Selasa, 19 Januari 2010

HARAP (ROJA) - TAKUT (KHAUF)

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.’ (QS 033 : 21)

Masih tentang harap (roja), namun dari perspektif yang berbeda, khususnya harapan akan rahmat Allah. Dalam hal ini yang dimaksud dengan harap (roja) adalah keadaan hati yang sepenuhnya terpaut kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi dimasa yang akan datang, sebagaimana takut (khauf) juga demikian. Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘“Harap (roja) yang sangat kuat terletak pada janji Allah SWT, seperti yang tertuang pada hadist qudsi, bahwa Rasulullah,saw., bersabda, bahwa Allah SWT berfirman : ‘Rahmat-Ku mendahului murka-Ku.’” Orang awam mungkin saja sering mendengar hadist ini, namun tidak memasuki sebuah rasa yang hakiki dan terbukanya rahasia-rahasia yang berada didalamnya. Oleh karenanya mereka menyikapinya dengan biasa-biasa saja. Berbeda dengan para mutashowif atau para penempuh jalan kesucian (kesufian) yang telah tenggelam didalam muroqobah (meditasi) Ismul Azhom, khususnya yang berkenaan dengan sifat Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim dan Al-Ghofur. Sebagaimana kayu yang terbakar oleh api, maka sifat-sifat kayu akan hilang dan menjelma menjadi api, demikian pula para akhli muroqobah (meditasi), manakala sifat-sifat dirinya lenyap dan terkuasai oleh Sifat-Sifat-NYa, akan menjadikan cara pandang, rasa dan daya pikirnya terhadap rahmat Allah menjadi berbeda. Disinilah para pejalan telah terbusanai maqom harap (roja) yang kuat.

Pemilik maqom raja tertinggi ada pada diri Abu Bakar as-Siddiq,ra., sehingga harapannya terhadap janji Allah mendekati tashdiq (pembenaran). Ketika perang badar berlangsung Rasulullah,saw., berdoa : ‘Ya Allah, jika sekelompok manusia ( dari umat Islam) ini Engkau hancurkan, maka setelah itu Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini.’ Mendengar itu, Abu Bakar,ra., berkata : ‘Wahai Rasulullah tinggalkanlah permohonanmu itu, sebab, demi Allah, Dia pasti mengabulkan apa yang dijanjikan kepada-Mu.’ Janji yang dimaksud adalah sesuai dengan wahyu yang turun beberapa waktu sebelum perang badar terjadi : ‘Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman. kelak akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.’ (QS 008 : 12) Pada kisah ini, ada permohonan dan keyakinan terhadap pengabulan akan janji Allah. Rasulullah,saw., lebih mengetahui Allah daripada Abu Bakar,ra., sementara Abu Bakar,ra., lebih kuat imannya daripada para sahabat yang lain. Sah hukumnya dan tidak merusak adab bagi seorang sahabat menyampaikan pendapatnya kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan hubungan kedekatan yang istimewa antara Rasulullah,saw., dengan sahabat gua-nya ini. Meskipun Rasulullah,saw., jauh lebih sempurna daripada Abu Bakar,ra., dalam segala kondisi spiritual, sehingga beliau tahu dari Allah apa yang tidak diketahui Abu Bakar,ra., dan juga sahabat yang lain. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Pemilik maqom raja, tidak diperkenankan menyampaikan hal-hal yang dikhususkan bagi dirinya kepada orang lain.’ Dikhawatirkan dengan menyampaikan keajaiban-keajaiban ‘Kemurahan Tuhan’ akan membuat murid-murid menjadi malas dan bersandar kepada Kemurahan-Nya tanpa melakukan tindak riyadhah dan mujahadah yang gigih.
Untuk membangkitkan semangat juang para pejalan yang telah menyentuh maqom harap (roja), Syah Syuja Kirmani,ra., berkata kepada Syaikh Abu Utsman al Hiri,qs., murid kesayangan dari Syaikh Yahya bin Mu’adz,ra., : ‘Engkau telah dibesarkan dalam doktrin harap ‘raja’, yang menjadi sikap gurumu. Tak seorang pun yang telah menghirup doktrin ini dapat menempuh jalan penyucian karena suatu kepercayaan mekanis kepada harap (raja) menghasilkan kemalasan.’ Ketika di Nisyapur Syaikh Abu Utsman al Hiri,qs., mengakui ujaran ini dan berkata dalam pandangan yang berbeda : ‘Sudah sepantasnya orang yang telah Tuhan muliakan dengan makrifat, tidak menghinakan dirinya dengan kedurhakaan kepada Tuhan.’ Kedurhakaan adalah tindak manusia sedangkan makrifat merupakan anugerah Tuhan. Mustahil bahwa orang yang dimuliakan dengan anugerah Tuhan akan terhina karena tindakannya sendiri. Sebagaimana Tuhan memuliakan Adam,as., dengan pengetahuan dan Dia tidak menghinakannya lantaran dosa yang diperbuatnya. Karenanya, pengetahuan yang dibukakan kepada para Aulia Allah terhadap hal-hal yang demikian, jika disampaikan kepada murid-murid bisa jadi disalah artikan, sehingga mereka terjerumus kedalam jurang kemalasan dan bersandar kepada Kemurahan Tuhan dari sifat Kasih Sayang-Nya kepada manusia yang tidak terbatas.

Terdapat dua orang yang bernama Yahya dalam sejarah Islam, yang menempuh jalan takut (khauf) dan harap (roja) begitu tinggi, yang pertama adalah nabiyullah Yahya bin Zakaria,as., yang menempuh jalan takut (khauf) sehingga semua pengikutnya dikuasai oleh rasa takut dan putus harap akan keselamatan mereka, sedangkan yang kedua adalah Syaikh Yahya bin Mu’adz,ra., sezaman dengan Imam Junayd al Bagdadi,ra., yang menempuh jalan harap (roja) sehingga dia mengikat erat tangan-tangan semua murid-muridnya pada harap (roja). Seseorang berkata kepada Syaikh Mu’adz,ra., : ‘Wahai Syaikh, maqom-mu adalah maqom harap, tetapi amalanmu adalah amalan orang-orang yang takut.’ Dijawab : ‘Ketahuilah, anakku, bahwa meninggalkan ibadah kepada Tuhan, adalah tersesat.’ Jawaban ini menunjukkan upaya yang sungguh dalam melakukan riyadhah dan mujahdah atau dalam melaksanakan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah, tanpa menganggap sepele amalan-amalan yang sekecil apapun, meskipun hanya memberikan sebuah kurma. Takut (khauf) dan harap (roja) adalah dua sokoguru iman. Mustahil bagi seseorang akan tersesat lantaran mengamalkan salah satu diantara keduanya. Orang-orang yang takut (khauf) itu melakukan ibadah karena takut berpisah dari Tuhan, dan orang-orang yang berharap (roja) itu melakukannya karena berharap dapat bersatu dengan Tuhan. Kelompok dzahiran menyangkal adanya ‘kebersatuan dengan Tuhan’, padahal yang dimaksud persatuan dengan Tuhan adalah perpisahan dari segala yang lain, dan perpisahan dari segala yang lain adalah persatuan dengan-Nya. Seseorang yang pikirannya bersatu dengan Tuhan, dia terpisah dari segala yang lain, dan sebaliknya, karena itu, persatuan pikiran dengan Tuhan merupakan perpisahan dari memikirkan benda-benda ciptaan, dan berpaling dari fenomena adalah berpaling kepada Tuhan. Tanpa dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah yang keras takut (khauf) dan harap (roja) tak bisa benar-benar dirasakan.

Beberapa Syaikh sufi mengatakan bahwa memasuki pintu maqom harap (roja), setelah berada pada maqom takut (khauf), sehingga ketakutannya akan sirna manakala harapannya terhadap janji Allah meliputi hatinya. Rahmat Allah sangat diharapkan oleh manusia yang beriman dan berilmu tinggi, karena bila Allah menggunakan Keadilan-Nya, maka tak satupun manusia akan selamat, oleh sebab timbangan (mizan) akan terlalu berat kekiri lantaran dosa-dosa yang di perbuatnya dibanding dengan rasa syukur terhadap nikmat-nikmat yang dihamparkan oleh-Nya. Karena manusia yang bersyukur atas rahmat Allah sangat sedikit, melihatnya harus menggunakan kacamata ilmu. Seperti seseorang yang ingin menghadiri acara pesta pernikahan, setelah selesai menghias diri dan bersiap-siap berangkat, tiba-tiba hujan lebat turun. Dalam keadaan ini kebanyakan orang akan menggerutu lantaran hujan ini, padahal hujan adalah Rahmat Allah, yang menghidupi bumi dan makhluk yang berada didalam maupun diatasnya. Oleh karenanya harapan akan dipenuhinya janji yang berupa rahmat ini menjadi begitu penting dan sangat kuat. Sehingga Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Kita harus mewaspadai rahmat Allah SWT, mensyukuri, mencermatinya dengan banyak melakukan peribadatan. Rahmat ada didalam sifat ar-Rahman-Nya, Allah SWT masih menggenggam 99 rahmat untuk diberikan kepada orang mukmin saja di akhirat nantinya, sedangkan 1 rahmat telah dan akan terus dihamparkan di dunia dan seisinya yang dinikmati oleh seluruh makhluk, termasuk manusia yang disebutkan paling sempurna dan paling murni.’ Rahmat diturunkan dari sifat Ar-Rahmaan, satu rahmat saja untuk dunia ini, menjadikan segala sesuatu terhampar ada. Lalu manusia diberikan kebebasan untuk memilih, untuk kebaikan atau kejahatan. Orang kaya bisa menjadi sombong karena harta banyak, berarti hati manuisa tidak mampu menahan satu rahmat saja yg diturunkan keatas bumi ini, lalu siapa yang mampu menahannya? Ialah para akhli dzikir yang hatinya lembut dan tenang, dan pastinya dipakainya untuk kebaikan-kebaikan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Allah memiliki sifat Yang Maha Pengampun, yaitu menyembunyikan dosa-dosa manusia diatas bumi ini, dan dengan tidak membalasnya di akhirat nantinya. Sifat ini dibagi menjadi tiga tahapan yang seluruhnya mengandung harap (roja). Allah Maha menutupi aib manusia diatas bumi ini disebut AL Ghafir (Yang Mengampuni), termasuk menutupi bagian tubuh yang mata akan jijik melihatnya, seperti usus, limpa, otak dengan keindahan bagian luar tubuh. Kemudian Dia juga menutupi pikiran-pikiran buruk, maksud buruk, penipuan dan pengkhianatan manusia, bila tidak demikian maka tak satupun makhluk di bumi ini yang mau bergaul satu dengan yang lainnya, karena bentuk aib-nya begitu memalukan, oleh karena itu Dia menyembunyikannya. Mengapa? Karena Rahmaan dan Rahiim-Nya, meskipun, kebanyakan manusia setelah ditutupi aibnya merasa bagai orang bersih dan bertingkah bagai akhli surga. Lalu Al Ghofur (Yang Maha Mengampuni), yang menunjukkan banyak pengampunan terhadap banyak pelanggaran dan menyelimutinya segala dosa-dosa dan kesalahan manusia, malaikat pun tidak mengetahuinya, tentu bagi orang Islam saja. Lalu ada satu lagi Al Ghofar (Yang Penuh Pengampunan), menunjukkan keberulangan pengampunan terhadap kesalahan manusia dan Allah menutupi segala dosa-dosa. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Setelah shalat Jum’at sangat baik mewiridkan ‘Ya Allah … ya Ghofur .. ya Ghofur’ seratus kali banyaknya, Allah akan mempertebal harapan (raja) didalam hati seseorang akan janji Allah SWT berupa ‘Rahmat-Ku mendahului Murka-Ku’.

Rasulullah,saw., bersabda : 'Kalaulah ditimbang rasa takut dan harap orang beriman, niscaya keduanya pasti berimbang.' Namun, ada suatu keadaan dimana harapan seseorang lebih besar ketimbang rasa takutnya kepada Allah SWT, dan harapan semua orang Islam mestilah demikian, yakni ketika dalam keadaan sakaratul maut. Rasulullah,saw., bersabda : 'Janganlah salah seorang diantara kalian meninggal melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.' Yang dimaksud adalah menyadari bahwa rahmat Allah lebih didahulukan-Nya daripada murka-Nya, dan meyakini betapa luasnya Kasih Sayang serta pertolongan-Nya. Dengan demikian, harapan kepada rahmat dan kasih sayang Allah akan lebih besar ketimbang rasa takutnya terhadap Keperkasaan-Nya, sehingga ia akan mendekat kepada Allah dan dengan penuh harap memohon belas kasihan-Nya dengan hati yang tawadhu serta menyesali segala kesalahan dan dosa, agar pengharapannya itu dikabulkan oleh Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Semoga Allah SWT berkenan mengantar para pejalan masuk kedalam masuk harap ini, sehingga dapat merasakannya, bila tidak hanya menjadi sebuah cerita saja.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.