Minggu, 22 Maret 2020

PATUH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Semua murid tarekat merasa patuh kepada gurunya, yang lahir dari perasaan cinta. Maka jika ada orang yang menghina gurunya lantas akan marah dan rela mengorbankan apa saja demi kehurmatannya. Sesungguhnya yang demikian adalah bukan ajaran tarekat, ini adalah hawa yang dipatuhi, ini adalah fanatik yang salah, tarbiyah yang dilakukan oleh guru justru untuk memberhangus hal-hal yang demikian. Karena murid masih memandang segala sesuatu dengan nafsu bukan dengan nuraninya, begitu juga perasaan cintanya. Hasil suhbah kepada guru untuk itiba dan berqudwah dan bukan untuk yang lain melainkan perasaan kasih sayang kepada semua orang dan makhluk lain, sebagai bukti dari tajalli (jelmaan) sifat Jamalulloh. Ini akibat dari salah pemahaman, dikira tasawuf itu saat di kholaqoh dzikir saja, padahal tasawuf itu dimana saja, disaat bersama orang atau sendiri, sedangkan di kholaqoh dzikir itu sedang melaksanakan manhaj atau metode dari guru. Seorang syaikh mengatakan : ‘Kebanyakan para murid itu seperti malaikat saat di kholaqoh dzikir dan kembali seperti iblis disaat meninggalkannya.’

Sulit memang menolak ajakan nafsu, karena sangat halus gerakannya, seperti semut hitam berjalan diatas batu hitam ditengah kegelapan malam, mana bisa dilihat? itulah hawa yang dipatuhi (hawam mutaba), arti mutaba itu diikuti. Hawa itu objek yang mengikuti nafsu. Nafsu itu keinginan, di dalam diri manusia ada nafsu dan ada ruh. Nafsu adalah sifat yang memiliki keinginan, keinginannya disebut syahwat, dan yang menjadi objek syahwat ini namanya hawa. Sedangkan yang menjadi objek ruh adalah hakikat atau syariah sama saja, ulama fiqih menyebutnya syariat tetapi sufi menyebutnya hakikat. Apa yang dikehendaki dan dihirup oleh rohani adalah syariat, misalnya agama menyuruh memberi, maka apa yang dikehendaki sifat ruh ini adalah sifat dermawan sehingga selaras. Orang yang mempunyai sifat suka kebersihan, itu apa yang dicari adalah kotoran untuk dibersihkan, sampai ada hadist mengatakan ‘annadhofatu minal iman, kebesihan sebagian dari iman,’ ini adalah sifat iman yang hakiki. Nah kalau nafsu keinginannya hawa, sesuatu yang tidak hakiki, maka jika orang mengikuti hawa, maka ibadahnya tidak mendapatkan apa-apa. Orang beribadah mestinya jangan membiarkan nafsunya mendapatkan bagian, jika ibadahnya karena selain Allah berarti nafsu mendapat bagian. Kita berbuat baik, bersuhbah kepada guru, dan ingin dianggap orang mulia, maka keinginan ini datang dari nafsu, kemuliaan yang dicita-citakan itulah hawa. Kemudian ingin memimpin pengajian atau katakan berdakwah, jika keinginannya keluar dari nafsu dan adanya harapan menjadi orang mulia, maka dakwahnya itu hawa. Oleh sebab itu, jangan diikuti meskipun kelihatannya perbuatan baik, karena tidak akan mendapatkan apa-apa dan malah membuat binatang nafsu menjadi gemuk, seharusnya yang diikuti atau dipatuhi adalah Allah. Bagaimana mematuhi Allah, jika rohani kita sudah memiliki sifat Jamalullah, sifat Mulia Allah, ada hadist yang mengatakan : ‘Takhollaqu biakhlaqillah berakhlaklah dengan akhlak Tuhan,’ Akhlak Allah artinya yang kita sebut sifat mulia, jika seseorang beruntung sudah mempunyainya yang disebut waliyullah maka bisa mengikutinya, karena sudah 'sama' sifat-sifatnya dan karena itu adalah wilayah Allah, Allah lah yang mengendalikan-Nya.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.