya guna mencapai istana raja.

Semua ikrar yang diucap dibutuhkan bukti-bukti, karena ikrar yang tidak diikuti oleh bukti tindakan yang mendukungnya adalah kepalsuan belaka, begitu pula ikrar Laa Ilaaha Illallaah. Bukti ikrar pada tingkat pemula adalah bahwa seluruh jawarihnya tidak digunakan untuk menentang perintah-Nya, lalu tidak melanggar semua yang dilarang-Nya. Sedangkan pada tahapan tertentu, bukti ikrarnya berupa ketenangan dalam menghadapi qadha dan qadar-Nya. Sehingga diharapkan kematiannya dalam keadaan tenang pula, demikian yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw.,: ‘Siapa yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah dengan tulus ikhlas, niscaya ia masuk surga,’ dan ‘Barangsiapa diakhir perkataannya Laa Ilaaha Illallaah, maka ia masuk surga,’ dan ‘Laa Ilaaha Illallaah adalah kunci surga.’

Jika penafiannya sempurna, maka siaplah hati untuk dipahat sedikit demi sedikit dengan ismudzat … Allah … Allah … Allah, sebagaimana firman-Nya : ‘Katakanlah, Allah saja, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.’ (QS 006 : 91). Imam Sybli,ra., mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mengatakan Allah melainkan Allah sendiri. Dikarenakan setiap orang yang mengatakannya telah mengikuti ucapannya sesuai dengan tingkat intelektualitasnya sesuai dengan maqomnya, sedangkan esensinya jauh sekali dari yang dapat dicapai oleh pendapat pribadinya. Dzikir makhluk kepada-Nya tidak sebagaimana dzikir Allah kepada Dzat-Nya sendiri Yang Maha Suci. Imam Junaid,ra., pernah berkata kepada Imam Nuri,ra., : ‘Wahai Aba al-Husain, cobalah anda teliti apakah ucapanmu (Allah … Allah … Allah) itu dengan Allah ataukah dengan perkataanmu sendiri ? Jika dengan Allah berarti bukanlah anda yang mengatakan kepada-Nya, dan jika dengan perkataanmu, berarti untuk dirimu dan seharusnyalah anda bersama dirimu.’

Namun demikian Syaikh abu Sa’id al-Kharaz,ra., berkata : ‘Diantara orang-orang yang berdzikir ada yang melampaui kadar dirinya hingga mencapai tingkat sirna diri (fana) dan lupa ingatan, menyatu kepada Allah Yang Maha Tinggi, lupa pada kebutuhan dirinya, karena berhadapan dengan Yang Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan. Hingga seandainya tiap-tiap anggota tubuhnya dapat berkata-kata, tentu saja yang diucapkannya ialah Allah … Allah … Allah. Keadaan ini pernah menimpa seorang yang kejatuhan batu besar hingga kepalanya mengucurkan darah. Darah tersebut menggenang di tanah membentuk tulisan Allah.’ Disuatu kesempatan beliau bertanya kepada sebagian sufi : ‘Apakah kesudahan persoalan itu?’ dijawab : ‘Allah.’ Lalu apakah makna jawabanmu (Allah) itu ?’ mereka menerangkan : ‘Yaa Allah, bimbinglah aku kepada-Mu dan jadikanlah agar aku berada disisi-Mu, dan jangan Engkau jadikan aku termasuk orang-orang yang rela dengan sesuatu selain-Mu sebagai pengganti-Mu, dan tetapkanlah hatiku disisi pertemuan-Mu.’

Rabu, 07 Oktober 2009

SABAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman :
Dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,’ (QS 016 : 127)

Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sabar itu sebagian dari Iman.’ Dan Ali bin Abi Thalib,ra., berkata : ‘Hubungan antara sabar dan iman, laksana kepala dan badan, badan tidak ada artinya tanpa kepala.’ Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Sabar melekat pada setiap tahapan maqom ilmu kesufian.’Ujaran ini indah sekali, karena berkenaan dengan pokok-pokok tasawuf, makanya tak heran, bila pengajian tentang sabar selalu diulang-ulang dalam perspektif yang berbeda-beda dan dalam tahapan yang belainan pula. Sebagaimana makna daripada sabar itu sendiri, yakni ‘memenjarakan’. Jika yang dimaksud adalah memenjarakan nafsu dari segala syahwat, atau mengekang keinginan-keinginan diri (mujahadah), maka tepat sekali bilamana sabar melekat kepada seluruh tahapan maqom-maqom. Dan pada setiap perubahan peningkatan maqom, akan meningkat pula tingkat kesabaran dan tingkat keimanannya. Sehingga tampak bahwa kesabaran dan keimanan selalu berjalan beriringan, laksana kepala dan badan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) juga pernah berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah peperangan melawan hawa nafsu sepanjang kehidupan.’ Nah, bila seseorang memperoleh kemenangan didalam pertempuran melawan musuh besarnya, maka ia akan memenjarakan para tawanannya, agar tidak kembali menyerangnya, atau paling tidak, bila ia kembali berkhianat ia telah menguasai jurus-jurus untuk menundukkannya. Imam Qusyairi al-Naisaburi,ra., berkata : ‘Kesabaran yang diwajibkan kepada seorang hamba adalah kesabaran menerima perintah Allah SWT terhadap dirinya dengan penuh ketaatan, sabar atas apa yang dilarang dan diharamkan, dan bersikap tenang menerima qadha dan takdir-Nya.’ Bukankah apa yang dikatakan oleh Imam yang mulia ini selaras dengan apa yang Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) katakan berkenaan dengan tasawufan rajulu? Yakni, yang pertama menjalankan seluruh perintah Allah SWT dengan keteguhan, yang kedua menarik garis yang tebal terhadap semua larangan-Nya dan yang ketiga ridha terhadap qadha dan qadar-Nya. Lalu yang kedua dijadikan nomor satu, karena banyak manusia yang mampu mengerjakan perintah-Nya, namun sedikit sekali yang meninggalkan larangan-larangan-Nya, atau dengan kata lain bahwa, manusia mampu sabar dalam ketaatan namun tidak mampu sabar dalam kemaksiatan. Dengan ketawadhuannya Syaikh Hasan al-Basri,ra., berkata kepada seorang Badui, bahwa :‘Kesabaranku tak lain kecuali hilangnya kekuatan.’ Karena Rasulullah,saw., telah bersabda bahwa : ‘Sabar yang sebenarnya itu adalah pada saat menghadapi cobaan yang pertama.’ Kesabarannya dalam menghadapi kemalangan dan kepasrahannya menyatakan rasa takutnya kepada api neraka bukan demi Allah semata.

Imam al-Ghazali,ra., pernah mengatakan bahwa Ash-Shabur (Yang Mahasabar) adalah satu sifat Allah SWT, adalah Dia yang tidak tergesa-gesa bertindak sebelum waktunya, namun memutuskan segala persoalan menurut rencana yang pasti, dan mewujudkannya dengan cara-cara yang terlukiskan, tidak menundanya seperti seorang pemalas yang selalu menunda-nunda pekerjaan, tetapi menempatkan setiap sesuatu pada waktu yang tepat, pada saat diperlukan dan sesuai dengan kebutuhannya. Dan semua itu tanpa adanya kuasa yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hakikat kesabaran adalah tidak terbatas, karena Allah SWT tidak terbatas dan karena sifat-sifat-Nya bersatu dengan Dzat-Nya yang Qadim, tanpa pemisahan. Bagi manusia, kesabaran menjadi terbatas karena dzat dan sifat manusia terbatas, maka sabar bagi manusia adalah diperlukannya ketahanan terhadap dorongan yang menyebabkan tergesa-gesa dan bertindak gegabah, baik dalam mengerjakan perintah Allah SWT (ketaatan), menjauhi larangan-Nya (kemaksiatan) atau dalam menerima qadha dan qadar-Nya.

Kebanyakan orang memahami sabar adalah, menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diingini, ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi. Faktanya, tidaklah demikian, Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) begitu divonis oleh dokter bahwa, didalam darahnya terdapat virus hepatitis, malah bersuka cita, dan sebaliknya, tidak ada seorang murid pun, yang tidak berduka dan turut prihatin mendengar sang guru terjangkit penyakit yang pelan tapi mematikan itu. Para murid berlomba memberikan informasi dan mendatangkan dokter spesialis yang akhli dalam menangani penyakit ini. Sikap dan gerak hati seorang syaikh yang demikian itu terdengar absurb bagi orang awam, namun biasa bagi para sufi, sehingga sabarnya orang awam didalam menghadapi penderitaan, adalah syukurnya bagi para sufi. Dikarenakan, mereka mempunyai keyakinan bahwa, penderitaan adalah salah satu tindakan Tuhan guna menarik seseorang untuk berdekat kepada-Nya. Banyak murid yang tidak meyadari keadaan gurunya ini, bahkan ada yang mengajaknya berziarah ke Yerusalem dan Turki, meskipun syaikh dalam keadaan yang demikian itu dan harus menyuntikkan obat pada setiap seminggu sekali. Jadi, ini bukan tindakan menyembunyikan rasa sakit yang dideritanya dari penglihatan orang lain, tetapi keadaan ruhaninya memang demikian adanya. Syaikh selalu mementingkan kepentingan murid-muridnya dan tidak berpikir untuk mementingkan kesenangan dirinya, dan ini bukan derajat sabar biasa, melainkan kesempurnaan penafian diri, sehingga bagi awam adalah rintihan, sedangkan baginya adalah pujian kepada Tuhan. Karena merintih bagi seorang syaikh adalah tabu, sebagaimana Nabiyullah Ayyub,as., pernah menerima wahyu dari Allah SWT : ‘Hai Ayyub! Mengapa engkau mengadukan Daku?’ Nabi Ayyub,as., bertanya : ‘Ilahi! Kepada siapa daku mengadukan perihal-Mu, sedangkan suara rintihanku tidak pernah terdengar oleh orang lain?’ Allah SWT menjawab : ‘Engkau mengadukan diri-Ku kepada musuhmu yang paling besar, yaitu dirimu sendiri.’ Setelah beberapa lama dalam perawatan dokter dan kemudian dinyatakan sehat, seorang salik memekik dan berkata kepada Syaikhuna : ‘Sungguh tiada kegembiraan seperti yang kualami pada hari ini, bahwa syaikh telah sehat kembali.’ Mendengar itu, Syaikhuna hanya terdiam, lalu setelah diucap yang ketiga kalinya oleh sang salik, beliau berkata : ‘Apakah saya juga harus bergembira seperti engkau, padahal hatiku menangis karena kesempatan itu pergi.’

Kisah diatas dapat dipahami bahwa sabar itu bertingkat-tingkat dan dapat diupayakan. Menjadi luas maknanya dan tidak saja dikaitkan kepada hal-hal yang berkenaan dengan penderitaan, melainkan keteguhannya didalam mengekang segala bentuk keinginan-keinginannya yang menggebu-gebu (syahwat). Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sungguh aku lebih khawatir jika kalian mendapatkan fitnah (ujian) yang menyenangkan dibanding ujian yang menyengsarakan.’ Abdurrahman bin ‘Awf,ra., berkata : ‘Ketika kami mendapat ujian yang menyulitkan, kami dapat bersabar, tetapi ketika kami mendapat ujian yang menyenangkan, kami tidak kuasa bersabar.’ Syaikh Abu Sulaiman,ra., berkata : ‘Demi Allah, kita tidak dapat bersabar dengan apa yang kita sukai, jadi bagaimana pula halnya dengan apa yang tidak kita sukai.’ Orang yang keluar dari kesenangan dalam keadaan istiqomah dijalan yang benar, maka derajatnya lebih tinggi daripada orang yang keluar dari kesulitan dalam keadaan istiqomah. Karenanya para syaikh sufi mengelompokkan sabar kedalam kategori maqom, sesuatu yang para salik dapat teguh didalam kesabaran, dengan selalu memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan dari maqom sabar ini, tanpa sekalipun menyia-nyiakannya. Didalam al-Qur’an banyak dijumpai perintah untuk bersabar, namun bila dicermati perintah sabar itu ditujukan bagi orang biasa dan orang khusus, jika dijumpai dalam firman-Nya perintah : ‘Dan bersabarlah’ maka ini ditujukan untuk semua orang yang beriman sebagai perintah untuk beribadat, dan bisa dikatakan sebagai ‘tafriqah’ atau ‘pemisahan’ karena melibatkan perbuatan-perbuatan manusia, sedangkan firman-Nya : ‘Dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,’ (QS 016 : 127) ini ditujukan kepada kelompok orang mukmim sebagai bukti ubudiyahnya dan dapat dikatakan sebagai ‘jam’ atau persatuan, yakni tanpa melibatkan perbuatan manusia melainkan karena karunia-karunia Ilahi.