Selasa, 21 Juni 2016

POKOK DAN CABANG

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Di dunia ini tidak ada sekolah yang secara formal menyediakan pendidikan terhadap tahapan evolusi jiwa, kecuali hanyalah tentang bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia secara ilmiah atau biasa yang disebut dengan psikologi, praktisinya disebut sebagai psikolog. Meskipun orang yang ingin menjadi psikolog tidak harus merasakan sakit mental terlebih dahulu. Pengetahuan tentang cara berenang dengan berenang itu berbeda, begitu pula pengetahuan tentang seluk beluk cara membuat santan berbeda dengan membuat santan. Orang yang mempelajari seluk beluk tentang cara berenang dan cara membuat santan belum merasakan ‘rasa’ saat berenang dan ‘rasa’ santan. Meskipun para psikolog dapat secara ilmiah menulis gambaran tentang rasa-rasa itu, yang didapat dari penelitian terhadap orang-orang yang pernah merasakannya, tetapi mereka jauh dari rasa-rasa itu sendiri. Oleh karenanya terasa aneh jika seorang yang mengajarkan cara berenang dan cara membuat santan tetapi belum pernah berenang dan makan santan. Jika orang seperti ini dijeburkan kedalam sungai tentu ia akan berteriak minta pertolongan dari orang lain.

Seseorang yang sehat secara lahir belum tentu sehat secara batin. Untuk memperoleh informasi yang akurat tentang kesehatan tubuhnya, seseorang dapat melakukan general checkup ke laboratorium. Jika hasil laboratorium menyatakan sehat secara lahir, tetapi masih merasakan sesuatu yang tidak mengenakan didalam dirinya, maka bisa saja ia terjangkit sakit secara kejiwaan. Biasanya mereka akan terus melakukan pendekatan secara medis dan pergi ke psikolog untuk mendapatkan terapi penyembuhannya.

Kisah, ada seorang pemuda yang merasa kematiannya sudah didepan mata, hal ini menjadikannya ada sesuatu rasa yang sangat menghimpit jiwa dan dirasakan hampir pada setiap saat. Sudah dicoba dengan berbagai cara untuk menghilangkannya, tetapi gagal. Dimulai dari refresing keberbagai tempat yang nyaman, baik didalam negeri maupun luar negeri, bahkan pergi haji dan umrah, tetapi tetap saja perasaan itu ada dan sangat semakin mengganggu jiwanya. Pertemuan yang rutin kepada psikolog yang top dan meminum obat yang disarankan juga belum membuahkan hasil. Akhirnya ia mencoba penyembuhan secara spiritual dan pergi mengunjungi seorang ulama atas petunjuk dari temannya. Ia bertemu dengan seorang mursyid atau pembimbing ruhani dari sebuah tarekat. Mursyid tersebut berkenan menerima sebagai muridnya dan diberikan pekerjaan dzikir dan wirid yang harus dikerjakan pada setiap waktu terntentu. Hal tersebut dikerjakannya dengan tekun dan rasa hurmat. Dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan, ia sembuh dari penyakit kejiwaannya. Orang ini menyadari betapa mahal dan langka ilmu yang diperolehnya dan tidak bisa diukur dengan harta benda dunia. Maka setiap ia menyebut nama mursyidnya, matanya berkaca-kaca dan dadanya sesak.

Sakit kejiwaan adalah buah dari menanam perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Semakin sering seseorang menanamnya, maka akan semakin besar kemungkinannya menuai hasilnya dalam bentuk sakit yang demikian. Jika tidak diperoleh hidayah, maka orang ini tidak saja menderita di dunia tetapi juga di akhirat nantinya, karena ia kembali kepada Tuhannya dalam keadaan jiwa yang sakit dan kotor. Di dalam Al Qur’an Allah SWT memuji orang-orang yang membersihkan jiwanya dengan sebutan ‘Sungguh orang yang beruntung’ dan sebaliknya yang mengotori jiwanya disebut sebagai ‘Sungguh orang yang merugi.’ Sebelum menyatakan ini, Allah bersumpah dengan sumpah yang besar dan tidak ada satu surat pun yang sumpah-Nya lebih banyak dan besar dari pada surat ini. Mengapa membersihkan jiwa menjadi sangat penting? Karena, terdapat perintah dari Allah SWT : 'Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali hanyalah untuk beribadah kepada-Ku.’ Dan tidak mungkin seseorang dapat beribadah kepada-Nya dengan benar dan tepat tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu. Nah, untuk mengenal-Nya dibutuhkan pengenalan terhadap dirinya sendiri terlebih dahulu. Sebagaimana hadis yang mengatakan bahwa ‘Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.’ Sedangkan untuk mengenal diri sendiri tidaklah mungkin dilakukan kecuali atas bimbingan seorang mursyid, karena Allah SWT mengkaruniai ilmu dan rasa tentang seluk beluk hati dan cara pembersihannya. Ilmu yang diajarkan bukan berupa pengetahuan saja, melainkan wajib dikerjakan agar mengetahui 'rasanya'. Sang mursyid menyebutnya sebagai 'Ma'lam ya sulam yarif, kerjakan dahulu baru rasakan.' Kemudian setelah mengerjakan ilmu yang diketahuinya maka Allah akan mewariskan ilmu yang belum diketahuinya, 'Man amila bima alima warratsahullahu ilma maa lam ya'lam." Hal tersebut jelas sekali bahwa segala sesuatu ada pokok dan ada cabangnya, atau ada pondasi dan ada bangunannya. Tidak mungkin cabang ada tanpa pokok dan demikian pula bangunan ada tanpa pondasi.

Di negeri kita agama Islam adalah warisan dari orang tua, jarang yang menemukannya sendiri atau mempelajari terlebih dahulu, termasuk orang-orang yang sekolah di negeri Arab sekalipun. Tanpa disadari mereka terjebak kepada peribadatan yang bersifat cabang dari pada yang pokok. Allah SWT berfirman : ‘Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal’ (QS 47 : 19). Jelas sekali bahwa perintah tauhid mendahului perintah untuk memohon ampun. Atau dalam ayat lain dapat dijumpai bahwa perintah tauhid mendahului perintah takwa. Rukun Islam, rukun Iman dan ihsan, semuanya diawali dengan tauhid, yang pertama adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang lain kecuali Allah, yang kedua adalah percaya kepada Allah dan yang ketiga adalah jika beribadah seolah-olah 'merasa' melihat Allah atau 'merasa' dilihat Allah. Sehingga tauhid adalah pokok sedangkan bentuk peribadatan lain adalah cabangnya. Seorang mursyid selalu mengawali setiap tindakannya dengan Basmallah dan dilanjutkan dengan sebuah doa ‘Illahi anta maqsudi waridhoka matlubi a’tini mahabataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin. Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ya Allah Engkaulah yang aku maksud, ridho-Mu yang aku harapkan dan karuniakan rasa cinta kepada-Mu dan mengenal-Mu.’ Atau memurnikan taudid terlebih dahulu didalam hati barulah kemudian melakukan tindak peribadatan yang lain, agar cabang atau bangunannya tidak sia-sia lantaran tidak ada pokok atau pondasinya.

Bukankah pertanyaan yang diajukan kepada seorang didalam kubur berkenaan dengan masalah ushul (pokok-pokok agama), bukan tentang furu (cabang}? Pertanyaan yang muncul adalah siapakah Tuhanmu? Apa agamamu? siapa nabimu? Jadi bukan tentang amal apa yang dilakukan. Juga di Hari Kiamat yang pertama ditanya adalah tentang iman kemudian baru tentang amal. Lalu amal tersebut diberi pahala sesuai dengan kadar kekuatan ushul (pokok), yaitu niat.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Sejak kecil sampai usia tua kebanyakan manusia menggunakan jiwa dan raganya hanya untuk mengurus dunia dan lemah melakukan riyadhah dan mujahadah sehingga tauhid tetap samar.'

Demikian semoga Allah menyayangi kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.