Selasa, 29 Desember 2020

MAKNA MAULID - AKHLAK DAN ADAB

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

eSHa 29/12/2020

Yang mulia baginda Nabi Muhammad,saw, bersabda : ‘innama bu'istu liutammima makarimal akhlak.’

Adanya hadis diatas menjadikan manusia berlomba untuk memperbaiki akhlak, khususnya para orang tua dalam menididik anak-anaknya. Merasa dengan demikian sudah turut membantu Rasulullah,saw, dalam membangun akhlak manusia. Bahkan di tahun 1970an pada setiap Sekolah Dasar ada kurikulum tentang agama dan budi pekerti (akhlak), tetapi di era tahun 2000an sudah tidak ada. Apakah cukup pendidikan dari orang tua dalam mendidik anak-anaknya dalam membangun akhlak yang baik?

Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya : ‘Wama khalaqtul jinna wal Insa illa liya'budun.’ Tetapi kebanyakan manusia jika ditanya apa yang diinginkan di dalam hidup ini jawabannya adalah kebahagiaan. Disebabkan definisi kebahagiaan berbeda-beda sesuai dengan warna jiwa seseorang, maka kebanyakan mencarinya di tempat yang salah dan tidak mendapatkannya, meskipun sudah berkecukupan harta benda dan tahtanya. Seorang Syeikh mengatakan bahwa : ‘Sesungguhnya kebahagiaan itu ada didalam akhlakul karimah atau akhlak yang terpuji.’ Dan dikatakan bahwa : ‘Ibadah adalah kehambaan dan kehambaan itu tidak tercapai melainkan apabila memiliki akhlak yang mulia.’ Apakah yang dimaksud dengan akhlak adalah menundukkan diri tatkala bertemu dengan orang yang lebih tua, atau memberi tempat duduk bagi wanita, atau duduk bersila dan menundukkan kepada dihadapan guru?.

Para syekh sufi berdiri pada prinsip bahwa yang dimaksud dengan hadist : ‘innama bu’istu liutammima makarimal akhlak, adalah bahwa Nabi,saw dijadikan rasul dengan membawa Al Qur’an dan sunahnya semata-mata sebagai konsep untuk melahirkan akhlak.’ Jadi sama artinya bahwa sebetulnya agama ini diturunkan untuk membangun akhlak, bahkan dikatakan tanpa ada agama manusia tidak akan bisa berakhlak, akhlak yang dimaksud adalah akhlak kasbiyah, akhlak yang dicapai melalui pelaksanaan agama atau bisa disebut sebagai adab, oleh karenanya bila tidak ada agama maka tidak akan ada adab. Perangkat utama yang dibutuhkan manusia untuk melaksanakan akhlak adalah akal, karena fungsi akal adalah ‘mengikat’, itu sebab orang yang tidak berakal tidak ada taklif atau kewajiban agama, dan yang lain adalah ilmu, dengan adanya ilmu maka dapat mengamalkan ‘agama’ itu sendiri.

Dalam hadis itu baginda Nabi,saw mengatakan ‘liutammima’ yang sering diartikan sebagai sempurna, sedangkan para syeikh sufi memberikan makna untuk mempersiapkan atau untuk mewujudkan atau untuk membangun akhlakul karimah, atau dengan kata lain untuk menanam biji akhlak dan menyiraminya dengan pelaksanaan agama sehingga tumbuh cabang dan buah akhlak-akhlak yang mulia. Akhlak yang dimaksud adalah yang tumbuh dari melaksanakan agama, oleh karena itu perlu dipahami bahwasannya akhlak itu ada dua, akhlak jibiliyah (bawaan) dan akhlak kasbiyah (adab). Akhlak jibiliyah adalah akhlak bawaan atau fitrah atau dalam bahasa kimia disebut inheren, akhlak yang sudah ditanamkan kedalam tubuh ini, seperti rasa jahe di dalam batang jahe. Akhlak ini tidak bisa dirubah, tidak bisa dihilangkan, semua manusia mepunyainya, sebagaimana Allah SWT firmankan : ‘wanafsi wama syawwaha, fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,’ maknanya bahwa tubuh ini sudah dipersiapkan dan sudah mengandung bawaan sifat ‘fujur’ dan sifat ‘takwa’, sedangkan yang dimaksud dengan akhlak kasbiyah (adab) adalah yang diperoleh melalui upaya, sebagaimana lanjutan ayat diatas : ‘qod aflaha man zakkaha’ maksudnya adalah orang yang melakukan pembersihan diri akan mendapatkan akhlak kasbiyah (adab). Maka pada setiap manusia untuk melahirkan perbuatan baik dan buruk pastilah menggunakan akal dan ilmu, oleh sebab itu ketika akal tidak ada atau tidak waras, maka tidak akan mampu untuk mengaplikasikan kebaikan ataupun keburukan, padahal sifatnya inheren atau ada dalam tubuhnya. Jadi sebodoh-bodohnya orang tetap mempunyai pikiran baik dan buruk. Yang perlu disadari bahwa akhlak jibiliyah atau akhlak bawaan ini bersifat ‘ananiyah’ atau pribadi atau selalu bersentuhan dengan maslahat pribadi. Oleh karenanya jika melakukan kebaikan maka keuntungannya mesti kembali kepada dirinya, kalau tidak maka tidak mau melakukannya. Misalnya, memberi makan orang atau membantu orang lain dalam bentuk materi atau tenaga dan pikiran adalah perbuatan baik, tetapi karena ada tuntutan ucapan terima kasih maka munculah perbuatan buruk, padahal agama memerintah tanpa pamrih. Memberi adalah kebaikan tetapai menuntut ucapan terima kasih adalah keburukan, atau dengan kata lain bahwa kebaikan yang sudah diberikan akan berakhir dengan keburukan. Para sahabat Rasulullah,saw, ketika memberi mereka takut jika akan ada balasan ucapan terima kasih, karena mereka mempunyai akhlak kasbiyah (adab), akhlak diniyah, atau para syeikh sufi mengatakan akhlak Al Muhammadiyah.

Sungguh sangat jelas bahwa agama diturunkan sebagai media untuk membangun akhlak, namun membangun akhlak didalam rohani bukan jasmani, oleh karenanya Al Qur’an itu adalah hidayah ruhiyah, sebagaimana ayat awal dalam surat al baqoroh ‘Dzalikal kitabu la raiba fih’ kata ‘rai’ saja sudah mencerminkan ruhiyah bukan aqliyah, dan hudalil muttaqin, bahwa Nabi,saw pernah berkata sampai tiga kali ‘at taqwa hahuna’ sambal menepuk dadanya (latifatul qolbi). Tetapi yang sangat penting bahwa untuk mendapatkan akhlak kasbiyah (adab) ini, manusia mesti melakukan agama secara ‘lillaahi ta'ala’. Oleh karenya manusia belum bisa melaksanakan agama jika motor penggeraknya adalah sifat kebaikan bawaan (akhlak jibiliyah), ini tidak lah cukup, karena sifatnya individual dan egois atau pamrih. Maka ciri-ciri orang yang melaksanakan agama menggunakan akhlak bawaan adalah ‘ananiyah’ atau mengaku, ananiyah itu artinya egois, motivasinya adalah kepentingan pribadi, maslahat diri, yang kedua mengaku bahwa sudah menyabari, sudah meridhoi, sudah mensyukuri, padahal itu bukan akhlak yang sebenarnya, itu akhlak bawaan, anak kecil pun juga punya meskipun akalnya belum di taklik, tapi sifat baik buruknya sudah ada, dan melakukan kebaikan hanya untuk kemaslahatan pribadi, kalau tidak ada kebaikannya pada diri, maka anak kecil itu tidak akan melakukannya, sampai dewasa akan begitu terus. Maka orang seperti ini akan sering mengguman : ‘saya kurang bagaimana sabar, saya kurang bagaimana ridho, saya kurang bagaimana dan bagaimana,’ karena merasa yang telah dilakukannya tidak ada maslahat yang kembali kepada dirinya. Adapun akhlakul karimah yang disebut-sebut dalam Alquran dan hadis yang dikatakan ‘wa innaka la'ala khuluqin adzim’ itu adalah akhlak kasbiyah (adab), orang sufi mengatakan ahklak sayidina Muhammad,saw. Apabila orang memiliki akhlak kasbiyah ini dan ditanya apa rasanya, maka akan dijawab rasa Muhammad,saw.

Imam Ibnu Arabi,qs, pernah memberikan analogi bagaimana orang yang memiliki akhlak kasbiyah (adab) dapat merasakan kehadiran Nabi,saw. Dikatakan seperti anak muda ketika belum menjadi ayah, dia tidak mengerti rasa sebagai ayah, tetapi setelah dia punya anak dan istri barulah ayah itu ada pada dirinya, yang sebelumnya tidak dipahami baru kemudian dapat dipahami, maka akan mengerti mengapa ayahnya dahulu bersikap begini dan begitu, perumpamaannya seperti itu. Seseorang tidak akan paham Nabi,saw kecuali jika memiliki akhlak kasbiyah itu, kita pun tidak paham bagaimana menjalankan agama kalau tidak mempunyai akhlak kasbiyah. Tidak ada jalan untuk memperolehnya kecuali melalui pelaksanakan agama ini tetapi lillaah atau orientasi hati jujur kepada Allah (siddiqut tawajjuh). Banyak penceramah di tv, apabila mengajak orang shalat mesti embel-embelnya nanti rezekinya banyak, kalau mengajak orang shodaqoh mesti akan mendapat balasan yang berlipat ganda, jika bisnisman jatuh atau gagal lalu kalau pengen maju mesti sodaqoh nanti dapat ini dan dapat itu, ini kan ajaran sesat dalam konteks tasawuf. Kita perlu orang-orang yang membangun agama di dalam jiwanya, melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah. Tetapi dalam dalam lain waktu penceramah tadi berbicara aqidah, bahwa rezeki sudah Allah tentukan tidak ada kaitannya dengan upaya manusia, itu pertanda bahwa agama itu hanya dalam nash, hanya dalam lisan, tidak dalam hakikat jiwanya. Satu-satunya cara untuk mendapatkan akhlak kasbiyah (adab) itu melainkan beribadah karena Allah saja, shalat karena Allah, shodaqoh karena Allah, ngaji karena Allah, nanti ngajarnya juga Karena Allah, semuanya karena Allah, barulah akan terbangun manusia rohani yang berakhlak kasbiyah (adab), pada gilirannya baru bisa dengan betul melaksanakan agama seperti yang dikehendaki Allah. Maka selama melakukan agama itu tidak karena Allah, maka pelaksanaan agama itu akan diakui oleh akhlak jibiliyahnya, aku sudah shalat, aku sudah puasa, aku sudah shodaqoh, aku sudah mengajar, aku sudah dzikir, bahkan tidak boleh dihina, tidak boleh dicaci atau di remehkan, karena selalu mengaku dan merasa alim, atau mengaku keturunan orang besar, atau keturunan ulama dan lain sebagainya, seolah-olah agama itu miliknya. Dan ciri yang terparah manakala selalu mengaku yang terbesar dan terbaik meskipun terkadang ucapannya merendah tetapi mengharapkan pujian, dipikirannya selalu mengakui ‘ana khairun minhu’, seperti iblis yang pertama kali mengatakan itu.

Mawlid sebetulnya media untuk memperoleh waris akhlak Nabi Muhammad,saw, akhlak-akhlak ruhiyah, akhlak diniyah ‘innama bu’istu liutammima makarimal akhlak.’ Orang mungkin sudah mencapai ilmu yang cukup untuk melaksanakan agama, tetapi mereka tidak mempunyai tarbiyah membangun akhlak ruhiyahnya atau akhlak kasbiyah. Sebenarnya tasawuf adalah madrasah yang mengajarkan agar umat Islam dapat mencapai akhlak kasbiyah itu, karena tasawuf sebenarnya hanya sebuah madrasah tarbiyah untuk meluruskan atau membetulkan tujuan hidup ini, tujuan ibadah ini dari karena selain Allah kepada karena Allah. Kebengkokan ini memang perlu waktu untuk diluruskan, jangan sekali-kali masuk ke dalam tasawuf dengan buru-buru baiat, kecuali sudah mengerti bahwa sebetulnya taubat itu bukan dari dosa akibat melanggar syariah melainkan taubat dari ibadah yang selama ini belum karena Allah. Karena jika taubat dari dosa tidak perlu masuk tasawuf, karena semua umat Islam jika berdosa lalu bertobat, lalu apa bedanya? Orang masuk kedalam tasawuf meski menyadari bahwa tasawuf adalah merubah tawajjuh siddiq lillaah. Jadi baiat adalah pintu gerbang besar untuk menanggalkan selain Allah dan meninggalkan dirinya untuk masuk kepada menunggalkan Allah SWT dan madrasah tasawuf untuk membangun akhlak ruhiyah, kasbiyah, diniyah, Muhammadiyah untuk mengalahkan akhlak Jibiliyah, akhlak bawaan. Dalam Bahasa lain, maksudnya adalah bahwa dominasi akhlak ruhani (adab) sangat kuat sehingga akhlak nafsiah nya itu menjadi mati, dan menjadi kendaraan untuk menuju kepada Allah SWT. Orang yang demikian akan mampu mengendalikan akhlak jasadiyahnya, baik nafsu syahwat atau ghodobiyah yang Allah anugerahkan sebagai nikmat besar dalam tubuh ini.

Nah maka kita masing-masing introspeksi kepada diri kita semua bahwa Maulid, ini sebetulnya sebuah media propaganda untuk memperkenalkan akhlak Rasulullah saw yang kita perlukan, yang dalam isyarohnya bahwasanya Nabi,saw meminta dicintai lebih daripada cinta kepada diri, yang maksudnya karena sifat baik yang ada dalam tubuh ini merupakan sifat bawaan dan cintanya kepada diri, sebagaimana dalam Al Qur’an dikatakan betapa manusia itu mencintai dirinya ‘li hubbil khairy lasyadid’, maka selama hidup harus berjuang melaksanakan agama karena Lillaah, agar bisa membawa amanah ini sampai kepada Allah SWT. Jadi sebetulnya tujuan daripada hidup ini adalah untuk liya'budun aliyarifun yaitu untuk mendapat akhlak sayyidina Muhammad,saw dan dengan agama ini kita dapat berakhlak kasbiyah, pada gilirannya ketika sudah ada akhlak kasbiyah, kita melaksanakan agama dengan akhlak itu dan itulah yang dikatakan menjadi Muhammad,saw.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

Minggu, 31 Mei 2020

MAKNA DIBALIK BENTUK

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
eSHa 31/5/20

Wahyu atau Kitab-kitab Samawi diturunkan bertujuan untuk mendidik (tarbiyah) ruhani agar berfungsi sesuai dengan perannya. Ruh manusia dicipta langsung oleh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, maka sifat ruh itu penuh dengan segala kebaikan, tumpah ruah sifat-sifat yang mahmudah, katakan ‘serupa’ dengan pencipta-Nya. Karena ‘serupa’ maka ruh mengenal dan akrab dengan-Nya. Begitu Dia meniupkan ruh ini kedalam jasad manusia, sontak ruh itu terbungkus oleh kegelapan dunia, oleh karat-karat bekas nafsu dan bekas taat, dan pada akhirnya ruhani manusia terpenjara oleh nafsunya. Untuk menggali permata ruh ini, harus dimulai dari luar atau dari jasad atau jasmani yang tentunya menggunakan akal, maka perintah dan larangan-Nya dilakukan menggunakan akal terlebih dahulu, tanpa akal meskipun berwujud manusia tetapi sesungguhnya ia binatang. Oleh sebab itu, Kitab-kitab Samawi, khususnya Al Qur’an adalah sebuah kitab yang tidak hanya memerlukan akal pikiran untuk memahaminya tetapi juga terutama menggunakan ruhani. Maka sangat penting bahwa akal ini harus selalu diberi asupan pengetahuan tentang Tuhan secara terus menerus, bisa dari membaca kitab-kitab karya para AuliaAllah yang mudah ditemukan di toko buku, atau mendengarkan tausyiah dari para murobbi. Fungsi akal adalah bagaimana kita melakukan penalaran, melakukan proses pemahaman, memandang dan mengkritisi segala sesuatu. Sedangkan fungsi ruhani adalah untuk musyahadah atau menyaksikan Allah (syuhud). Kalau kita tidak menyaksikan Allah (syuhud) berarti ruh yang kita miliki itu sebenarnya dalam posisi nganggur, jadi kalau akal itu mengajarkan nalar, bersikap kritis dan ketajaman untuk membaca segala sesuatu, sementara ruh itu memiliki potensi untuk merasakan Allah (dzauq), untuk menyaksikan Allah (syuhud) sehingga akan menimbulkan kesan (wijdaan). Menyaksikan Allah itu bermula dari melihat makna dibalik segala peristiwa atau segala wujud, mata jasmani hanya mampu melihat warna, rupa dan bentuk, tetapi bashirah atau mata batin itu mampu melihat makna dibalik segala sesuatu. Nah, apakah makna segala sesuatu? Makna segala sesuatu adalah Allah, Allah lah yang berada di balik segala warna, rupa dan bentuk itu. Maka jika kita melihat warna, rupa dan bentuk lebih ‘tampak dominan' dibandingkan dengan makna, berarti masih minim penggunaan ruh kita untuk merasakan dan menyaksikan Allah. Padahal disetiap mendengar azan dan mendirikan sholat kita ini bersyahadat, bersyahadat (syuhud) itu sebenarnya kita bersaksi atau menyaksikan makna atau pelaku dibalik segala sesuatu itu yakni Allah, tetapi faktanya kita tidak melihat Allah, sehingga syahadat kita itu baru merupakan formalitas dan tidak betul-betul atau tidak mengantarkan kita untuk menyaksikan Allah lebih nyata dibandingkan makhluk-makhluk-Nya. Padahal syahadat adalah rukun Islam yang pertama, artinya tanpanya bentuk peribadatan yang lain tidak ada makna. Nabiyullah Adam,as, mendapatkan ampunan-Nya lantaran bersaksi dengan syahadat ini. Jadi hal ini sesungguhnya merupakan tuntutan spritual bagi kita, bagaimana syahadat itu ‘nyata’ bukan syahadat yang formal yang hafal di luar kepala yang dengan mudah kita ucapkan dengan lisan tanpa makna. Artinya, kita membaca syahadat belum mengalami syahadat, sebagaimana mengucapkan takbir belum menyaksikan Akbarnya Allah SWT. Inilah sebuah cakrawala rohani di mana kita mesti melampaui segala sesuatu dengan selalu memohon bimbingan-Nya agar ruh kita tercahayai kembali oleh Sinar Keagungan-Nya.

Tanda manusia hidup salah satunya adalah bernafas, karena sejak dini manusia itu bernafas, maka nafas dianggap biasa dan sepele, padahal nafas ini menjadi bermakna agung bagi para sufi, bagi orang-orang yang merasakan Allah. Karena sebenarnya pada setiap tarikan nafas yang masuk dan hembusan nafas yang keluar terjadi takdir Allah untuk kita, realisasi dari qodho, atau konsep-Nya yang keluar dari Ilmu-Nya atau sifat-sifat-Nya dizaman azali yang disebut qadar atau Perbuatan-Nya. Jika Allah ta'ala itu merealisasikan takdirnya, bukankah sesungguhnya takdir itu bersentuhan dengan diri kita secara terus menerus dan ketika takdir itu bersentuhan dengan diri kita, bukankah seharusnya kita merasakan-Nya? Bagaimana dengan kedipan mata, pendengaran telinga, setiap gerakan anggota badan dan detak jantung? Itu semua sebenarnya adalah momen dimana Allah menyentuh kita dengan takdir-Nya, tapi merasakah kita? Nah ini yang jadi persoalan, sehingga kemudian Allah itu dirasa ghaib, dirasa jauh, dirasa berada di antah berantah entah di mana, berarti belum connect (wushul) antara Allah yang menggerakkan takdir-Nya dengan diri kita, belum online, sehingga kita tidak merasakan Mahadekatnya Allah, tidak merasakan sesungguhnya Allah sedang mengoperasikan takdir-Nya untuk diri kita, nah rasa ini sebenarnya yang perlu kita asah, meskipun kita meyakini bahwa rasa (musyahadah atau ma’rifat) adalah hak Allah untuk memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa sebab, namun para syaikh sufi mengajarkan kepada kita untuk selalu berbaik sangka dan berupaya atau melatih merasakannya dengan selalu berdoa memohon kepada-Nya : ‘Ilaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin.’

Memangnya siapa yang mengatur setiap tarikan dan hembusan nafas, siapa yang membuka dan menutup mata dan siapa yang membuat kita mampu mengeluarkan kotoran atas makanan dan minuman yang kita konsumsi? Bila tidak, sebesar apa kita? Sesungguhnya Allah sedang memanjakan, menina bobokan dan mengurusi kita dengan penuh Kasih dan Sayang, namun kita tidak merasakannya atau tidak merasa diurus, sungguh ironis. Padahal kualitas peribadatan terletak pada praktek yang benar terhadap syariat dan yang utama adalah terletak pada sebuah rasa (musyahadah). Misalnya kita mengucap dan menulis buah ‘kurma’ tetapi kita tidak merasakannya, sama saja dengan hampa, apa artinya mengucap dzikir laa ilaaha illallaah tetapi ketunggalan-Nya tak kunjung dirasakan malah sibuk merasakan yang lain, nah kearah ini mestinya kita memproses rohani diri, biar tidak hampa, hampa dari kenikmatan yang Haqiqi, hampa dari kenikmatan yang sesungguhnya. Maka orang yang sudah merasakan Allah, itu merasakan kenikmatan luar biasa. Misalnya begini, kita sedang membaca perkara Allah mengelola kita, cobalah Jangan hanya dipahami tetapi diproses dirasa itu sendiri, kalau hati kita bersih, kalau fokus hidup kita Allah, kita akan bisa dianugerahi kemampuan oleh Allah ta'ala untuk bisa merasakan apa yang dipahami, sehingga apa yang dibaca dan dengarkan dapat dirasakan, sebab rasa yang seperti ini tidak bergantung kepada lidah jasmani, melainkan lidah ruhani, karena lidah ruhani itu memiliki kepekaan dan kecepatan yang luar biasa, berlipat-lipat kekuatannya dibandingkan dengan lidah jasmani. JIka kita ambil kue nastar lalu kita konsumsi maka lidah kita akan langsung merasakannya, maka lidah rohani kita pun mempunyai potensi untuk dapat merasakan secara langsung terhadap sesuatu yang kita baca, dengar dan pahami, tentu saja bagi rohani yang sudah terlatih untuk itu. Oleh karenanya kita perlu menyadari betapa bebalnya hati kita ini, ternyata apa-apa yang kita ketahui itu tak kunjung kita rasakan. Kita bisa bayangkan ibadah kita yang berupa shalat, puasa, zakat, haji dan dzikir, shalawat dan semacamnya yang sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun tanpa dapat merasakan ke-Maha-an Allah? Jadi untuk apa? Oleh karenanya kita harus medidik diri sehingga merasakan Allah itu betul-betul terealisir, ini yang harus serius dan fokus kesana, inilah tasawuf.

Sesungguhnya secara spiritual kita mewarisi rohaninya Nabi Adam,as, karena kita keturunannya, dan ruhani Nabi Adam,as, itu tak lain adalah bagian dari Nur Muhammad,saw, maka rebut kembali rohani kakek moyang kita itu, maka kita akan merasakan keilahiyan itu mengepung keseluruhan hidup kita. Jadi tidak ada satu pun yang berlalu pada diri kita, baik hembusan nafas keluar maupun tarikan nafas kecuali takdir Allah berlangsung pada diri kita. Oleh karenanya jika ihsan itu : ‘Anta'budallah ka annaka taraah, fa'illam takun taraah, fa'innahu yaraak, engkau bribadah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak bisa maka Dia melihatmu.’ Maka sebagai tanda laku sopan dan berterima kasih atau syukur kepada Allah kita barengi nafas dengan berdzikir, katakan dalam hati ‘Hu’ saat tarikan nafas dan ‘Allah’ saat hembusan nafas, lakukan terus menerus, jika lupa lalu Allah memberi ingatan, segera berdoa terlebih dahulu sebelum melakukannya : ‘‘Ilaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin.’ Hal ini sebenarnya merupakan latihan yang ampuh untuk merasakan Allah ta'ala, meskipun ketika nafas keluar atau masuk kita sedang berbahagia atau mungkin sedang menderita atau mungkin sedang mendapatkan kenikmatan atau mungkin sedang mendapatkan kepedihan dan lain semacamnya, yang jelas tidak ada satupun nafas keluar atau masuk yang Allah tidak menyentuh diri kita dengan takdir-Nya. Demikian pula juga dengan fenomena dan berlangsungnya alam semesta ini, senantiasa tersentuh oleh ke-Maha-an Allah, jadi Allah itu menyentuh diri kita, menyentuh alam semesta dan Allah tak pernah nganggur dan tidak ada apapun yang tak tersentuh oleh-Nya, nah ini yang perlu kita pertajam, kita asah batin kita agar menjadi sensitif secara spritual. Hadrat Maulana Rumi,qs, berkata : ‘Wahai kawan, engkau bilang engkau didera oleh dahaga, dicekik oleh rasa haus, sesungguhnya di sekitar dirimu bahkan pada dirimu ada air terjun melimpah ruah, bagaimana kau bilang bahwa itu dahaga?’ Dan para sufi berkata : ‘Coba tunjukkan kepadaku di mana atau apa yang bukan Allah.’

Semoga bermanfaat, Wallahualam bisawab.

Jumat, 29 Mei 2020

TAU - PAHAM - RASA ALLAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
eSHa 29/5/2020

Didalam kehidupan ini banyak orang yang membiarkan diri tidak menempuh proses untuk merasakan keberadaan Allah, ini disebut dengan tidak melakukan perjalanan (thariq atau thariqoh). Manusia mesti melakukan perjalanan rohani dari tidak merasakan dan tidak menyaksikan Allah menuju kepada merasa dan menyaksikan-Nya. Wahyu diturunkan untuk mendidik ruhani manusia agar mengenal-Nya. Oleh karena-nya jika tidak melakukan perjalanan di samudra rohani ini, maka sama artinya dengan tidak peduli dengan Wahyu Tuhan dan pasti disetiap saat akan fokus kepada sesuatu yang baru, artinya akan tertarik kepada sesuatu yang menyenangkan jiwa, berpindah dari kesenangan yang satu menuju kepada kesenangan yang lain dan tak kunjung tertarik kepada Allah Ta'ala, yang penting bagi orang seperti itu adalah mempunyai mainan baru. Kuota hidupnya hanya dipakai untuk games, whaatsup, facebook dan instagram, lama-kelamaan kuota hidupnya akan habis tanpa mengenal Allah tempat manusia kembali, jika tidak dimulai dari sekarang melakukan perjalanan rohani lalu kapan? Mau kemana manusia setelah mati?

Jika ma’rifat atau mengenal Allah itu adalah penyaksian (syuhud) atau perasaan (dzauq) dan diikuti oleh kesan (wijdaan), maka akal tidak akan mampu melakukannya, karena perasaan dan penyaksian serta kesan ada pada ruhani bukan jasmani. Meskipun demikian para murobbi atau orang yang dekat dengan Allah mengatakan bahwa pintu utama untuk ma’rifat adalah akal melalui pengetahuan dan pemahaman tentang Allah, khususnya tentang sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Oleh sebab itu Imam Asy’ari (873-935H) membuat pendekatan yang memudahkan akal guna mengenal Allah, yang dikenal sebagai sifat 20 yang terdiri dari 1 sifat Dzat yaitu wujud (Ada), 5 sifat salbiyah, 7 sifat ma’ani dan 7 sifat ma’nawiyah. Yang pertama adalah sifat Wujud (Ada) atau katakan Mutlak lawan daripada Wujud adalah Adam (tiada) atau nisbi. Artinya selain Wujud Allah itu tidak ada (adam) atau nisbi, menjadi ada karena diadakan oleh yang Ada. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin satu tindakan itu bisa terpisah dari yang bertindak dan bagaimana mungkin satu perbuatan itu terpisahkan dari orang yang berbuat, ini mesti merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin angin itu dipisahkan dari hembusannya, bagaimana mungkin langit dipisahkan dari warna birunya dan lain semacamnya, hal ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya, kita ini hasil dari kreasi Allah ta'ala, lalu bagaimana mungkin kita bisa terpisah dari Allah? Ombak Itu tidak mungkin berpisah dari lautan, meskipun ombak bukan lautan, maka kita ini bukan Tuhan tapi bagaimana mungkin kita terpisah dari Tuhan? Kita ini bukanlah apa-apa kecuali hasil dari kreasi Tuhan itu sendiri. Nah dengan demikian merasakan adanya kedekatan dengan Tuhan adalah melalui pintu pengetahuan dan pemahaman yang seperti ini. Meskipun ‘tau’ itu sangat jauh jaraknya dengan ‘rasa’, seolah-olah ada dinding pembatas sebesar alam semesta ini, karena Allah hanya bisa dikenal melalui pengetahuan (ilm) bukan dengan kebodohan (jahl). Jadi sebenarnya kita itu tidak pernah jauh dari Allah dan Allah tidak pernah jauh dari kita, namun kita tidak merasakannya. Persis ketika Maulana Rumi,qs, mengatakan bahwa ada ikan-ikan dilaut mencari pemimpinnya untuk mengantarkannya ke lautan.

Mungkinkah ada sesuatu yang bersemayam di luar wujud Allah? tidak mungkin, ini tidak bisa dibayangkan ada sesuatu yang tak tercakup oleh Allah, tidak mungkin ada, kalau ada sesuatu yang tidak tercakup oleh Allah berarti ada sesuatu yang lebih luas dibandingkan dengan Allah dan itu mustahil. Lebih tegas lagi, mungkinkah ada makhluk yang betul-betul bisa menciptakan dirinya sendiri? Inipun tidak mungkin, berarti keberadaan segala sesuatu itu pastilah Allah asal-usulnya, keberadaan segala sesuatu secara hakikat pastilah Allah Wujud-Nya. Nah disini letak pemahamannya, tinggal kita berikhtiar untuk bisa merasakannya, jadi ketika kita mengucap Allah Allah Allah usahakan adanya pemahaman bahwa Allah meliputi segala sesuatu, karena tidak ada apapun yang tidak diliputi oleh Allah, dan getarkan ke batin kita, setelah itu bersungguh-sungguhlah untuk bisa merasakan bahwa Allah itu meliputi segala sesuatu dan Allah lebih mengerti segala sesuatu ketimbang segala sesuatu itu tentang dirinya sendiri, Allah Allah Allah tidak ada sesuatupun yang tidak tersentuh oleh hadirat-Nya, ini kita kembangkan dari pemahaman akal menuju kepada kekuatan rasa, tentu saja karena segala diri kita diliputi oleh Allah, maka pemahaman kita pun pasti diliputi-Nya, sebagaimana rasa yang ada dalam diri kita pun pasti diliputi-Nya jua, dari mana lagi kalau tidak dari Hadirat-Nya, Allah berfirman : "Subhanaka, la ilma lana illa ma alamtana, innaka Antal Alimul Hakim" [QS 2:32] "Mahasuci Engkau, kami tidak mengetahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Mahatahu dan Maha Bijaksana." Maka setiap saat Allah menjadi Maha Guru atau Pendidik rohani bagi makhluk makhluk-Nya, untuk mengenal-Nya (ma’rifat).

Analoginya sudah sering kita dengar dalam istilah cermin, dikatakan semakin bersih cerminnya semakin bersih memantulkan secara penuh yang bercermin, sehingga yang bercermin melihat dirinya sendiri melalui cermin, seolah berhadap-hadapan, mana mungkin yang didalam cermin bergerak tanpa yang diluar cermin bergerak? Tidak mungkin dan mustahil. Adanya berhadap-hadapan dengan Allah itu juga mengandung pemahaman bahwa sebenarnya betulkah yang nisbi itu bisa berhadap-hadapan dengan yang Mutlak? Ini sesungguhnya menyimpan pesan kepada kita bahwa tidaklah yang nisbi itu berhadap-hadapan dengan yang Mutlak, kecuali jika yang nisbi itu diperankan sendiri oleh yang Mutlak, sehingga yang nisbi itu berkata : ‘Ya Allah akukah yang menghadapkan diriku kepada-Mu atau Engkau menghadap diri-Mu sendiri? Para syaikh sufi sering mengatakan : ‘Al abid wal ma’bud wahidun, yang menyembah dan yang disembah satu hakikatnya.’ Sebab tanpa peran Allah kepada sihamba itu, bagaimana mungkin bisa berhadap-hadapan, yang nisbi bisa ketemu yang Mutlak? Tidak mungkin, tidak masuk akal, kecuali yang nisbi ini diperangkan oleh yang Mutlak, maka yang terjadi adalah sesungguhnya yang Mutlak ini berhadap-hadapan dengan diri-Nya lewat sosok yang nisbi ini. Rasulullah saw bersabda : ’Ya Allah, sungguh aku tak sanggup untuk memujimu sebagaimana semestinya engkau dipuji,’ maksudnya mana mungkin yang tiada memuji yang Ada, yang nisbi memuji yang Mutlak? Kecuali yang Mutalk memuji diri-Nya sendiri lewat perantara yang nisbi. Maka kenisbiannya itu disingkirkan dike-Maha-an Allah ta'ala dan dalam konteks seperti ini Al Hallaj,qs, mengatakan ‘Ana Al Haqq, aku adalah Tuhan Yang Maha Benar’, hilang dimensi kenisbian Al Hallaj,qs, dan digantikan oleh kehadiran-Nya. Bertitik tolak dari ini, maka setiap melakukan aktivitas apapun dan tidak terkecuali dzikir adalah hanya Allah bukan yang lain, sehingga dzikir yang dilakukan oleh jasmani lama-kelamaan dilakukan oleh ruhani dan pada akhirnya akan merasakan bahwa pendzikir dan yang didzikiri adalah satu persis serperti cermin tadi.

Oleh karenanya, jikalau ada perasaan terpisah dalam diri kita dengan Allah, perasaan itu yang perlu diperbaiki, kalau kita merasakan bahwa kita terasing dari Allah, perasaan itu yang perlu kita luruskan, tidak ada apapun terasing di hadapan hadirat-Nya, kita ini bukan siapa-siapa selain realisasi dari kehendak-Nya, bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, selain bukti dari ke-Maha-an-Nya dan bukti itu tidak mungkin terpisah dari yang membuktikan. Imam Ibnu Arabi,qs, mempertegas lagi, berarti tidak ada rahmat Allah yang keluar dari Allah, yang betul-betul keluar itu tidak ada, seluruh Rahmat Allah ternyata dalam ruang lingkup Allah itu sendiri, tapi yang disebut ruang lingkup itu tidak terbatas, kalau ruang lingkup berkaitan dengan sebuah desa dengan pedesaan itu ada garis batasnya ada garis tepinya, tapi kalau kata-kata ruang lingkup itu disandarkan kepada Allah, itu tidak ada batasnya, tidak ada garis tepinya, ke-Maha luasan-Nya tak terkira-kira, seolah-olah kita ini berenang-renang di Samudera Raya ke-ilahiyan yang tak bertepi. Bagaimana Wujud tidak tunggal, segala-galanya itu dilingkupi oleh Allah dan lingkup Allah tak bertepi adanya. Sentuhlah segala sesuatu, pasti sesungguhnya secara hakikat kita menyentuh Allah. Segala sesuatu pada diri kita ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa kecuali Allah semata-mata. Jadi tidak mungkin sebuah ciptaan itu, itu terpisah dari pencipta-Nya, maka olah rasa itu wajib terus-menerus dilakukan, terutama olah rasa dalam kaitannya dengan adanya ‘Penyatuan dengan Allah’. Kita bukan Allah, tapi bisakah kita selain Allah? Tidak bisa, kalau kita selain Allah, terus apa iya kita berada di luar Allah, makin tidak mungkin. Jadi orang-orang terpilih itu kekuatan rasa keilahiyannya sungguh hebat, itu yang membedakan dengan kita, sama-sama dilingkupi oleh Allah tetapi mereka itu merasa terus menerus dalam kebersamaan dengan-Nya, sementara kita merasa terasing dari Allah, seolah-olah Allah itu berada di keghaiban-Nya dan kita tidak menyentuh ini, sehingga doa-doa seringkali terpanjat dalam keadaan kosong, dzikir-dzikir terucap dilisan kosong, seolah-olah Allah berada diantara antah berantah yang tak tersentuh oleh aktivitas ibadah kita. Apa mungkin ada setitik wujud yang betul-betul berada di luar ke Maha Wujudan Allah? tidak mungkin ada. Jadi kemana kita akan mencari Allah, jangan ke mana-mana, di mana kita berada di situ kita sesungguhnya berada pada kebersamaan dengan Allah, jangan membayangkan mencari kemana, karena Allah itu sesungguhnya meliputi segala sesuatu, tidak ada satupun partikel, tidak ada satupun entitas yang di situ kosong dari kehadiran Allah. Pertaruhan kita itu dikeyakinan dan rasa, jangan kosong, dan itu fokuskan pertama-tama lewat dzikir, bila tak kunjung merasakan, terus dzikir, atau apa saja yang kita baca, baca Alquran, bacaan sholawat dan wiridan dan apa saja untuk bisa mempertajam dan menghaluskan hati kita, lama-lama akan masuk ke dalam luasnya renungan, terus belajar merasakan kebersamaan dengan Allah dengan diri kita tanpa jeda, di mana-mana kita sesungguhnya senantiasa berada dalam Allah itu sendiri dan kita ditimang-timang dari waktu ke waktu, dimanjakan dari hari ke hari, terus dikirim kepada kita adanya karunia-karunia itu, dan tidak perlu jauh-jauh Allah mengirimnya karena kita juga berada di dalam hadirat-Nya itu sendiri, apa yang tidak mungkin sangat mungkin Tuhan kita Maha segala-galanya. Jadi kalau begitu akhirat bukan di mana-mana kecuali di sini juga, dan kita yang masih hidup di manakah kematian, tidak di mana-mana di sini juga, sebab apa yang disebut di mana yang kesannya jauh, itu sebenarnya tetap saja berada dalam ruang lingkup Allah ta'ala itu sendiri.

Semoga bermanfaat Wallahualam bisawab.

Rabu, 01 April 2020

TAUHID - CINTA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah berfirman : “Wallāhu khalaqakum wa mā ta'malụn, Allah yang menciptakan kamu dan amalmu sekalian.” (036:96)

Jika menelaah ayat Al Qur’an diatas, maka kita akan memahami bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah, baik diri kita ataupun perbuatan kita, tetapi mengapa hati kita menolaknya, bagaimana dengan upaya kita?

Salah satu sifat Allah adalah wujud (ada) lawan dari pada wujud adalah adam (tiada). Maksudnya yang ada hanyalah Allah dan selain-Nya tidak ada. Sehingga hakikatnya kita ini tidak ada! Menjadi ada karena di adakan oleh Allah, baik jasmani maupun rohani dan perbuatan kita. Allah yang membimbing manusia dari kegelapan menuju cahaya, sehingga bisa dikatakan bahwa wujud itu adalah cahaya (nur) dan ciptaan ini kegelapan (dzulumat), atau bisa juga dikatakan bahwa cahaya itu baik dan kegelapan itu buruk. Sehingga apa-apa yang keluar dari Allah adalah kebaikan, karena ditanganyalah segala kebaikan dan sebaliknya apa-apa yang keluar dari manusia adalah keburukan karena hakikatnya tidak ada atau ilusi (wahm).

Artinya, barang siapa mengaku-ngaku bahwa segala kebaikan yang keluar dari dirinya, seperti sholat, puasa, zakat, haji, berdakwah, shodaqoh, dan lain sebagainya, di akui sebagai perbuatan dirinya maka ini buruk, ini salah, ini dosa, sebailknya bila menyaksikan bahwa perbuatan itu semua adalah shuroh atau bentuk atau jelmaan sifat-sifat Allah yang indah (Jamalulloh) yang ditampakkan kepada manusia, itu adalah yang benar, itulah yang dimaksud dengan syuhud atau ma’rifat atau mahabbah. Kita bisa membayangkan saat bercermin, semua gerak dan gerik yang ada didalam cermin adalah serupa dengan kehendak kita yang diluar cermin. Sehingga bisa dikatakan bahwa kita seperti yang ada didalam cermin, tetapi yang didalam cermin bukan kita, tetapi bukan selain kita. Masalahnya timbul, manakala yang didalam cermin ‘mengaku’ dia yang diluar cermin, itulah kebanyakan manusia. Karena Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya, yaitu ada Dzat, Sifat, Perbuatan (af’al) dan Ciptaan (intial), sehingga manusia seolah-olah berlaku seperti Tuhan dapat menciptakan upaya dan perbuatan atau dapat membuat amal dan kebaikan lainnya.

Imam Arsalan,qs, mengatakan : “Inji’ta bila anta khobilak, wa in’jita bika hajabak, Jika engkau datang kepada Allah tanpa dirimu, maka Allah akan menerimamu, dan jika engkau datang kepada-Nya dengan dirimu, maka Dia akan menghijabmu.” Maka jika apa yang dilakukan itu semata-mata anugerah dari Allah, pemberian dari Allah, bukan persembahan kepada Allah, sehingga dapat melakukan ibadah, maka Allah akan menerima, tetapi jika datang dengan merasa bahwa itu amal, maka Allah hijab dengan amal itu. Maka awal pendidikan jiwa dalam berjalan kepada Allah adalah bukan dengan amal melainkan dengan kepasrahan. Maka setinggi-tinggi akhlak kepada Allah adalah syukur, sehingga seluruh amal itu adalah sebagai syukur. Perintah beramal adalah sebagai tanda syukur dan tanda syukur itu adalah syukur kepada sifat syukur yang diberi oleh Allah. Berinteraksi dengan Allah adalah dengan hakikat bukan dengan syariat, sedangkan berinteraksi dengan manusia mesti dengan syariat, jika manusia jahirnya baik jangan dipikirkan batinnya, karena batinnya Allah yang menangani. Tetapi jika kepada Allah maka bukan menghitung banyaknya perbuatan baik, tetapi banyaknya syuhud atau ma’rifat tadi. Diantara syuhud dan ma’rifat adalah menyaksikan bahwa amal yang dilakukan itu dari Allah bukan dari diri. Karena hijab yang paling besar untuk dapat menuju Allah adalah diri.

Sebetulnya amal itu apa? Amal itu hanyalah sebuah shurah (bentuk) atau jelmaan daripada sifat yang ada dalam batin manusia, atau karakter, jadi jika manusia tidak ada sifat-sifat tertentu, maka tidak ada amal tertentu pula. Seperti ubudiyah, itu adalah sifat hamba, jika tidak punya sifat hamba, maka tidak akan ada ibadah. Seperti jika kita tidak punya sifat cinta kasih, bagaimana ada shuroh (bentuk) atau jelmaan cinta kasih yang berupa amal. Jika dipaksakan berbuat ‘amal’, maka bukan keluar dari sifat cinta kasih itu dan tidak bisa dikatakan amal melainkan maslahah, contoh maslahah seperti anak kecil yang berbuat baik kepada ayahnya bertujuan untuk minta uang, atau seorang istri bila ingin sesuatu ia banyak memuji suaminya, inilah maslahah. Mentalitas yang seperti ini yang digunakan oleh kebanyakan orang dalam menghadap kepada Allah, oleh karenanya sebagian syaikh sufi mengatakan bahwa hendaklah seseorang itu mempunyai cinta yang jujur dan setia, karena cinta itu seperti sinar, sinar itu akan bercahaya, bercahaya maknanya memberi atau cinta yang jujur (siddiq) dan setia (wafa). Sinar mengeluarkan cahaya maknanya siddiq dan cahaya itu wafa kepada sinar itu. Tetapi orang karena banyaknya kepalsuan maka perlu sifat cinta, kalau tanpa cinta tak dapat menuju kepada Allah, memang hanya karena cinta. Maka dikatan didalam al Qur’an dan al Hadits selalu mengenai pemeliharaan atau pemberian anugerah, akhlak, kemuliaan, keluhuran, kemenangan, atau selalu menggunakan kata Rahmat ini adalah kata lain dari cinta. Jadi orang mesti punya sifat cinta meskipun diawali cinta kepada dunia dan syahwat.

Imam Ibnu Farid,qs, dia bukan seorang ulama besar dia hanya seorang penyair, cintanya kepada perempuan menutup semuanya, begitu setia dan jujur, suatu hari berjanji untuk bertemu di Mekah, ternyata perempuannya tak datang, dia demam sakit memanggil-manggil nama wanita itu tetapi tetap tidak berjumpa, dia mengalami kekecewaan yang luar biasa, karena dia sangat setia (wafa) dan jujur (siddiq). Sifat cintanya yang demikian mengantarnya menjadi cinta kepada Allah, sehingga karya-karyanya yang bercorak cinta banyak disyarahkan oleh sufi terkemudian. Kisah lain, ada seorang yang dikenal sholeh yang punya kesetiaan dan kesidikan dalam Ibadah dan mahabbah kepada Allah, sehingga dikenal sebagai seorang waliyullah yang sangat sholeh, abid, zahid tapi kemudian ia melihat wanita pelacur, dia tertarik dan jatuh cinta dan dia datang kepada perempuan itu, mengatakan cinta, membuat wanita itu terkejut, bagaimana seorang Syekh yang hari-harinya diisi dengan ibadah, tiba-tiba datang kepada perempuan pelacur. Orang-orang menertawakannya, tetapi wanita itu menerimanya, dan sang waliyullah berkhidmat kepada perempuan itu, sehingga perempuan itu tidak boleh berbuat sesuatu melainkan dilayani olehnya, perempuan itu menyaksikan kejujuran, kesungguhan dan kesetiaan yang luar biasa dari lelaki ini. Melihat keindahan akhlak yang begitu mengharukan dan tanpa dibuat-buat, membuat wanita itu berpikir, patutlah dia sebelum ini dikenal sebagai orang yang ahli ibadah dan sholeh, ternyata bukan karena yang lain melainkan karena karakter yang ada dalam hatinya itu, yaitu karakter cinta yang sidik dan wafa. Hal ini membuat wanita ini beratubat, karena selama ini dia hanya cinta kepada dunia dan hawa, yang tidak dapat membahagiakan malah mengecewakan, akhirnya dia kembali kepada Allah, perempuan itu berkata : ‘Kedatanganmu telah membuat ilham turun kepadaku bahwa sesuatu itu mesti jujur dan setia, dan kejujuran dan kesetian itu hanya kepada Tuhan.’ Akhirnya orang sholeh itu pun sadar juga atas kesalahan yang dia buat dan kembali kepada Allah. Jauh sebelum riwayat itu ada kisah Zulaikha dan Nabi Yusuf,as, sampai tua dan buta matanya serta rela dibuang dari istri seorang menteri menjadi hidup terlunta-lunta dijalanan. Kesehariannya hanya memanggil-manggil nama ‘Yusuf, Yusuf, Yusuf’. Nabi Yusuf,as pun telah menjadi menteri, bahkan jika beliau melewati jalan beberapa puluh meter dari Zulaikha, sudah tercium baunya, ‘Yusuf datang, cintaku datang’. Sehingga kabar itu sampailah kepada Nabi Yusuf,as dan beliau minta izin kepada raja dan istrinya untuk menikahi Zulaikha, maka raja dan istrinya mengizinkan untuk menikah. Zulaikha dibawa mendekat dan ditutup oleh sorban Nabi Yusuf,as, seketika ia kembali muda seperti pertama berjumpa kepada Nabi Yusuf,as. Maka dia memandang Nabi Yusuf,as, dan terkejut karena sudah dapat melihat dan kecantikan telah kembali. Maka disuruhnya ia bersolek agar bersiap-siap untuk akad nikah, tetapi didalam kamar saat di hias, kesadaran memasuki hatinya bahwa : ‘Rupanya ini penyebab Nabi Yusuf,as, tidak ingin dirinya, tidak ingin dunia, tidak ingin harta, dia jujur dan setia kepada Rabbnya.’ Zulaikha baru mengerti bahwa Tuhannya Yusuf yang menyembuhkannya, ternyata Dialah yang disetiai dan ditakuti serta dicintai oleh Yusuf selama ini, kata Zulaikha, akhirnya Zulaikha bersujud terus menerus sambil menangis dan bermunajat kepada Tuhannya Yusuf, dilain pihak Yusuf sudah siap untuk acara pernikahan, tetapi Zulaikha menolaknya dan berkata : ‘Aku baru tahu kepada siapa engkau mencintai, rupanya engkau hanya mencintai Tuhanmu, sekarang aku pun mencintai Tuhanmu dan aku tidak perlu lagi kepada engkau.’ Melihat riwayat-riwayat yang shohih diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat cinta dan mental setia dan jujur itulah kuncinya, bukan sifat mengaku-ngaku, meskipun diawali kepada apapun, itu adalah karakter dan mental yang inheren didalam hati manusia. Jangan dikira bila orang beribadah kepada Allah tetapi tidak jujur dan tidak setia, dapat jujur dan setia kepada yang lain, itu mustahil. Maka orang-orang yang jujur dan setia itu meskipun kafir, dia akan mudah mendapat Ilham kepada agama ini untuk sampai kepada Allah.

Adapun shalat, puasa dan zakat, dzikir yang kita lakukan adalah karena rutinitas sejak kecil, tetapi tanpa mengenal Allah. Maka bila orang belajar agama pun semata-mata hanya ingin disebut sholeh, arif, alim, atau ingin disebut tuan guru, singkatnya ingin dihormati di dunia ini, maka jika ia dihina, spontan akan marah, ilmunya tidak menjadikan hamba, tidak wafa, tidak shiddiq, masih mengaku ‘ada’. Orang arif mengatakan bahwa barang siapa yang mencintai sesuatu maka dia hamba sesuatu itu. Jadilah dari kalangan orang yang mendapat anugerah, jadilah orang yang dari kalangan ‘minah’, artinya ibadah ini pemberian dari Allah, jadi tidak menghitung amal tetapi menghitung Allah. Jika mendapat harta lantas bersyukur kepada yang memberi bukan pemberian-Nya. Maka amal yang keluar dari kita semuanya adalah cerminan sifat, asma dan af’al Allah untuk menunjukkan bahwa keberadaan ‘ada’ itu hanya Allah, jika demikian maka selamanya ‘minah’ itu hamba, sebetulnya itu hakikat hamba sepenuhnya. Jangan menghitung amal, maka janganlah menjadi orang yang ahli amal, tetapi cinta (mahabbah). Sekali lagi bahwa amal itu tidak berdiri sendiri, amal itu datang dari rohani dari sifat. Jika kita mengenal Allah, maka tidak akan goncang dan akan tentram, tapi jika kita bodoh (jahl) kepada Allah, maka tidak akan tentram. Sesungguhnya yang dikehendaki-Nya, bahwa hanya Dialah yang ada, bukan kita yang ‘ada’, jadi ini adalah tingkat kesadaran yang sangat tinggi, karena kita selalu mengembalikan semua itu kepada Allah setiap saat, sebagaimana sebelumnya kita pun setiap saat menyaksikan kita ‘ada’, mengaku ‘ada’ tetapi kemudian dengan anugerah-Nya kita selalu berupaya menyaksikan dan mengakui bahwa semuanya dari Allah dan hanya Allah, dan senantiasa seperti itu, itulah ibadah yang Agung.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.


Rabu, 25 Maret 2020

RAJA BINATANG

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Manusia itu terdiri dari tubuh dan ruh, masing-masing mepunyai penasihat, penasihat tubuh adalah nafsu dan penasihat ruh adalah akal. Akal mempunyai keinginan dan begitu pula nafsu. Nafsu, adalah keinginan yang tumbuh dari tubuh ini, maka nafsu adalah diri. Nafsu bukan ciptaan yang terkutuk, melainkan anugerah dari Allah. Yang terkutuk itu syaithon, di dalam Al-Qur’an tidak ada kata nafsu itu terkutuk. Syaithon itu satu sifat yang yang putus asa dari Rahmat Allah, sehingga bila manusia dan jin berputus asa maka sifatnya menjadi syaithon, naudzibillah min dzalik. Hubungan nafsu dan syaithon adalah bahwa nafsu itu pintu bagi syaithon untuk masuk kepada manusia, agar manusia menjadi syaithon. Meskipun demikian nafsu adalah anugerah yang mulia dari Allah, karena nafsu itu identik atau menyatu dengan tubuh, kalau tubuhnya dibuang tinggal ruh, ruh itu sama dengan malaikat yang tidak menginginkan dunia. Kita ingin harta, ingin tahta, ingin wanita, karena tubuh ini, coba dibuka tubuh ini maka jadi malaikat dan tidak menginginkan harta, tahta dan wanita, oleh karenanya jika tubuh ini tidak punya keinginan maka menderita. Ada orang tidak menikah karena tidak punya keinginan, kan menderita, sakit, tak sempurna. Maka pimpinlah tubuh ini dengan akal dan itu namanya manusia, jika tidak, karena tubuh ini bahan ciptaannya adalah alam semesta, tubuh ini diciptakan dari ekstrak semua alam semesta, terutama sifat-sifat yang aktif adalah ekstrak sifat binatang, dan kalau kita tidak ada akal maka kita adalah ‘raja binatang’, karena dalam diri kita ini semua sifat binatang ada, sangat sempurna luar biasa. Jika anjing bertemu kerbau, maka anjing tidak paham dengan kerbau, karena berbeda sifatnya, dan begitu pula sebaliknya, itu sebab binatang itu saling menyakiti saling membunuh, karena tidak punya akal. Sedangkan manusia ‘Alhamdulillah’ semua sifat binatang punya, kerbau, anjing, monyet, kucing, tikus, dan ada pula tikus-tikus politik. Alhamdulillah, maka kita perlu punya akal, karena akal itulah kebijakan dan kebajikan, karena akal itulah Allah membagi syariat. Oleh karena itu manusia disuruh menundukkan nafsu kepada akal, tetapi akal harus di-isi oleh ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama, karena kalau tidak, akal tidak akan mampu menampung keinginan tubuh.

Oleh sebab itu, pada permulaannya untuk melawan nafsu adalah akal, akal pada asasnya sebelum mendapat ilmu pengetahuan, adalah sebuah alat untuk mengetahui baik dan buruk, itulah yang disebut manusia, baik muslim atau non-muslim. Dapat dikatakan bahwa akal adalah sebuah neraca untuk mengetahui baik dan buruk, namun jika tidak ada pengetahuan ruhani, maka kebaikan itu hanya bersifat individual, egois, untuk dirinya atau untuk golongannya saja, tetapi jika ada keruhanian dan akal dipimpin olehnya, maka dia memandang kebaikan itu untuk semua alam semesta ini, Itu sebab Nabi,saw, dikatakan sebagai ‘rahmatan lil alamin’, untuk manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta. Maka bisa dikatakan bahwa rohani itulah rahmatan lil alamin, karena Nabi,saw, adalah akhlak, Nabi,saw, adalah kerohanian, Nabi,saw, adalah yang disebut hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad, adalah sifat keruhanian, maka semuanya akhlak. Oleh karenanya, tundukkan akal kepada ilmu, tundukkan nafsu kepada akal. Paling tidak gunakan akal dengan sebaik-baiknya untuk berpikir positif. Karena orang yang berakal sehat itu sebenarnya bukan hanya mengetahui baik dan buruk saja, melainkan mengetahui akibat dari perbuatan buruk. Banyak orang mengetahui baik dan buruk tetapi tetap saja melakukan keburukan, karena tidak sampai pikirannya kepada akibatnya, itu akalnya tidak sehat meskipun akalnya ada. Karena itu akal wajib diberi masukan pikiran-pikiran yang positif, pikiran yang baik, Ilmu agama khususnya keruhanian agar mampu membimbing dan memimpin nafsunya.

Apabila ilmu agamanya telah memenuhi akalnya lalu mendawamkan dzikir dan mujahadah, maka akan membuahkan gerakan jahir dan juga barokah batin artinya batinnya semakin banyak kebaikan dan semakin membaik akhlaknya. Barokah adalah kebaikan yang bertambah dan banyak, seperti jika kita duduk dengan orang tua, meskipun sebentar tetapi seperti merasakan pengalaman yang banyak, tetapi jika duduknya dengan anak muda, berbicara satu hari pun tidak terasa apa-apa. Aktivitas jahir itu akan memastikan adanya barokah, dimulai dari berpikir yang baik berbicara yang santun dan bertindak yang benar, maka akan banyak kebaikan yang timbul, inisiatif baru, semangat baru, suasana baru. Karena Allah menjadikan antara tubuh dengan rohani ini, ada ikatan ketuhanan dan ada hubungan rohani. Imam Sya'roni,qs, mengatakan bahwa gerakan itu sebagai ibadah, kalau orang melakukan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan berbagi kebaikan, itu mesti memberikan cahaya dalam hatinya, karena jasad dengan ruh ada hubungan rohaniah, artinya apabila bergerak mesti ada sesuatu yang masuk ke dalam hati, Allah berkahkan kedalam rohani. Maka apabila ruh itu dominan hilang rasa ‘ada’, tapi apabila jasad dominan akan merasa ‘ada’. Contohnya apabila jawarih ini berawal taat, mesti ada memberikan kesan ke hati, lama kelamaan hati menjadi tunduk dan ruh menjadi suci serta nafsunya menjadi lemah. Jika hatinya sudah ikhlas, dengan sebab taat ini, maka taat yang keluar dari hati yang bersih, ini pun memberikan pengaruh yang lebih dalam kepada jawarih, maka demikian seterusnya dan pada akhirnya dapat menggunakan anggota tubuh untuk taat kepada Allah dengan ringan, karena jawarihnya sudah tidak diatur lagi oleh pikiran melainkan oleh ruhaninya.

Semoga bermanfaat Wallahualam bisawab.

Minggu, 22 Maret 2020

PATUH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Semua murid tarekat merasa patuh kepada gurunya, yang lahir dari perasaan cinta. Maka jika ada orang yang menghina gurunya lantas akan marah dan rela mengorbankan apa saja demi kehurmatannya. Sesungguhnya yang demikian adalah bukan ajaran tarekat, ini adalah hawa yang dipatuhi, ini adalah fanatik yang salah, tarbiyah yang dilakukan oleh guru justru untuk memberhangus hal-hal yang demikian. Karena murid masih memandang segala sesuatu dengan nafsu bukan dengan nuraninya, begitu juga perasaan cintanya. Hasil suhbah kepada guru untuk itiba dan berqudwah dan bukan untuk yang lain melainkan perasaan kasih sayang kepada semua orang dan makhluk lain, sebagai bukti dari tajalli (jelmaan) sifat Jamalulloh. Ini akibat dari salah pemahaman, dikira tasawuf itu saat di kholaqoh dzikir saja, padahal tasawuf itu dimana saja, disaat bersama orang atau sendiri, sedangkan di kholaqoh dzikir itu sedang melaksanakan manhaj atau metode dari guru. Seorang syaikh mengatakan : ‘Kebanyakan para murid itu seperti malaikat saat di kholaqoh dzikir dan kembali seperti iblis disaat meninggalkannya.’

Sulit memang menolak ajakan nafsu, karena sangat halus gerakannya, seperti semut hitam berjalan diatas batu hitam ditengah kegelapan malam, mana bisa dilihat? itulah hawa yang dipatuhi (hawam mutaba), arti mutaba itu diikuti. Hawa itu objek yang mengikuti nafsu. Nafsu itu keinginan, di dalam diri manusia ada nafsu dan ada ruh. Nafsu adalah sifat yang memiliki keinginan, keinginannya disebut syahwat, dan yang menjadi objek syahwat ini namanya hawa. Sedangkan yang menjadi objek ruh adalah hakikat atau syariah sama saja, ulama fiqih menyebutnya syariat tetapi sufi menyebutnya hakikat. Apa yang dikehendaki dan dihirup oleh rohani adalah syariat, misalnya agama menyuruh memberi, maka apa yang dikehendaki sifat ruh ini adalah sifat dermawan sehingga selaras. Orang yang mempunyai sifat suka kebersihan, itu apa yang dicari adalah kotoran untuk dibersihkan, sampai ada hadist mengatakan ‘annadhofatu minal iman, kebesihan sebagian dari iman,’ ini adalah sifat iman yang hakiki. Nah kalau nafsu keinginannya hawa, sesuatu yang tidak hakiki, maka jika orang mengikuti hawa, maka ibadahnya tidak mendapatkan apa-apa. Orang beribadah mestinya jangan membiarkan nafsunya mendapatkan bagian, jika ibadahnya karena selain Allah berarti nafsu mendapat bagian. Kita berbuat baik, bersuhbah kepada guru, dan ingin dianggap orang mulia, maka keinginan ini datang dari nafsu, kemuliaan yang dicita-citakan itulah hawa. Kemudian ingin memimpin pengajian atau katakan berdakwah, jika keinginannya keluar dari nafsu dan adanya harapan menjadi orang mulia, maka dakwahnya itu hawa. Oleh sebab itu, jangan diikuti meskipun kelihatannya perbuatan baik, karena tidak akan mendapatkan apa-apa dan malah membuat binatang nafsu menjadi gemuk, seharusnya yang diikuti atau dipatuhi adalah Allah. Bagaimana mematuhi Allah, jika rohani kita sudah memiliki sifat Jamalullah, sifat Mulia Allah, ada hadist yang mengatakan : ‘Takhollaqu biakhlaqillah berakhlaklah dengan akhlak Tuhan,’ Akhlak Allah artinya yang kita sebut sifat mulia, jika seseorang beruntung sudah mempunyainya yang disebut waliyullah maka bisa mengikutinya, karena sudah 'sama' sifat-sifatnya dan karena itu adalah wilayah Allah, Allah lah yang mengendalikan-Nya.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.


ISTIDRAJ

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sayidina Abdullah Ibnu Mas’ud,ra, berkata : ‘Berapa banyak orang yang dihancurkan disebabkan nikmat yang dilimpahkan kepadanya, dan berapa banyak orang tertimpa fitnah, disebabkan pujian kepadanya.’

Tidak sedikit ulama jika dipuji merasa senang, dikiranya pujian itu sedang mengangkat derajatnya. Sesungguhnya pujian itu justru fitnah, hal ini menarik sekali untuk dibahas, fitnah itu berasal dari ‘iftinan’ dari ‘fatin’ yaitu perempuan cantik yang menarik hati yang dapat mengakibatkan perbuatan buruk. Maka dikatakan didalam al Qur’an bahwa istri dan anak itu fitnah, harta juga fitnah, suara wanita pun fitnah yang maksudnya bukan keburukan melainkan ujian. Karena fitnah itu mengandung nilai yang sangat menarik dan memikat, saking menariknya bisa membuat hancur, karena harta orang hancur, karena anak orang ribut, karena istri orang berkelahi, jadi apakah dengan sesuatu yang menarik hati itu, manusia mampu mendudukkannya pada porsi untuk tetap bertindak adil. Itulah maksud fitnah didalam dunia tasawuf berbeda dengan makna fitnah secara umum.

Rasulullah,saw, berdoa manakala dipuji : 'Ya Allah jangan Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.' dan 'Ya Allah ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku).' Maka pujian itu fitnah dan berapa banyak orang tertipu, dan apa sebabnya? Karena perbuatan dosa yang disadarinya tetapi tidak ada keinginan untuk menghentikannya, yang timbul dari harapannya ingin dimuliakan orang, ingin dianggap mempunyai kedudukan ruhani yang tinggi, dengan kebohongan dan pencitraan tampil didepan jamaahnya. Sehingga Allah SWT menutupi hal ini agar tidak terlihat keburukannya dan merasa aman terhadap maksiatnya. Semakin sering dilakukan akan semakin menutupi kebenaran dan menjadi kebiasaan atau rutinitas, maka kebohongannya dianggap sebagai kebenaran, naudzubillah min dzalik. Jika sudah demikian niscaya Allah SWT malah lebih rapat menutupinya, sehingga jiwanya selalu sibuk dan lapar terhadap sanjungan orang dan merasa tidak akan hancur di dunia ini. Imam Arsalan,qs, mengatakan : ‘Wahai tawanan nafsu syahwat dan amal ibadah, wahai tawanan maqom-maqom dan kasyaf, sungguh kalian terpedaya. Engkau sibuk dengan dirimu sendiri dan melupakan-Nya, manakah kesibukanmu dengan-Nya dan melupakan dirimu?’ Kebanyakan orang mendapatkan kemudahan hidup dikaitkan dengan ibadahnya yang berupa dzikir, sholawat, puasa sunah dan lainnya, diakuinya karena sebab berkah sebagai ustadz, padahal mungkin mendapatkan rizkinya dengan batil, tetapi Allah tidak membukanya. Makanya cerita orang-orang salaf dulu, kita ini kelihatan cakap dan berwibawa karena ditutup oleh Allah, jika tidak, orang akan lari dari kita seperti dikejar harimau. Imam Hasan Al Basri,ra, berkata : ‘Kalau dosa itu berupa ekor, maka di jalanan akan penuh dengan ekor itu.’ Dunia ini adalah ‘darul ibtila’ dan semua datangnya dari Allah.

Pujian itu bisa datang dari luar dirinya dan dari dalam dirinya, jika seseorang memuji dirinya sendiri atau kagum terhadap dirinya atau memandang dirinya sempurna disebut sebagai ujub, maka hakikatnya dia sedang memfitnah dirinya sendiri, ini lebih buruk dari sombong, jika orang sombong artinya ada tuntutan agar orang membesarkan dirinya. Penyakit ini mengerikan, bahkan sampai ada yang mengaku dirinya sebagai wali. Orang seperti ini tidak menginginkan lagi tambahan ilmu dari orang lain, apa yang dibicarakan adalah tentang kehebatan dirinya, jika sedang berkumpul tidak boleh ada yang membicarakan topik lain keculai dirinya, sifat seperti ini jika sudah menyelimuti, merasa bahwa apa yang dilakukan sudah melindungi dirinya untuk aman dari segala malapetaka.

Oleh sebab itu agar tidak tertipu, para syaikh sufi banyak menulis kitab, mereka memberikan hikmah dari ibrah ruhiyah yang mereka pahami. Jika mereka diberi kemudahan justru bukan senang melainkan merasa ketakutan, khawatir itu adalah tipuan atau istidraj. Istridraj tu maknanya diangkat, atau tangga naik, artinya orang diajak naik setelah tinggi dijatuhkan. Oleh karenanya, jika hidup rasanya mudah, langsung mohon ampun kepada-Nya. Jika bukan karena ibroh ruhiyah yang diungkap oleh para wali didalam kitab-kitabnya, maka kita tidak akan mengetahuinya. Karena bahasa ruhani seperti al Qur’an atau hadist mempunyai banyak makna dan sulit untuk dipahami, kecuali oleh orang-orang yang bersih ruhaninya. Seorang syaikh mengatakan bahwa jika seseorang mau kembali ke agama, lalu langsung ke Qur’an dan hadist tanpa mendengar pengalaman dan pengamalan para wali, itu sama saja dengan membenturkan kepala ke tembok. Dengan petunjuk pengalaman mereka dari pengamalannya, maka sepatutnya sangat memudahkan kita guna memahami perkara agama yang tersembunyi maknanya. Oleh karenanya para syaikh sufi dan para mutashowif tidak henti-hentinya membaca kitab-kitab tasawuf yang ditulis oleh para Aulia Allah guna disampaikan kepada murid-muridnya. Maka ada satu keterangan dalam satu kitab tasawuf yang berjudul nafahat al uns karya Syekh Abdurrahman al Jami,qs, yang berbicara tentang ma'rifat, dikatakan jika ada orang yang mengaku sebagai ahli tauhid, lalu menerangkan tauhid di depan banyak orang, dan mengatakan semua dari Allah dengan Allah untuk Allah dan tidak ada yang tidak Allah, dan tiba-tiba ada orang yang bertanya dan mencemoh serta menghinanya, lalu sang ustadz sontak saja ngamuk, marah-marah seperti Fir'aun, maka omongan orang yang bertanya itu adalah benar dari Allah, yang membuat dia bertanya dan mencemoh itu Allah. Oleh sebab itu para syaikh sufi bila mendengar pujian orang langsung takut kepada Allah, karena mereka yaqin Allah sedang mengujinya, makanya lupa kepada orang yang memujinya. Mereka merasa bahwa kebaikan ditangan Allah dan dirinya merasa tidak pantas dipuji, semua Allah yang menggerak dan menggerikan manusia dan adalah salah satu jelmaan sifat dan nama-nama Allah. Penyaksian seperti itu hanya terlihat bagi orang yang mempunyai syuhud di dalam hatinya. Sebaliknya, kebanyakan orang akan merasa senang jika dipuji dan bersahabat dengan yang memujinya, dan begitu dihina akan menjadi musuh baginya. Jadi pujian itu fitnah, pujian adalah ujian, lebih baik dihina jelas memberikan manfaat batin. Hal yang dimikian tidak bisa dipahami oleh akal melainkan ruhani.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.

Kamis, 19 Maret 2020

IHSAN

Bismillaahir Rahmannir Rahiim

Hadis yang mulia baginda Rasulullah,saw, mengenai ihsan, bahwa :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Anta’budallaha ka’annaka taroohu, fainlam takuntaroohu fa'innnahu yarok, engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau”

Orang yang bertarekat akan memaknai muroqobah sebagai sebuah manhaj atau metode untuk memperoleh ihsan, padahal salah satu makna ihsan itu sendiri adalah muroqobah. Seorang ulama sufi mengatakan bahwa yang dapat melihat Tuhan hanyalah Tuhan sendiri, maka hadits diatas menggunakan kata seolah-olah melihat. Melihat bisa dilakukan dengan mata, pikiran dan ruhani. Jika seseorang minta pendapat atau pandangan dari orang lain terhadap sesuatu, maka yang dimaksud dengan pandangan adalah melihat dengan pikiran, sedangkan jika seseorang bermimpi melihat sesuatu berarti melihat dengan ruhaninya. Lebih jauh lagi ada ulama yang mengatakan bahwa melihat itu mempunyai makna yakin, misalnya ada kalimat ‘barang siapa yang melihat sebagian daripada saudara kamu melakukan kemungkaran,’ maka yang dimaksud dengan yang dilihat adalah kemungkaran, bahwa perbuatan mungkar itu dilihat dengan mata agama dengan keyakinan, yang maknanya adalah buruk. Begitu pula yang dimaksud dengan hadist “Anta’budallaha ka’annaka taroohu,” seolah-olah engkau melihat, adalah menyaksikan secara batin disertai keyakinan atu dalam istilah tasawuf disebut syuhud atau ma’rifat. Sedangkan makna “fainlam takuntaroohu fainnnahu yarok”, maka Allah melihatmu atau menyaksikanmu, seolah-olah ada perintah yang sangat halus, yaitu kalau engkau tidak melihat Allah, maka coba engkau yakini bahwa Allah melihatmu. Maka perintah yang halus itu diterjemahkan sebagai ‘muroqobah’ yang dilakukan dengan manhaj yang khusus. Sehingga ihsan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yang pertama berkenaan dengan ruqyatullah atau syuhud atau ma’rifat yaitu menyaksikan Allah dengan mata batin, sedangkan yang kedua adalah muraqabah yaitu merasa bahwa Allah melihatmu atau mengawasimu. Inilah dua keadaan yang menjadi tujuan para mutashowif, atau dapat dikatakan bahwa ihsan adalah tujuan tasawuf. Jika demikian muroqobah dapat diidentikkan sebagai ikhlas, yaitu melakukan sesuatu hanya untuk Allah saja bukan untuk yang lain. Untuk mepunyai keyakinan bahwa disetiap peribadatan merasa diawasi, bersama dan miliputi kita, tidaklah mudah, perlu latihan muroqobah secara istiqomah.

Dalam bahasa Arab kata ruqyah itu bisa diartikan sebagai visi, yaitu pandangan kedepan atau target yang perlu dicapai, dan visi itu selalu ada motifnya. Orang maksiat ada motifnya yaitu sifat buruk, ini yang mendorong dia berbuat, dan dia ingin mendapat kenikmatan dari maksiat. orang menuntut ilmu motifnya ingin mendapatkan pekerjaan, harta, tahta. Ulama mengatakan motif selain Allah itu, fana atau tidak kekal. Tetapi kalau motifnya kekal maka dia akan berbahagia yang disebut kebahagiaan abadi. Orang berbuat baik, orang memberi jika ingin dipuji ini motifnya fana, tetapi jika orang memberi adalah karena lahir dari sifat dermawan, ini motifnya baqo, kekal, karena sikap dermawan itu sifat Tuhan. Bagaimana menjalani hidup ini dan melakukan ibadah agar ruqyahtullah, agar visinya Tuhan? Maka kita mesti punya sifat ruhaniyah, robbaniyah, sifat Tuhan. Apabila orang melakukan sesuatu atas dasar karakter sifat mulia atau hati nurani, maka perbuatan itu lahir dari sifat ruhaninya itu. Ibadah shalat, puasa, zakat, haji adalah bentuk ketundukan, jika jiwanya tidak tunduk, maka ibadah yang dilakukannya hanya sebagai rutinitas saja, persis sama seperti yang dilakukannya sejak kecil, sebelum berakal, sebelum berilmu. Bila ibadah itu menjadi rutinitas, menjadi formalitas atau tradisi, maka secara agama belum ihsan, belum dilaksanakan secara sempurna. Dan apabila ibadah itu misinya Tuhan, visinya Tuhan atau dengan kata lain adalah motifnya adalah sifat mulia, akhlak mulia atau karakter jiwa yang luhur, maka ketika dia melakukan perintah agama dan perintah hidup ini mesti tujuannya adalah Tuhan, tanpa dipikir lagi. Misalnya seseorang punya sifat dermawan, apakah dia memberi dengan pikirannya, tentu tidak, sebagaimana orang punya sifat sayang pasti akan menyayang, sifat benci pasti akan membenci, kalau dia tidak punya sifat kasih tetapi jahirnya ingin mengasihi, pastilah ada motif lain di luar dirinya itu, motif itulah yang disebut motif fana.

Maka ruqyah yang mendorong untuk mampu melaksanakan ajaran atau perintah di dalam agama Islam, dan agama ini visinya adalah Tuhan, yang dilihat Tuhan, maka yang pertama perlu dipahami bahwasanya fiqih adalah Islam, tauhid itu adalah Iman dan maka tasawuf itu adalah ihsan, yaitu bagaimana menjadikan motif melaksanakan ibadah yang didasari iman adalah dengan sifat-sifat Robbaniyah, sifat-sifat Ketuhanan, karena tujuannya adalah Tuhan. Di dalam firman Allah yang Allah nyatakan sendiri ‘Syahidallahu annahu laa ilaaha illaa huwa,’ bahwa Allah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, kemudian Allah menyebut walmalaikatu yang kedua walulul’ilmi, ini pun satu pernyataan bahwa penyaksian Tuhan itu adalah dengan ruhani, malaikat adalah ruhani dan begitu pula orang-orang yang mempunyai ilmu, itu ma’rifat maskudnya. Motif yang baqo atau kekal itu apabila melakukan ibadah keluar dari sifat mulia yang Tuhan berikan ke dalam diri manusia, dan tujuannya adalah Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan ruqyatullah, syuhudullah, menyaksikan Allah, menatap Allah dengan tatapan batin dengan pandangan ruqyah. Jika tidak punya pandangan batin, maka akan melihat berdasarkan pandangan yang dia miliki. Didalam diri manusia ini ada yang bersifat materi, yaitu jasad dan disebut jahir, dan ada yang bersifat non materi yaitu ruhani yaitu batin. Ringkasnya jika orang beragama tanpa ihsan, maka pelaksanaan islam dan imannya hanya jasad, berarti materialistik, tidak sedikit orang berilmu dan beramal tapi tetap materialistik, motifnya ingin dihormati atau mencari harta dan tahta. Jika dengan rohani atau batin yang sempurna, yaitu memiliki sifat-sifat mulia-Nya yang disebut akhlak, maqomat, anwar, asror, hakikat atau apalah istilahnya dalam ilmu tasawuf, maka akan hidup berdasarkan keruhanian, ini yang didalam al Qur’an disebut sebagai robaniyah. Sifat Ini yang dapat menyaksikan Tuhan, maka difinisinya “Anta’budallaha ka’annaka taroohu, fainlam takuntaroohu fainnnahu yarok, engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau.” Orang robani jika dikasih musibah, dia menghadapi musibah dengan Tuhan, karena sabar itu adalah sifat anugerah Tuhan kedalam ruhani, maka dia menyaksikan dan merasakan bahwa kekuatan sabar lebih tinggi daripada musibah, jadi dihadapinya musibah dengan tenang, dan akan terlihat pergerakan musibah itu dengan baik, banyak pelajaran yang diambil karena memandangnya dengan tenang, menang, tidak kalah, itulah ihsan, itulah tasawuf.

Demikian semoga bermanfaat, wallahualam bisawab.

TASAWUF

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah kesadaran.’ Wejangan ini perlu penjelasan agar tidak disalah artikan, bukan berarti orang yang tidak bertasawuf itu tidak sadar, bukan, bukan itu, yang dimaksud kesadaran dalam hal ini adalah berupaya menyadarkan diri secara terus menerus untuk mengarahkan ruhaninya hanya kepada Allah saja, itulah tasawuf.

Imam Ahmad Zarruq,qs, (1442M) adalah seorang mursyid tarekat Sadziliyah berdarah Maroko yang bermahzab Maliki, beliau adalah murid dari Imam Sulaiman al Jazuli,qs penulis kitab yang fenomenal dairatul khairat, didalamnya terdapat puji-pujian yang indah terhadap Nabi Muhammad,saw, dan cara mengamalkannya, dimulai oleh bacaan Asma ul Husna yang dibaca dengan nada dan cara yang unik. Beliau pernah berkata, dimana-mana pun orang yang jahat itu ada, setiap ada hakikat pasti ada palsunya, semua produk mengaku yang terbaik, ada yang asli dan ada yang palsu. Begitu juga didalam dunia tarekat, tidak sedikit orang mengaku-ngaku pembawa tarekat, padahal tidak sesuai dengan manhaj.

Fitrah manusia, secara tabiat memang suka terhadap hal-hal yang baik, karena tasawuf adalah nilai-nilai kebaikan, akhlak mulia, maka disukai oleh setiap tabiat manusia, akal sehat pun suka dengan yang baik-baik, namun untuk dapat mencapainya tidaklah mudah, karena sangat halus, tidak semua orang bisa mendapatkannya, mampu memahaminya. Jika diumpamakan sebuah pokok, maka akarnya itu begitu dalam, bahkan seolah-olah akarnya itu tidak diketahui (majhul). Berbagai macam istilah dalam tasawuf, yang sering kita dengar adalah ma’rifat, mahabbah, ridho, wara, syukur, taubat dan masih banyak lagi, yang berasal dari al Qur’an dan al hadist, yang para syaikh sufi menyebutnya sebagai maqomat ruhiyah, sebetulnya itu semua adalah bagian daripada akhlak mulia.

Banyak ustadz menyampaikan pengajian tasawuf, berbicara, berpakaian dan berpenampilan ala sufi, tetapi siapa yang tahu mana yang asli dan mana yang palsu? Karena sangat sulit membedakannya. Karenanya, banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai guru keruhanian, karena kalaupun mengaku orang tak akan mampu mengetahuinya. Barangsiapa mengikuti tasawuf tanpa manhaj yang benar, maka tidak akan mendapatkan apa-apa selain kehancuran. Apakah kehancuran itu? bukan jatuh kepada maksiat, dan bukan melawan orang tua lalu hidup susah, bukan pula menjadi gila atau menjadi hancur, atau menjadi miskin, melainkan tidak akan melahirkan orang-orang yang muqorrobin, arifin, malah melahirkan orang aneh, melahirkan orang bodoh, melahirkan orang takabur, melahirkan orang yang merasa lebih benar dari syariat dan memandang orang-orang yang membicarakan syariat itu rendah. Kemudian timbul persoalan bagaimana agar orang selamat dari yang palsu dan menemukan yang asli? Adakah ciri-ciri yang bersifat fisik? Bahwa ciri-ciri yang bersifat fisik tidak ada, karena bisa jadi cara berpakaian sama, nama sama, bacaan sama, dzikir sama, wiridan sama, sholawat sama, muroqobah sama, silsilah pun sama. Dalam hal ini Imam Ahmad Zarruq,qs, memberikan petunjuk untuk dapat menemukan yang asli, yaitu datangnya dari diri sendiri, jika seseorang mempunyai niat yang jujur dan betul-betul ingin Allah, maka Allah akan pertemukan kepada orang yang membawanya kepada Allah, tapi jika niatnya adalah keinginan yang lain, maka akan jumpa kepada orang yang membawanya kepada apa yang diinginkan. Maka keshiddiqkan menjadi syarat yang pertama, artinya selalu jujur ingin Allah. Itu saja yang akan menyelamatkan seseorang dalam menemukan yang benar.

Bahwasanya tasawuf itu mempunyai mukadimah (permulaan) dan mempunyai hakikat serta mempunyai hasil (natijah). Apa mukadimahnya, yaitu mula-mulanya takut kepada Allah, betul-betul ingin Allah, betul-betul tawajuh, orientasi dan kecondongan dan keinginannya hanya kepada Allah. Rasa takut yang bagaimana, tentunya rasa takut (kosyah) yang tumbuh dari ilmu, sebagaimana Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28). Khosyah atau rasa takut itu mengetahui segala apa yang datang dari Allah, adalah mengenal Allah dengan akal, bermulanya dengan akal, artinya orang harus banyak mengisi pengetahuan dulu dengan akal, otak ini mesti diisi dengan nurul ilm, mesti masuk pikiran-pikiran yang bersifat pengetahuan dan segala yang datang dari Allah. Dengan mendengar hikmah-hikmah tentang Allah maka akan timbul khosyah (rasa takut). Dia mengetahui dengan akal pikirannya bahwa semua dari Allah dan semua mesti dengan Allah, maka dia takut jika tidak dengan Allah, dia ingin Allah dengan benar, yang disebut shiddqut tawajuh. Jika orang takut dia akan betul-betul menuju kepada apa yang dia inginkan. Contoh seseorang tidak dapat berjalan kaki dengan baik, karena di telapak kakinya ada luka, tapi saat ada harimau mengejarnya, dia terpaksa lari dan tiba-tiba rasa sakit kakinya hilang, karena dia dipengaruhi dan diliputi oleh rasa takut, maka dengan rasa takut itu dapat meluruskan Jalan. Sayidina Abubakar as Siddiq,ra, pernah bercerita bahwa permulaan jalan menuju kepada Allah adalah dengan rasa takut, apabila sudah berada di pertengahan maka akan timbul rasa harap, dan diakhir tak ada lagi rasa takut dan harap, kedua duanya satu, takut ya harap, harap ya takut. Oleh sebab itu, jika mukadimah (permulaan) itu dimulai dengan rasa harap itu tidak benar. Rasa takut ini adalah rasa memandang Keagungan Allah di dalam hatinya. Orang jika punya perasaan salah, karena sebelumnya tidak taat dan banyak maksiat, kemudian dia ingin kembali kepada Allah dan dapat merasakan Keagungan Allah, maka itu berarti permulaan yang benar. Sebaliknya jika permulannya yang timbul adalah rasa harap, maka ini adalah permulaan yang salah. Itu sebab orang-orang yang mula-mula ingin dekat dengan Allah sering menangis, sering memandang hina dirinya, sering timbul rasa takut, rasa tak pantas berdekat dengan orang-orang sholeh apalagi kepada Allah.

Banyak orang ingin bertasawuf berharap ingin jadi sakti atau jawara, bisa mempunyai kekuatan supra natural, bisa macam-macam, ini salah kaprah. Ada satu hal lagi kesalahan mendasar yang perlu diperbaiki, yaitu orang jika masuk sebuah tarekat guna bertasawuf, selalu berniat ingin cepat baiat dari guru, sesungguhnya letakkan keinginan baiat itu menjadi nomor yang paling bawah. Pelajari dahulu ilmu dan silsilahnya, hampiri dulu tuan gurunya, bergaulah dengan murid-murid yang lebih dahulu, perhatikan akhlak mereka. Lalu jika didalam diri sudah tumbuh keinginan yang kuat atau lurus menghadap kepada Allah (shiddqut tawajjuh), baru kemudian baiat, sebagaimana doa iftitah didalam shalat ‘inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatoros samawati wal ardh,’ aku menghadap kepada yang menciptakan langit dan bumi, artinya ingin Allah dan inginnya betul. Pada prakteknya, riyadhahtun nafs adalah untuk mendidik jiwa, untuk membetulkan jiwa agar menghadap kepada Allah. lalu diterapkannya disaat melakukan ibadah, melakukan amal, melakukan kebaikan, dimana ketika melakukannya itu dijiwanya ada tawajjuh yang shoddiq kepada Allah, maka itulah hakikat tasawuf, meskipun belum bertarekat. Tidak sedikit orang yang bertarekat dan sudah baiat, lalu berdzikir, melakukan wirid-wirid, namun tidak ada hakikatnya manakala niatnya ingin yang lain bukan Allah. Untuk mengetahui seseorang sedang bertasawuf adalah dirinya sendiri, apakah dirinya telah tumbuh tawajjuh yang shoddiq kepada Allah, dan jika ada, sebesar mana tawajjuhnya itu, sebesar itulah tasawufnya.

Orang yang bermujahadah sesungguhnya sedang membetulkan orientasi, tawajjuh, menghadap hanya kepada Allah. Maka Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) sering berkata jika ibadah jangan mengharapkan surga dan jangan takut neraka, jangan ingin dipuji, jangan karena riya, jangan merasa paling baik, buang itu semua, agar tawajjuh hanya kepada Allah. Artinya sepenuhnya berbuat karena Allah dengan melawan hawa nafsu. Jika melakukan kebaikan timbul perasaan ingin dilihat orang, dan tiba-tiba ruhani menolaknya atau Jika ada keinginan yang kuat ingin ghibah, dan ruhani menolaknya maka ini namanya sedang membetulkan tawajjuhnya kepada Allah, ini sedang bertasawuf. Sesungguhnya Allah sudah memberikan perangkat ibadah agar manusia selalu mengajak hatinya pergi dengan dan kepada Allah, tawajjuh. Ada tradisi dzikir, didalam tulisan dikatakan bahwa fadhilah dzikir akan ma’rifat, tetapi maksudnya bukan karena berdzikir lalu ma’rifat, dzikir itu adalah masa takhali, dzikir ini ibadah untuk membangun shiddiq tawajjuh, dihapuskan ajakan nafsu dan ajakan syaithon, dan ingin membawa jiwa ini kepada Allah saja, itu dzikir. Niat dzikir pun bukan untuk apa apa kecuali untuk Allah saja, pahala pun tidak boleh, bukan tidak dapat melainkan banyak, tetapi untuk membangun hati yang bersih, agar Allah saja, maka itu mesti shiddiq tawajjuh. Agama sudah menyatakan ada pahala, itu urusan Allah, tetapi berdzikir hanya Allah saja, sebagaimana makna laa ilahaa ilallaah, ilah itu nafsu, syaithon, selain Tuhan, semuanya dibuang, dan bukan asyik dengan bacaan laa ilahaa ilallaah dan cara bacanya, jika demikian maka akan berjalan di tempat tak pergi kemana-mana meskipun sudah dua puluh tahun berdzikir, karena ma’rifat bukan karena dzikir, melainkan hibah maqomat ruhiyah, akhlak nurkarimah dari Allah SWT. Tidaklah berguna orang bertarekat berdasarkan kebodohan (jahl) melainkan berdasarkan ilmu, tidak berdasarkan tradisi yang didengar, melainkan berdasarkan paham orang yang membawa tasawuf.

Natijah adalah hasil, jika seseorang selalu membangun shiddqut tawajjuh akhirnya alfanau fillah. Fana itu melihat Allah saja, memandang Allah saja, tidak memandang manusia, tidak memandang siapapun dan apapun kecuali Allah. Perintah dan larangan dari Allah dan berbuat dengan Allah dan untuk Allah, bukankah ini semua adalah akhlak? Jika sudah fana, bukan berdiri diatas satu akhlak, melainkan semua, diantaranya sabar, syukur, ridho, tawakal, khosyah, zuhud, wara, yakin, mahabbah, syauq. Dengan kata lain dimulai dari takhali, tahali dan akhirnya tajalli, atau dari takut berdasarkan ilmu (khosyah), shiddquh tawajjuh lalu fana. Maka akhir dari semua itu adalah, ‘Dairotun ala kasyfil ghitho’, tersingkap tutup, meraih madad dan atho Rabbani atau mendapatkan, merealisasikan, merasakan madad illaahi wal atho. Apa makna tersingkap ‘ghitho’ tutup, adalah menyaksikan Allah pada setiap orang dan tak terhalang oleh orang. Orang yang berbuat jahat pun kepadanya, dia memandangnya intihan dari Allah, menyaksikan bahwa makhuk digerakkan oleh Allah, dia diutus oleh Allah untuk keluhurannya, berarti Allah sayang kepadanya, sedangkan orang itu sedang berbuat dosa, sedang dimurka oleh Allah, tetapi baginya perbuatan orang itu anugerah, perasaan dan penyaksian batin seperti ini namanya tersingkap (ghitho), pandangan mata, padangan pikiran, pandangan nafsu sudah lepas, bahkan tutup yang menutupi dirinya. Dia menyaksikan apa yang terjadi pada dirinya pun, adalah irodah (kehendak) yang Allah ingin tunjuk kepadanya, melalui dirinya, yang disebut suratan takdir, itu adalah gambaran berita tentang Allah pada dirinya, yang dirasa adalah Allah memberi tahu dirinya ‘Man Arofa nafsahu faqod Arofa rabbahu.’ Bukan sebaliknya, jika dihina orang merasa apa salahku, bukankah aku telah menolong agama-Mu, aku tidak bebuat apa-apa kecuali berdawah saja, aku sudah empat puluh tahun jadi ustadz, kenapa aku jadi begini? Dia merasa berjasa kepada Allah, padahal semua datangnya dari Allah, jika demikian maknanya jahir menutup batin, makhluk menutup Kholiq atau ciptaan menutup Pencipta, tapi jika tutup (ghitho) itu dibuka namanya kasyaf, maka dia melihat atau menyaksikan keagungan Allah, ketunggalan Allah. Nabi,saw, tidak pernah membenci Abu Jahal, meskipun Abu Jahal membencinya, semakin benci maka semakin cinta, karena Nabi,saw, tidak mempunyai sifat buruk melainkan sifat mulia, kebaikan, bagaimana mungkin yang keluar keburukan, padahal yang beliau punya semuanya adalah kebaikan. Kasyaf dicapai bukan dengan tipuan, berdandan dan bersikap secara jahir seperti seorang waliyullah, itupun menurut pemahamannya, pakaiannya, jenggotnya, tasbihnya dan majelisnya. Padahal fana, kasyaf dan madad tadi tidak dapat dicari dengan sebab, bukan dengan dzikir, bukan dengan muroqobah, bukan dengan amal apalagi dengan tipuan.

Seorang Aulia Allah ketika mereka ma’rifat atau mengenal Allah mengatakan ‘aroftu rabbi birabbi,’ aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Allah yang menganugerahkan akhlak, sifat maddad, atho ke dalam jiwa yang dipilihnya, tiba-tiba tumbuh didalam jiwa itu maqomat ruhiyah, sifat mahmudah, dan itu addalah sifat Allah, sifat itulah yang mengetahui Allah. Dia akan merasakan bahwa, dia mengenal Allah dengan anugerah Allah, hilang dianya, hilang akunya, maka sifat-sifat itulah yang menimbukan kasyaf, itulah yang dimaksud fana, ma’rifat atau syuhud. Allah menyaksikan diri-Nya dengan diri-Nya melalui ciptaan-Nya. Ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah kasyful ghaib, tersingkap yang ghaib, bukan mengetahui jin, bukan terlihat muridnya sedang di Baghdad, bukan bisa mendengar pembicaraan orang di Hongkong, atau bisa melihat jiwa orang, melainkan dia menyaksikan semua dari Allah. Bukan menjadi orang aneh, bukan menjadi orang lain, melainkan memperoleh kelembutan, karena dia melihat semua Allah yang berbuat, dia tak akan pernah berhadapan dengan selain Allah. Bagaimana bisa membenci orang? karena keburukan itu adalah jelmaan sifat Qohr Allah. Contoh sifat Qohr Allah adalah bisa jadi orang tidak menghendaki sesuatu tetapi Allah menghendaki-Nya, berarti dipaksa oleh Allah, siapa yang ingin mati, siapa yang ingin dosa, siapa yang ingin susah, siapa yang ingin sakit, tetapi Allah takdirkan kepada setiap orang, itulah makna Qohr Allah. Bukankah semua itu menunjukkan Keagungan dan Kehebatan Allah, oleh sebab itu para syaikh sufi tawasul kepada ahli maksiat, ‘Aku tawasul kepada sifat Qohr-Mu yang Engkau timpakan kepada hamba ini ampunkan dosanya.’ Seseorang masuk tarekat mesti banyak mempunyai ilmu, mesti tambah rajin untuk belajar aqidah dan syariah agar cepat sampai. Kasyaf tidak dapat dicari dengan sebab apapun, memang Allah memberi begitu saja, selain membuang atau meninggalkan semua selain Allah, berarti shiddqut tawajjuh, dzikir untuk shiddqut tawajjuh, mujahadah untuk shiddqut tawajjuh, khalwat, suluk untuk shiddqut tawajjuh, bukan sibuk dengan lafadz dzikir yang bermain-main di pikirannya, yang bermain-main di emosionalnya. Ketika orang sedang mengajarkan dzikir ismudzat ‘Allah’ misalnya dengan pengaturan nafas itu sebenarnya sedang membangun shiddqut tawajjuh, bukan untuk memperoleh warna warni, atau nur yang mengalir di dalam dirinya lalu timbul ma’rifat, kecuali membuang semua selain Allah, shiddqut tawajjuh, dan tidak menoleh kepada yang berdosa dan yang taat, hanya menoleh kepada Allah. Juga tidak dapat diraih oleh berbagai pengakuan, misalnya mengaku keturunan nabi, mengaku keturunan wali, mengaku bahwa gurunya datang dalam mimpi, mengaku mimpi bertemu Nabi Khidir, melainkan Allah ingin memberinya kepada orang yang shiddiq.

Barangsiapa yang menginginkan Allah, tanpa ada muqoddimah, tanpa ada rasa takut, tanpa ada hakikat tasawuf yang benar di dalam dirinya, yaitu betul-betul melepaskan diri dari makhluk, dan ingin Allah saja atau shiddqut tawajjuh maka harapannya akan menjadi sia-sia. Maka jadikan yang ada di depan hati, yang dipikirkan adalah mendapat istiqomah dan kesempurnaan ubudiyah, itu saja yang dipikir. Kemudian perbaiki istiqomah itu dengan mengikuti syariat, agar berpihak kepada kebenaran, kemudian memurnikan tujuan, memurnikan pandangan, membuang semuanya hanya Allah saja dengan meninggikan semangat, buang makhluk dengan himmah kepada Allah, dan selalu pautkan hati kepada Allah, itulah tasawuf.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.

Minggu, 08 Maret 2020

ISTIQOMAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Manusia itu baru bersyukur manakala memperoleh nikmat dari Allah, yang berupa sesuatu yang sesuai dengan keinginannya. Padahal nikmat itu tampak dalam kesempurnaan manusia, dibanding makhluk lain. Manusia terdiri dari pada jasad dan ruh, dua pasang yang sempurna, inilah yang membuat manusia itu mulia. Manusia mempunyai potensi untuk memperoleh pangkat khalifah, dan kekuasaan berdasarkan ilmu dan penemuan-penemuan baru. Manusia dapat menundukkan bumi, lautan, hutan, gunung, binatang, semua berdasarkan ilmu yang Allah anugerahkan berupa kemampuan eksploitasi dan memanfaatkan alam semesta ini. Sedangkan nikmat yang utama adalah adanya potensi untuk mengenal dan mencintai Allah dan nikmat dalam kebangkitan nanti setelah mati dan balasannya kekal. Namun kebanyakan manusia lalai dalam mensyukuri nikmat-Nya.

Andaikan manusia diminta setiap nikmat bayarannya berupa ibadah, maka adakah yang mampu membayaranya? Jika tuntutannya berupa itu, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling dzalim terhadap diri sendiri. Membalas jasa orang tua saja tidak mampu, meskipun dengan semua harta yang dimilikinya. Maka mustahil manusia bisa membalas nikmat yang Allah berikan. Tetapi beruntungnya menjadi umat Baginda Nabi Muhammad,saw, bahwa dengan amal sedikit memperoleh balasan yang berlimpah, sedangkang dosa hanya dihitung terhadap bilangannya saja, dan Allah memaafkan kesalahan manusia oleh sebab berbuat baik kepada manusia lain, binatang, kepada orang tua, kepada semua ciptaan Allah. Bahkan jika Allah menimpakan musibah, maka akan digugurkan dosa-dosa. Dalam hadis diriwayatkan bahwa semua Nabi terdahulu memohon kepada Allah agar dijadikan umat Muhammad,saw, karena mengetahui betapa sangat di istimewakan oleh Allah, ironisnya manusia tidak pandai bersyukur.

Dimasa sayidina Umar bin Khatab,ra, ada tukang kedai di pasar yang selalu berdoa Ya Allah jadikanlah aku hamba yang sedikit. Maksudnya adalah agar dijadikan kelompok yang bersyukur karena hanya sedikit manusia yang bersyukur. Sudah berlaku umum bahwa yang sedikit itu memang yang terbaik. Oleh karenanya, orang yang menginginkan Allah itu teramat sedikit, karena yang dikehendaki manusia adalah pemberian-Nya bukan yang Memberi. Jika Allah menghukum manusia disebabkan oleh apa yang diperbuat, maka tak ada satu makhluk pun tersisa di muka bumi ini. Dan kemampuan yang ada pada manusia bila digunakan untuk ibadah tak sebanding dengan pemberian nikmat-Nya. Seolah-olah memang tidak dapat dilakukan oleh tubuh ini, kalau tidak diberi ilmu dan kemampuan dari-Nya. Sehingga nikmat tidak mungkin terbayar oleh ibadah manusia, kecuali oleh orang yang dekat kepada-Nya, yang berbuat sedikit sudah memadai dengan semua nikmat-Nya.

Kalau ditimbang amal dan syukur, maka manusia akan malu, jika punya malu, karena tidak semua manusia punya rasa malu. Karena sesungguhnya amal dan syukur manusia itu ilusi (wahm) atau tidak ada atau tidak hakiki. Melihat kepada riwayat para Ulul Azmi, yang memiliki azam, artinya mereka tidak melihat bahwa telah mampu bersyukur untuk nikmat yang paling kecil sekalipun, itu sebab mereka tidak berpikir bahwa ibadah ini akan dibalas surga, melainkan melakukannya hanya dari, dengan dan kepada Allah saja. Manusia jika diberi nikmat lalu mengucapkan Alhamdulillah selama seluruh hidupnya pun belum bisa membalas, tetapi jika menyaksikan bahwa nikmat adalah Allah yang menganugerahkan, maka niscaya lunas syukur itu. Tetapi penyaksiannya bukan dengan pikiran melainkan dengan ruhani (syuhud). Maka terkadang Allah membuat seseorang sakit atas dasar sifat Jamal-Nya, yang tujuannya bukan untuk menyiksa tetapi memuliakannya, akan tetapi manusia jika diberi sakit akan mengeluh dan menyesal tidak dapat mengaji, dzikir berjamaah, ke mesjid, ziarah kepada sesama saudara, dan merasa tidak dapat beramal sholeh. Padahal hakikat sakitnya adalah murni dari Allah dan apapun yang datang dari Allah pasti baik, didalamnya terdapat hikmah dan manfaat, sedangkan ibadah yang dilakukannya belum tentu diterima oleh Allah. Intinya adalah bagaimana beradab dan menyikapi pemberian Allah, sakit pun menjadi mulia kalau kita tahu adabnya, yang akan menggugurkan dosa dan mengangkat derajat. Oleh karenanya sedikit sekali manusia yang bersyukur terhadap hal ini.

Ada kisah dari Sayidina Ibnu Abbas,ra, bahwa tiba-tiba rambut yang mulia baginda Nabi Muhammad,saw, cepat beruban, maka sahabat bertanya apa yang membuat engkau cepat beruban wahai Rasulullah? Jawaban Rasulullah SAW ‘Telah membuat aku beruban surat Hud dan saudara-saudaranya.’ Karena terdapat perintah Allah pada ayat ‘fastaqim kama umirta, artinya istiqomahlah seperti yang diperintahkan.’ Bagaimana umatku mampu melakukan perintah Allah lurus karena-Nya? Itulah yang Baginda Rasulullah,saw., pikirkan, karena umatnya banyak yang berbuat kebaikan namun riya, ujub, ingin balasan, sum’ah. Kita memberi pun jika orang tidak mengucapkan terima kasih lantas marah, hati bercakap ‘kamu ini tidak punya adab,’ padahal dengan berpikir seperti itu kita pun tidak beradab, karena telah mengaku kebaikan itu perbuatannya, padahal memberi itu adalah kehendak-Nya. Artinya yang membuat Nabi,saw, beruban itu perintah Istiqomah, umatnya dituntut untuk melakukan apapun secara istiqomah, dalam berpikir, dalam berkata, dalam berbuat, ketika bersama orang, ketika sendiri. Istiqomah adalah antara menyembah Allah dan menunaikan hak Allah, misalnya shalat adalah menyembah Allah sedangkan sholat dengan khusyuk itu menunaikan hak Allah, memberi adalah ibadah sedangakan memberi dengan ikhlas itu Istiqomah, artinya melaksanakan perintah Allah dengan beradab kepada-Nya. Jika seseorang dapat Istiqomah berarti telah mensyukuri nikmat, bukan bilangan ibadahnya tetapi ibadah yang betul-betul karena Allah, yang dilakukan dengan ruhani bukan jasmani saja.

Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Istiqomah adalah keselarasan antara jasmani dan ruhani, apa yang jahir didalam perilakunya itu lahir dari batinnya’. Memberi itu bukan karena ada motifasi macam-macam, tetapi memang memberi itu lahir dari sifat dermawan, sifat-sifat Allah, sifat Mulia yang Allah tajallikan (wujudkan) kepadanya, Jika Allah berikan sifat dermawan itu kepada kita, lalu Allah perintahkan untuk memberi, maka kita akan memberi dengan sifat itu tanpa berpikir lagi, dan itulah syariat jahir dan hakikat batin. Jika tidak, maka melakukan ibadah itu berdasarkan pikirannya, berdasarkan teks yang dibacanya, berdasarkan kebiasaan jahir yang dilakukan sejak kecil, hatinya kosong tidak ada apa-apa, maka terasa berat ibadah itu, lalu akan mengaku-aku, bahwa aku sudah memberi kepada si anu, kepada si fulan, dan lain sebagainya. Nah itu mengaku-aku memberi, padahal Allah yang menggerakannya. Sesungguhnya Allah yang menangani manusia ‘al inayah al ilaahiyah,’ oleh sebab itu keterangan didalam syariat tentang sabar, syukur, ridha, tawakal itu adalah sifat Allah, dan barang siapa telah ditajallikan sifat-sifat mulai ini, maka akan mempunyai istiqomah, berarti sedikit sekali manusia yang istiqomah seperti juga manusia yang bersyukur. Sehingga akan merasa bahwa mensyukuri nikmat itu tidak ada batasnya, karena syukur itu salah satu asma Allah, maka orang yang diberi pemahaman akan selalu bersyukur atas syukurnya, terus tidak terbatas, maka menyaksikan bahwa semuanya dari, dengan dan untuk Allah, inilah syukur yang hakiki.

Semoga bermanfaat wallahualam bi sawab

Sabtu, 07 Maret 2020

PEMAHAMAN YANG SALAH

Bismillaahir Rahmaniir Rahiim

Salah satu kesalahan murid dalam bertarekat adalah menganggap bahwa syaikh atau gurunya itu adalah orang yang suci dan jernih secara sempurna dan selalu dalam keadaan yang demikian, sehingga kalau syaikh melakukan kesalahan, murid akan kecewa. Padahal kesalahan itu bukan ada pada gurunya, melainkan ada pada sang murid dalam memahaminya.

Dikatakan bahwa yang ma’sum hanyalah para nabi, maka tidak ada yang lain tanpa melakukan kesalahan termasuk para syaikh, mursyidin dan para arifin. Karena kesalahan itu banyak memberikan i'tibar atau pelajaran, ada kesalahan secara sar’i, ada kesalahan dalam arti tidak sependapat dengan orang lain. Banyak orang menganggap jika tidak sependapat dengannya dikatakan salah, jika demikian maka sayidah Aisyah,ra, sering mengatakan bahwa Nabi,saw, salah, misalnya dalam sholat kelebihan atau kekurangan rakaat, hakikatnya Nabi,saw, tidak lah salah, melainkan mengajarkan bagaimana cara untuk memperbaiki kesalahan, karena syariat Islam datangnya dari beliau. Begitu juga para syaikh terutama seorang mursyidin, adalah manusia yang dapat melakukan kesalahan, namun kesalahannya merupakan qudwah bagi murid-muridnya, qudwah bagaimana cara melakukan pertaubatannya. Yang dimaksud bahwa seorang syaikh tidak pernah salah, adalah mereka selalu bertaubat didalam tarikan nafasnya. Karena Nabi,saw, bersabda orang yang bertaubat sama dengan orang yang tidak berdosa, mereka sudah terlatih sejak mula-mula menjadi murid, mereka membaca istighfar pagi dan petang, bukan istighfar secara lisan saja, tetapi betul-betul memohon ampun. Ketika mereka telah ma’rifat, syuhud atau lebih dikenal memiliki mahabbah, maka mereka selalu dalam keadaan memohon ampun kepada Allah. Sehingga bersih dari kesalahan, ada hadits Rasulullah saw yang mengatakan bahwa jika Allah mencintai seorang hamba, maka dosa hamba itu tidak merusaknya, tidak memudhorotkannya. Karena Allah telah membagi cinta-Nya kepada hamba itu. Jika seseorang mempunyai sahabat yang kesalahannya banyak, tetapi karena ada ikatan cinta, maka cinta akan menutupi kesalahannya, tetapi jika sudah didasari kebencian, maka kebaikan yang banyak pun akan dianggap buruk, malah berbuat baik dianggap salah.

Bisa jadi para murid telah dipahami oleh pemahaman yang yang bersifat tradisi tentang syaikh, tentang arifin, sehingga kecewa ketika melihat mereka melakukan kesalahan, kecewa sekali. Kesalahan dalam pemahaman ini, boleh jadi dilakukan juga oleh orang berilmu, karena tidak mengerti tentang hakikat mursyid ruhiyah, apalagi kalau kesalahan itu adalah kesalahan yang dinyatakan oleh syariah, padahal kesalahan itu hikmah. Jika kita mengutip perkataan para syaikh sufi bahwa dosa itu indah, dosa itu baik, maka orang akan lebih salah lagi memahaminya. Kalau kesalahan itu mukhalafatu syariah, maka ada ayat didalam Al Qur’an : ‘Innallāha yuḥibbut-tawwābīna wa yuḥibbul-mutaṭahhirīn. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. (QS 002 : 222), Ampunan-Nya terbuka dan Allah menganjurkan untuk selalu bertaubat dan telah menyediakan doa-doa taubat. Dosa bagi para syaikh dan arifin adalah manakala tidak berhasil mengingat-Nya, tidak memiliki rasa rindu kepada-Nya, tidak jujur kepada Allah, bahkan mereka mengatakan siksaan yang paling pedih adalah manakala Allah tidak memberikan akhlak mulia. Memang berbeda jika melihat dari sisi hakikat dan melihat dari sisi syariat, dan lebih lagi bila dicampur lagi dengan akal yang terbatas. Agama makin sempit bila dilihat hanya dari segi amal jahir saja, tidak melihat bagaimana kemurahan dan kasih sayang Allah. Para syaikh sudah bicara tentang kasih sayang, itu sebab mereka para mursyid mempunyai ampunan yang lebih besar daripada kesalahan yang diperbuat oleh muridnya. Tetapi murid sering memahaminya secara salah, karena pemahaman agama yang masih sempit.

Yang dimaksud dengan kesucian atau kebersihan hati atau sofa qolbu adalah qolbu yang jernih dari pengaruh sifat nafsu seperti sombong, bohong, riya, ujub, sum’ah, iri, dendam, dan lain sebagainya. Seorang murid tidak akan mampu membayangkan bahwa para mursyid itu tidak lagi punya sifat buruk, sulit diterimanya karena sang murid gudang sifat buruk. Meskipun seorang murid shalat di tengah malam, dibilik gelap dan dikunci rapat sehingga tidak ada yang melihat dan tidak ada yang mendengar, tetapi pasti masih melihat pengakuan diri, sedangkan para mursyid itu selamat dari dua pandangan melihat orang dan melihat diri. Nah, tujuan daripada bertarekat itu adalah mengalihkan yang selama ini tujuannya makhluk kepada Allah. Oleh karenanya jika orang yang bertarekat meskipun sudah lama, tetapi belum memulai memindahkan tujuan ibadahnya dari selain Allah kepada Allah, maka dia belum mulai bertarekat, sebaliknya bila seseorang sudah mengalihkan pandangannya maka hakikatnya dia sudah bertarekat meskipun belum bai’at.

Ada sebuah kisah di Banten, seorang Syaikh, di dengki oleh orang, dihasut, disakiti, murid-murid yang di sekitarnya menyaksikan, sehingga murid-muridnya tahu siapa yang menyakiti gurunya, tiba-tiba muridnya memusuhi orang yang menyakiti gurunya, sedangkan gurunya tidak pernah membalasnya jahir ataupun batin. Muridnya menyaksikan gurunya sangat sabar, seolah tidak terjadi apa-apa. Sehingga muridnya pun berkata kepada guru 'usir saja dia dari pengajian, tidak pantas bertarekat seperti itu', gurunya malah marah dan menegur muridnya. Orang yang menyakiti bertobat, dan gurunya menerima, sedangkan murid-muridnya tidak terima. Dari contoh ini, murid-murid seperti itu tidak menyadari bahwa mereka memiliki guru tarekat, pembimbing ruhani, mereka tidak tahu dan menyadari sebetulnya apa yang mereka ingin ambil dari gurunya, padahal mereka menyaksikan betapa gurunya sangat sabar, terhadap musibah yang menimpanya, mereka menyaksikan itu, tetapi tidak dapat mengambil 'ibrah ruhaniyah' gurunya, mereka tidak tahu maknya yang sebenarnya bersahabat dengan guru, apa yang sebenarnya mereka ingin ambil. Ketika gurunya wafat, orang itu pun menjadi musuh bebuyutan. Mengapa mereka tidak mencotoh gurunya untuk terus mengajak kepada kebaikan? Artinya meskipun mereka mengaji tasawuf dalam waktu yang lama tetapi tidak memperoleh waris ruhani dari gurunya. Mereka tidak mengerti suluk, arti suluk dalam hal ini adalah, tarbiyah ruhiyah, tasawuf, agamanya hanya teks dan taklid buta saja. Ini adalah pemahaman yang salah dan merupakan musibah jika agama kehilangan tasawuf, semua disamakan dengan amal jahir. Padahal orang yang mengurus batin akan secara otomatis mengurus jahirnya sedangkan orang yang mengurus jahir membiarkan batinnya.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.

Jumat, 06 Maret 2020

ISTIGHFAR

Bismillaahir Rahmannir Rahiim

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata pada saat perayaan mauwlid Baginda Nabi Muhammad,saw, bahwa : ‘Barang siapa masih merasa ada maka muroqobah ahadiyahnya batal.’ Ini adalah bahasa ruhani yang dijadikan bahasa jasmani, sehingga perlu penjelasan agar tidak disalah artikan.

Istilah di dunia tasawuf seperti kehidupan di lautan, agar bisa berkomunikasi secara dewasa maka harus menyelam didalamnya. Karena mereka berbicara hakikat sedangkan hakikat tidak ada bahasanya. Contoh, seseorang ingin membuat kue yang bahannya terbuat dari angin dan api, hal ini adalah khayal karena sesuatu yang tidak mungkin, meskipun khayal mesti menggunakan bahasa yang dikenal, seperti kue, angin dan api. Sedangkan di alam haikikat tidak ada, oleh sebab itu perumpamaan yang dibuat oleh syaikh sufi sulit dipahami bagi orang yang tidak menyelam dilautan ruhani. Tasawuf memang dicipta oleh-Nya bagi orang yang dewasa dalam beragama. Didalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan hanya bisa dipahami oleh orang yang berakal, ‘Watilka al-amtsaalu nadhribuhaa lilnnaasi wamaa ya’qiluhaa illaa al’aalimuuna, dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia, dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu. (QS 29 : 43). Meskipun orang yang sudah bertarekat, bertasawuf bertahun-tahun lamanya pun tetapi tidak menyelam dan hanya taklid saja, maka mereka tidak mampu memahaminya. Seorang sufi mengatakan bahwa Allah hanya bisa dikenali dengan ilmu bukan dengan kebodohan.

Seperti kitab insanul kamil karya Syaikh Ibrahim al Jilly,qs, pernah dikatakan syirik oleh beberapa ulama di Indonesia, setelah adanya pertemuan dan penjelasan dari ulama tarekat, barulah mereka bisa memahaminya. Begitu pula kitab-kitab karya Imam Ibnu Arabi,qs, sangat sulit dipahami. Oleh karenanya jangan pernah berbicara hakikat di depan orang awam, karena bisa menjadi fitnah.

Syaikh Abdul Ghani An-Nabulsi,qs, yang tinggal di Suriah (1641-1731) adalah murid dari Syaikh. Ahmad Khotib as Sambasi,qs, di Mekkah pendiri tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Beliau mengajar tasawuf di Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah, kemudian melakukan safar ke beberapa negara. Untuk menjelaskan Ahadiyah beliau membuat ilustrasi tentang cermin. Dikatakan, bila kita berdiri di cermin maka akan muncul gambar kita, semua gerak kita nampak juga dalam cermin itu. Nah jika perintah untuk gerak itu datang dari pikiran kita, maka yang melaksanakan gerak itu kita sendiri bukan gambar itu, meskipun gambar itu bergerak, ketika gambar itu merasa bahwa dia yang melaksanakan perintah kita, maka itu dosa karena dia merasa ada.

Allah SWT yang dapat dikenali oleh manusia terdiri daripada Zat, Sifat, Fi’il dan Intial, intial ini adalah ciptaan. Ketika Allah SWT sudah melaksanakan keinginan dari diri-Nya untuk mengerjakan isi ilmu-Nya maka Allah kerjakan, kemudian jahirlah makhluk yang disebut intial. Intial yang sempurna adalah manusia, dicipta mempunyai zat, sifat dan fi’il dan punya intial pula, sesuai dengan citra-Nya. Akan tetapi semua ciptaan Allah adalah wahm (ilusi) bukan hakiki, oleh sebab itu yang dihasilkan oleh yang wahm pastilah wahm (ilusi) juga, semakin lama semakin jauh dari hakikat. Oleh sebab semakin jauh dari hakikat maka manusia semakin merasa ada, yang pada akhirnya merasa bahwa dialah yang dapat melaksanakan perintah Allah, disinilah permulaan dosa. Ditengah suratul Fatihah dikatakan ‘Iya kana budu wa iyya kanasta'inu,’ ibadah syariatnya dari-Mu untuk melaksanakannya pun kekuatan dari-MU atau la haula wala quwwata illa billah. tidak ada daya untuk melaksanakan perintah-Mu, tidak juga kekuatan untuk menjauhi larangan-Mu, kecuali dengan anugerah-Mu, Al Inayah al Ilahiyah. Artinya ibadah itu menggunakan kekuatan ruhani yang Allah berikan, yang Allah tajallikan, tanpanya manusia menjalankan perintah-Nya hanya dari pikiran saja, meskipun akan memperoleh pahala, tetapi hidup di dunia ini bukan untuk pahala, melainkan untuk mengenal Allah. Yaitu dengan membangun ruhani atau peradaban Tuhan bukan peradaban kauniah, itulah jalan yang lurus dalam beragama. Oleh sebab itu orang yang sudah sampai pada keadaan ini akan beristighfar dari pengakuan terhadap semua ibadahnya dengan menyebut ‘astagfirullah min wujudi,’. Ada seorang sufi yang yang beristighfar : ‘Ya Allah aku mohon ampun dari tidak jujurnya aku membaca istighfar kepada-MU.’ Jadi dia istighfar dari istighfar. Karena memang orang yang bertarekat itu bukan bertaubat dari dosa, melainkan bertobat dari berbuat dengan dirinya.

Syaikh Abu Yazid Al Busthomi,qs, pernah bercerita tentang mempinya ketika bertanya : ‘Bagaimana aku Mengenal-Mu?’ Ada suara menjawab : ‘Tinggalkanlah dirimu.’ Ini adalah percakapan orang dewasa yang lain dalam beragama, ‘Tinggalkanlah dirimu,’ karena kebanyakan manusia memandang bahwa dirinya itu hanya tubuh atau jasad saja, jika demikian maka manusia sama dengan kerbau, anjing, babi, monyet, ular, buaya. Sedangkan para sufi menambahnya dengan ruhani, sifat ruhani adalah malaikat, kebaikan, Nur Jamallullah, rohimiyah. Maka jika manusia memandang dirinya, bukan dengan pikirannya, bukan dengan matanya tetapi dengan ruhaninya, maka dia telah keluar dari dirinya, dia sudah meninggalkan dirinya, karena ketika dia menggunakan cahaya ini, dia tidak merasa ada, dan menyaksikan suratan hidupnya detik demi detik itu adalah jelmaan sifat dan asma Allah, sehingga membuat dia fana atau tidak ada. Maka setiap hari yang diperangi adalah kehidupan jasad ini, karena didalam jasad ini ada nafsu, nafsu inilah yang nanti akan merasa bahwa diri ini ada, sehingga ketika keluar dari dirimu maka artinya engkau memandang dengan pandangan Tuhan, pandangan Tuhan ini cahaya yang Allah anugerahkan kepada ruhani, kalau dalam tarekat disebut maqomat ruhiyah, hakikat Muhammadiyah, hakikat robaniyah, asror ilahiyah, kalau dalam syariat disebut akhlak karimah. Seseorang jika mendapatkan cahaya ini maka ada pengakuan kepada Allah, mereka mengatakan ‘aku melihat Tuhan melalui takdir jasadku dengan cahaya Tuhanku’, maka yang di dinampak dan yang menampak semuanya tajalli Allah, apabila begini pandangannya, maka dia baru bertauhid, dia keluar dari dirinya. Karena yang mentauhidkan Allah itu hanya Allah, ketika Allah berikan Cahaya ke rohani, maka orang memandang dengan rohani Tuhan itu, sebagaimana Nabi,saw, bersabda ‘ Ittaqu firosatul mu’mina, fa innahu yanzhuru binurillah, berhati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah.’ Nah itu adalah tauhid, maka tauhid baru nyata, jika telah dapat membebaskan diri dari perangkat jasad ini, maka akan nampak bahwa tubuh ini ‘Huwa’ bukan aku, lalu kita melihat tubuh orang lain ‘Huwa’ bukan huwa selain Allah, aku kamu tidak ada, yang ada hanya Dia, artinya semuanya Allah, tapi ini bukan dengan pikiran meskipun kita sudah paham menghafal ilmu hakekat dan mengerti tentang ini.

Orang yang tenggelam didalam muroqobah Ahadiyah, tauhidnya akan benar, jika ditampar pipinya pun tidak marah, tidak ada pembelaan kepada diri, jika marah berarti masih ada aku. Jika seseorang membuang bangkai hinaan sebesar apapun kelautan tauhid, maka sedikitpun tidak akan mencemarinya, tidak akan rusak, bahkan keluarnya jadi bersih, karena dia memandang semua satu atau al kasrah fil wahdah. Maka jika sudah meninggalkan diri, selamat dari belenggu ini, murni hidup dengan ruhani, akan tersingkap bahwasannya Dia itu Allah, setiap saat akan beristighfar, karena diri ini selalu akan kembali kepada nafsu, selalu aku, tidak Allah, coba jika kita dihina orang akan keluar 'aku', kita disakiti akan keluar 'aku'. Syaikh sufi memandang orang yang berbuat buruk kepadanya, akan berkata bahwa orang itu sedang menyuarakan isi keburukannya, tidak ada urusannya dengan aku, karena orang jika baik melihat orang buruk pun baik, jika orang buruk melihat kebaikan pun buruk, jadi tidak pernah ahli tauhid itu marah karena diburukkan, malah secara syariat senang, kenapa? karena yang menggibah itu kebaikannya akan Allah berikan kepadanya dan keburukkannya akan diberikan kepada dia, dengan pandangan batin itulah ‘annahu huwa la anta’, maka dia istighfar bukan dari dosa tetapi dari sumbernya, apa? aku, astaghfirullah min wujudi anna, karena sumber dosa itu 'aku' ada, sumber dosa itu merasa ada.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab