Minggu, 08 Maret 2020

ISTIQOMAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Manusia itu baru bersyukur manakala memperoleh nikmat dari Allah, yang berupa sesuatu yang sesuai dengan keinginannya. Padahal nikmat itu tampak dalam kesempurnaan manusia, dibanding makhluk lain. Manusia terdiri dari pada jasad dan ruh, dua pasang yang sempurna, inilah yang membuat manusia itu mulia. Manusia mempunyai potensi untuk memperoleh pangkat khalifah, dan kekuasaan berdasarkan ilmu dan penemuan-penemuan baru. Manusia dapat menundukkan bumi, lautan, hutan, gunung, binatang, semua berdasarkan ilmu yang Allah anugerahkan berupa kemampuan eksploitasi dan memanfaatkan alam semesta ini. Sedangkan nikmat yang utama adalah adanya potensi untuk mengenal dan mencintai Allah dan nikmat dalam kebangkitan nanti setelah mati dan balasannya kekal. Namun kebanyakan manusia lalai dalam mensyukuri nikmat-Nya.

Andaikan manusia diminta setiap nikmat bayarannya berupa ibadah, maka adakah yang mampu membayaranya? Jika tuntutannya berupa itu, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling dzalim terhadap diri sendiri. Membalas jasa orang tua saja tidak mampu, meskipun dengan semua harta yang dimilikinya. Maka mustahil manusia bisa membalas nikmat yang Allah berikan. Tetapi beruntungnya menjadi umat Baginda Nabi Muhammad,saw, bahwa dengan amal sedikit memperoleh balasan yang berlimpah, sedangkang dosa hanya dihitung terhadap bilangannya saja, dan Allah memaafkan kesalahan manusia oleh sebab berbuat baik kepada manusia lain, binatang, kepada orang tua, kepada semua ciptaan Allah. Bahkan jika Allah menimpakan musibah, maka akan digugurkan dosa-dosa. Dalam hadis diriwayatkan bahwa semua Nabi terdahulu memohon kepada Allah agar dijadikan umat Muhammad,saw, karena mengetahui betapa sangat di istimewakan oleh Allah, ironisnya manusia tidak pandai bersyukur.

Dimasa sayidina Umar bin Khatab,ra, ada tukang kedai di pasar yang selalu berdoa Ya Allah jadikanlah aku hamba yang sedikit. Maksudnya adalah agar dijadikan kelompok yang bersyukur karena hanya sedikit manusia yang bersyukur. Sudah berlaku umum bahwa yang sedikit itu memang yang terbaik. Oleh karenanya, orang yang menginginkan Allah itu teramat sedikit, karena yang dikehendaki manusia adalah pemberian-Nya bukan yang Memberi. Jika Allah menghukum manusia disebabkan oleh apa yang diperbuat, maka tak ada satu makhluk pun tersisa di muka bumi ini. Dan kemampuan yang ada pada manusia bila digunakan untuk ibadah tak sebanding dengan pemberian nikmat-Nya. Seolah-olah memang tidak dapat dilakukan oleh tubuh ini, kalau tidak diberi ilmu dan kemampuan dari-Nya. Sehingga nikmat tidak mungkin terbayar oleh ibadah manusia, kecuali oleh orang yang dekat kepada-Nya, yang berbuat sedikit sudah memadai dengan semua nikmat-Nya.

Kalau ditimbang amal dan syukur, maka manusia akan malu, jika punya malu, karena tidak semua manusia punya rasa malu. Karena sesungguhnya amal dan syukur manusia itu ilusi (wahm) atau tidak ada atau tidak hakiki. Melihat kepada riwayat para Ulul Azmi, yang memiliki azam, artinya mereka tidak melihat bahwa telah mampu bersyukur untuk nikmat yang paling kecil sekalipun, itu sebab mereka tidak berpikir bahwa ibadah ini akan dibalas surga, melainkan melakukannya hanya dari, dengan dan kepada Allah saja. Manusia jika diberi nikmat lalu mengucapkan Alhamdulillah selama seluruh hidupnya pun belum bisa membalas, tetapi jika menyaksikan bahwa nikmat adalah Allah yang menganugerahkan, maka niscaya lunas syukur itu. Tetapi penyaksiannya bukan dengan pikiran melainkan dengan ruhani (syuhud). Maka terkadang Allah membuat seseorang sakit atas dasar sifat Jamal-Nya, yang tujuannya bukan untuk menyiksa tetapi memuliakannya, akan tetapi manusia jika diberi sakit akan mengeluh dan menyesal tidak dapat mengaji, dzikir berjamaah, ke mesjid, ziarah kepada sesama saudara, dan merasa tidak dapat beramal sholeh. Padahal hakikat sakitnya adalah murni dari Allah dan apapun yang datang dari Allah pasti baik, didalamnya terdapat hikmah dan manfaat, sedangkan ibadah yang dilakukannya belum tentu diterima oleh Allah. Intinya adalah bagaimana beradab dan menyikapi pemberian Allah, sakit pun menjadi mulia kalau kita tahu adabnya, yang akan menggugurkan dosa dan mengangkat derajat. Oleh karenanya sedikit sekali manusia yang bersyukur terhadap hal ini.

Ada kisah dari Sayidina Ibnu Abbas,ra, bahwa tiba-tiba rambut yang mulia baginda Nabi Muhammad,saw, cepat beruban, maka sahabat bertanya apa yang membuat engkau cepat beruban wahai Rasulullah? Jawaban Rasulullah SAW ‘Telah membuat aku beruban surat Hud dan saudara-saudaranya.’ Karena terdapat perintah Allah pada ayat ‘fastaqim kama umirta, artinya istiqomahlah seperti yang diperintahkan.’ Bagaimana umatku mampu melakukan perintah Allah lurus karena-Nya? Itulah yang Baginda Rasulullah,saw., pikirkan, karena umatnya banyak yang berbuat kebaikan namun riya, ujub, ingin balasan, sum’ah. Kita memberi pun jika orang tidak mengucapkan terima kasih lantas marah, hati bercakap ‘kamu ini tidak punya adab,’ padahal dengan berpikir seperti itu kita pun tidak beradab, karena telah mengaku kebaikan itu perbuatannya, padahal memberi itu adalah kehendak-Nya. Artinya yang membuat Nabi,saw, beruban itu perintah Istiqomah, umatnya dituntut untuk melakukan apapun secara istiqomah, dalam berpikir, dalam berkata, dalam berbuat, ketika bersama orang, ketika sendiri. Istiqomah adalah antara menyembah Allah dan menunaikan hak Allah, misalnya shalat adalah menyembah Allah sedangkan sholat dengan khusyuk itu menunaikan hak Allah, memberi adalah ibadah sedangakan memberi dengan ikhlas itu Istiqomah, artinya melaksanakan perintah Allah dengan beradab kepada-Nya. Jika seseorang dapat Istiqomah berarti telah mensyukuri nikmat, bukan bilangan ibadahnya tetapi ibadah yang betul-betul karena Allah, yang dilakukan dengan ruhani bukan jasmani saja.

Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Istiqomah adalah keselarasan antara jasmani dan ruhani, apa yang jahir didalam perilakunya itu lahir dari batinnya’. Memberi itu bukan karena ada motifasi macam-macam, tetapi memang memberi itu lahir dari sifat dermawan, sifat-sifat Allah, sifat Mulia yang Allah tajallikan (wujudkan) kepadanya, Jika Allah berikan sifat dermawan itu kepada kita, lalu Allah perintahkan untuk memberi, maka kita akan memberi dengan sifat itu tanpa berpikir lagi, dan itulah syariat jahir dan hakikat batin. Jika tidak, maka melakukan ibadah itu berdasarkan pikirannya, berdasarkan teks yang dibacanya, berdasarkan kebiasaan jahir yang dilakukan sejak kecil, hatinya kosong tidak ada apa-apa, maka terasa berat ibadah itu, lalu akan mengaku-aku, bahwa aku sudah memberi kepada si anu, kepada si fulan, dan lain sebagainya. Nah itu mengaku-aku memberi, padahal Allah yang menggerakannya. Sesungguhnya Allah yang menangani manusia ‘al inayah al ilaahiyah,’ oleh sebab itu keterangan didalam syariat tentang sabar, syukur, ridha, tawakal itu adalah sifat Allah, dan barang siapa telah ditajallikan sifat-sifat mulai ini, maka akan mempunyai istiqomah, berarti sedikit sekali manusia yang istiqomah seperti juga manusia yang bersyukur. Sehingga akan merasa bahwa mensyukuri nikmat itu tidak ada batasnya, karena syukur itu salah satu asma Allah, maka orang yang diberi pemahaman akan selalu bersyukur atas syukurnya, terus tidak terbatas, maka menyaksikan bahwa semuanya dari, dengan dan untuk Allah, inilah syukur yang hakiki.

Semoga bermanfaat wallahualam bi sawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.