Selasa, 19 Januari 2010

HARAP (ROJA) - TAKUT (KHAUF)

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.’ (QS 033 : 21)

Masih tentang harap (roja), namun dari perspektif yang berbeda, khususnya harapan akan rahmat Allah. Dalam hal ini yang dimaksud dengan harap (roja) adalah keadaan hati yang sepenuhnya terpaut kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi dimasa yang akan datang, sebagaimana takut (khauf) juga demikian. Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘“Harap (roja) yang sangat kuat terletak pada janji Allah SWT, seperti yang tertuang pada hadist qudsi, bahwa Rasulullah,saw., bersabda, bahwa Allah SWT berfirman : ‘Rahmat-Ku mendahului murka-Ku.’” Orang awam mungkin saja sering mendengar hadist ini, namun tidak memasuki sebuah rasa yang hakiki dan terbukanya rahasia-rahasia yang berada didalamnya. Oleh karenanya mereka menyikapinya dengan biasa-biasa saja. Berbeda dengan para mutashowif atau para penempuh jalan kesucian (kesufian) yang telah tenggelam didalam muroqobah (meditasi) Ismul Azhom, khususnya yang berkenaan dengan sifat Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim dan Al-Ghofur. Sebagaimana kayu yang terbakar oleh api, maka sifat-sifat kayu akan hilang dan menjelma menjadi api, demikian pula para akhli muroqobah (meditasi), manakala sifat-sifat dirinya lenyap dan terkuasai oleh Sifat-Sifat-NYa, akan menjadikan cara pandang, rasa dan daya pikirnya terhadap rahmat Allah menjadi berbeda. Disinilah para pejalan telah terbusanai maqom harap (roja) yang kuat.

Pemilik maqom raja tertinggi ada pada diri Abu Bakar as-Siddiq,ra., sehingga harapannya terhadap janji Allah mendekati tashdiq (pembenaran). Ketika perang badar berlangsung Rasulullah,saw., berdoa : ‘Ya Allah, jika sekelompok manusia ( dari umat Islam) ini Engkau hancurkan, maka setelah itu Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini.’ Mendengar itu, Abu Bakar,ra., berkata : ‘Wahai Rasulullah tinggalkanlah permohonanmu itu, sebab, demi Allah, Dia pasti mengabulkan apa yang dijanjikan kepada-Mu.’ Janji yang dimaksud adalah sesuai dengan wahyu yang turun beberapa waktu sebelum perang badar terjadi : ‘Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman. kelak akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.’ (QS 008 : 12) Pada kisah ini, ada permohonan dan keyakinan terhadap pengabulan akan janji Allah. Rasulullah,saw., lebih mengetahui Allah daripada Abu Bakar,ra., sementara Abu Bakar,ra., lebih kuat imannya daripada para sahabat yang lain. Sah hukumnya dan tidak merusak adab bagi seorang sahabat menyampaikan pendapatnya kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan hubungan kedekatan yang istimewa antara Rasulullah,saw., dengan sahabat gua-nya ini. Meskipun Rasulullah,saw., jauh lebih sempurna daripada Abu Bakar,ra., dalam segala kondisi spiritual, sehingga beliau tahu dari Allah apa yang tidak diketahui Abu Bakar,ra., dan juga sahabat yang lain. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Pemilik maqom raja, tidak diperkenankan menyampaikan hal-hal yang dikhususkan bagi dirinya kepada orang lain.’ Dikhawatirkan dengan menyampaikan keajaiban-keajaiban ‘Kemurahan Tuhan’ akan membuat murid-murid menjadi malas dan bersandar kepada Kemurahan-Nya tanpa melakukan tindak riyadhah dan mujahadah yang gigih.
Untuk membangkitkan semangat juang para pejalan yang telah menyentuh maqom harap (roja), Syah Syuja Kirmani,ra., berkata kepada Syaikh Abu Utsman al Hiri,qs., murid kesayangan dari Syaikh Yahya bin Mu’adz,ra., : ‘Engkau telah dibesarkan dalam doktrin harap ‘raja’, yang menjadi sikap gurumu. Tak seorang pun yang telah menghirup doktrin ini dapat menempuh jalan penyucian karena suatu kepercayaan mekanis kepada harap (raja) menghasilkan kemalasan.’ Ketika di Nisyapur Syaikh Abu Utsman al Hiri,qs., mengakui ujaran ini dan berkata dalam pandangan yang berbeda : ‘Sudah sepantasnya orang yang telah Tuhan muliakan dengan makrifat, tidak menghinakan dirinya dengan kedurhakaan kepada Tuhan.’ Kedurhakaan adalah tindak manusia sedangkan makrifat merupakan anugerah Tuhan. Mustahil bahwa orang yang dimuliakan dengan anugerah Tuhan akan terhina karena tindakannya sendiri. Sebagaimana Tuhan memuliakan Adam,as., dengan pengetahuan dan Dia tidak menghinakannya lantaran dosa yang diperbuatnya. Karenanya, pengetahuan yang dibukakan kepada para Aulia Allah terhadap hal-hal yang demikian, jika disampaikan kepada murid-murid bisa jadi disalah artikan, sehingga mereka terjerumus kedalam jurang kemalasan dan bersandar kepada Kemurahan Tuhan dari sifat Kasih Sayang-Nya kepada manusia yang tidak terbatas.

Terdapat dua orang yang bernama Yahya dalam sejarah Islam, yang menempuh jalan takut (khauf) dan harap (roja) begitu tinggi, yang pertama adalah nabiyullah Yahya bin Zakaria,as., yang menempuh jalan takut (khauf) sehingga semua pengikutnya dikuasai oleh rasa takut dan putus harap akan keselamatan mereka, sedangkan yang kedua adalah Syaikh Yahya bin Mu’adz,ra., sezaman dengan Imam Junayd al Bagdadi,ra., yang menempuh jalan harap (roja) sehingga dia mengikat erat tangan-tangan semua murid-muridnya pada harap (roja). Seseorang berkata kepada Syaikh Mu’adz,ra., : ‘Wahai Syaikh, maqom-mu adalah maqom harap, tetapi amalanmu adalah amalan orang-orang yang takut.’ Dijawab : ‘Ketahuilah, anakku, bahwa meninggalkan ibadah kepada Tuhan, adalah tersesat.’ Jawaban ini menunjukkan upaya yang sungguh dalam melakukan riyadhah dan mujahdah atau dalam melaksanakan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah, tanpa menganggap sepele amalan-amalan yang sekecil apapun, meskipun hanya memberikan sebuah kurma. Takut (khauf) dan harap (roja) adalah dua sokoguru iman. Mustahil bagi seseorang akan tersesat lantaran mengamalkan salah satu diantara keduanya. Orang-orang yang takut (khauf) itu melakukan ibadah karena takut berpisah dari Tuhan, dan orang-orang yang berharap (roja) itu melakukannya karena berharap dapat bersatu dengan Tuhan. Kelompok dzahiran menyangkal adanya ‘kebersatuan dengan Tuhan’, padahal yang dimaksud persatuan dengan Tuhan adalah perpisahan dari segala yang lain, dan perpisahan dari segala yang lain adalah persatuan dengan-Nya. Seseorang yang pikirannya bersatu dengan Tuhan, dia terpisah dari segala yang lain, dan sebaliknya, karena itu, persatuan pikiran dengan Tuhan merupakan perpisahan dari memikirkan benda-benda ciptaan, dan berpaling dari fenomena adalah berpaling kepada Tuhan. Tanpa dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah yang keras takut (khauf) dan harap (roja) tak bisa benar-benar dirasakan.

Beberapa Syaikh sufi mengatakan bahwa memasuki pintu maqom harap (roja), setelah berada pada maqom takut (khauf), sehingga ketakutannya akan sirna manakala harapannya terhadap janji Allah meliputi hatinya. Rahmat Allah sangat diharapkan oleh manusia yang beriman dan berilmu tinggi, karena bila Allah menggunakan Keadilan-Nya, maka tak satupun manusia akan selamat, oleh sebab timbangan (mizan) akan terlalu berat kekiri lantaran dosa-dosa yang di perbuatnya dibanding dengan rasa syukur terhadap nikmat-nikmat yang dihamparkan oleh-Nya. Karena manusia yang bersyukur atas rahmat Allah sangat sedikit, melihatnya harus menggunakan kacamata ilmu. Seperti seseorang yang ingin menghadiri acara pesta pernikahan, setelah selesai menghias diri dan bersiap-siap berangkat, tiba-tiba hujan lebat turun. Dalam keadaan ini kebanyakan orang akan menggerutu lantaran hujan ini, padahal hujan adalah Rahmat Allah, yang menghidupi bumi dan makhluk yang berada didalam maupun diatasnya. Oleh karenanya harapan akan dipenuhinya janji yang berupa rahmat ini menjadi begitu penting dan sangat kuat. Sehingga Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Kita harus mewaspadai rahmat Allah SWT, mensyukuri, mencermatinya dengan banyak melakukan peribadatan. Rahmat ada didalam sifat ar-Rahman-Nya, Allah SWT masih menggenggam 99 rahmat untuk diberikan kepada orang mukmin saja di akhirat nantinya, sedangkan 1 rahmat telah dan akan terus dihamparkan di dunia dan seisinya yang dinikmati oleh seluruh makhluk, termasuk manusia yang disebutkan paling sempurna dan paling murni.’ Rahmat diturunkan dari sifat Ar-Rahmaan, satu rahmat saja untuk dunia ini, menjadikan segala sesuatu terhampar ada. Lalu manusia diberikan kebebasan untuk memilih, untuk kebaikan atau kejahatan. Orang kaya bisa menjadi sombong karena harta banyak, berarti hati manuisa tidak mampu menahan satu rahmat saja yg diturunkan keatas bumi ini, lalu siapa yang mampu menahannya? Ialah para akhli dzikir yang hatinya lembut dan tenang, dan pastinya dipakainya untuk kebaikan-kebaikan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Allah memiliki sifat Yang Maha Pengampun, yaitu menyembunyikan dosa-dosa manusia diatas bumi ini, dan dengan tidak membalasnya di akhirat nantinya. Sifat ini dibagi menjadi tiga tahapan yang seluruhnya mengandung harap (roja). Allah Maha menutupi aib manusia diatas bumi ini disebut AL Ghafir (Yang Mengampuni), termasuk menutupi bagian tubuh yang mata akan jijik melihatnya, seperti usus, limpa, otak dengan keindahan bagian luar tubuh. Kemudian Dia juga menutupi pikiran-pikiran buruk, maksud buruk, penipuan dan pengkhianatan manusia, bila tidak demikian maka tak satupun makhluk di bumi ini yang mau bergaul satu dengan yang lainnya, karena bentuk aib-nya begitu memalukan, oleh karena itu Dia menyembunyikannya. Mengapa? Karena Rahmaan dan Rahiim-Nya, meskipun, kebanyakan manusia setelah ditutupi aibnya merasa bagai orang bersih dan bertingkah bagai akhli surga. Lalu Al Ghofur (Yang Maha Mengampuni), yang menunjukkan banyak pengampunan terhadap banyak pelanggaran dan menyelimutinya segala dosa-dosa dan kesalahan manusia, malaikat pun tidak mengetahuinya, tentu bagi orang Islam saja. Lalu ada satu lagi Al Ghofar (Yang Penuh Pengampunan), menunjukkan keberulangan pengampunan terhadap kesalahan manusia dan Allah menutupi segala dosa-dosa. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Setelah shalat Jum’at sangat baik mewiridkan ‘Ya Allah … ya Ghofur .. ya Ghofur’ seratus kali banyaknya, Allah akan mempertebal harapan (raja) didalam hati seseorang akan janji Allah SWT berupa ‘Rahmat-Ku mendahului Murka-Ku’.

Rasulullah,saw., bersabda : 'Kalaulah ditimbang rasa takut dan harap orang beriman, niscaya keduanya pasti berimbang.' Namun, ada suatu keadaan dimana harapan seseorang lebih besar ketimbang rasa takutnya kepada Allah SWT, dan harapan semua orang Islam mestilah demikian, yakni ketika dalam keadaan sakaratul maut. Rasulullah,saw., bersabda : 'Janganlah salah seorang diantara kalian meninggal melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.' Yang dimaksud adalah menyadari bahwa rahmat Allah lebih didahulukan-Nya daripada murka-Nya, dan meyakini betapa luasnya Kasih Sayang serta pertolongan-Nya. Dengan demikian, harapan kepada rahmat dan kasih sayang Allah akan lebih besar ketimbang rasa takutnya terhadap Keperkasaan-Nya, sehingga ia akan mendekat kepada Allah dan dengan penuh harap memohon belas kasihan-Nya dengan hati yang tawadhu serta menyesali segala kesalahan dan dosa, agar pengharapannya itu dikabulkan oleh Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Semoga Allah SWT berkenan mengantar para pejalan masuk kedalam masuk harap ini, sehingga dapat merasakannya, bila tidak hanya menjadi sebuah cerita saja.’

Kamis, 14 Januari 2010

HARAP (RAJA)

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya’. (QS 018 : 110) Dan ‘ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.’ (QS 033 : 21)

Perjumpaan dengan Tuhan membutuhkan dua sayap, yaitu sayap harap (raja) dan sayap takut (khauf), kedua-duanya harus seimbang, bila tidak, arah terbangnya tidak beraturan dan sulit mencapai sasarannya. Para syaikh sufi sepakat, bahwa maqom raja mempunyai kedudukan yang mulia. Karena, sifat Kemurahan Tuhan telah meliputi hatinya dan menutup pandangan dari yang lain. Tidak mungkin maqom harap ini berada pada seseorang tanpa melalui perjuangan yang keras. Karena, selama disebut maqom pastilah menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu pada pemiliknya dan tidak diperbolehkan menyia-nyiakannya. Sebagaimana petani yang bermula membajak tanah, menyiapkan bibit unggul, memberikan pupuk dan, menjaga kadar air, lalu menanaminya, dan pada setiap harinya membersihkan dari tanaman liar, memberi pupuk dan menjaga dari serangan hama. Sang petani tidak boleh lengah dari kewajibannya pada setiap hari, barulah muncul harapan yang besar akan memperoleh hasil yang baik. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan yang melenyapkan kekhawatiran lantaran jerih payahnya itu. Sebagaimana tuntutan ayat diatas bahwa harapan perjumpaan dengan Tuhan wajib didahului oleh mengerjakan amal sholeh dan memurnikan tauhid (QS 018 : 110), dan salah satu bentuk amal sholeh yang terbaik serta terhindar dari sesuatu yang haram adalah dzikrullah (QS 033 : 21). Oleh karenanya harapan tanpa sebuah usaha yang keras akan sia-sia, dan harapan tanpa usaha adalah angan-angan. Harapan adalah sifat terpuji (mahmudah) dan angan-angan adalah sifat tercela (majmumah).

Untuk membuktikan seorang raja itu pengampun, mesti ada tindak kesalahan terlebih dahulu, lalu keputusan sang raja menjadi ukurannya, barulah diketahui bahwa rajanya memang mempunyai sifat pengampun. Sehingga tingkat pemaafan dari tindak kesalahan menjadi ukuran, semakin sifat raja itu pengampun semakin tinggi harapan rakyat memperoleh pengampunan dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Karenanya, Allah SWT, Yang Maha Pengampun, menjadikan manusia melakukan dosa guna memanifestasikan sifat-Nya. Bisa jadi, dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia itu, diampuni-Nya dengan cara yang misterius. Diketahui ada sebuah hadist yang mengatakan bahwa bersegeralah berbuat kebaikan, karena kebaikan akan mengganti keburukan-keburukan yang telah dilakukan. Namun pada kisah ini berbeda, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ats-Tsaqoty menuturkan : “Suatu hari aku melihat iringan keranda yang dipikul oleh tiga laki-laki dan seorang wanita, tanpa ada orang lain yang mengantarkannya. Aku maju menggantikan si wanita dan menuju ke kuburan. Setelah selesai proses penguburan, aku bertanya kepada wanita itu : Apa hubunganmu dengan orang yang meninggal ini?’ Dijawab : ‘Ia anakku.’ Aku bertanya : ‘Apakah anda mempunyai tetangga?’ Ia menjawab : ‘Ya, tetapi mereka semua memandang hina kepada anakku yang meninggal.’ Aku bertanya : ‘Mengapa?’ Ia menjawab : ‘Karena ia seorang banci.’ Aku merasa kasihan kepada wanita itu, lalu kuberi sedikit uang, gandum dan pakaian. Malam itu aku bermimpi melihat seorang pemuda datang kepadaku. Wajahnya berseri bagaikan bulan purnama, berpakaian serba putih dan mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika aku bertanya siapa dirinya, ia menjelaskan, ‘Aku adalah si orang banci yang anda kuburkan tadi siang. Tuhanku telah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku disebabkan hinaan orang-orang kepadaku.’”

Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata pada pengajian hari Jum’at tanggal 8 Januari 2010, bahwa : ‘Harap (raja) itu ada tiga macam, yakni, raja fiddunya, raja fil akhirah dan raja fillah.’ Yang pertama adalah, harapan akan upayanya mencari penghidupan didunia ini terkabulkan, kedua, adalah harapan akan surgawi atas jerih payahnya melakukan tindak peribadatan di dunia ini, dan ketiga adalah harapan ‘kebersatuan’ dengan Allah SWT.
Seseorang mesti mengukur dirinya sendiri tatkala pada tahapan raja fiddunya, apakah harapan vertikalnya (kepada Allah SWT) lebih besar dari harapan horizontalnya (harapan urusan-urusan dunya) atau sebaliknya harapan kepada horizontalnya melebihi harapan vertikalnya. Oleh karenannya raja fiddunya ini tidak termasuk kedalam maqom raja, karena justru harapan yang demikian akan memperkokoh hijab-hijab menuju Allah SWT. Syaikh sufi dari tarekat Naqsyabandiyah mengatakan bahwa ; ‘Terlalu memikirkan urusan-urusan dunya akan menutup pintu kedekatan kepada Allah SWT.’ Sedangkan raja fil akhirah, adalah harapan yang timbul dari melakukan tindak peribadatan. Meskipun kelompok ini masih masuk kedalam melakukan perdagangan dengan Allah SWT, namun sudah tergolong baik. Para mutashowwif tidak lagi berada pada raja fiddunya dan faja fil akhirah, melainkan berupaya menggapai maqom raja fillah. Agar berada pada kedekatan hati atas kemurahan Tuhan.
Seseorang bertanya : ‘Adakah tanda adanya harapan pada seorang hamba?’ Syah al-Kirmany,ra., mengatakan bahwa : ‘Tanda adanya harapan adalah taat yang baik.’ Sedangkan Syaikh Ahmad bin Ashim al-Anthaky,qs. menjawab bahwa : ‘Tandanya dalah manakala ia menerima nikmat anugerah (ihsan), ia terilhami untuk bersyukur, penuh harap akan penuhnya rahmat Allah SWT di dunya ini dan penuhnya pengampunan-Nya di akhirat.’

Rabu, 13 Januari 2010

TAREKAT DAN MAJLIS DZIKIR

Bismillahir Rahmaanir Rahiim.

Allah SWT berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.’ (QS 005 : 35).

Akhir-akhir ini banyak bermunculan majlis dzikir, tujuannya mestinya sama, yakni ingin memperoleh pengampunan dan pensucian dari Allah SWT. Meskipun, pada awalnya ada beberapa majlis yang dikenal sebagai tempat pengobatan dari berbagai penyakit dan atau tempat menimba kesaktian. Setelah diketahui banyak masyarakat yang haus akan praktik dzikir, dan pada setiap kesempatan acara dzikir berjamaah selalu penuh, maka majlis-majlis tadi berbondong-bondong merubah namanya menjadi majlis dzikir. Tidak mengapa, karena untuk menarik orang agar mau berdzikir harus diiming-imingi dengan hal-hal yang disukainya, asalkan tujuannya tidak untuk yang lain kecuali bersama-sama mengagungkan dan meng-esa-kan Allah se-esa-esa-Nya.

Pada kelompok majlis dzikir tarekat, ritual utamanya melakukan praktek dzikir berjamaah dengan cara-cara yang menakjubkan, sekaligus didalamnya ada majlis ilmu. Berbeda dengan kelompok majlis-majlis dzikir yang banyak bermunculan akhir-akhir ini, yang mempunyai niat untuk mencari nafkah, kekayaan, popularitas, dan penggalangan masa untuk tujuan politik. Kaifiat atau cara-cara dzikir, wirid, muroqobah, munqobah, yang dipraktekkan oleh kelompok majlis dzikir tarekat diseluruh dunia akan tetap sama, sejak dari para masyaikh terdahulu yang sanadnya sampai kepada Rasulullah,saw., hingga saat ini dan insya Allah sampai akhir zaman nantinya, sedangkan pada majlis dzikir yang bukan tarekat cara-caranya sesuai dengan kehendak pemimpinnya. Nama tarekat selalu menggunakan nama pembimbing spiritualnya terdahulu, yang telah mencapai tingkat kewalian yang tinggi dan tertinggi (Qutub), seperti Qodiriyah diambil dari nama Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir al Jailani,qs., lalu ada Naqsyabandiyah yang diambil dari nama Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyabandi,qs., lalu ada Chistiyah yang diambil dari nama Syaikh Muinuddin Cisty,qs., lalu ada Tijaniyah yang diambil dari nama Syaikh Ahmad Tijani,qs., lalu ada Sadziliyah diambil dari nama Imam Sadzili,ra. Tujuannya adalah untuk mendapatkan limpahan barokah dari kedekatan para masyaikh terdahulu kepada Tuhannya, agar dengan melestarikan dan tetap istiqomah mempraktekkan ajarannya, Tuhan berkenan meridhoi para pelakunya. Orang-orang yang telah sampai kepada Tuhan, mereka sebut sufi, sedangkan yang dalam perjalanan menuju Tuhan, mereka sebut mutashowwif dan ada yang berpura-pura berada pada jalan ini, yang secara lahiriyah menyerupai para sufi sekedar untuk mencari uang, kekayaan, kekuasaan, serta keuntungan-keuntungan duniawi, tapi sedikitpun tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu kesufian, mereka sebut mutashwif. Kelompok mutashwif ini, tumbuh subur dinegeri tercinta kita, jumlahnya banyak, bagai jamur yang tumbuh dimusim hujan. Pertanda bahwa, kita berada pada zaman kelemahan atau kemunduran dari kesucian. Akibatnya, ketamakan mendorong penguasa untuk bertindak sewenang-wenang, dan nafsu birahi mendorong ulama berbuat zina dan kemesuman. Dan sifat-sifat bermegah-megah mendorong ulama menjadi munafik, serta kebanggaan diri mendorongnya untuk menari dan menyanyi. Dilain pihak, para pejalan yang bersungguh-sungguh (mutashowwif) yang jumlahnya sedikit, percaya bahwa, dengan memasang kecintaan, mengingat dan menyebut-nyebut nama gurunya terdahulu, yang dijadikan nama tarekatnya, akan menjadikan wasilah atau tali agama guna menghubungkan secara cepat dari yang fenomena menuju kepada realitas, lantaran kedekatan mereka dengan Allah SWT. Sedangkan bagi majlis dzikir tidak demikian, mereka biasa menggunakan nama-nama yang disukainya yang sesuai dengan warna jiwanya. Syaikh agung Hadrat Abu Yazid al Bisthami,ra., berkata : ‘Barang siapa yang bertasawuf tanpa seorang Syaikh, maka syaikhnya adalah syaithon.’

Allah SWT berfirman : 'Maka bertanyalah kepada akhli dzikir jika kamu tidak mengetahui.' (QS 016 : 43) Pada ayat ini secara tersirat mengindikasikan bahwa praktik-praktik dzikir wajib hukumnya mendapatkan pengetahuan yang meliputi fadhilah atau manfaat serta cara-cara pelaksanaannya dari akhlinya, dengan cara bai'at sebagai sunah nabawiyah. Sehingga, niscaya ilmu dzikir ini turun temurun dari para masyaikh terdahulu. Pada majlis dzikir tidak akan dapat menyebutkan guru-gurunya terdahulu dan mungkin tidak ada gurunya, berbeda dengan kelompok tarekat, yang mempunyai sejarah lengkap tentang guru-gurunya terdahulu, termasuk petuah-petuah dan cara-cara atau kaifiat ritualnya. Sebagai contoh, silsilah pada tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Bogor Baru - Indonesia, yang bermula dari Rasulullah,saw., Sayidina Ali Bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Al-Imam Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja’far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali Bin Musa Al Rido, Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Bagdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa’id Mubarok Al Makhzumi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Bagdadi,qs., Syaikh Abdul Aziz Subhana Ghousus Saqolain, Syaikh Muhammad Al Hattak, Syaikh Syamsudin, Syaikh Syarofudin, Syaikh Nurudin, Syaikh Waliyudin, Syaikh Husamudin, Syaikh Yahya, Syaikh Abu Bakar, Syaikh Abdurohim, Syaikh Usman, Syaikh Abdul Fatah, Syaikh Muhammad Murod, Syaikh Syamsudin, Syaikh Ahmad Khotib Al-Syambasi, Syaikh Abdul Karim Tanara Al Bantani, Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu (Syaikh. Abdul Khoir), Syaikh Nurun Naum Suryadipraja bin H.Agus tajudin, hingga telah sampai kepada guru kami tercinta Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin bin H.Aminudin.

Tujuan tarekat yang disebutkan diatas adalah membentuk para pengikutnya mempunyai akhlak yang baik, yang tindakan-tindakannya terpuji tanpa upacara atau motif, tidak memiliki pretensi, sehinga bentuknya selaras dengan ruhnya. Karena akhlak adalah buah dari menanam pohon kecintaan dan kepatuhan dalam melaksanakan pekerjaan tarekat yang diterima dari gurunya atau mursyidnya. Dan bukan seperti orang-orang yang mengaku bermoral namun yang hanya melakukan tindakan-tindakan seremonial yang tidak mempunyai reealitas dan maujud dari motif-motif tertentu, sehingga bentuknya berlainan dengan ruhnya.

Salah satu tanda keadaan spiritual seseorang sudah mulai membaik, adalah merasa asing berada di dunia ini. Karena hatinya bercahaya, lantaran jiwanya selaras dengan anasir (unsur) alam semesta ini, yakni bumi, air, api dan udara. Ruh-nya rindu akan kampung halamannya dan ingin selalu berdekat dengan Pencipta-Nya. Keadaan ini niscaya karena pekerjaan dzikir-dzikirnya yang dikerjakannya secara istiqomah dan dengan cara (kaifiat) yang benar. Ada dzikir dhorob atau dzikir nafi isbat, yaitu dzikir yang bersuara dengan satu, dua, tiga atau empat ketukan, yang bertujuan untuk mencerahkan hati. Lalu ada dzikir lathif, yaitu dzikir yang tidak bersuara dengan tujuh tingkatan, yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran, memberhangus sifat-sifat yang buruk (majmumah) dan menggantikannya dengan sifat-sifat yang baik (mahmudah). Kemudian ada dzikir lam nafi isbat, atau bisa disebut sebagai dzikir penutup setelah dzikir lathif selesai dikerjakan, yang berfungsi untuk memberhangus kemunafikan dan membangkitkan kecintaan kepada Allah SWT. Kemudian ada dzikir nafas (hifzul anfas) dengan tehnik yang bermacam-macam, dan masih banyak lagi. Nah orang asing, adalah orang yang cara padang, rasa dan daya pikirnya serta ucapannya berbeda dengan manusia biasa, karena hatinya telah terpenuhi oleh cahaya Tuhan, sehingga ruhnya selalu berada dilangit meskipun jasadnya dibumi bersama-sama keluarganya, murid-muridnya dan masyarakat lainnya.

Selasa, 12 Januari 2010

PERINTAH DAN TAKDIR

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Dan orang-orang yang menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan Balasan ketakwaannya.’ (QS 047 : 17)

Ayat Al Qur’an diatas sungguh sangat jelas maknanya, dikatakan bahwa orang-orang yang mau menerima petunjuk (hidayah) dan bergegas menindak lanjuti dengan tindak mujahadah, maka Allah akan menambah petunjuk-Nya dan membalas tindak mujahadahnya itu(ketakwaannya). Hal ini menunjukkan bahwa manusia hidup diantara perintah Tuhan dan Kehendak-Nya, yang didalamnya melibatkan tindakan manusia dan tindakan Tuhan, serta ada sifat-sifat manusia dan sifat-sifat Tuhan yang termanifestasikan, yang tentunya tindakan Tuhan mendahului tindakan manusia. Seperti pada kisah nabiyullah Adam,as., yang diperintah oleh-Nya untuk tidak memakan 'buah keabadian', meskipun ia telah berusaha untuk mentaati-Nya, namun Allah berkehendak ia memakannya, setelah itu Allah menghukumnya. Dalam perjalanannya, nabiyullah Adam,as., menerima petunjuk (hidayah) untuk bertobat dan ditindak lanjutinya dengan melakukan pertobatan yang keras, Allah berkehendak menerima tobatnya, sebagai manifestasi sifat Ghofur-Nya. Kisah ini, menggambarkan bahwa ada proses mentaati perintah Tuhan, dan ada ketahanan didalam menyangkal keinginan memakan buah khuldi, namun karena dorongan dari pasangannya, yakni hawa dan bujukan syaithon, maka ia tergelincir. Terkemudian, nama hawa ini mewakili ‘keinginan’ dan nafs sebagai diri, oleh karenanya istilah hawa nafsu dikenal sebagai ‘keinginan diri’. Maka dari itu, mujahadah diartikan sebagai penyangkalan terhadap keinginan-keinginan diri atau hawa nafsu. Begitu pula Allah memerintahkan seluruh malaikat bersujud dihadapan Adam,as., dan Allah berkehendak seluruh malaikat patuh, kecuali golongan iblis, tanpa melakukan peperangan melawan keangkuhannya, ia menolak untuk bersujud. Dari kedua kisah diatas meskipun sama-sama melakukan ketidak taatan atas perintah Tuhan, namun mempunyai perbedaan yang jelas. Pada kisah yang pertama, ketidak taatan Adam,as., didahului oleh upayanya yang keras untuk menolak rayuan hawa dan bujukan syaithon, sedangkan kisah yang kedua ketidak taatan iblis tanpa adanya upaya untuk mentaati-Nya. Sangat nyata bahwa Kekuasaan dan sifat-sifat Tuhan termanifestasikan dalam kisah itu, dan terus akan demikian selama kehidupan ini ada. Perintah-Nya sungguh amat jelas, seluruhnya tertuang didalam kitab suci Al Qur’an dan al Hadist, sedangkan kehendak-Nya ghaib, dan wajib diimani oleh orang-orang yang mengaku beriman. Oleh sebab itu manusia mesti dengan seluruh kekuatannya berusaha mentaati segala perintah-Nya (riyadhah) serta terus menerus melawan hawa nafsunya (mujahadah) serta berserah terhadap takdir-Nya.

Imam Junayd,ra., ketika ditanya tentang tasawuf, beliau berkata : ‘Tasawuf adalah suatu sifat yang didalamnya terletak hidupnya manusia.’ Lalu seseorang bertanya : ‘Apakah ini sifat Tuhan ataukah sifat manusia?’ Beliau menjawab : ‘Esensinya adalah sifat Tuhan, dan sistem resminya adalah sifat manusia.’ Ujaran ini mendukung kisah diatas, bahwa esensinya adalah melibatkan pelenyapan kualitas-kualitas manusia, yang disebabkan oleh kekekalan kualitas-kualitas Ilahi, dan inilah atribut Tuhan, sedangkan sistem resminya yang melibatkan kesinambungan manusia dalam tindak mujahadah, dan kesinambungan dalam bermujahadah ini adalah atribut manusia. Oleh karenanya sugguh sangat jelas bahwa manusia itu hidup diantara Perintah dan Kehendak Tuhan. Yakni, manusia wajib mentaati perintah Tuhan dan berserah kepada Kehendak (Takdir) Tuhan. Oleh sebab itu Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tasawuf adalah hijrah dari kehidupan biasa kedalam kehidupan kesucian.’ Dan beliau berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah perang yang tiada akhir melawan hawa nafsu.’

Rukun iman yang ke enam yakni qadha dan qadar menjadi pembicaraan yang paling hangat dalam pengajian tarekat, meskipun Syaikhuna sering berkata : ‘Jangan diperdebatkan masalah ini.’ Sebab semua murid akan berbicara sesuai dengan keadaan ruhaninya masing-masing, mewakili nafsnya, sehingga dikuatirkan menjadi sesuatu yang haram hukumnya karena menjadi perdebatan. Sejak dahulu kala masalah takdir memang menjadi perdebatan yang sengit, ada kelompok Qadariyah yang menganut doktrin bahwa manusia itu bebas menentukan pilihannya sendiri (free will), lalu ada kelompok Jabariyah yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu sudah ditentukan oleh Tuhan, sehingga manusia tidak ada pilihan samasekali. Kemudian kelompok Ahlul sunah wal jamaah mengambil jalan tengah, yakni, manusia wajib berupaya dan percaya takdir. Pendapat kelompok yang terkahir inilah yang diikuti oleh mayoritas kaum muslim, khususnya oleh para syaikh sufi.

Semua orang termasuk anak-anak kecil niscaya mengetahui, bila disebutkan ciri-ciri seekor binatang yang berbadan besar, berbelalai, mempunyai kaki empat, bertelinga besar dan bermata kecil. Begitulah Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dalam menyikapi masalah ini, tidak disebutkan ‘gajah’ melainkan menjelaskan ciri-cirinya. Seperti juga masalah takdir, beliau tidak menjelaskan secara eksplisit, namun langsung mengajak mempraktekannya. Bukankah pekerjaan tarekat itu menyikapi dengan bijaksana masalah takdir? Yakni tasawufan rajulu, yaitu yang pertama adalah sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah-Nya, kedua menghindari dengan sekuat tenaganya segala sesuatu yang dilarang-Nya, dan ketiga berserah terhadap ketentuan-Nya. Singkatnya seseorang itu wajib berupaya dan mempercayai takdir. Jadi para sahabat, kita ini selalu berlaku bagai ikan dilautan, yang selalu merengek-rengek kepada pemimpinnya agar diantarkan kelautan, apa pemimpinnya tidak menangis sedih?

Nabi,saw., bertanya kepada Haritsah,ra., ‘Apakah hakikat imanmu?’ Haritsah,ra., menjawab : ‘Telah kutanggalkan sifat-sifat diriku, dan aku berpaling dari dunia ini, sehingga batu-batu dan emas sama saja dalam pandanganku. Dan kujalani seluruh malam hariku dengan penuh jaga, dan segenap siang hariku dengan rasa dahaga, hingga aku merasa melihat Singgasana Tuhanku menjelma, dan penghuni surga saling kunjung mengunjungi dan penghuni neraka saling melempar.’ Nabi,saw., bersabda, mengulangi kata-kata ini tiga kali : ‘Engkau mengetahui, maka tekunlah dalam upaya.’ Hadis ini jelas sekali maknanya, yakni, upaya untuk menyangkal kesenangan dengan cara terjaga di malam hari, berpuasa di siang hari adalah tindakan manusia, sedangkan pelenyapan kesenangan adalah tindakan Tuhan, sehingga Allah membuat sifat-sifat diri dan keterkaitan dengan dunia ini lenyap, dan menjadikannya sampai pada tingkatan ‘Haqul Yaqin’, namun Haritsah,ra., tidak berkata bahwa Allah sudah menakdirkanku begini dan begitu, melainkan memperlihatkan tindak upayanya dalam riyadhah dan mujahadah dan menceritakan musyahadahnya. Dan yang mulia Rasul Allah pun berkata : ‘Tekunlah dalam upaya.’ dan tidak berkata ini adalah takdir, namun beliau selalu mengedapankan upaya dalam menggapai tujuan.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Jangan menyusahkan dirimu dengan sesuatu yang sudah ditakdirkan bagimu, dan jangan menyia-nyiakan sesuatu yang harus kau perbuat bagi dirimu.’ Ujaran ini mendukung kisah diatas, yakni, jangan menyusahkan diri dengan menggilai dunia dalam mencari penghidupan, karena tidaklah mungkin, Allah tidak memberikan sarana kehidupan bagi makhluk-Nya, khususnya bagi tumbuh-tumbuhan, binatang, jin dan manusia, karena apa yang sudah ditakdirkan dari kekekalan tak akan berubah oleh upaya, dan jangan sekali-kali menyia-nyiakan perintah-Nya, dan perintah ini hanya turun bagi manusia dan jin, atau bagi makhluk yang berakal, sebab manusia dan jin akan dihukum oleh-Nya jika menyia-nyiakannya.

Ada sebuah kisah yang dialami oleh Imam Hujwiri,ra., yang hidup sezaman dengan Syaikh Abu Ali al Farmadzi,qs., akhli silsilah Naqsyabandiyah, yang meriwayatkan : “Suatu hari aku menuangkan air di kedua belah tangan guruku yang bernama Syaikh Abuk Fadhl Muhammad bin Al-Hasan Al-Khuttali,ra., agar dia bisa membersihkan dirinya. Terpikir olehku : ‘Oleh karena setiap sesuatu sudah ditakdirkan, mengapa orang-orang yang merdeka mesti membuat diri mereka budak-budak dari pembimbing-pembimbing ruhani dengan harapan mempunyai karamah yang dianugerahkan kepada mereka?’ Gurunya berkata : ‘Wahai anakku, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Yakinlah bahwa ada seuatu sebab bagi setiap ketentuan Tuhan. Apapbila Tuhan hendak menganugerahkan mahkota dan kerajaan kepada anak penjaga pintu istana, Dia memberinya ampunan dan menggunakannya untuk melayani salah seorang sahabat-Nya, agar dengan demikian pelayanan ini bisa menjadi sarana baginya untuk mendapatkan karamah.’” Karena itu, selama ia disebut manusia, ia terikat untuk melaksanakan aturan-aturan ketaatan kepada Tuhan, dengan usaha dan jerih payahnya (takalluf). Seseorang yang melalaikan aturan-aturan, tak mungkin ia bisa mencapai kedekatakan dengan-Nya, karena perilaku-perilaku yang baik adalah ciri khas orang-orang yang dicintai Tuhan. Bilamana Tuhan menganugerahkan suatu kejaiban (karamah) atau maunah kepada seseorang, ini suatu bukti bahwa Dia menyebabkannya memenuhi tugas-tugas agama. Ini bertentangan dengan pandangan sebagian orang, yang menyatakan bahwa usaha atau upaya manusia dalam ketaatan pelaksanaan perintah Tuhan, merupakan tindakan Tuhan tanpa melibatkan tindakan manusia sama sekali.

Hadis riwayat Imam Ali,ra. Beliau berkata: 'Kami sedang mengiringi sebuah jenazah di Baqi Gharqad (sebuah tempat pemakaman di Madinah), lalu datanglah Rasulullah saw. menghampiri kami. Beliau segera duduk dan kami pun ikut duduk di sekeliling beliau yang ketika itu memegang sebatang tongkat kecil. Beliau menundukkan kepalanya dan mulailah membuat goresan-goresan kecil di tanah dengan tongkatnya itu kemudian beliau bersabda: Tidak ada seorang pun dari kamu sekalian atau tidak ada satu jiwa pun yang hidup kecuali telah Allah tentukan kedudukannya di dalam surga ataukah di dalam neraka serta apakah ia sebagai seorang yang sengsara ataukah sebagai seorang yang bahagia. Lalu seorang lelaki tiba-tiba bertanya: Wahai Rasulullah! Kalau begitu apakah tidak sebaiknya kita berserah diri kepada takdir kita dan meninggalkan amal-usaha? Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang telah ditentukan sebagai orang yang berbahagia, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang berbahagia. Dan barang siapa yang telah ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang sengsara. Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: Beramallah! Karena setiap orang akan dipermudah! Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang berbahagia, maka mereka akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang bahagia. Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang sengsara, maka mereka juga akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang sengsara. Kemudian beliau membacakan ayat berikut ini: Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.'

Makna hadist ini adalah bahwa, didalam takdir itu ada penetapan dan penerapan, penetapan adalah qadha dan penerapan adalah qadar. jika kebahagiaan ditetapkan bagi seseorang, maka hal itu ditetapkan dengan suatu sebab, dan sebabnya menjadi mudah, yaitu ketaatan. Dan sebaliknya, jika kemalangan ditetapkan naudzubillah mindzalik, maka hal itu ditetapkan melalui suatu sebab pula, yaitu kemalasan. Imam Al Ghazali,ra., berkata : ‘Ditentukan-Nya sebab-sebab universal yang asli, pasti dan stabil, seperti bumi, tutujuh langit, bintang gemintang dan benda benda langit, dengan gerakan-gerakanya yang harmonis dan konstan yang tidak berubah sampai apa yang tertulis terpenuhi, inilah takdir-Nya. Seperti yang difirmankan oleh Allah SWT : ‘Kemudian Dia menakdirkan mereka tujuh langit dalam dua hari dan menginpirasikan pada tiap-tiap langit mendatnya.’ (QS 041 : 12). Qadha-Nya adalah menetapkan sebab-sebab universal dan konstan. Qadar-Nya menerapkan sebab-sebab universal dengan gerakan-gerakannya yang sudah ditentukan dan terukur pada akibat-akibatnya, menurut ukuran yang sudah ditentukan yang tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan karena itulah maka tidak ada yang lolos dari qadha dan qadar-Nya.'

Seorang ayah menasihati anaknya, Jika engkau berkeinginan menjadi imam, maka bekerja keraslah, belajarlah, dan rajinlah. Anak itu menjawab : ‘Jika Allah sudah menakdirkan saya menjadi imam, maka tak perlu berusaha, namun jika Dia sudah menakdirkan saya akan menjadi bodoh, maka tak ada gunanya berusaha.’ Sang ayah berkata : ‘jika Dia tidak memberikan daya berpikir kepadamu, itu menunjukkan bahwa Dia menakdirkanmu menjadi bodoh.’ Ini berarti bahwa, jika Dia menakdirkan anak itu menjadi imam, maka Dia menetapkannya dalam sebab-sebab, sehingga sebab-sebab itu akan datang kepadanya, dan Dia akan menentukannya melalui sebab-sebabnya, dan Dia akan menyingkirkan darinya pikiran-pikiran yang akan membuatnya malas dan tidak bersemangat. Sesungguhnya orang yang tidak berusaha tidak akan mencapai kedudukan imam sama sekali, sedangkan bagi orang yang berusaha dan menemukan sebab-sebabnya yang dapat dijangkaunya, maka harapannya untuk mencapainya niscaya akan menjadi kenyataan. Oleh karenanya, tidak ada seorang pun yang mencapai kebahagiaan kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih. Kebersihan hati merupakan kualitas yang didapat melalui upaya, yakni riyadhah dan mujahadah atau dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah.

Dalam menyikapi takdir, bisa digolongkan menjadi empat tingkatan. Pertama, ada sebagian yang melihat awalnya dengan mempertimbangkan bahwa Ketentuan Allah ini tidak lepas sedikit pun dari hukum azali dan tidak akan berubah oleh upaya. Kedua, sebagian yang memandang akhirnya dengan melihat bagaimana akhir kehidupan mereka, namun karena akhir dari sesuatu itu masih merupakan misteri, maka ia berupaya. Ketiga, sebagian kehilangan masa lalu dan masa mendatang, dan merupakan putra-putra waktu (ibn waqttihi), karena mereka merenungkan Allah. Dan bahagia dengan hasil takdir Allah SWT dan apa yang muncul dari takdir itu. Kemudian yang keempat, ada sebagian orang yang kehilangan masa kini, masa lalu dan masa mendatang, yang hati mereka terserap dalam Sang Hakim, yang terus memandang-Nya.

Semoga Allah SWT berkenan memberikan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, dan mengampuni serta mensucikan kita semua, amiin ya Allah ya Rabbal Alamiin.