Rabu, 13 Januari 2010

TAREKAT DAN MAJLIS DZIKIR

Bismillahir Rahmaanir Rahiim.

Allah SWT berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.’ (QS 005 : 35).

Akhir-akhir ini banyak bermunculan majlis dzikir, tujuannya mestinya sama, yakni ingin memperoleh pengampunan dan pensucian dari Allah SWT. Meskipun, pada awalnya ada beberapa majlis yang dikenal sebagai tempat pengobatan dari berbagai penyakit dan atau tempat menimba kesaktian. Setelah diketahui banyak masyarakat yang haus akan praktik dzikir, dan pada setiap kesempatan acara dzikir berjamaah selalu penuh, maka majlis-majlis tadi berbondong-bondong merubah namanya menjadi majlis dzikir. Tidak mengapa, karena untuk menarik orang agar mau berdzikir harus diiming-imingi dengan hal-hal yang disukainya, asalkan tujuannya tidak untuk yang lain kecuali bersama-sama mengagungkan dan meng-esa-kan Allah se-esa-esa-Nya.

Pada kelompok majlis dzikir tarekat, ritual utamanya melakukan praktek dzikir berjamaah dengan cara-cara yang menakjubkan, sekaligus didalamnya ada majlis ilmu. Berbeda dengan kelompok majlis-majlis dzikir yang banyak bermunculan akhir-akhir ini, yang mempunyai niat untuk mencari nafkah, kekayaan, popularitas, dan penggalangan masa untuk tujuan politik. Kaifiat atau cara-cara dzikir, wirid, muroqobah, munqobah, yang dipraktekkan oleh kelompok majlis dzikir tarekat diseluruh dunia akan tetap sama, sejak dari para masyaikh terdahulu yang sanadnya sampai kepada Rasulullah,saw., hingga saat ini dan insya Allah sampai akhir zaman nantinya, sedangkan pada majlis dzikir yang bukan tarekat cara-caranya sesuai dengan kehendak pemimpinnya. Nama tarekat selalu menggunakan nama pembimbing spiritualnya terdahulu, yang telah mencapai tingkat kewalian yang tinggi dan tertinggi (Qutub), seperti Qodiriyah diambil dari nama Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir al Jailani,qs., lalu ada Naqsyabandiyah yang diambil dari nama Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyabandi,qs., lalu ada Chistiyah yang diambil dari nama Syaikh Muinuddin Cisty,qs., lalu ada Tijaniyah yang diambil dari nama Syaikh Ahmad Tijani,qs., lalu ada Sadziliyah diambil dari nama Imam Sadzili,ra. Tujuannya adalah untuk mendapatkan limpahan barokah dari kedekatan para masyaikh terdahulu kepada Tuhannya, agar dengan melestarikan dan tetap istiqomah mempraktekkan ajarannya, Tuhan berkenan meridhoi para pelakunya. Orang-orang yang telah sampai kepada Tuhan, mereka sebut sufi, sedangkan yang dalam perjalanan menuju Tuhan, mereka sebut mutashowwif dan ada yang berpura-pura berada pada jalan ini, yang secara lahiriyah menyerupai para sufi sekedar untuk mencari uang, kekayaan, kekuasaan, serta keuntungan-keuntungan duniawi, tapi sedikitpun tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu kesufian, mereka sebut mutashwif. Kelompok mutashwif ini, tumbuh subur dinegeri tercinta kita, jumlahnya banyak, bagai jamur yang tumbuh dimusim hujan. Pertanda bahwa, kita berada pada zaman kelemahan atau kemunduran dari kesucian. Akibatnya, ketamakan mendorong penguasa untuk bertindak sewenang-wenang, dan nafsu birahi mendorong ulama berbuat zina dan kemesuman. Dan sifat-sifat bermegah-megah mendorong ulama menjadi munafik, serta kebanggaan diri mendorongnya untuk menari dan menyanyi. Dilain pihak, para pejalan yang bersungguh-sungguh (mutashowwif) yang jumlahnya sedikit, percaya bahwa, dengan memasang kecintaan, mengingat dan menyebut-nyebut nama gurunya terdahulu, yang dijadikan nama tarekatnya, akan menjadikan wasilah atau tali agama guna menghubungkan secara cepat dari yang fenomena menuju kepada realitas, lantaran kedekatan mereka dengan Allah SWT. Sedangkan bagi majlis dzikir tidak demikian, mereka biasa menggunakan nama-nama yang disukainya yang sesuai dengan warna jiwanya. Syaikh agung Hadrat Abu Yazid al Bisthami,ra., berkata : ‘Barang siapa yang bertasawuf tanpa seorang Syaikh, maka syaikhnya adalah syaithon.’

Allah SWT berfirman : 'Maka bertanyalah kepada akhli dzikir jika kamu tidak mengetahui.' (QS 016 : 43) Pada ayat ini secara tersirat mengindikasikan bahwa praktik-praktik dzikir wajib hukumnya mendapatkan pengetahuan yang meliputi fadhilah atau manfaat serta cara-cara pelaksanaannya dari akhlinya, dengan cara bai'at sebagai sunah nabawiyah. Sehingga, niscaya ilmu dzikir ini turun temurun dari para masyaikh terdahulu. Pada majlis dzikir tidak akan dapat menyebutkan guru-gurunya terdahulu dan mungkin tidak ada gurunya, berbeda dengan kelompok tarekat, yang mempunyai sejarah lengkap tentang guru-gurunya terdahulu, termasuk petuah-petuah dan cara-cara atau kaifiat ritualnya. Sebagai contoh, silsilah pada tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Bogor Baru - Indonesia, yang bermula dari Rasulullah,saw., Sayidina Ali Bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Al-Imam Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja’far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali Bin Musa Al Rido, Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Bagdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa’id Mubarok Al Makhzumi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Bagdadi,qs., Syaikh Abdul Aziz Subhana Ghousus Saqolain, Syaikh Muhammad Al Hattak, Syaikh Syamsudin, Syaikh Syarofudin, Syaikh Nurudin, Syaikh Waliyudin, Syaikh Husamudin, Syaikh Yahya, Syaikh Abu Bakar, Syaikh Abdurohim, Syaikh Usman, Syaikh Abdul Fatah, Syaikh Muhammad Murod, Syaikh Syamsudin, Syaikh Ahmad Khotib Al-Syambasi, Syaikh Abdul Karim Tanara Al Bantani, Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu (Syaikh. Abdul Khoir), Syaikh Nurun Naum Suryadipraja bin H.Agus tajudin, hingga telah sampai kepada guru kami tercinta Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin bin H.Aminudin.

Tujuan tarekat yang disebutkan diatas adalah membentuk para pengikutnya mempunyai akhlak yang baik, yang tindakan-tindakannya terpuji tanpa upacara atau motif, tidak memiliki pretensi, sehinga bentuknya selaras dengan ruhnya. Karena akhlak adalah buah dari menanam pohon kecintaan dan kepatuhan dalam melaksanakan pekerjaan tarekat yang diterima dari gurunya atau mursyidnya. Dan bukan seperti orang-orang yang mengaku bermoral namun yang hanya melakukan tindakan-tindakan seremonial yang tidak mempunyai reealitas dan maujud dari motif-motif tertentu, sehingga bentuknya berlainan dengan ruhnya.

Salah satu tanda keadaan spiritual seseorang sudah mulai membaik, adalah merasa asing berada di dunia ini. Karena hatinya bercahaya, lantaran jiwanya selaras dengan anasir (unsur) alam semesta ini, yakni bumi, air, api dan udara. Ruh-nya rindu akan kampung halamannya dan ingin selalu berdekat dengan Pencipta-Nya. Keadaan ini niscaya karena pekerjaan dzikir-dzikirnya yang dikerjakannya secara istiqomah dan dengan cara (kaifiat) yang benar. Ada dzikir dhorob atau dzikir nafi isbat, yaitu dzikir yang bersuara dengan satu, dua, tiga atau empat ketukan, yang bertujuan untuk mencerahkan hati. Lalu ada dzikir lathif, yaitu dzikir yang tidak bersuara dengan tujuh tingkatan, yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran, memberhangus sifat-sifat yang buruk (majmumah) dan menggantikannya dengan sifat-sifat yang baik (mahmudah). Kemudian ada dzikir lam nafi isbat, atau bisa disebut sebagai dzikir penutup setelah dzikir lathif selesai dikerjakan, yang berfungsi untuk memberhangus kemunafikan dan membangkitkan kecintaan kepada Allah SWT. Kemudian ada dzikir nafas (hifzul anfas) dengan tehnik yang bermacam-macam, dan masih banyak lagi. Nah orang asing, adalah orang yang cara padang, rasa dan daya pikirnya serta ucapannya berbeda dengan manusia biasa, karena hatinya telah terpenuhi oleh cahaya Tuhan, sehingga ruhnya selalu berada dilangit meskipun jasadnya dibumi bersama-sama keluarganya, murid-muridnya dan masyarakat lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.