Jumat, 14 Oktober 2016

FAQIR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Enam belas tahun yang lalu, Syaikh Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) beserta beberapa muridnya berziarah ke Lubuk Linggau, mengunjungi muridnya yang baru membuka kholaqoh dzikir disana. Setibanya, sebagian murid menjerit dan menangis melihat keadaan kehidupannya, mereka tinggal di tengah hutan dengan rumah yang sangat sederhana, tanpa daun pintu dan jendela, hanya ditutup dengan kain. Kami heran, bagaimana bisa mereka menjalani kehidupan yang demikian tanpa memperlihatkannya dan tanpa meminta. Keadaan ini sangat kontras dengan keadaan murid-murid yang datang kesana, baginya kemiskinan merupakan momok yang sangat menakutkan sedangkan bagi murid-murid yang berada disana telah mengalaminya tanpa berkeluh kesah dan wajah-wajahnya memperlihatkan kegembiraan. Apakah murid-murid di Lubuk Linggau telah masuk kedalam maqom faqir atau karena terbiasa dengan kehidupan yang demikian, kami tidak mengetahui namun mengharapkannya, agar kami dapat belajar darinya.

Dua kitab tasawuf kuno yaitu Al Luma karya Syaikh Abu Nassir As Sirrad,qs., dan Qutub Qulub karya Syaikh Abu Thalib al Makky,qs., merupakan kitab rujukan bagi kitab-kitab tasawuf terkemudian. Al Luma menjadi referensi bagi Imam Qusyairi,qs., dalam menyusun kitab Risalatul Qusyairah dan Qutul Qulub menjadi dasar penyusunan beberapa kitab karya Imam Al Ghazali,qs. Pengajian bulan September 2016 membahas tentang faqir dari kitab Al Luma yang disampaikan oleh Ustadz Yordanis Salam. Guru kami tercinta Syakh Waasi’ Ahmad Sayechudin (semoga Allah merahmatinya) menyederhanakan pembahasan tersebut dengan mengatakan bahwa : ‘Faqir adalah tidak punya apa-apa,’ dan ‘merasa dicukup-cukupkan.’ Maksudnya adalah, orang yang tidak punya apa-apa adalah miskin, yang membutuhkan harta benda dunia, sehingga selalu berada dalam lautan kesulitan, namun membatasi diri dari meminta-minta. Tentunya yang dibutuhkan untuk menopang kehidupannya adalah sandang, pangan dan tempat tinggal. Kondisi yang demikian ini berlangsung terus menerus dan dalam waktu yang lama. Namun demikian ia tetap berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mendapatkannya. Akan tetapi, acap kali apa yang diperolehnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Orang yang beriman diperintahkan untuk bersedekah kepadanya. Dibutuhkan mata batin untuk dapat melihat orang yang faqir. Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman: ‘Bersedekahlah bagi orang-orang fakir yang terikat pada jalan Allah, mereka tidak dapat berusaha di bumi (mencari penghidupan). Orang yang tidak tahu, mengira mereka itu orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Engkau dapat mengetahui dengan tanda-tanda mereka; tidak meminta kepada manusia berulang-ulang. Dan apa-apa yang kamu nafkahkan dari harta maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.’ (QS 002 : 273)

Dan jika yang diharapkan tak kunjung tiba setelah melakukan upayanya yang maksimal, maka ia akan melepaskan upayanya dan hanya berpaling hanya kepada Allah SWT semata. Nah, jika sang faqir menanggung semua kesulitannya demi Allah SWT, itu adalah sebuah kemuliaan. Sedangkan jika mengandalkan upayanya agar terbebas dari kesulitan, maka ini disebut sebuah kehinaan, karena ia menuhankan dirinya sendiri. Kefakiran mempunyai bentuk dan makna, bentuknya adalah kemiskinan dan maknanya adalah merasa membutuhkan Allah SWT. Oleh karenanya meskipun seseorang yang kaya harta benda dunia namun keadaannya selalu membutuhkan Allah SWT saja, maka ia dapat disebut sebagai faqir secara hakikat. Sedangkan jika yang dibutuhkan pujian dari makhluk maka ini merupakan kehinaan baginya. Rasulullah SAW bersabda :“Yang disebut miskin bukanlah orang yang pekerjaannya mengemis keliling kampung, sehingga tertolak dari satu dua suap nasi atau satu dua biji kurma. Namun miskin menurut definisi Islam harus ditolong dan diperhatikan, yaitu orang yang tiada usaha/tidak punya penghasilan tetap untuk mencukupi nafkahnya, dan tidak mengundang perhatian umum untuk disantuni/ disedekahi dan tidak pula keliling mengemis ke pintu setiap orang”.

Dalam dunia kesufian, faqir merupakan sebuah maqom yang tinggi, bahkan di abad kesembilan, kefaqiran menjadi kebanggaan orang-orang yang bertasawuf. Para dawisy memakai pakaian yang bertambal sebagai lambang kafakiran, mereka tidak mencari nafkah melainkan mengabdikan dirinya dengan melakukan peribadatan yang keras. Masyarkat Islam terdahulu sangat memuliakan mereka lantaran bekas-bekas peribatannya Nampak pada wajahnya yang bercahaya dan bukan karena kemiskinannya. Tidak mungkin menjelaskan kefaqiran tanpa menjelaskan tentang sabar terlebih dahulu, karena mustahil seseorang dapat mencapai maqom faqir tanpa melalui maqom sabar. Syaikh Abul Al Hasan Nuri,qs., menggambarkan ciri seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa pun, dia diam, dan bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain lebih berhak memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah memberikannya.

Menurut Syaikh Abu Nassir As Sirrad,qs., tingkatan tertinggi maqom faqir adalah bilamana ia tidak meminta apa pun kepada seseorang, baik secara lahir maupun batin dan tidak menunggu apapun dari seseorang. Jika diberi sesuatu ia tidak mengambilnya. Tingkatan kedua sama dengan tingkatan tertinggi namun jika diberi ia akan menerimanya. Sedangkan yang terendah adalah ia merasa senang mengungkapkan keadaannya kepada sebagian sahabatnya, tanpa berharap mendapatkan bantuan darinya. Lalu sebagai kaffarah ia bersedekah.
Imam Junayd,qs., berkata bahwa tanda-tanda orang fakir yang jujur adalah tidak meminta dan tidak memperlihatkan tanda kefakirannya dan jika ditawari ia terdiam.

Sedangkan Syikah Sahl bin Abdullah,qs. Berkata bahwa seorang fakir yang jujur adalah ia tidak meminta dan tidak menolak bila diberi serta tidak pula menyimpan apa yang diterimanya.

Tidak ada satupun orang yang bertasawuf tanpa melalui tahapan kefakiran, oleh karenanya begitu pentingnya kefakiran ini, ada beberapa syaikh yang berani berpendapat bahwa kefakiran mengungguli kesucian.

Demikian para sahabat semoga bermanfaat.


Jumat, 19 Agustus 2016

WARA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian Jum’at malam dan Sabtu sore membahas tentang wara dari kitab Al luma karya Syaikh Abu Nashr as Sarraj,qs. Yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengawalinya dengan memuji Allah SWT dan bershalawat atas manusia teragung sepanjang masa sayidina Muhammad Rasulullah,saw., lalu mengucap syukur atas terbentuknya qolaqoh dzikir dan di akhiri dengan mengajak murid-muridnya untuk memulai wara agar di kemudian hari Allah SWT berkenan menjadikannya sebuah keteguhan atau maqom.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Mari kita periksa sudah sampai dimana tingkat wara kita?’ Wejangan ini merupakan sindirian yang tajam, tetapi banyak murid yang tidak menyadarinya, malah wajahnya berbinar-binar tatkala mendengar itu, seolah-olah ia sudah berada pada tingkatan ini. Salah satu syarat wara adalah mengetahui dan memahami ilmu fiqih secara baik, sehingga dapat menempatkan segala sesuatu sesuai dengan kedudukan hukum agama. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Kuasailah ilmu syariat terlebih dahulu baru kemudian bertasawuf.’ Wara termasuk maqom yang tinggi didalam bertasawuf, sebagaimana nama tasawuf itu sendiri yang dimulai dengan huruf 't' yang maksudnya adalah taubat sebagai syarat wajib untuk mengawali alam kesucian, lalu huruf 's' yang maksudnya syukur yaitu tidak menggunakan seluruh failitas dari Allah SWT untuk berbuat maksiat, lalu 'w' yaitu wara yang akan dirinci di bab ini dan kemudian huruf ‘f’ yang berarti fana atau musnah dari sifat kedirian atau sifat ego. Ujung daripada pencapaian bertasawuf adalah fana, namun ada beberapa syaikh yang menyebut ‘ridho’. Sehingga dapat diketahui jarak yang jauh antara wara dengan ridho. Tidaklah mungkin menjelaskan wara dicampur dengan ridho. Insya Allah bila cukup umur di bab berikutnya akan diterangkan mengenai fana dan ridho.

Semua tingkatan dalam bertasawuf berkaitan dengan mujahadah, oleh karenanya wara adalah salah satu bentuk mujahadah atau salah satu bentuk perjuangan melawan diri sendiri dari meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apa pun yang berlebihan, baik secara lahir maupun batin. secara lahir wara adalah meninggalkan segala penglihatan yang tidak mengingatkannya kepada Allah, menutup telinga dari segala bentuk penjelasan yang tidak membicarakan Allah, dan ia juga menjauhkan tangan dari segala hal yang tidak memiliki arti di hadapan Allah. Sedangkan secara batiniyah wara dapat dikatakan menjauhkan diri dari segala pikiran yang tidak dapat membuat mencapai Allah, termasuk didalamnya meninggalkan cakap-cakap hati selain Allah. Nah, setelah mengetahui wara secara ilmu pengetahuan, sekarang pada gilirannya memeriksa tingkat wara kita, sebagaimana yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pertanyakan di awal bab ini. Jangankan meninggalkan yang meragukan (syubhat) yang dilarang agama saja masih kita langgar. Contohnya, kita masih suka berbohong guna pencitraan agar dianggap orang alim, untuk mempertahankan sanjungan dari makhluk. Kita masih senang menggunjing, kita masih tidak memperdulikan saudara-saudara yang dalam keadaan perang, tidak menolong saudara-saudara kita yang terusir dari tanah airnya. Kita tidak membantu sahabat yang sedang susah, tetangga yang mengeluh dan anak-anak yatim yang perlu biaya sekolah dan makan ataupun orang tua jompo yang perlu perawatan. Kita masih senang membakar uang, menonton acara tv berlebihan, pergi plesiran, makan banyak, tidur lama, menumpuk uang dan harta benda serta benda-benda kesenangan dan masih banyak lagi. Melepas topeng kepura-puraan adalah sebagian dari wara namun sulit dilakukan, agar Allah SWT tidak melucutinya dihadapan semua makhluk, agar menyadari betapa rendahnya kita, betapa tinggi kedudukan para syaikh sufi dan betapa Maha Tingginya Allah SWT.

Merupakan sesuatu yang janggal bila seseorang mengaku mencapai maqom wara tetapi masih berharap dan meminta sesuatu kebutuhan dunia kepada makhluk bukan kepada Allah, baik secara secara terang-terangan atau pun dengan cara isyarat-isyarat. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.’
Khawatir terjerumus kedalam hal-hal yang haram biasanya para akhli tasawuf mengurangi atau membatasi makan, minum, tidur, dan berkata-kata dan mengutamakan ibadah yang bersifat ruhani, seperti berdzikir khafi, menghindari pikiran, perasaan, dan prasangka negatif. Dua di antara tiga pembatasan itu, yakni makan dan tidur, merupakan satu paket. Sebab, orang yang banyak makan biasanya banyak tidur pula. Karena itu dalam laku wara biasanya kedua hal tersebut dihindari. Yang sangat diajurkan dalam wara adalah perilaku sedikit bicara. Sebab, orang yang banyak bicara akan semakin banyak pula salah dan khilafnya. Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq,ra., memberi keteladanan dengan mengulum batu setelah mendengar sabda Rasulullah SAW, "Man kana yu’minu billahi wal yaumil akhir, falyaqul khairan au liyashmut (Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, bicaralah yang baik-baik saja, atau lebih baik diam).”

Kisah, seorang ulama sedang berjalan melintasi sebuah jalan di Basrah dan dilihatnya beberapa orang syaikh sedang duduk, sementara beberapa pemuda bermain di dekatnya. Bertanyalah ulama itu: ‘Apakah kalian tidak malu bermain di depan para syaikh?’ Salah satu pemuda itu menjawab : ‘Wara para syaikh ini demikian kecil hingga kami memandang kecil mereka.’ Bagaimana mungkin para pemuda ini dapat melihat yang demikian? Karena pemilik wara akan terlihat pada perilaku kesehariannya. Semakin hebat kualitas waranya, maka semakin tinggi pula kualitas ketaatan beribadahnya dan berlaku sebaliknya. Orang yang wara tentu akan meninggalkan keraguan bukan menciptakan keraguan yang disebabkan oleh bicara dan perilakunya berbeda, karena keadaan batinnya berlawanan dengan perilaku lahirnya. Sebagaimana sabda Rasulullah,saw., : ‘Bersikaplah wara, dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah di antara umat manusia.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bahwa wara adalah bersikap waspada atau bersikap hati-hati terhadap kehidupan ini.’ Kemudian beliau juga berkata bahwa hasil daripada puasa adalah sikap wara. Puasa adalah keberpantangan dari yang halal pada siang hari, sedangkan wara meninggalkan yang meragukan, yang tidak berarti dan yang berlebihan pada setiap waktu, baik secara lahir ataupun batin. Jika demikian dapat dikatakan bahwa wara adalah bentuk dari pada keadaan khalwat yang terus menerus. Syaikh Hasan al Basri,qs., berkata bahwa : ‘Bobot sebutir wara yang cacat adalah lebih baik ketimbang bobot seribu hari berpuasa dan shalat.’

Semoga Allah menolong kita untuk dapat belajar menjalankan wara dengan benar dan istiqomah, agar tidak menjadi pengetahuan saja. Karena pengetahuan bisa lupa, sedangkan perbuatan wara seperti menanam sebuah bibit yang akan tumbuh menjadi pohon zuhud dan buah ketaatan. Jika bibit tidak ditanam akan percuma seperti pengetahuan yang tidak diamalkan. Oleh karenanya Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengutip sebuah hadis yang mengatakan bahwa : ‘Barang siapa mengamalkan ilmu yang diketahuinya, maka Allah akan mewariskan ilmu yang belum diketahuinya.’

Demikian para sahabat semoga ada manfaatnya.

Selasa, 26 Juli 2016

DZIKIR JAHR - DZIKIR YANG BERSUARA

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Seorang murid yang baru beberapa kali menghadiri kholaqoh dzikir mendapat ijazah dari guru kami tercinta syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berupa dzikir jahr (dzikir yang bersuara) dan dzikir lathaif (dzikir yang tidak bersuara). Sang murid hanya bisa terbengong-bengong, karena baru pertama kali mendengar nama-nama itu dan baru mendapatkan pekerjaan yang terasa asing baginya, meskipun ia pemeluk Islam sejak kecil. Yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menangkap keadaan ini dan berkata : ‘Insya Allah setelah upacara dzikir jahr selesai, akan dijelaskan makna dan tatacaranya.’ Mendengar ini sang murid merasa lega.

Dzikir jahr atau dzikir yang bersuara yang disertai dengan gerakan kepala, dapat dilakukan sendiri atau bersama-sama, banyak hadis yang menerangkan keutamaan dari pada dzikir ini. Jika dikerjakan secara bersama-sama, Rasulullah,saw., menyebutnya sebagai ‘raudhah min riyadhil Jannah atau taman dari pada taman surga’. Disebut demikian karena orang-orang yang berada didalamnya diampuni seluruh dosa-dosanya, sebagai gambaran seperti penduduk surga. Dzikir Jahr yang demikian adalah salah satu metodologi dari sebuah tarekat untuk mengingat Allah, sebelum memasuki dzikir lathaif, dengan cara mengulang-ulang menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah, yang bertujuan agar hatinya tercerahkan dan bersih dari noda-noda yang melekat. Pada saat menyebut ‘Laa ilaaha’ (tiada yang lain yang aku sembah), yang mempunyai makna me-nafy-kan atau meniadakan segala sesuatu selain Allah, kepala digerakkan kearah bahu kanan, lalu disaat menyebut ‘Illallaah’ (kecuali Allah), yang maksudnya meng-isbat-kan atau mengkukuhkan hanya Allah saja kedalam latifatul qalbi, kepala diarahkan sambil dipalukan ke dada (shadr) tepatnya dua jari dibawah susu sebelah kiri, disinilah tempatnya hati yang batin atau latifatul qalbi.

Al Qur'an memberitahukan bahwa setelah ruh bersatu dengan jasad, terdapat subtansi yang halus atau lembut yang disebut hati. Hati adalah sebuah kelembutan yang mencakup seluruh lapisan batin manusia. Ada yang lebih kasar darinya dan ada yang lebih lembut. Seperti sebuah rumah, ada bagian luar yang disebut pagar, halaman, lalu bagian dalam rumah ada kamar, lemari dan peralatan lainnya. Setiap bagian mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Sesuatu yang lebih berharga akan ditempatkan dan disembunyikan didalam kamar yang khusus. Demikian pula dengan hati manusia, kesadaran atau pengetahuan yang lebih tinggi, ditempatkan didalam hati yang lebih kokoh, lebih khusus, lebih terjaga, lebih tersembunyi dan lebih tertutup. Istilah hati bagi orang awam mewakili penyebutan semua lapisan itu, sebagaimana rumah. Terdapat hadis qudsi yang mengatakan : 'Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu ada istana, disitu ada dada, didalam dada ada al-qalb, didalam qalb ada fu’ad, didalam fu’ad ada syaqaf, didalam syaqaf ada lubb, dan didalam lubb ada sir, sedangkan didalam sir ada AKU.’

Jika terdapat ‘Cahaya’ dilapisan terdalam pada diri manusia, seharusnya manusia bergerak diatas bumi ini sesuai dengan yang di kehendaki-Nya, namun faktanya tidak demikian, justru manusia bergerak kearah sebaliknya. Allah SWT mengendaki yang demikian untuk menguji manusia, sebagai pembeda daripada makhluk-makhluk lain, apakah ia berkemampuan dengan potensi-potensi yang ada dalam dirinya menjadi khalifah dimuka bumi ini. Allah SWT berfirman : ‘Dan Allah berbuat demikian untuk menguji apa yang ada dalam dadamu (shadr) dan untuk membersihkan apa yang dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (QS 003: 154).’ Allah SWT memperlihatkan, tanpa pertolongan-Nya tak ada satupun manusia yang mampu lepas dari jerat ini, semuanya akan binasa mengikuti keinginan jiwanya. Kesadaran inilah yang dikehendaki-Nya, maka dengan sifat Maha Kasih dan Maha Penyayang-Nya serta adanya taufik dan hidayah-Nya, Dia akan memilih manusia yang dikehendaki-Nya, untuk mampu berperang melawan dirinya sendiri sampai mati egonya dan hidup disisi-Nya. Rasulullah,saw., menyebutnya sebagai ‘mutu qobla anta mutu, matilah engkau sebelum engkau mati.’ Dalam hal ini Allah SWT berfirman: ‘Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.’ (QS 002 : 154). Inilah gambaran orang yang mati secara maknawi tetapi hidup bersama Tuhan-Nya (baqa). Ia terbunuh oleh cahaya cinta-Nya, oleh api perlawanan terhadap hawa nafsunya, oleh pedang tauhid, oleh cahaya mengikuti kebenaran dan api rindu.

Lapisan yang lebih kasar dari hati adalah shadr atau dada, tetapi bukan dada dalam bentuk lahiriyah melainkan yang batiniyah seperti halaman atau pekarangan pada rumah. Sebagaimana fungsi pekarangan, menampung banyak sampah dari tumbuh-tumbuhan, debu, kotoran hewan dan hewan yang tidak diundang ataupun orang lain serta syaithon. Apa yang masuk kedalamnya jarang terasa, seperti yang masuk kedalam shadr berupa sifat dengki, syahwat dan angan-angan. Secara umum fungsi shadr dapat dikatakan berkumpulnya sesuatu yang baik dan yang buruk atau tempak masuknya cahaya Islam dan berkuasanya nafsul ammarah atau yang selalu mengajak kepada kejahatan. Oleh sebab itu, kesempitan dan kelapangan dikaitkan dengan dada (shadr) bukan pada hati (qalb), sebagaimana Allah SWT berfirman ‘Maka bisa jadi engkau meninggalkan sebagian dari yang diwahyukan kepadamu dan dadamu (shadr) merasa sempit karenanya. (QS 011: 12).’ Dan : ‘Maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu (shadr) karenanya. (QS 007 : 2).’ Dan : ‘Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu (shadr). (QS 094 : 1).’

Jika didalam shadr terdapat banyak angan-angan dan tamu yang tidak diundang, maka pengetahuan yang diperoleh melalui panca indra, yaitu mata dan tekinga akan mudah lupa, karena cahaya hati tidak akan sampai kepada jawarih atau panca indra manusia dengan sempurna, sebagaimana cahaya matahari yang terhalang oleh awan. Sehingga jawarih bergerak tidak sebagaimana yang diharapkan oleh hati atau syariat agama. Jawarih akan mengikuti keinginan jiwa yang cenderung kepada dunia. Oleh karenanya, benda-benda asing yang berada di shadr harus selalu dibersihkan, atau halaman rumah harus disapu pada pagi dan sore hari. Pembersihnya berupa suara kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Itulah mengapa guru kami tercinta Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) mengharuskan murid-muridnya untuk mengerjakan dzikir jahr ini dengan serius dan istiqomah pada waktu pagi dan petang, dengan mengikuti tatacara yang benar. Mengapa harus bersuara bukankah Allah itu Maha Mendengar? Ya benar, tetapi hati kita yang menjadi tuli, seperti cermin yang buram karena terlalu banyak kotoran di lapisan luarnya atau di pekarangannya atau di shadr-nya. Sehingga harus dibersihkan terlebih dahulu atau disapu dengan suara kalimat Laa Ilaaha Illallaah, agar cermin hati dapat memantulkan cahaya ilahi kedada (shadr) dan kemudian ke jawarih. Baru kemudian bila shadr-nya sudah bercahaya, maka cermin hati atau latifatul qolbi diisi atau dipahat dengan dzikir lathaif, dzikir yang sangat halus dan lembut tanpa suara dengan mengingat sambil menyebut Ismudzat, Allah … Allah … Allah, menyebutnya menggunakan lisan hati atau lisan batin bukan lisan lahir.

Demikian para sahabat, semoga bermanfaat.

Rabu, 20 Juli 2016

JILBAB

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Di kereta api seorang wanita berjilbab ditangkap oleh yang berwajib, pasalnya ia kepergok mencopet. Sang korban terheran-heran, bagaimana bisa wanita yang berjilbab mencuri? Jika sang pencopet memakai topeng hitam dan membawa senjata, maka orang akan menghindarinya, karena ciri-cirinya dikenali sebagai penjahat. Tetapi tidak demikian dengan wanita yang berjilbab, ia mengelabui penumpang dengan perilaku yang sopan agar tidak dicurigai atas apa yang akan diperbuatnya, agar dirinya dianggap sebagai penganut agama yang taat. Dengannya akan lebih memudahkan melakukan niat jahatnya. Jilbab yang seharusnya digunakan sebagai penutup aurat guna memperoleh ridho-Nya, malah digunakan sebagai penutup kejahatan yang memicu kemurkaan-Nya. Kejahatan yang berkedok agama sedang marak di negeri kita ini.

Bayangkan, bagaimana jika dilakukan oleh seorang yang dianggap sebagai kyai, ustadz atau ustadzjah, padahal hanya sedikit menghafal ayat Al Qur'an dan hadis dari buku dan tidak pernah mengenyam pendidikan agama di pesantren ataupun di perguruan tinggi. Jilbabnya berupa pengetahuan tentang syariat agama, mencopetnya dengan cara menjual kata-kata indah, target korbannya adalah para jamaah. Modusnya dengan cara, membesar-besarkan fadhilah tentang amal dan menyampaikan ancaman tentang tempat kembali orang-orang yang kikir, yakni neraka jahanam. Cara ini cukup jitu, banyak jamaah yang secara sukarela atau terpaksa mengeluarkan harta bendanya. Kejahatan jenis ini banyak muncul di tv, sebagai media yang tepat sebagai sarana pencitraannya. Ibu-ibu sangat menggemari acara-acara ini, berdalih mendengarkan atau hadir dalam pengajian, sebagai alasan kepada suami guna lari dari memenuhi kewajiban utamanya. Hukum Negara tidak menyentuh masalah ini, karena niat tidak terlihat, tetapi hukum agama jelas melarangnya. Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa agar tidak memanggil pendakwah yang memasang tarif tinggi. Ironisnya masyarakat kadung menyebut para pendakwah yang memasang tarif sebagai ulama. Rasulullah,saw., pernah bersabda : 'Ulama itu adalah orang-orang yang dipercaya oleh para Rasul, selama tidak mukhallathah (dikendalikan) oleh penguasa yang dzalim, dan selama tidak menjadikan dunia sebagai tumpuan hidupnya. Apabila mereka dikendalikan oleh para penguasa yang dzalim, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat terhadap Allah dan Rasulnya. Karena itu, jauhilah mereka itu.' Imam Al-Ghazali telah membagi ulama menjadi dua kelompok, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah orang yang mencari kedudukan, kehormatan dan kesenangan duniawi dengan menggunakan ilmunya, sedangkan ulama akhirat bersikap sebaliknya. Iblis laknatullah pernah berkata kepada Rasulullah,saw., bahwa selama seorang hamba masih menyukai harta dan sanjungan dan hatinya selalu terikat dengan kesenangan dunia, ia sangat patuh padaku.

Lebih jauh lagi dengan cara yang teramat halus, dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai seorang pembimbing ruhani, padahal ia tidak pernah di khirkhoh dari sebuah tarekat yang mutabaroh. Jilbabnya berupa ilmu keruhanian, ilmu tentang seluk beluk hati, mencopetnya dengan cara menyampaikan pengetahuan tentang keutamaan memusuhi dunia (zuhud) dan merasa cukup (qona’ah). Dengan cara yang apik, menceritakan kedekatan Tuhan dengan para syaikh sufi yang melakukannya, menekankan tentang keajaiban-keajaibannya dan berperilaku seolah-olah dirinya dalam keadaan yang sudah demikian. Padahal batinnya berlawanan dengan bicaranya, disuruhnya jiwa orang untuk memusuhi dunia (zuhud) dan merasa cukup (qona'ah), namun justru ia mengharapkan kenikmatan dunia dan serakah. Imam Junayd,qs., meraknya para sufi telah memperingatkan hal yang demikian sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Seorang ulama mengatakan : ‘Jika ulama menjadi kaya setelah miskin, saya ingin tahu ayat mana yang ia jual. Dan jika ulama menjadi miskin setelah kaya, memang harus demikian adanya, karena rasa takutnya yang demikian besar kepada Allah SWT, lalu dengan ilmunya ia dermakan harta bendanya kepada yang membutuhkannya.’ Guru kami tercinta Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pernah bercerita bahwa beliau pernah menerima hadiah berupa sebidang tanah dari kakek guru Syaikh Nuurunnaum Suryadipraja (semoga Allah mensucikan ruhnya), meskipun beliau hidup dalam keadaan yang sangat sederhana. Begitu pula yang dilakukan oleh guru kami, amal lahirnya saja tidak diketahui oleh muridnya, apalagi amal batinnya. Inilah sebuah bentuk bimbingan yang bukan saja pengetahuan dan pekerjaan tentang tasawuf saja, melainkan berupa tindakan yang indah agar menjadi suri tauladan bagi murid-muridnya di masa mendatang, sebagi wujud dari keadaan zuhud dan qona'ahnya.

Lalu bagaimana jika pencopetnya tidak berwujud, ia berada di dalam diri sendiri yang merampok amal-amal yang tersimpan. Jilbabnya berupa dorongan agar menceritakan amal baiknya kepada orang lain (su’ma) atau berbangga atas perbuatan baiknya (ujub). Semuanya menjadi sia-sia, amalnya akan habis atau hangus sebagaimana kayu bakar habis dimakan api.

Kejahatan bertingkat-tingkat, dari yang mudah dikenali sampai dengan yang samar. Seperti jenis, bentuk dan corak jilbab yang beraneka ragam. Tujuan memakai jilbab agar tdak dilihat oleh orang lain atau bukan muhrimnya, tetapi malah ingin dilihat oleh orang lain dengan model dan bentuk jilbabnya yang aneh-aneh. Persis seperti keadaan hati orang yang selalu ingin memberitahukan perbuatan baiknya (amal) kepada orang lain, bukan menyembunyikannya. Amal yang tersembunyi mempunyai keutamaan yang tinggi, bahkan lebih baik dari pada manafaat angin, air, api, besi dan gunung-gunung bagi kehidupan manusia. Misteri amal yang bersih sesungguhnya berasal dari pertolongan Allah SWT, jika manusia membuang amalnya dengan cara memberitakan kepada orang lain, sungguh sangat disayangkan.

Sebuah dialog antara malaikat dengan Allah SWT, sebagaimana diriwayatkan oleh Baginda Nabi,saw., dalam hadis qudsi : 'Ketika Tuhan menciptakan bumi, dia mulai bergetar. Maka Dia menciptakan gunung-gunung dan berkata kepada mereka, "kuasai dia" maka bumi menjadi tenang.' Para malaikat heran melihat kekuatan gunung-gunung. Mereka berkata, "Wahai Tuhanku, adakah di antara makhluk-makhluk-Mu yang lebih kuat daripada gunung-gunung itu?" ia berkata, "Ya, besi." Mereka berkata, "Wahai Tuhanku, adakah di antara makhluk-makhluk-Mu yang lebih kuat daripada besi?" Dia berkata, "Ya, api." Mereka berkata, "Wahai Tuhanku, adakah di antara makhluk-makhluk-Mu yang lebih kuat daripada api?" Dia berkata. "Ya, air." Mereka berkata, "Wahai Tuhanku, adakah di antara makhluk-makhluk-Mu yang lebih kuat daripada air?" Dia berkata. "Ya, angin." Mereka berkata, "Wahai Tuhanku, adakaih di antara makhluk-makhluk-Mu yang lebih kuat daripada angin?" Dia menjawab, "Ya. putra Adam. Dia memberi sedekah dengan tangan kanannya tanpa diketahui oleh tangan kirinya."

Bahwa yang mendorong pada perbuatan amal adalah ruhani dan Ilahiah, yang sepenuhnya kosong dari sifat-sifat lahiriah, dan hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa pertolongan-Nya. Yang membuatnya begitu sulit adalah karena manusia merupakan gabungan dari sifat-sifat ruhani dan jasmani yang tercampur dengan sempurna. Jiwa manusia selalu mengajak kepada kejahatan sedangkan ruh manusia mengajak kepada kebaikan. Jika keadaan ruhani seseorang bercahaya murni tanpa adanya pengaruh dari sifat lahirnya. Dia akan memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk berbuat baik. Dia akan lebih unggul daripada kebanyakan malaikat, sebab sifat bawaan malaikat adalah bebas dari pengaruh sifat-sifat jasmani. Tetapi di dunia ini, indra-indra dan sifat-sifat jasmani berhadapan dengan yang ruhani, dan jiwa menguasai jasmani sangat kuat. Maka kekuasaan dari ruh, yang dianggap sebagai tangan kanan manusia tidak dapat mengatasi kekuasaan komposisi jasmaninya, yang mempunyai arah tangan kiri. Oleh karenanya jika tangan kanan manusia berbuat kebaikan tanpa diketahui oleh tangan kirinya, adalah merupakan karunia-Nya yang besar. Amal tersebut harus ditutup rapat-rapat agar tidak diketahui oleh orang lain dan dirinya, agar tidak hilang percuma, seperti wanita yang menutup auratnya dengan jilbab.

Sayidah Fatimah,ra., mengatakan bahwa : 'Wanita yang baik adalah yang tidak dilihat oleh pria dan tidak melihat pria.' Untuk menangkap kejahatan yang samar harus menggunakan ilmu yang tinggi dan atas bantuan dari Allah SWT. Begitu juga sebaliknya, yaitu kebaikan, dari yang mudah dilakukan sampai dengan yang halus. Besar kecilnya amal seseorang tergantung kepada niatnya, tergantung kepada kebersihan dan kemurniannya. Semua ini terjadi sesuai dengan keadaan hati. Oleh karena begitu penting kesehatan hati ini, maka menjadi tujuan utama bagi para pembimbing ruhani untuk membersihkan keadaan murid-muridnya dari noda-noda dunia.

Sabtu, 16 Juli 2016

TABIAT ALAMIAH

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Seorang murid sedang berkendara tiba-tiba dimaki oleh seseorang : ‘Monyet kamu.’ Sang murid marah dan spontan menjawab : ‘Anjing kamu.’ Tanpa disadari mereka sedang menyebutkan sifat binatang yang ada pada dirinya sendiri. Berbeda dengan yang dialami oleh guru kami tercinta Syaikh. Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), beliau pernah dimaki dengan sebutan nama binatang, beliau hanya tersenyum dan tidak tampak perubahan pada wajahnya, karena cacian dan pujian sudah sama saja baginya. Beliau membalasnya dengan melontarkan pujian kepada sang pemaki. Ditanya alasannya oleh seorang murid, beliau menjawab : ‘Saya memujinya, karena ia telah mengungkapkan sifat alamiah yang tersembunyi didalam diri saya yang telah lama saya cari.’ Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk bercerita tentang caci maki dengan menyebut nama binatang, melainkan menjelaskan sifat-sifat jiwa alamiah atau tabiat alamiah yang ada pada diri manusia.

Tuhan ingin diketahui, oleh karenanya Dia menciptakan makhluk. Dari segi bentuk dan bobot, manusia itu sangat kecil dibanding dengan seluruh ciptaan-Nya, tetapi Tuhan tidak ingin ciptaan-Nya terwujud sia-sia tanpa dapat diketahui oleh manusia, agar manusia dapat mengetahui tentang kekayaan pengetahuan-Nya dan menjadikannya saksi bagi seluruh makna ciptaan. Tetapi sekali lagi bahwa ciptaan itu sangat luas, bumi saja sangat lebar. Tidak mungkin manusia dapat berkelana ke seluruh ciptaan, mengingat masa hidup mereka yang pendek dan ketidakmampuan mereka menangani urusan-urusan ciptaan. Oleh karenanya potensi untuk mengenal Sang Pencipta dan seluruh ciptaan ditanamkan didalam akal, lalu Dia minta kesaksian atasnya ; ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Ya, kami bersaksi .’ (QS. 7: 172). Sehingga tampak secara jelas hubungan seluruh ciptaan dengan manusia, yang secara timbal balik akan saling mempengaruhi. Jika kondisi manusia dalam keadaan seimbang, maka alam semesta akan seimbang pula dan sebaliknya jika manusia penuh dengan amarah, rakus, tamak dan mendominasi maka alam pun akan mengikutinya. Sehingga jangan heran jika akhir-akhir ini banyak terjadi bencana alam yang dasyat, karena mengikuti keadaan kebanyakan jiwa manusia.

Manusia diciptakan pada tingkatan antara yang rendah dan tinggi, yang rendah seperti sifat tanaman dan hewan sedangkan yang tinggi seperti sifat malaikat. Dalam kaitan dengan kebutuhan makan dan minum agar tumbuh adalah tanaman. Dalam kaitan dengan gerakan mengikuti naluri dan syahwatnya adalah hewan. Dan dalam kaitan sifat kepatuhan dan kesucian adalah malaikat. Namun ciri khas manusia yang utama adalah adanya akal.

Beberapa hewan mencari keuntungan melalui kekejaman dan dominasi, seperti para hewan pemangsa. Sebagian mencari melalui bujukan, seperti anjing dan kucing. Sebagian mencari melalui kecerdasan, seperti laba-laba. Dan semua sifat-sifat ini ada pada manusia. Para raja dan sultan mendapatkan keuntungan melalui dominasi, para pengemis melalui permintaan dan kerendahan hati, para pedagang melalui kecerdasan dan persahabatan. Pendeknya, tidak ada hewan, mineral, tanaman, pilar, lingkaran langit, planet, konstelasi, atau benda apa pun yang memiliki suatu watak tanpa watak itu terdapat dalam diri manusia.

Mereka yang menggunakan seluruh indranya untuk meraih pengetahuan tentang Tuhan dan tauhid serta amal baik, serupa dengan para malaikat dan patut digabungkan dengan mereka di alam malakut. Sedangkan mereka yang mengalihkan aspirasi mereka untuk mengikuti kenikmatan-kenikmatan badaniah dan makan serupa dengan hewan dan tumbuhan. Persis seperti yang kita lakukan, pemarah seperti binatang buas, rakus seperti babi, tamak seperti monyet, banyak bicara seperti anjing, pendendam seperti burung gagak atau ular kobra, lambat seperti kura-kura, sombong seperti burung merak, atau pandai berkelit seperti kancil. Perumpamaan sifat manusia seperti binatang terdapat dalam Al Qur’an : ‘Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. (QS 7 : 176) Sedangkan yang menyerupai sifat malaikat adalah : ‘Maha sempurna Allah, Ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain adalah malaikat yang mulia.’(QS 12: 31)

Orang-orang yang ingin memasuki alam malaikat atau alam malakut atau alam kusucian tidak ada jalan lain kecuali harus berperang melawan diri mereka sendiri, perang suci melawan jiwanya atau menentang kencenderungan tabiat alamiahnya, suatu peperangan yang tidak mengenal jalan damai. Perang yang Rasulullah,saw., menyebutnya sebagai tidak ada peperangan yang lebih besar dari pada perang melwan dirinya sendiri atau disebut sebagai perang akbar. Sebab mereka mendapati jiwanya sebagai musuh agama. Bagaimana mungkin orang yang mempunyai tekad memasuki alam kesucian berdamai dengan musuh agamanya?

HUDHUR DAN GHAYBAT

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian tentang hudhur dan ghaybat berlangsung lama, bersumber dari kitab Kasyful Mahjub karya Imam Hujwiri,qs. Terdengar rumit namun sesungguhnya sederhana. Seperti sholat, menjelaskan tata caranya mudah, tetapi melukiskan rasanya sangat sulit, atau menerangkan cara menyetir mobil amat mudah, tapi menjelaskan rasa pada saat menyetir sangat susah. Demikian pula tentang hudhur dan ghaybat, menjelaskan pengetahuannya tidak sulit, tetapi menyampaikan rasanya tidak mudah. Orang yang dapat menjelaskan rasa ketika sholat atau rasa ketika berkendara mobil, berarti ia pernah mendirikan sholat dan menyetir mobil. Jika belum pernah, maka yang dijelaskan hanyalah pengetahuannya bukan rasa yang aktual. Perbedaan antara pengetahuan dan rasa sangat besar, seperti langit dan bumi atau seperti badan dan ruh. Sesungguhnya berbicara sesuatu yang belum dialami dilarang oleh agama, sebagaimana yang termaktub didalam Al Qur’an : ‘Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.’ (Ash-Shaff : 2-3).

Arti hudhur dalam Bahasa Indonesia adalah hadir, yang dimaksud dengan hadir adalah ada atau datang, sedangkan hadirin adalah semua orang yang datang. Lawan dari pada hadir adalah absen atau tidak datang atau ghaybat. Sehingga bisa dikatakan bahwa Jika seseorang hadir disekolah maka ia absen di rumah, dan sebaliknya jika ia absen di sekolah maka ia hadir di rumah. Dalam hal ini, kehadiran pasti dikaitkan dengan keberadaan jasad. Sedangkan didalam dunia tasawuf istilah hudhur diartikan sebagai kehadiran hati bersama Tuhan dan sebaliknya bila tidakkehadiran hati disebut sebagai Ghaybat. Sehingga yang dimaksud hudhur adalah kehadiran secara spiritual atau merasa yaqin keberadaannya didalam hati, tanpa berpikiran lagi tentang ada atau tidak adanya jasad.

Suatu hari murid-murid diperintah oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) untuk mendirikan sholat di Mesjid Nuur al Baru. Pada saat pelaksanaan sholat, beliau pergi meninggalkan Mesjid. Setelah selesai, seorang murid ‘merasa yaqin’ bahwa syaikh berada bersamanya selama sholat, karenanya ia memperbaiki sikap sholatnya tidak seperti biasanya. Meskipun faktanya, syaikh tidak berada disitu. JIka seseorang dapat ‘merasa yaqin’ seolah-olah syaikh bersamanya selama waktu sholat dan mempunyai kedudukan yang sama tatkala syaikh tidak ada, atau apa yang bisa terlihat olehnya mempunyai kekuatan yang sama dengan apa yang tersembunyi darinya, maka hal ini disebut sebagai ‘kehadiran hati’ (hudhur) bersama syaikhnya atau ‘tidakkehadiran’ (ghaybat) bersama yang lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kehadiran (hudhur) dan tidakkehadiran (ghaybat) mempunyai makna yang sama walaupun tampaknya bertentangan satu sama lain.

Tugas seorang syaikh adalah membimbing murid-muridnya untuk mencapai hudhur, dimulai dengan latihan spiritual yang disebut dengan dzikir lalu meningkat kepada muroqobah. Pendeknya pekerjaan dzikir dan muroqobah adalah medan laga latihan spiritual yang diawali dengan berupaya seolah-olah merasakan ‘rasa’ rindu dan cinta serta kehadiran Tuhan pada akhirnya. Diharapkan dari seolah-olah merasakan laama-kelamaan perasaan yaqin atas kehadiran hati bersama Tuhan itu melekat. Oleh karenanya tidak mungkin kehadiran hati (hudhur) bersama Tuhan dapat diraih manakala hati seseorang masih kotor, dilain pihak keadaan hati yang bersih adalah sebuah karunia-Nya, karena upaya membersihkan hati dengan dzikir-dzikir adalah perbuatan manusia, sedangkan penghapusan terhadap noda hati atau kekotoran hati adalah perbuatan Tuhan.

Pengetahuan tentang hudhur dengan perasaan yang aktual tentang hudhur merupakan dua hal yang berbeda. Penguasaan pengetahuan atau pemahaman tentang hudhur tidak akan berdampak kepada keadaan hati atau tidak mempengaruhi padangannya terhadap tauhid, karena bisa saja orang non muslim dapat mempelajarinya, tetapi tidak demikian terhadap keadaan hudhur yang sebenarnya, terdapat tanda-tanda bagi seseorang yang mengalaminya, khususnya meningkatnya perasaan yaqin dan lenyapnya keburukan-keburukan serta adanya perubahan yang mendasar dalam perilakunya. Keyaqinannya memuncak bahwa dirinya sendiri merupakan sebesar-besar tabir untuk dapat hadir bersama Tuhan, mata hati menjadi tertutup terhadap diri sendiri dan terhadap semua selain Tuhan, sehingga sifat-sifat kemanusiaannya ditelan oleh nyala api kedekatan dengan Tuhan. Maka selama tidak hadir dari diri sendiri, maka akan hadir bersama Tuhan, tetapi bilamana hadir bersama sifat-sifat diri sendiri, akan menjadi tidak hadir dari kedekatan dengan Tuhan. Inilah mengapa yang mulia Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) selalu menanyakan ‘perasaan’ hudhur tatkala murid-muridnya mengaku telah mengalaminya.

Kisah, seseorang mendatangi Imam Junayd,qs., dan mengatakan: ‘Hadirlah bersamaku sesaat agar aku bisa berbicara denganmu.’ Dijawab: ‘Wahai anak muda, engkau menginginkan sesuatu dariku yang sekian lama kucari. Bertahun-tahun aku mengharapkan bisa hadir bersama diriku sendiri sesaat saja, tapi aku tak bisa, lalu bagaimanakah aku bisa hadir bersamamu sekarang juga?’ Inilah jawaban dari seorang yang dalam keadaan hudhurul haq secara terus menerus.

Dzikir dengan objek yang dizikiri adalah sesuatu hal yang berbeda, atau nama dengan pemilik nama adalah dua hal yang lain. Jika seseorang menyebut nama, boleh jadi objek yang disebutnya tidak berada di dekatnya. Terdapat ayat Al Qur’an yang mengatakan : ‘Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, maka Aku akan ingat pula kepadamu.’ (QS. 2 : 152). Ayat yang mulia ini tidak mengatakan ‘menyebut’ tetapi ‘mengingat’. Yang terjadi pada kebanyakan murid saat berdizkir adalah menyebut-nyebut nama-Nya saja tetapi lalai dalam mengingat-Nya. Yang diutamakan oleh murid adalah mengingat perbuatan dzikirnya bukan yang dizikiri, oleh karenanya ia sibuk menyelaraskan nada suara dan gerakannya saja. Hal ini lebih mendekati pada ketakpedulian karena mengira bahwa dirinya hadir bersama Tuhan. Karena itu, mengira bahwa hadir bersama Tuhan ketika tidak hadir, lebih buruk daripada tidak hadir tetapi tidak mengira hadir, karena kebanggaan adalah keruntuhan bagi orang-orang yang mendambakkan Kebenaran. Makin bangga, makin jauh dari kenyataan, dan sebaliknya, aspirasi yang suci sungguh jauh dari kualitas-kualitas ini. Penyakit yang seperti ini menjangkiti tidak saja kepada murid baru saja melainkan pada tingkatan yang lain. Prinsip dasar mengingat Allah (dzikir) bilamana sang pendzikir tidak hadir dari dirinya sendiri (ghaybat) tetapi hadir bersama Tuhan (hudhur), dan bilamana orang tidak hadir dari Tuhan dan hadir bersama dirinya sendiri, keadaan itu bukanlah mengingat Allah (dzikir), melainkan ketidakhadiran dan ketidakhadiran adalah akibat dari kelalaian (ghaflat).

Seseorang yang mengalami hudhurul Haq atau kehadiran hati bersama Allah mempunyai tanda-tanda, yang perasaan yaqinnya sebagaimana sang murid tadi, ketika merasa yaqin bahwa syaikh bersamanya pada waktu sholat. Dan perubahan sikapnya nyata, menjadi baik, akhlaknya indah. Sikap baiknya bukan merupakan sebuah upaya lagi sebagaimana waktu sholat tadi, melainkan menjadi pakaiannya, karena sirnanya keburukan. Hatinya penuh dengan sifat pengasih, rasa dengki dan irinya menjauh dan tertutup rapat.

Hudhrul Haq adalah salah satu bentuk musyahadat, yang berarti atas sekehendak Allah SWT dan manusia tidak terlibat sama sekali, meskipun ia melakukan keberupayaan. Jika musyahadat teraih tatkala melakukan dzikrullah atau muroqobah, maka itulah yang disebut dengan beribadah sambil menikmati sajian ruhani. Inilah yang membedakan orang-orang yang gemar bermujahadah dengan yang tidak. Dan menyadari pentingnya mendahulukan orang lain daripada dirinya, pentingnya melayani bukan dilayani, pentingnya memberi bukan menerima, pentingnya merendah bukan sombong, pentingnya berkata jujur bukan bohong. Menyadari dan merasakan bahwa dirinya hina. Orang yang merasa hina akan takjub kepada Yang Maha Mulia dan dekat dengan Tuhan, sebaliknya orang yang merasa mulia akan selalu memandang rendah orang lain dan jauh dari Tuhan, meskipun ia mengaku dekat dengan Tuhan tetapi cepat atau lambat orang akan mengetahuinya, karena semua kedudukan ada tanda-tanda, seperti hujan maka bumi menjadi basah. Semuanya terletak kepada kesadaran dan kesadaran adalah tasawuf begitulah guru kami tercinta Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengatakan.

Demikian para sahabat semoga ada manfaatnya.

Selasa, 12 Juli 2016

JIWA DAN RAGA

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., berkata : ‘Aku dan jiwaku adalah seperti seorang gembala dan domba-dombanya. Setiap kali aku mengumpulkan mereka dari satu sisi, mereka berlarian ke arah lain.’

Istilah jiwa dan raga sangat popular di Indonesia, sungguh sangat tepat! Memang jiwa tidak bisa dipisahkan dengan raga, ia bersahabat, apapun kebutuhan jiwa maka raga akan mendukungnya, tubuh sebagai alat jiwa untuk mewujudkan keinginannya. Ada istilah latin yang mengatakan ‘Mens sana in corpore sano’, yang artinya adalah ‘Jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat.’ Maksudnya didalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat, begitu pula sebaliknya. Rasulullah,saw., tidak mengkaitkan antara tubuh yang sehat dengan sebuah jiwa, melainkan mengkaitkan antara keadaan hati yang baik dengan tubuh, sebagaimana sabdanya : ‘Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia.’ Jika bangunan tubuh manusia adalah sebuah singasana atau istana, maka hati adalah rajanya dan jiwa adalah permaisurinya. Jika raja baik, bijaksana dan adil maka seluruh tubuh akan baik pula dan sebaliknya. Namun faktanya tidak demikian, karena setiap perintah raja akan di tentang oleh sang permaisuri.

Istilah ‘Mens sana in corpore sano’ sangat dipercaya, sehingga manusia berlomba-lomba menyehatkan raganya agar jiwanya turut sehat. Padahal jika raga mengikuti kemauan jiwa maka akan semakin gelap hatinya dan sebaliknya jika raga menolak mengikuti kemauan jiwa maka hatinya akan bercahaya. Nah, jika dikaitkan dengan hadis yang mulia Nabi,saw., maka menolak kemauan jiwa merupakan kunci baiknya seluruh tubuh manusia. Adalah sholat, sebagai bukti meluangkan waktu sesaat untuk menolak keinginan jiwa yang selalu mengajak kepada kesenangan-kesenangan, dapat menghindarkan dari perbuatan yang keji dan durhaka. Jika meluangkan waktu yang sesaat hanya untuk Allah SWT ini diperpanjang menjadi lebih lama, seperti puasa, tentu dampak positifnya akan lebih baik. Oleh karenanya seorang muslim yang telah selesai berpuasa satu bulan penuh akan merayakan Hari Raya Idul Fitri, atau kembali kepada fitrahnya, atau akan merasa sebagaimana ia dicipta di Alam Amr yang selalu menghadap kepada Keagungan Allah, yang kadarnya sesuai dengan kualitas puasanya. Lalu bagaimana bila berdzikir atau menyebut-nyebut dan mengingat Allah pada setiap waktu, yang dalam Al Qur’an dikatakan lebih besar keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain. Sehingga sangat jelas bahwa rukun Islam adalah sarana untuk membuat tubuh menjadi baik dan begitu juga hatinya. Sarana bagi sesuatu yang bersifat halus atau lathaif yang berada didalam raga untuk menaik dan kembali kepada fitrahnya.

Kebanyakan para penempuh di jalan kesucian tidak terlalu perduli terhadap kejadian jiwa manusia, melainkan dipusatkan kepada cara-cara pengenalan terhadap tabiat alamiahnya dan cara memeranginya. Didalam Al Qur’an disebutkan secara rinci tentang kejadian ruh dan raga manusia, tetapi tidak demikian dengan kejadian jiwa. Padahal pengetahuan tentang Tuhan berkaitan dengan pengetahuan tentang jiwa, maka mustahil manusia dapat mengetahui pengetahuan tentang sifat jiwa secara paripurna, jika ia mengabaikan tentang kejadiannya. Sayidina Ali,ra., yang disebut oleh Rasulullah,saw., sebagai pintunya ilmu merasa kesulitan mengenal sifat-sifat jiwanya sendiri dengan berkata : ‘Aku dan jiwaku adalah seperti seorang gembala dan domba-dombanya. Setiap kali aku mengumpulkan mereka dari satu sisi, mereka berlarian ke arah lain,’ lalu bagaimana dengan manusia sesudahnya? Dan bagaimana dengan orang yang mengklaim dirinya telah mengenal Tuhannya?

Terdapat hadis Nabi,saw., yang mengatakan bahwa, ‘Yang pertama kali dicipta adalah pena.’ Pada hadis yang lain, beliau,saw., bersabda,‘Yang pertama kali dicipta adalah akal.’ Dan ada pula hadis yang mengatakan bahwa, ‘Yang pertama dicipta adalah Nuur Nabimu.’ Oleh karenanya merupakan sebuah keniscayaan bahwa akal, pena dan nuur (cahaya) mempunyai makna yang sama.

Sarana agar pena dapat menulis adalah Sang Penulis, lembaran dan cahaya. Saat menulis, pena selalu mempunyai dua wajah, yang satu menghadap kepada Sang Penulis dan yang lainnya menghadap kepada lembaran. Dengan kata lain, yang satu berpaling kepada Allah SWT dan yang lain berpaling dari Allah SWT. Atau dapat dikatakan yang satu merenungkan keagungan Kekuasaan Allah SWT Yang Tidak Berawal dan yang lain menatap Keindahan dari Kebijaksanaan-Nya Yang Tak Berakhir. Kedua wajah itu atau ‘pena’ bisa disebut sebagai ‘Akal,’ karena ia mempunyai kemampuan yang begitu tinggi untuk merenungkan keagungan dan kekuasaan-Nya dan merenungkan keindahan dan kebijaksanaan ciptaan-Nya. Allah SWT berfirman kepada akal : 'Berpalinglah ke sini, maka ia berpaling kepada-Nya. Lalu berpalinglah ke sana, maka ia berpaling dari-Nya.’ Oleh karenanya pena atau akal yang dicipta pertama kali di alam perintah (alm amr) oleh Allah SWT dapat disebut sebagai ‘Akal Universal’ atau ‘Nuur Muhammad’, sedangkan lembaran tempat pena menulis atau Lembaran Yang Terjaga (Lawh Mahfuz) dapat disebut sebagai ‘Jiwa Universal’. Sehingga ke tiga hadis diatas mempunyai makna yang sama, meskipun berbeda cara penyampaiannya.

Pendeknya, aktivitas antara Akal Universasl atau Nuur Muhamad dengan Jiwa Universal atau Lawh Mahfuz di alam amr, menjadikan ciptaan menuju eksitensi memasuki dunia perwujudan (alm khalq). Maka seluruh ciptaan atau makhluk berasal dari Akal Universal dan Jiwa Univesal. Sementara Jiwa Universal berasal dari Akal Universal, dan Akal Universal atau Nuur Muhammad berasal dari Allah di Alam Perintah. Sebab Allah SWT menciptakan Nuur Muhammad tanpa penyebab perantara, dan ini dikiaskan melalui kata ‘Perintah.’ Dengan cara yang sama Allah SWT menciptakan semua makhluk dengan sarana Nuur Muhammad, dan semua ini dinamakan ‘Ciptaan.’ Sebagaimana firman-Nya : ‘Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.’ (QS 7: 54).

Kehendak-Nya telah memilih ruh untuk mewakili-Nya di dunia Ciptaan. Jika ruh yang dicipta didalam alam perintah ditiupkan kedalam raga manusia yang dicipta di alam penciptaan, maka ruh akan terjebak. Karena secara tiba-tiba ruh tidak mempunyai wewenang untuk mengendalikan raga secara langsung. Ruh, melalui akal hanya berfungsi sebagai penasihat jiwa, meskipun ia mempunyai potensi untuk membuka perbendaharaan misteri-misteri Illahi. Pertemuan antara ruh dan raga, akan melahirkan sesuatu yang halus didalam diri manusia, yang disebut sebagai hati (qalb) dan jiwa (nafs), maka jika ada ke empat unsur ini, sempurnalah ia disebut sebagai manusia, yang terdiri dari raga (jasad), jiwa (nafs), hati (qalb) dan ruh.

Jiwa adalah alat kekerasan Tuhan, darinya timbul segala kejahatan dan kerusakan. Jiwa tidak menyatakan kebenaran dan hati tidak berdusta. Jiwa mempunyai sifat seperti binatang yang bernama bunglon, dimanapun ia berada, ia mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan warnanya. Dalam setiap kedipan mata, ia bisa melakukan tipuan yang berlainan. Panca indera merupakan kendali jiwa. Dengan berbagai cara, ia bisa melakukan tipu muslihat dengan cara yang amat halus, ataupun dengan cara terang-terangan tergantung kepada siapa ia berhadapan, sungguh luar biasa!

Seorang bayi yang dilahirkan, akan memancarkan aroma wangi yang mengingatkan seseorang akan masa kecilnya. Pertanda kesucian masih melekat didalam dirinya. Ia menangis keras saat mencium bau dunia ini dan syaithon memukul pinggangnya, babak baru kehidupan sebagaimana yang Digariskan akan dimulai. Sebelum empat puluh hari, ia masih suci, air seninya pun tidak dianggap najis oleh agama dan tidak membatalkan wudhu seseorang. Ruh atau akalnya masih tidur, yang dominan adalah jiwa hewaniyahnya atau naluri, sehingga yang dibutuhkan hanyalah minum air susu ibundanya, menangis jika haus dan tidur.

Jika ruh di ibaratkan seorang suami dan istrinya adalah jiwa, maka anaknya adalah raga atau panca indera, seperti Adam yang mempunyai istri Hawa dan anak-anaknya yang bernama Habil dan Qobil yang mewakili kebaikan dan keburukan. Adam mewakili ruh dan Hawa mewakili jiwa. Hawa terhasut oleh ajakan Iblis lalu mempengaruhi suaminya, yang pada akhirnya keduanya terjerumus. Oleh karenanya, setiap ‘keinginan diri’ disebut menggunakan istri nabiyullah Adam,as., yaitu Hawa Nafsu. Ruh mempunyai penasihat yang bernama akal dan jiwa mempunyai perdana menteri yang bernama syahwat. Setiap saat jiwa selalu dipengaruhi oleh tentara akal dan pasukan syahwat agar berbuat sebagaimana keinginannya. Akal selalu mengajak kepada ingatan akan Tuhan, sedangkan syahwat selalu mengajak kepada kesenangan terhadap ciptaan Tuhan atau dunia. Jiwa selalu dalam keadaan yang demikian, yang terombang ambing oleh dua kekuatan yang berbeda, oleh karenanya ia disebut sebagai jiwa. Akal akan terus tumbuh sedikit demi sedikit seiring dengan tumbuhnya raga, melalui pengaruh hubungan yang terus berubah antara kedua orang tuanya. Sampai dengan akalnya dianggap dewasa dan dapat membedakan yang baik dan buruk, barulah hukum syariat agama berlaku atasnya. Itulah mengapa Rasulullah,saw., bersabda : ‘Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah lalu kedua orang tuanyalah yg menjadikannya sebagai seorang yahudi, nasrani dan majusi (penyembah api). Apabila kedua orang tuanya muslim, maka anaknya pun akan menjadi muslim. Setiap bayi yg dilahirkan dipukul oleh syetan pada kedua pinggangnya, kecuali Maryam dan anaknya.’

Dimulailah proses yang ajaib dari seorang manusia, apakah ia senang hidup didalam dunia kegelapan atau berusaha berjuang untuk kembali sebagai ia dicipta di alam perintah, suci dan mengenal Tuhan. Inti daripada jiwa adalah hawa nafsu, dalam hadis disebutkan : ‘Segala sesuatu memiliki jiwa, dan jiwa dari jiwa adalah hawa nafsu.’ Apabila jiwa disapih dari hawa nafsu dengan cara dipisahkan darinya, ia akan berhenti mengatur, apalagi merongrong untuk melakukan keburukan dan jika bergerak menjauh dari syahwat dan mendekati tahap perdamaian dengan Akal, maka hati mengalami suatu perubahan yang sesuai dengan itu, dan berlaku pula sebaliknya. Disinilah dimulainya Perang Suci melawan diri sendiri, disinilah menjadi wajib hukumnya mempunyai seorang Pembimbing Ruhani untuk menuntun jalan pulang sebelum kematian tiba. Melalui perjuangan yang sungguh-sungguh dan berperang melawan jiwa, seseorang akan mengalami pengalaman-pengalaman mistis yang terus berubah sebagai bentuk Anugerah dari Allah yang disebut sebagai Maqom atau Kedudukan. Ia akan menaik dari alam Nasut ke alam Malakut, atau Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya ‘Ia akan terbang sebagaimana laron menuju cahaya yang kemudian mati terbakar.’ Maksudnya akan terbakar kediriannya atau nafsnya, menjadi fana terhadap dirinya sendiri.

Demikian para sahabat, semoga Allah SWT menolong kita.

Selasa, 28 Juni 2016

JAUH DAN DEKAT

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Yang mulia Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Berdekatlah kepada seorang ulama, yang manakala engkau melihatnya maka Allah SWT di ingat.’ Wejangan ini mengingatkan kepada sebuah hadis yang mengatakan suatu ketika Hanzhalah,ra., sedang bersama Rasulullah,saw., dan berkata : ‘Ketika berada bersamamu, kemudian engkau mengingatkan tentang surga dan neraka, kami sekan-akan melihat keduanya dengan jelas. Namun, ketika kami beranjak dari hadapanmu, kami kembali sibuk dengan kehidupan dan istri kami, serta banyak lalai.’ Mendengar itu Rasulullah,saw., bersabda : ‘Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Wahai Hanzhalah, seandainya kalian selalu berada dalam keadaan seperti ketika bersamaku dan senantiasa mengingat Allah (dzikrullah), niscaya malaikat akan menyalami kalian di jalan-jalan dan di pembaringan kalian, Namun, sesaat, sesaat.’

Apa yang dirasakan oleh sahabat Hanzhalah,ra., dirasakan pula oleh murid-murid tarekat yang berdekat dengan mursyidnya, meskipun dengan kadar yang berbeda. Karena ulama adalah warosyatul anbiya atau pewaris para nabi, dan seorang mursyid ditengah-tengah muridnya bagaikan Rasulullah,saw., di tengah sahabat-sahabatnya. Ulama adalah orang yang menjatuhkan rasa hurmat dan patuh serta mengambil ilmu dari ulama terdahulu dan seterusnya bertingkat-tingkat (nuurun ala nuur) yang pada akhirnya sampai kepada Abu Bakar as Siddiq,ra., atau Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., yang kedua orang agung ini meneguk air ilmunya langsung dari cawan kenabian, yaitu Rasulullah,saw. Atau dalam istilah tasawuf disebut sebagai golden chain atau ratai emas atau ahli silsilah, yang sekarang dikenal dengan sebutan mursyid atau pembimbing ruhani.

Yang dimaksud degan ‘berdekat’ adalah yang terhubung secara ruhani, meskipun phisiknya jauh, dalam dunia kesufian disebut sebagai robithoh. Abu Lahab dan Abu Jahl secara phisik berdekat dengan Rasulullah,saw., namun tidak terhubung secara ruhaniyah, maka mereka tidak dapat mengambil manfaat keimanan dan malah memusuhinya. Kisah, Abu Lahab menggenggam kerikil di telapak tangannya, dan bertanya kepada Rasullulah,saw., : ' Wahai Muhammad katakan, benda apa yang ada dalam genggamanku?.' Rasulullah,saw., diam lalu secara ajaib batu kerikil itu mengeluarkan suara yang didengar oleh Abu Lahab bahwa tidak ada tuhan yang aku sembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Mendengar itu Abu Lahab tidak juga menyatakan ke imanannya, melainkan pergi sambil berkata bahwa Rasulullah,saw., adalah penyihir. Oleh sebab itu, melatih diri untuk selalu robithoh kepada guru, merupakan perbuatan riyadhah yang sangat bermafaat bagi kemajuan ruhani. Di karenakan secara spiritual akan tersambung kepada Rasulullah,saw., melalui mata ratai ahli silsilah tadi. Seorang ulama mengatakan bahwa dzikrullah yang disertai dengan robithoh bagi seorang murid kepada gurunya lebih baik 10.000X dari pada dzikrullah tanpa robithoh.

Cinta itu bersambut, tidak bisa dikatakan cinta manakala seseorang mengaku mencintai orang lain, tetapi orang lain itu tidak mencintainya. Demikian pula bila seorang murid mencintai gurunya tentu sang guru juga mencintainya. Cinta mempunyai tanda, salah satunya adalah dengan banyak mengingat dan menyebut-nyebut namanya yang disertai dengan taat atau disiplin dalam mengerjakan seluruh pekerjaan tarekat yang di ijazahkan kepadanya, terlepas sang murid berada dekat atau jauh secara phisik dari gurunya. Bila sudah demikian, robithoh yang dilakukan akan memperoleh saluran cahaya keruhanian yang besar, yang akan tersambung kepada Rasulullah,saw., melalui jalur para ahli silsilah secepat kedipan mata. Mustahil cinta dari seorang guru kepada muridnya diukur dari banyaknya pemberian materi, karena, siapapun bisa saja memberi materi, bahkan orang yang bukan murid atau bukan seiman sekalipun. Bisa jadi murid yang berada jauh ditengah hutan dan belum pernah memberikan materi, lebih dicintai oleh gurunya ketimbang yang lain.

Selepas melakukan khalwat selama 10 hari, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada murid-muridnya : ‘Saya melihat kalian telah gigih melakukan peribadatan selama khalwat, khususnya dalam berdzikir kecuali robithoh.’ Ucapan ini sungguh menusuk dan menyayat hati, semua murid lengah, dikarenakan pelaksanaan khalwat di rubat dan posisi murid-murid bersebelahan dengan sang mursyid, menjadikan hal yang fundamental didalam beribadah yang berupa robithoh terlupakan. Hal ini merupakan bukti bahwa masih banyak murid-murid lebih mengutamakan bentuk ibadah yang berupa cabang dari pada yang pokok.

Demikian semoga ada manfaatnya.


ZUHUD DAN UZLAH

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Banyak pendakwah yang masih baru, salah mengartikan tentang zuhud. Yang dimaksud zuhud oleh mereka, adalah meninggalkan kehidupan bermasyarakat lalu mengasingkan diri dan tidak ada tuntunannya dalam beragama, demikian ucapnya disalah satu masjid di Bogor pada kultum di bulan Ramadhon. Ucapan ini salah kaprah, perlu penjelasan agar mereka tidak berburuk sangka kepada para Zahid (orang yang zuhud). Dalam terminologi tasawuf menyendiri disebut sebagai khalwat dan menyendiri ditengah keramaian disebut khalwat dar ajuman sedangkan hidup menyendiri disebut uzlah. Jadi yang mereka maksud adalah uzlah bukan zuhud. Uzlah tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dan diperbolehkan bila diperlukan. Orang yang memilih uzlah karena beranggapan bahwa dirinya tidak memberikan manfaat melainkan mudharat bagi masyarakat disekitarnya. Mudahnya begini, orang yang bicaranya selalu meyakiti orang lain akan lebih baik baginya bila diam, sedangkan untuk para ulama, bicaranya akan lebih baik daripada diamnya. Tidurnya orang yang jahil merupakan ibadah, tetapi terjaganya para mursyid lebih baik daripada tidurnya. Oleh sebab itu orang yang mempunyai kesadaran akan kelemahan dirinya akan melakukan perbaikan, salah satu jalannya dengan uzlah. Rasulullah,saw., pun pernah beruzlah di gua hira selama beberapa waktu, yang akhirnya menerima wahyu yang pertama. Semoga Allah menambahkan ilmu yang benar dan bermanfaat kepada mereka.

Sedangkan zuhud, mempunyai pengertian yang berbeda dari pada uzlah. Zuhud mempunyai tahap awal dan akhir. Tahap awal adalah berupaya untuk memperoleh keadaan ruhani yang lebih tinggi dengan cara melatih diri agar hatinya tidak terikat oleh dunia (mujahadah), atau boleh dikatakan sebagai memusuhi dunia. Dimulai dari upaya, lama kelamaan akan menjadi teguh, dan bila sudah teguh dalam istilah tasawuf disebut sebagai 'maqom zuhud'. Bukankah rukun Islam mengajarkan orang muslim untuk zuhud? Seperti meninggalkan dunia untuk mengerjakan shalat lima waktu, meninggalkan yang halal pada siang hari, berbagi harta dan mensucikan diri dengan pergi haji hanya untuk Allah SWT. Lawan daripada zuhud adalah mencintai dunia (hubbud dunya). Banyak ayat al Qur'an dan hadis yang melarang mencintai dunia, karena mempunyai konsekwensi yang sangat buruk. Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa kebalikan dari sesuatu yang dilarang oleh agama mempunyai manfaat yang baik bagi orang lain dan dirinya sendiri. Pada umumnya, robohnya bangunan keimanan dikarenakan orang mencintai dunia (hubbud dunya) yang menjadikan dirinya kikir (bakhil), sedangkan orang yang zuhud akan menghiasi imannya dengan bangunan keyaqinan yang indah. Orang yang zuhud bisa saja mempunyai harta yang banyak, namun hati mereka tetap terpusat kepada Allah SWT dan tidak terganggu atau terpengaruh oleh rayuan dan pesonanya, oleh karenanya ia menjadi dermawan. Sedangkan tahap akhir dari pada zuhud sebagaimana yang Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah katakan bahwa : ‘Gugurnya keberupayaan memusuhi dunia, melainkan hatinya sudah hampa dari dunia.’

Dizaman Rasulullah,saw., ada kelompok sahabat yang melakukan zuhud, mereka selalu berada di serambi rumah beliau,saw. Dan disebut sebagai ahli shuffah. Karena kezuhudan mereka, tempat ini sekarang disebut sebagai raudhah. Orang yang ke Madinah akan berebut untuk mendapatkan tempat di raudhah, karena mereka menyadari ketinggian fadhilah atau keutamaannya bila melakukan peribadatan disana. Abu Bakar as Siddiq,ra., menyerahkan seluruh harta bendanya untuk Islam, sedangkan Umar bin Khatab.ra., setengahnya. Yang pertama dalam tahap akhir zuhud sedangkan yang kedua masih dalam keadaan bermujahadah.

Darimana zuhud lahir? Setiap perkawinan niscaya akan melahirkan sesuatu, sebagai contoh : perkawinan Pena dan Lembaran Yang Terjaga melahirkan seluruh ciptaan, perkawinan langit dan bumi melahirkan kehidupan, perkawinan ruh dan badan melahirkan hati dan jiwa dan perkawinan manusia akan melahirkan manusia. Perkawinan antara Nuurullah dengan hati maka akan melahirkan zuhud. Bila sudah zahud, Nuuurullah akan memancar ke seluruh jiwa dan raga, sehingga matanya dapat melihat dan mengambil pelajaran, telinganya bisa mendengar dan menghayati dengan baik, mulutnya sibuk berdzikir dan seluuh jiwa dan raganya akan beribadah dengan kualitas yang yang berbeda dari sebelumnya (ubudiyah). Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya sebagai diperolehnya kejelasan-kejelasan.

Penjelasan dari Qurasy Shihab,qs., yang memberikan analogi Nuurulah sebagai frekeunsi radio sungguh sangat tepat. Beliau ditanya, mengapa orang yang rajin beribadah tetapi tidak banyak berpengaruh terhadap perilaku buruknya? Dijawab: 'Orang yang ingin mendengarkan siaran radio harus mengetahui frekuensi yang tepat, tanpanya mustahil memperoleh kontak, meskipun radio itu didekatkan ke pusat siaran sekalipun. Demikian juga, meskipun Allah berada lebih dekat dari pada urat leher manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak dapat merasakan kehadiran-Nya, karena masalahnya seperti radio tadi yang tidak tepat frekuensinya.'

Tidak ada yang bisa sampai kepada matahari kecuali hanya cahaya matahari saja. Karena ia terbit darinya dan tak bercerai siang ataupun malam dengannya. Matahari hanya dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahayanya, mataharipun tak dapat dilihat. Namun cahaya matahari, bukanlah matahari. Cahaya matahari adalah getaran transversal dan longitudinal dari matahari itu sendiri. Rasulullah adalah satu-satunya manusia akhir zaman yang mendapat Nuurullah dalam dadanya. Mutlak jika hendak mendapatkan frekuensi Allah atau Nuurullah, harus berpegangan pada ujung dari Nuur itu yang berada dalam dada Rasulullah. Caranya dengan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah serta memperbanyak sholawat atas Nabi,saw. Ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa amal seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT dan akan mengambang diantara langit dan bumi, tanpa bershalawat kepada Rasulullah,saw.

Sebuah riwayat mengatakan bahwa ada seorang ahli shuffah meninggal dunia. Di sampingnya ditemukan dua keping dinar. Melihat itu Rasulullah,saw., bersabda : ‘Ini dua barang dari neraka.’ Riwayat ini perlu mendapatkan penjelasan, agar tidak berburuk sangka kepada orang-orang yang dilapangkan harta bendanya. Banyak sahabat Rasulullah,saw., meninggal dunia dan meninggalkan harta yang tidak sedikit, tetapi beliau,saw., tidak bersabda seperti itu. Sebab, mereka tidak menyembunyikan sesuatu yang berlawanan dengan penampilan lahirnya. Sementara orang itu menampakan kemisikinan padahal memiliki dua dinar. Banyak ulama di zaman kini yang mengaku miskin, padahal hartanya banyak, saldo tabungannya melimpah dan hidupnya mewah. Ketika apa yang disembunyikan tampak maka Rasulullah,saw., bersabda seperti diatas. Oleh karenanya ada pepatah mengatakan bahwa lebih baik berpura-pura kaya daripada menampakkan kemiskinan yang bertujuan agar tidak ada kesan meminta-minta, daripada orang yang kaya berpura-pura miskin, yang menandakan ia bakhil (kikir) dan takut bilamana ada orang yang meminta bantuan kepadanya. Allah SWT banyak memuji orang yang miskin tetapi menyembunyikan kemiskinannya dan berhenti dari meminta kepada makhluk, karena hal ini perlambang kefakiran, dan kefakiran adalah tasawuf. Sedangkan bagi orang yang bakhil, Allah SWT berfirman : 'Sekali-kali janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.' (QS. 3 : 181).

Banyak hadis berkenaan dengan masalah kekikiran ini, diantaranya Rasulullah,saw., bersabda : 'Orang yang bakhil jauh dari Allah, jauh dari surga dan jauh dari manusia,' dan 'Lalu penyakit apalagi yang lebih parah dari pada sifat bakhil.' dan 'Hati-hatilah kalian terhadap perbuatan kikir, karena sifat kikir telah menyesatkan orang-orang yang sebelum kalian. Mereka menghalalkan barang yang telah diharamkan, mengalirkan darah dan memutuskan hubungan silaturahmi karena terdorong oleh sifat-sifat kikir mereka.' dan 'Bukanlah termasuk orang yang beriman apabila seseorang di antara kalian tidak mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.' dan 'Seorang yang kaya kemudian melihat saudaranya dalam keadaan sengsara dan membutuhkan pertolongan, tetapi ia bersikap acuh tidak mau mengulurkan tangannya memberi pertolongan atau santunan, maka ia termasuk orang yang paling jauh dari rasa keimanan.'

Nah, kezuhudan berkaitan erat dengan menghilangkan kekikiran dan meningkatkan kejujuran, orang yang zuhud akan menjadi dermawan dan sifat kejujurannya akan tumbuh sperti pohon yang kokoh, disebabkan hatinya hampa terhadap dunia dan menjadikan dirinya tidak akan melakukan siasat buruk yang merugikan pihak lain. Oleh sebab itu, sangat bermanfaat bilamana sang Zahid adalah pedagang. Karena bagi pedagang yang jujur, Rasulullah,saw., bersabda : ‘Pedagang yang jujur akan dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, para syuhada dan orang saleh.’ Karena, pedagang yang jujur akan menyampaikan amanat dan nasihat, lahir dan batin mereka bersih, berjihad melawan dirinya terhadap rayuan akan berolehnya keuntungan yang besar, dan selalu mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.

Demkkian para sahabat, semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita.

Kamis, 23 Juni 2016

LEBARAN DAN KETUPAT

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Beberapa sahabat mengiringi Syaikhuna (semoa Allah merahmatinya) berziarah ke makam Sunan Kalijaga,ra. Dalam perjalanan menuju ke makam, banyak dijumpai kios-kios kecil yang menjual berbagai macam perlengkapan sholat dan wirid, tetapi ada juga yang menjual golok, pedang dan pisau. Setelah selesai melakukan ritual ziarah, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berhenti ditempat ini, lalu mengambil golok dan ditebaskan ke tangan kirinya. Ajaib, tangan beliau tidak terluka sedikit pun dan golok menjadi bengkok. Penjual golok tercengang, kagum, tetapi terlihat sedikit bingung lantaran goloknya bengkok. Untuk menyenangkan sang penjual, seorang murid membeli golok dimaksud dengan harga yang baik. Ditanya oleh murid-muridnya alasan mengapa beliau melakukan yang demikian, dijawab : ‘Kegagahan Sunan Kalijaga sangat terasa dan membias kedalam dada, maafkan saya.’

Jika rasa gagah atau ketinggian derajat seorang wali dapat dirasakan demikian hebatnya, maka ajaran dan gagasan serta wejangannya tentu dapat juga menggugah hati yang sedang kacau, namun berlaku bagi orang yang yaqin. Sebagai bentuk pengajaran untuk masyarakat jawa pada waktu itu agar selalu mawas diri (muhasabah) dan melakukan tindakan yang terpuji, adalah melakukan pendekatan secara budaya, sambil menyisipkan pokok ajaran Islam. Salah satu karya Sunan Kalijaga,ra., yang fenomenal namun terlihat sederhana, adalah perayaan setelah selesai melakukan puasa sunah pada bulan Syawal yang dimulai dari tanggal 2 hingga 7 (enam hari), dengan sebutan ‘Lebaran Ketupat’ atau dalam Bahasa jawanya disebut sebagai ‘Bakdo Tupat.’ Dinamai lebaran ketupat, karena makanan utamanya adalah ketupat yang diberi lauk pauk yang pada umumnya dibuat dari sari kelapa atau santan. Bahan ketupat terbuat dari beras dan dibungkus janur lalu di rebus lama. Beras berasal dari pohon yang selalu merunduk sebagai analogi tawadhu, sedangkan janur atau daun kelapa diambil dari akar bahasa Arab Ja'a nur (dibungkus cahaya). Yang maksudnya adalah bila seseorang sudah selesai menjalankan puasa wajib dan ditambah dengan puasa sunah serta mengakui segala kesalahannya (mujahadah), maka hatinya akan seperti kupat yang dibelah, putih, bersih dan bercahaya.

Ternyata makna kupat adalah inti sari dari tasawuf, yaitu mengenal diri atau mengakui kesalahan-kesahalan diri yang dalam Bahasa jawa disebut ‘ngaku lepat’ yang disingkat menjadi ‘kupat’ atau dalam Bahasa Indonesia disebut ‘ketupat’. Di wujudkan dalam bentuk sungkeman sebagai penghormatan kepada orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan. Saat ini menjadi populer dengan ucapan ‘mohon maaf lahir dan batin’ yang disampaikan kepada keluarga, tetangga, kerabat, sahabat dan teman saat berjumpa selepas selesai berpuasa satu bulan penuh. Sedangkan setelah mampu mengakui kesalahan ‘ngaku lepat’, disarankan melakukan empat tindakan atau dalam bahasa jawa disebut sebagai ‘laku papat’ yang disingkat menjadi ‘kupat’. Oleh karenanya kupat mempunyai dua makna, yakni ngaku lepat dan laku papat. Empat tindakan yang dimaksud adalah, yang pertama memohon maaf kepada setiap orang yang dikenal dan dijumpainya, yang kedua bersedekah atau zakat untuk kaum dhuafa, ke tiga menjaga tali silaturahim dan yang ke empat tidak mengulangi perbuatan yang tercela (Taubat), menjaga hati agar tetap bersih (Safa), menjauhi perkara yang diragukan (Wara) serta melenyapkan kedirian (Fana).

Ini adalah salah satu bukti bahwa Sunan Kalijaga,ra., atau para wali songo mengajarkan tasawuf di negeri kita dengan pendekatan budaya dan mendahulukan kasih sayang serta menjauhi paksaan. Demikian pula yang dilakukan oleh Sunan Giri,ra., dan Sunang Bonang,ra., dengan menggubah lagu daerah dan permainan rakyat yang berjudul 'cublak-cublak suweng dan lir-ilir serta tombo ati. Pendekatan yang demikian indah pada abad ke empat belas yang dilakukan oleh para waliyullah atau wali songo, dikatakan bid'ah dan sesat oleh kelompok tertentu yang baru lahir di abad ke sembilan belas, naudzubillah mindzalik tsuma naudzubillah mindzalik. Semoga Allah menuntun-Nya ke jalan yang lurus.

Demikian semoga ada manfaatnya.

Selasa, 21 Juni 2016

POKOK DAN CABANG

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Di dunia ini tidak ada sekolah yang secara formal menyediakan pendidikan terhadap tahapan evolusi jiwa, kecuali hanyalah tentang bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia secara ilmiah atau biasa yang disebut dengan psikologi, praktisinya disebut sebagai psikolog. Meskipun orang yang ingin menjadi psikolog tidak harus merasakan sakit mental terlebih dahulu. Pengetahuan tentang cara berenang dengan berenang itu berbeda, begitu pula pengetahuan tentang seluk beluk cara membuat santan berbeda dengan membuat santan. Orang yang mempelajari seluk beluk tentang cara berenang dan cara membuat santan belum merasakan ‘rasa’ saat berenang dan ‘rasa’ santan. Meskipun para psikolog dapat secara ilmiah menulis gambaran tentang rasa-rasa itu, yang didapat dari penelitian terhadap orang-orang yang pernah merasakannya, tetapi mereka jauh dari rasa-rasa itu sendiri. Oleh karenanya terasa aneh jika seorang yang mengajarkan cara berenang dan cara membuat santan tetapi belum pernah berenang dan makan santan. Jika orang seperti ini dijeburkan kedalam sungai tentu ia akan berteriak minta pertolongan dari orang lain.

Seseorang yang sehat secara lahir belum tentu sehat secara batin. Untuk memperoleh informasi yang akurat tentang kesehatan tubuhnya, seseorang dapat melakukan general checkup ke laboratorium. Jika hasil laboratorium menyatakan sehat secara lahir, tetapi masih merasakan sesuatu yang tidak mengenakan didalam dirinya, maka bisa saja ia terjangkit sakit secara kejiwaan. Biasanya mereka akan terus melakukan pendekatan secara medis dan pergi ke psikolog untuk mendapatkan terapi penyembuhannya.

Kisah, ada seorang pemuda yang merasa kematiannya sudah didepan mata, hal ini menjadikannya ada sesuatu rasa yang sangat menghimpit jiwa dan dirasakan hampir pada setiap saat. Sudah dicoba dengan berbagai cara untuk menghilangkannya, tetapi gagal. Dimulai dari refresing keberbagai tempat yang nyaman, baik didalam negeri maupun luar negeri, bahkan pergi haji dan umrah, tetapi tetap saja perasaan itu ada dan sangat semakin mengganggu jiwanya. Pertemuan yang rutin kepada psikolog yang top dan meminum obat yang disarankan juga belum membuahkan hasil. Akhirnya ia mencoba penyembuhan secara spiritual dan pergi mengunjungi seorang ulama atas petunjuk dari temannya. Ia bertemu dengan seorang mursyid atau pembimbing ruhani dari sebuah tarekat. Mursyid tersebut berkenan menerima sebagai muridnya dan diberikan pekerjaan dzikir dan wirid yang harus dikerjakan pada setiap waktu terntentu. Hal tersebut dikerjakannya dengan tekun dan rasa hurmat. Dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan, ia sembuh dari penyakit kejiwaannya. Orang ini menyadari betapa mahal dan langka ilmu yang diperolehnya dan tidak bisa diukur dengan harta benda dunia. Maka setiap ia menyebut nama mursyidnya, matanya berkaca-kaca dan dadanya sesak.

Sakit kejiwaan adalah buah dari menanam perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Semakin sering seseorang menanamnya, maka akan semakin besar kemungkinannya menuai hasilnya dalam bentuk sakit yang demikian. Jika tidak diperoleh hidayah, maka orang ini tidak saja menderita di dunia tetapi juga di akhirat nantinya, karena ia kembali kepada Tuhannya dalam keadaan jiwa yang sakit dan kotor. Di dalam Al Qur’an Allah SWT memuji orang-orang yang membersihkan jiwanya dengan sebutan ‘Sungguh orang yang beruntung’ dan sebaliknya yang mengotori jiwanya disebut sebagai ‘Sungguh orang yang merugi.’ Sebelum menyatakan ini, Allah bersumpah dengan sumpah yang besar dan tidak ada satu surat pun yang sumpah-Nya lebih banyak dan besar dari pada surat ini. Mengapa membersihkan jiwa menjadi sangat penting? Karena, terdapat perintah dari Allah SWT : 'Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali hanyalah untuk beribadah kepada-Ku.’ Dan tidak mungkin seseorang dapat beribadah kepada-Nya dengan benar dan tepat tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu. Nah, untuk mengenal-Nya dibutuhkan pengenalan terhadap dirinya sendiri terlebih dahulu. Sebagaimana hadis yang mengatakan bahwa ‘Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.’ Sedangkan untuk mengenal diri sendiri tidaklah mungkin dilakukan kecuali atas bimbingan seorang mursyid, karena Allah SWT mengkaruniai ilmu dan rasa tentang seluk beluk hati dan cara pembersihannya. Ilmu yang diajarkan bukan berupa pengetahuan saja, melainkan wajib dikerjakan agar mengetahui 'rasanya'. Sang mursyid menyebutnya sebagai 'Ma'lam ya sulam yarif, kerjakan dahulu baru rasakan.' Kemudian setelah mengerjakan ilmu yang diketahuinya maka Allah akan mewariskan ilmu yang belum diketahuinya, 'Man amila bima alima warratsahullahu ilma maa lam ya'lam." Hal tersebut jelas sekali bahwa segala sesuatu ada pokok dan ada cabangnya, atau ada pondasi dan ada bangunannya. Tidak mungkin cabang ada tanpa pokok dan demikian pula bangunan ada tanpa pondasi.

Di negeri kita agama Islam adalah warisan dari orang tua, jarang yang menemukannya sendiri atau mempelajari terlebih dahulu, termasuk orang-orang yang sekolah di negeri Arab sekalipun. Tanpa disadari mereka terjebak kepada peribadatan yang bersifat cabang dari pada yang pokok. Allah SWT berfirman : ‘Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal’ (QS 47 : 19). Jelas sekali bahwa perintah tauhid mendahului perintah untuk memohon ampun. Atau dalam ayat lain dapat dijumpai bahwa perintah tauhid mendahului perintah takwa. Rukun Islam, rukun Iman dan ihsan, semuanya diawali dengan tauhid, yang pertama adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang lain kecuali Allah, yang kedua adalah percaya kepada Allah dan yang ketiga adalah jika beribadah seolah-olah 'merasa' melihat Allah atau 'merasa' dilihat Allah. Sehingga tauhid adalah pokok sedangkan bentuk peribadatan lain adalah cabangnya. Seorang mursyid selalu mengawali setiap tindakannya dengan Basmallah dan dilanjutkan dengan sebuah doa ‘Illahi anta maqsudi waridhoka matlubi a’tini mahabataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin. Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ya Allah Engkaulah yang aku maksud, ridho-Mu yang aku harapkan dan karuniakan rasa cinta kepada-Mu dan mengenal-Mu.’ Atau memurnikan taudid terlebih dahulu didalam hati barulah kemudian melakukan tindak peribadatan yang lain, agar cabang atau bangunannya tidak sia-sia lantaran tidak ada pokok atau pondasinya.

Bukankah pertanyaan yang diajukan kepada seorang didalam kubur berkenaan dengan masalah ushul (pokok-pokok agama), bukan tentang furu (cabang}? Pertanyaan yang muncul adalah siapakah Tuhanmu? Apa agamamu? siapa nabimu? Jadi bukan tentang amal apa yang dilakukan. Juga di Hari Kiamat yang pertama ditanya adalah tentang iman kemudian baru tentang amal. Lalu amal tersebut diberi pahala sesuai dengan kadar kekuatan ushul (pokok), yaitu niat.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Sejak kecil sampai usia tua kebanyakan manusia menggunakan jiwa dan raganya hanya untuk mengurus dunia dan lemah melakukan riyadhah dan mujahadah sehingga tauhid tetap samar.'

Demikian semoga Allah menyayangi kita semua.

Jumat, 17 Juni 2016

MURID DAN MURAD

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Seseorang tidak bisa memaksa orang lain untuk menghentikan aktifitas dzikir berjamaah, ziarah kubur, tahlilal atau merayakan maulid Nabi,saw., meskipun hukumnya sunah. Bahkan orang juga tidak diperbolehkan memaksa orang lain untuk melakukan shalat, puasa, zakat dan berhaji meskipun hukumnya wajib. Menyampaikan peringatan itu merupakan kebaikan, akan tetapi memaksakan kehendak itu merupakan keburukan, meskipun tentang agama, karena tidak ada paksaan dalam beragama. Sesungguhnya hanya dirinya yang dibebankan untuk semua itu. Orang lain tidak dapat meraih kebaikan dari orang lain sedikit pun, tetapi ia meraih kebaikan untuk dirinya sendiri dan akan berada dalam timbangannya sendiri, bukan timbangan orang lain. Tidak ada dosa orang lain dapat ditanggung oleh orang lain, terdapat ayat Al Qur’an menyatakan tentang ini.

Sesungguhnya seorang murid diperintahkan untuk meluruskan nafsnya yang hanya satu, bukan nafs orang lain. Ia belum mengenal nafsnya, lalu bagaimana mungkin ia bisa mengenal nafs orang lain? Ini sebuah bukti bahwa seorang murid sedang dikendalikan oleh nafsnya bukan mengendalikannya. Orang yang mampu dan sedang memperbaiki sesuatu, karena ia mengetahui kerusakannya dan mempunyai kesadaran serta kemauan yang keras, bahwa bila didiamkan akan menjadikan kerusakan yang lebih parah. Tidaklah mungkin bagi seorang murid dapat mengetahui penyakit yang sedang dideritanya, kecuali melalui perjuangan yang gigih dan atas bimbingan seorang guru spiritual. Karena jiwa ini laksana seekor sapi yang makanannya adalah penyakit hati. Oleh sebab itu, jiwa merasa nyaman bila seseorang sedang mengibarkan bendera penyakit hatinya. Dirumah-rumah orang tua dulu, banyak dijumpai lukisan seseorang sedang menggembala sapi. Yang artinya bahwa tanpa penggembala, sapi akan tumbuh liar dan tidak mengetahui tujuan untuk apa ia dicipta. Sapi tidak pernah mengangkat kepalanya saat makan, kecuali setelah memenuhi keinginan dan hajatnya di dunia, tidak heran bila binatang ternak dicela dalam Al Qur'an. Sungguh ironis, bila murid memempatkan dirinya sebagai penggembala padahal ia adalah seekor sapi. Ia hanya mengetahui sebagian kecil dari kebaikan tetapi tidak mengetahui sebagian besar kebaikan lainnya. Terhadap sesuatu yang ia tidak ketahui, ia bodoh dan tidak berupaya untuk mengetahuinya. Kerusakan yang ia ketahui justru ia abaikan proses perbaikannya, ia tinggalkan mujahadah dan malah mencari pujian.

Seorang murid yang senang memberi nasihat akan sulit menerima nasihat dari orang lain. Jika ia suka berbicara maka ia akan benci dan merasa marah bila ada orang lain yang berbicara. Bila ia senang memimpin maka ia tidak suka dipimpin. Itulah karakter nafs bagi seorang murid, tinggi hati! Jika seorang murid pergi ke kholaqoh dzikir tanpa niat yang lain kecuali dzikrullah dan tidak ada orang yang mengenalnya dan ia tidak mengenal seorang pun, maka ia akan lebih mudah selamat dari serangan musuhnya yaitu nafsnya atau dirinya sendiri. Tetapi jika kehadirannya ingin mendapat perhatian dari orang yang dikenal dan orang-orang mengenalnya, maka seluruh perbuatannya adalah ujian baginya, dan mustahil bisa lulus dari ujian ini. Amalnya akan musnah, hangus terbakar oleh penyakit-penyakit hatinya, tetapi ia menyangka telah beramal yang baik.

Wajar jika arti murid dalam dunia tasawuf adalah yang berkehendak dan murad adalah yang dikehendaki. Seharusnya kehendaknya ditujukan untuk mencermati dan meniliti dirinya sendiri yang kemudian memperbaikinya, namun ditengah perjalanan kehendaknya bisa berubah ingin memperbaiki orang lain. Selintas memberi nasihat dan menyampaikan ilmu kepada orang lain seperti sebuah kebaikan, tetapi karena jiwanya belum siap, maka akan menjadi keburukan baginya. Tugas seorang murid berbeda dengan murad, jika murid mencoba mengambil alih tugas murad, maka akan gagal dan membahayakan bagi perkembangan nafsnya. Tidaklah mungkin sapi menggembala sapi.

Amal saleh yang dilakukan oleh seorang murid yang belum istiqomah dalam melaksanakan pekerjaan dari gurunya dan tidak menyadari tentang penyakit-penyakit hatinya atau kelemahannya, merupakan makanan yang empuk bagi perasaan tinggi hati. Itulah salah satu penyebab tinggi hati berkuasa dalam jiwa dan melahirkan sikap meremehkan orang lain. Inilah salah satu penyakit hati yang umum menjangkiti para murid.

Murid yang baik akan menemukan penyakit-penyakit hatinya dalam perilaku lahir maupun batin didalam perjalanan spiritualnya, semakin teguh mendawamkan dzikir dan ubudiyah, maka semakin sering pula ia menjumpainya. Sesungguhnya inilah bentuk sajian ruhani dari Allah SWT agar sang murid mengenal dirinya, melalui pengenalan terhadadp penyakit-penyakit hatinya, lalu berupaya menemukan obatnya. Bukan menikmati penyakitnya sebagai makanan utama jiwanya. Jiwanya harus diajak berpuasa dari menikmati hidangan penyakit jiwanya, dengan cara memeranginya (mujahadah).

Demikian para sahabat, semoga Allah SWT menolong kita semua.

Selasa, 14 Juni 2016

KEBAIKAN DAN KEBURUKAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Guru kami tercinta Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : 'Tasawuf adalah penyucian diri.'

Penyucian diri adalah hijrah dari kehidupan yang buruk menuju kepada kehidupan yang baik. Kehidupan adalah perbuatan dan perbuatan tanpa niat akan sia-sia. Sebagaimana hadis yang mulia mengatakan bahwa seluruh perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan. Oleh karenanya sebelum memasuki alam kesucian harus dimulai dengan niat dan tekat yang kuat, sebagaimana mendaki gunung akan dijumpai beraneka ragam rintangan dalam perjalanannya, maka tanpa sebuah niat dan tekad yang kuat akan sia-sialah perjalanannya.

Orang yang berbuat tanpa diawali dengan penyucian diri maka akan sulit baginya untuk bisa berbuat kebaikan, karena adanya keburukan-keburukan yang tidak terlihat olehnya sebagai penghambat. Oleh karena itu, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Meninggalkan keburukan lebih diutamakan, baru kemudian mengejar kebaikan.’ Memperoleh ilmu tentang keburukan atau seluk beluk hati tidak mungkin bisa diperoleh, kecuali pada salah satu organisasi tarekat yang mutabaroh. Gejala ini sudah terlihat sejak di zaman Rasulullah,saw., sahabat yang belajar tentang keburukan atau kemunafikan lebih sedikit jumlahnya dibanding dengan yang belajar tentang kebaikan. Beberapa sahabat yang diketahui adalah Abu Bakar as Siddiq,ra., Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., Huzaifah al Yamani,ra., dan Abu Darda,ra. Sehinggga setiap ada pertanyaan yang menyangkut tetang hal ini, maka akan dijawab 'Tanyakan kepada Huzaifah'. Ada orang bertanya kepada Huzaifah: 'Kami melihat tuan mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah kami dengar dari sahabat-sahabat Rasulullah,saw., yang lain. Dari mana tuan memperolehnya?' Lalu jawabnya: 'Rasulullah,saw., telah menentukannya kepadaku. Orang banyak bertanya kepada Rasulullah,saw., tentang hal yang baik-baik, tapi aku bertanya dari hal yang jahat-jahat agar aku mengetahuinya dan menjauhkan daripadanya. Sedang mengenai yang baik-baik aku tidak takut ketinggalan mengerjakannya. Sesungguhnya barang siapa yang tidak kenal kejahatan, ia tidak akan kenal kebaikan.' Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Darda,ra., bahwa Rasulullah,saw., bersabda : 'Rasa cinta pada sesuatu bisa membutakan dan menulikanmu. Dunia itu lawan akhirat. Oleh karena itu, siapa saja yang mencintai dunia berarti telah buta dan tuli dari akhirat. Sebaliknya, siapa saja yang mencintai akhirat berarti telah buta dan tuli dari dunia. Nafsu itu lawan dari Tuhannya. Hawa nafsu mengajak manusia untuk menaatinya. Siapa saja yang mencintai hawa nafsu berarti telah buta dan tuli dari Allah SWT, Sebaliknya, siapa saja yang mencintai Allah SWT berarti telah buta dan tuli dari hawa nafsu.'

Dari ke dua hadis diatas, sangat jelas sekali maknanya, bahwa musuh dalam proses penyucian diri bukan berada diluar melainkan didalam diri, yaitu nafs, karena ia terus menerus menentangnya. Sifat dasar nafs adalah selalu menjauh dari perbuataan taat atau mengajak kepada keburukan-keburukan. Oleh karenanya mengetahui seluk beluk keburukan diri wajib diketahui dan setelah mengetahuinya baru dipelajari cara-cara memperanginya. Mengapa ini demikian penting? karena ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa 'Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.' Hadis ini sama maknanya sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Darda,ra. bahwa 'Siapa saja yang mencintai hawa nafsu berarti telah buta dan tuli dari Allah SWT, sebaliknya, siapa saja yang mencintai Allah SWT berarti telah buta dan tuli dari hawa nafsu. Ujung dari pada penyucian diri adalah mengenal dan mencintai-Nya atau menjadi buta dan tuli terhadap hawa nafsu. Ketaatan merupakan bangunan dari pondasi Penyucian diri, maka tidaklah mungkin berbuat ketaatan tanpa penyucian diri. Hidayah dan inayah-Nya merupakan penggerak dari proses penyucian diri ini.

Bilamana penyucian diri merupakan proses yang utama sebelum perbuatan taat, maka menjadi wajib hukumnya untuk mengetahui ilmu tentang sebab-sebab yang mendatangkan kebaikan dan menjauhkan diri dari keburukan serta hubungan yang kuat dengan Allah SWT., Syaikhuna (semoga Allah merhmatinya) menyebut sebagai ‘Tasawufan rojulu.’ Mungkin yang dimaksud dengan rojulu adalah berasal dari kata rijal atau pria, oleh sebab itu orang-orang yang berjalan dijalan penyucian diri ini disebut sebagai pria meskipun ia seorang wanita. Sebagaimana Imam Junaid,qs., menyebut syaidah Rabiyah,ra., sebagai 'pria di zamannya'.

Barang siapa yang bertekad untuk menyucikan diri dan khawatir akan kerusakannya, ia akan mencari berbagai cara dan sarana dengan pikiran yang cerdas agar ia bisa sampai kepada pengetahuan tentang cara dan sarana itu. Kisah, dua orang bersaudara setelah selesai dari pendidikannya di pesantren mencari seorang guru guna membimbingnya untuk penyucian diri, karena mereka meyakini bahwa proses penyucian diri ini tidaklah mungkin dapat dilakukannya sendiri tanpa seorang pembimbing. Selama dua tahun mereka keluar masuk hutan dan naik turun gunung untuk mendapatinya, tetapi hasilnya nihil. Lalu mereka mendirikan pesantren didaerahnya dan menyebarkan ilmu syariah yang diperoleh selama sekolah. Akan tetapi semangat untuk menemukan seorang guru tetap mendominasi hatinya. Suatu saat salah seorang itu sedang membuka internet, dilihatnya tulisan tentang tasawuf dan terdapat informasi tentang pembimbing ruhaninya. Bergegas mereka menuju kesana dan akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari selama ini. Semoga Allah menyayangi kedua orang ini dan selalu menuntunnya kejalan yang lurus. Inilah sebuah bukti bahwa Hidayah dan inayah-Nya merupakan penggerak dari proses penyucian diri ini.

Bila sudah menemukan, maka wajib hukumnya untuk mempertahankan dengan sekuat tenaga. Kemudian seluruh perberbuatan didasarkan kepada ilmu dan pengetahuan yang diperoleh dari seorang pembimbing ruhani atau mursyid atau syaikh. Sebelum berbuat harus diketahui terlebih dahulu tentang penyakit-penyakit perbuatan. Jika dianalogikan mendaki gunung, maka pengetahuan tentang jalan pendakian yang benar harus lebih diutamakan daripada proses pendakiannya. Kebutuhan seseorang akan pengetahuan tentang jiwanya, atau musuh utama dalam proses penyucian diri, khususnya keburukan-keburukannya jauh lebih mendesak, daripada kebaikannya, agar jiwanya menjadi sehat, menjadi tenang (nafsul muthmainah).

Perbuatan baik itu banyak jenisnya, maka tidak semua perbuatan baik harus dilakukan, kita boleh memilih dan memilah yang sesuai dengan kemampuan, tetapi semua perbuatan buruk wajib ditinggalkan. Salah satu cara meninggalkan perbuatan buruk adalah tenggelam dalam perbuatan baik.

Sebuah keniscayaan bahwa pengetahuan tentang keburukan mengandung dua pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang keburukan dan kebaikan. Namun, pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mengandung pengetahuan tentang keburukan. Bilamana seseorang mampu memisahkan kebaikan dari pada keburukan, maka ia akan meninggalkan keburukan dan yang tersisa hanyalah kebaikan. Sedangkan bilamana seseorang yang sangat mengerti tentang kebaikan, tetapi ia tidak mampu mendeteksi keburukan yang terkandung didalamnya, maka akan rusaklah kebaikan itu. Oleh sebab itu Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu berkata : ‘Kerjakanlah terlebih dahulu larangan-larangan dari Allah SWT kemudian baru mengerjakan perintah-perintah-Nya.’

Jika syaithon menyesatkan dengan jalan keburukan adalah hal yang biasa dan mudah diketahui, tetapi jika menyesatkan dengan jalan kebaikan adalah hal yang luar biasa, karena bisa jadi kita belum memiliki pengetahuan tentang keburukan yang bercampur dalam kebaikan. Sehingga kita mengira telah berada di atas kebenaran padahal tersesat dari jalan Allah. Semua itu bisa terjadi karena banyaknya penyakit didalam perbuatan dan sedikitnya pengetahuan tentang berbagai penyakit itu. Kita berlindung kepada Allah SWT dari godaan syaithon yang terkutuk.


Demikian para sahabat, semoga Allah mengkarunia kita kearifan dan kebjikasanaan dalam melakukan proses penyucian diri ini.

Senin, 13 Juni 2016

RENDAH HATI DAN TINGGI HATI

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Tawadhu atau merasa rendah hati adalah keberhasilan seseorang dalam melakukan riyadhah dan mujahadah dengan disiplin yang sangat tinggi. Keberhasilannya merupakan perbuatan Allah (af'al) yang merubah hati seseorang dari tinggi hati menjadi rendah hati, sedangkan upayanya adalah tindakan manusia. Riyadhah dan mujahadah bukan penyebab langsung dari diperoleh karunia yang hebat ini, tetapi tanpanya jangan pernah mengharapkannya. Sifat tinggi hati adalah biasa bagi para murid namun menjadi luar biasa bagi para ulama. Biasanya sifat tinggi hati ini akan ditampakkan secara lahiriyah, namun berhati-hatilah jika ia mampu bersembunyi didalam hati. kitab-kitab yang membahas tentang rendah hati sangat mudah ditemukan, tetapi sulit menemukan yang menjelaskan tentang tinggi hati.

Sifat tinggi hati ini akan lebih merusak dan lebih buruk dampaknya jika terjadi pada orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang agama.Tandanya, mereka akan mudah marah pada diri sendiri karena merasa dilecehkan, khususnya jika teman-teman yang lain tidak menghargainya, apalagi masyarakat mengacuhkannya. Yang menonjol adalah akan cepat merasa iri dan mengejar kemuliaan. Mestinya orang seperti ini tidak membolehkan rasa tinggi hati bercokol didalam hati, tetapi malah ditempatkan diatas kepalanya dan bukan ditelapak kakinya. Orang yang rendah hati adalah hamba sedangkan yang tinggi hati adalah tuan, tujuan ibadah adalah agar menjadi hamba-Nya bukan tuan.

Kita harus waspada manakala lahiriyah menampakkan kerendahan hati tetapi hati justru mengharapkan kemuliaan. Meskipun orang lain tidak mengetahui tetapi Allah SWT mengetahui-Nya. Kita ingin mendekat kepada-Nya tetapi kita melakukan kebohongan terhadap-Nya. Kita ingin memperoleh pengampunan-Nya tetapi perbuatan kita malah menyulut kemurkaan-Nya. Kita bertekad ingin memusuhi dunia (zuhud) sementara perasaan mulia tetap dipelihara dan berada dalam satu tempat. Jika sifat tinggi hati masih bercokol didalam hati maka, kita tidak mungkin bisa mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri, kita juga tidak mungkin dapat menahan emosi, kita tidak mungkin akan selalu dalam kondisi jujur, kita tidak mungkin dapat menyingkirkan perasaan sifat dengki dan fanatik, kita juga tidak mungkin dapat memberikan nasihat yang tulus dan mustahil kita bisa menghargai orang lain.

Meskipun sangat sulit untuk memperoleh sikap dan perasaan rendah hati atau tawadhu tetapi bukan hal yang mustahil, oleh karenanya barang siapa bersungguh-sungguh berusaha untuk menyingkirkan perasaan mulia dari dirinya, niscaya Allah akan memberikan pertolongan. Jika Allah berkenan mengganti perasaan tinggi hati menjadi rendah hati, maka perjalanannya menuju keridhoan Allah akan menjadi lebih mudah baginya. Perjalanannya menuju kekuatan iman, jalan istiqamah, dan jalan orang-orang saleh menjadi lebih mudah. Ia akan mendapatkan kemudahan dalam bersikap jujur di setiap amalnya. Jiwanya akan merasa tenang dalam sikap rendah hati dan kesederhanaan. Jalannya menuju keadilan menjadi menyenangkan baginya.

Semoga Allah SWT menolong kita semua.

HAK DAN KEWAJIBAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Yang mulia baginda Rasulullah,saw., pernah berkata kepada istrinya : ‘Wahai Aisyah, izinkanlah aku untuk beribadah kepada Tuhanku.’ Lalu Aisyah,ra., mengizinkannya dengan rasa senang. Hadis ini memperlihatkan bahwa beliau,saw., selalu menjunjung tinggi hak seseorang dan tidak ingin mengabaikannya, karena malam itu adalah malam giliran Aisyah,ra., yang merupakan hak baginya dan menjadi kewajiban baginda Rasulullah,saw., walaupun yang akan dilakukannya merupakan ibadah kepada Allah. Karena meninggalkan kewajiban kepada makhluk dan mengutamakan ibadah sunah akan menjadikan ibadah sunah itu menjadi sia-sia.

Kisah yang lain bahwa Rasulullah,saw., pernah menggunting jubahnya, lantaran ada seekor kucing sedang tidur diatasnya. Beliau,saw., tidak mau mengganggu dan membangunkannya, karena ia pun mempunyai hak untuk tidur. Beliau,saw., selalu mengedepankan hak makhluk dan tidak menuntut haknya, inilah tanda cahaya akhlak yang begitu tinggi. Guru kita tercinta Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) sering mengingatkan murid-muridnya untuk merendahkan atau melirihkan suara sewaktu melakukan dzikir Jahr secara berjamaah, karena tidak ingin para tetangga merasa terganggu meskipun mereka tidak seiman. Walaupun banyak hadis yang memperlihatkan bahwa fadhilah berdzikir jahr secara berjamaah sangat besar, bahkan Nabi,saw., menyebutnya sebagai 'taman daripada taman surgawi.' dan 'terdapat ribuan malaikat mentautkan sayapnya dari orang-orang yang berdzikir ini sampai ke arsy'. Sesungguhnya dzikir jahr bila dilakukan dengan suara lirih dan syahdu pun tidak akan mengurangi fadhilahnya dan insya Allah akan tetap sama, bahkan lebih bersih hasilnya, karena tidak mengganggu tetangga yang sedang istirahat atau tidur.

Tujuan berdzikir salah satunya adalah untuk melemahkan hawa nafsu atau keinginan-keinginan diri dan bukan mengikutinya, oleh karenanya salah besar bila kita tidak meperdulikan likungan disekitar kita. Patuh dan hurmat terhadap anjuran guru adalah pilihan yang bijaksana. Sesungguhnya hakikat dzikir jahr adalah mendatangkan rasa yang keras bukan suara yang keras untuk me'nafy'kan atau meniadakan segala sesuatu dan meng'isbat'kan atau mengkukuhkan hanya Allah saja kedalam latifatul qolbi.

Buah dari pada berdzikir adalah ilmu dan kejelasan-kejelasan, sehingga akan mengerti kedudukan ibadah wajib dibanding dengan ibadah sunah. Jangan karena ibadah yang kedudukannya sunah lalu melupakan ibadah yang kedudukannya wajib. Ibadah wajib laksana pondasi sedangkan ibadah sunah bangunan diatasnya, bisa jadi bangunan bisa porak peranda lantaran tersapu angin topan, namun pondasinya tetap kokoh. Bisa jadi ibadah sunah kita bisa sia-sia karena mengabaikan kewajiban kita menjaga dan menghormati hak-hak para tetangga.

Mari kita perhatikan sebuah hadis yang sangat popular dikalangan orang-orang yang bertasawuf, yang didahului oleh pemenuhan perintah yang wajib baru kemudian memperbanyak ibadah sunah, yang disampaikan oleh sahabat Abu Hurairah,ra., bahwa Rasulullah,saw., bersabda : "Allah berfirman 'Barang siapa memusuhi wali Ku, maka Aku telah menyatakan perang kepadanya. Tidak ada orang yang dapat mendekatkan hamba Ku kepada Ku dengan sesuatu yang Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba Ku masih mendekati Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi alat pendengarannya yang dengannya dia mendengar. Aku menjadi alat penglihatannya yang dengannya ia melihat. Aku menjadi tangannya yang dengannya dia memukul dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku sungguh Aku akan kabulkan, dan jika ia memohon akan perlindungan-Ku, Aku akan melindunginya.'"

Beliau,saw., juga pernah melarang orang yang berpuasa terus menerus dan bangun malam tanpa tidur, karena tubuh dan keluarga mempunyai hak.

Demikian semoga Allah mengkarunia ilmu yang bermanfaat.