Kamis, 19 Maret 2020

TASAWUF

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah kesadaran.’ Wejangan ini perlu penjelasan agar tidak disalah artikan, bukan berarti orang yang tidak bertasawuf itu tidak sadar, bukan, bukan itu, yang dimaksud kesadaran dalam hal ini adalah berupaya menyadarkan diri secara terus menerus untuk mengarahkan ruhaninya hanya kepada Allah saja, itulah tasawuf.

Imam Ahmad Zarruq,qs, (1442M) adalah seorang mursyid tarekat Sadziliyah berdarah Maroko yang bermahzab Maliki, beliau adalah murid dari Imam Sulaiman al Jazuli,qs penulis kitab yang fenomenal dairatul khairat, didalamnya terdapat puji-pujian yang indah terhadap Nabi Muhammad,saw, dan cara mengamalkannya, dimulai oleh bacaan Asma ul Husna yang dibaca dengan nada dan cara yang unik. Beliau pernah berkata, dimana-mana pun orang yang jahat itu ada, setiap ada hakikat pasti ada palsunya, semua produk mengaku yang terbaik, ada yang asli dan ada yang palsu. Begitu juga didalam dunia tarekat, tidak sedikit orang mengaku-ngaku pembawa tarekat, padahal tidak sesuai dengan manhaj.

Fitrah manusia, secara tabiat memang suka terhadap hal-hal yang baik, karena tasawuf adalah nilai-nilai kebaikan, akhlak mulia, maka disukai oleh setiap tabiat manusia, akal sehat pun suka dengan yang baik-baik, namun untuk dapat mencapainya tidaklah mudah, karena sangat halus, tidak semua orang bisa mendapatkannya, mampu memahaminya. Jika diumpamakan sebuah pokok, maka akarnya itu begitu dalam, bahkan seolah-olah akarnya itu tidak diketahui (majhul). Berbagai macam istilah dalam tasawuf, yang sering kita dengar adalah ma’rifat, mahabbah, ridho, wara, syukur, taubat dan masih banyak lagi, yang berasal dari al Qur’an dan al hadist, yang para syaikh sufi menyebutnya sebagai maqomat ruhiyah, sebetulnya itu semua adalah bagian daripada akhlak mulia.

Banyak ustadz menyampaikan pengajian tasawuf, berbicara, berpakaian dan berpenampilan ala sufi, tetapi siapa yang tahu mana yang asli dan mana yang palsu? Karena sangat sulit membedakannya. Karenanya, banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai guru keruhanian, karena kalaupun mengaku orang tak akan mampu mengetahuinya. Barangsiapa mengikuti tasawuf tanpa manhaj yang benar, maka tidak akan mendapatkan apa-apa selain kehancuran. Apakah kehancuran itu? bukan jatuh kepada maksiat, dan bukan melawan orang tua lalu hidup susah, bukan pula menjadi gila atau menjadi hancur, atau menjadi miskin, melainkan tidak akan melahirkan orang-orang yang muqorrobin, arifin, malah melahirkan orang aneh, melahirkan orang bodoh, melahirkan orang takabur, melahirkan orang yang merasa lebih benar dari syariat dan memandang orang-orang yang membicarakan syariat itu rendah. Kemudian timbul persoalan bagaimana agar orang selamat dari yang palsu dan menemukan yang asli? Adakah ciri-ciri yang bersifat fisik? Bahwa ciri-ciri yang bersifat fisik tidak ada, karena bisa jadi cara berpakaian sama, nama sama, bacaan sama, dzikir sama, wiridan sama, sholawat sama, muroqobah sama, silsilah pun sama. Dalam hal ini Imam Ahmad Zarruq,qs, memberikan petunjuk untuk dapat menemukan yang asli, yaitu datangnya dari diri sendiri, jika seseorang mempunyai niat yang jujur dan betul-betul ingin Allah, maka Allah akan pertemukan kepada orang yang membawanya kepada Allah, tapi jika niatnya adalah keinginan yang lain, maka akan jumpa kepada orang yang membawanya kepada apa yang diinginkan. Maka keshiddiqkan menjadi syarat yang pertama, artinya selalu jujur ingin Allah. Itu saja yang akan menyelamatkan seseorang dalam menemukan yang benar.

Bahwasanya tasawuf itu mempunyai mukadimah (permulaan) dan mempunyai hakikat serta mempunyai hasil (natijah). Apa mukadimahnya, yaitu mula-mulanya takut kepada Allah, betul-betul ingin Allah, betul-betul tawajuh, orientasi dan kecondongan dan keinginannya hanya kepada Allah. Rasa takut yang bagaimana, tentunya rasa takut (kosyah) yang tumbuh dari ilmu, sebagaimana Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28). Khosyah atau rasa takut itu mengetahui segala apa yang datang dari Allah, adalah mengenal Allah dengan akal, bermulanya dengan akal, artinya orang harus banyak mengisi pengetahuan dulu dengan akal, otak ini mesti diisi dengan nurul ilm, mesti masuk pikiran-pikiran yang bersifat pengetahuan dan segala yang datang dari Allah. Dengan mendengar hikmah-hikmah tentang Allah maka akan timbul khosyah (rasa takut). Dia mengetahui dengan akal pikirannya bahwa semua dari Allah dan semua mesti dengan Allah, maka dia takut jika tidak dengan Allah, dia ingin Allah dengan benar, yang disebut shiddqut tawajuh. Jika orang takut dia akan betul-betul menuju kepada apa yang dia inginkan. Contoh seseorang tidak dapat berjalan kaki dengan baik, karena di telapak kakinya ada luka, tapi saat ada harimau mengejarnya, dia terpaksa lari dan tiba-tiba rasa sakit kakinya hilang, karena dia dipengaruhi dan diliputi oleh rasa takut, maka dengan rasa takut itu dapat meluruskan Jalan. Sayidina Abubakar as Siddiq,ra, pernah bercerita bahwa permulaan jalan menuju kepada Allah adalah dengan rasa takut, apabila sudah berada di pertengahan maka akan timbul rasa harap, dan diakhir tak ada lagi rasa takut dan harap, kedua duanya satu, takut ya harap, harap ya takut. Oleh sebab itu, jika mukadimah (permulaan) itu dimulai dengan rasa harap itu tidak benar. Rasa takut ini adalah rasa memandang Keagungan Allah di dalam hatinya. Orang jika punya perasaan salah, karena sebelumnya tidak taat dan banyak maksiat, kemudian dia ingin kembali kepada Allah dan dapat merasakan Keagungan Allah, maka itu berarti permulaan yang benar. Sebaliknya jika permulannya yang timbul adalah rasa harap, maka ini adalah permulaan yang salah. Itu sebab orang-orang yang mula-mula ingin dekat dengan Allah sering menangis, sering memandang hina dirinya, sering timbul rasa takut, rasa tak pantas berdekat dengan orang-orang sholeh apalagi kepada Allah.

Banyak orang ingin bertasawuf berharap ingin jadi sakti atau jawara, bisa mempunyai kekuatan supra natural, bisa macam-macam, ini salah kaprah. Ada satu hal lagi kesalahan mendasar yang perlu diperbaiki, yaitu orang jika masuk sebuah tarekat guna bertasawuf, selalu berniat ingin cepat baiat dari guru, sesungguhnya letakkan keinginan baiat itu menjadi nomor yang paling bawah. Pelajari dahulu ilmu dan silsilahnya, hampiri dulu tuan gurunya, bergaulah dengan murid-murid yang lebih dahulu, perhatikan akhlak mereka. Lalu jika didalam diri sudah tumbuh keinginan yang kuat atau lurus menghadap kepada Allah (shiddqut tawajjuh), baru kemudian baiat, sebagaimana doa iftitah didalam shalat ‘inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatoros samawati wal ardh,’ aku menghadap kepada yang menciptakan langit dan bumi, artinya ingin Allah dan inginnya betul. Pada prakteknya, riyadhahtun nafs adalah untuk mendidik jiwa, untuk membetulkan jiwa agar menghadap kepada Allah. lalu diterapkannya disaat melakukan ibadah, melakukan amal, melakukan kebaikan, dimana ketika melakukannya itu dijiwanya ada tawajjuh yang shoddiq kepada Allah, maka itulah hakikat tasawuf, meskipun belum bertarekat. Tidak sedikit orang yang bertarekat dan sudah baiat, lalu berdzikir, melakukan wirid-wirid, namun tidak ada hakikatnya manakala niatnya ingin yang lain bukan Allah. Untuk mengetahui seseorang sedang bertasawuf adalah dirinya sendiri, apakah dirinya telah tumbuh tawajjuh yang shoddiq kepada Allah, dan jika ada, sebesar mana tawajjuhnya itu, sebesar itulah tasawufnya.

Orang yang bermujahadah sesungguhnya sedang membetulkan orientasi, tawajjuh, menghadap hanya kepada Allah. Maka Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) sering berkata jika ibadah jangan mengharapkan surga dan jangan takut neraka, jangan ingin dipuji, jangan karena riya, jangan merasa paling baik, buang itu semua, agar tawajjuh hanya kepada Allah. Artinya sepenuhnya berbuat karena Allah dengan melawan hawa nafsu. Jika melakukan kebaikan timbul perasaan ingin dilihat orang, dan tiba-tiba ruhani menolaknya atau Jika ada keinginan yang kuat ingin ghibah, dan ruhani menolaknya maka ini namanya sedang membetulkan tawajjuhnya kepada Allah, ini sedang bertasawuf. Sesungguhnya Allah sudah memberikan perangkat ibadah agar manusia selalu mengajak hatinya pergi dengan dan kepada Allah, tawajjuh. Ada tradisi dzikir, didalam tulisan dikatakan bahwa fadhilah dzikir akan ma’rifat, tetapi maksudnya bukan karena berdzikir lalu ma’rifat, dzikir itu adalah masa takhali, dzikir ini ibadah untuk membangun shiddiq tawajjuh, dihapuskan ajakan nafsu dan ajakan syaithon, dan ingin membawa jiwa ini kepada Allah saja, itu dzikir. Niat dzikir pun bukan untuk apa apa kecuali untuk Allah saja, pahala pun tidak boleh, bukan tidak dapat melainkan banyak, tetapi untuk membangun hati yang bersih, agar Allah saja, maka itu mesti shiddiq tawajjuh. Agama sudah menyatakan ada pahala, itu urusan Allah, tetapi berdzikir hanya Allah saja, sebagaimana makna laa ilahaa ilallaah, ilah itu nafsu, syaithon, selain Tuhan, semuanya dibuang, dan bukan asyik dengan bacaan laa ilahaa ilallaah dan cara bacanya, jika demikian maka akan berjalan di tempat tak pergi kemana-mana meskipun sudah dua puluh tahun berdzikir, karena ma’rifat bukan karena dzikir, melainkan hibah maqomat ruhiyah, akhlak nurkarimah dari Allah SWT. Tidaklah berguna orang bertarekat berdasarkan kebodohan (jahl) melainkan berdasarkan ilmu, tidak berdasarkan tradisi yang didengar, melainkan berdasarkan paham orang yang membawa tasawuf.

Natijah adalah hasil, jika seseorang selalu membangun shiddqut tawajjuh akhirnya alfanau fillah. Fana itu melihat Allah saja, memandang Allah saja, tidak memandang manusia, tidak memandang siapapun dan apapun kecuali Allah. Perintah dan larangan dari Allah dan berbuat dengan Allah dan untuk Allah, bukankah ini semua adalah akhlak? Jika sudah fana, bukan berdiri diatas satu akhlak, melainkan semua, diantaranya sabar, syukur, ridho, tawakal, khosyah, zuhud, wara, yakin, mahabbah, syauq. Dengan kata lain dimulai dari takhali, tahali dan akhirnya tajalli, atau dari takut berdasarkan ilmu (khosyah), shiddquh tawajjuh lalu fana. Maka akhir dari semua itu adalah, ‘Dairotun ala kasyfil ghitho’, tersingkap tutup, meraih madad dan atho Rabbani atau mendapatkan, merealisasikan, merasakan madad illaahi wal atho. Apa makna tersingkap ‘ghitho’ tutup, adalah menyaksikan Allah pada setiap orang dan tak terhalang oleh orang. Orang yang berbuat jahat pun kepadanya, dia memandangnya intihan dari Allah, menyaksikan bahwa makhuk digerakkan oleh Allah, dia diutus oleh Allah untuk keluhurannya, berarti Allah sayang kepadanya, sedangkan orang itu sedang berbuat dosa, sedang dimurka oleh Allah, tetapi baginya perbuatan orang itu anugerah, perasaan dan penyaksian batin seperti ini namanya tersingkap (ghitho), pandangan mata, padangan pikiran, pandangan nafsu sudah lepas, bahkan tutup yang menutupi dirinya. Dia menyaksikan apa yang terjadi pada dirinya pun, adalah irodah (kehendak) yang Allah ingin tunjuk kepadanya, melalui dirinya, yang disebut suratan takdir, itu adalah gambaran berita tentang Allah pada dirinya, yang dirasa adalah Allah memberi tahu dirinya ‘Man Arofa nafsahu faqod Arofa rabbahu.’ Bukan sebaliknya, jika dihina orang merasa apa salahku, bukankah aku telah menolong agama-Mu, aku tidak bebuat apa-apa kecuali berdawah saja, aku sudah empat puluh tahun jadi ustadz, kenapa aku jadi begini? Dia merasa berjasa kepada Allah, padahal semua datangnya dari Allah, jika demikian maknanya jahir menutup batin, makhluk menutup Kholiq atau ciptaan menutup Pencipta, tapi jika tutup (ghitho) itu dibuka namanya kasyaf, maka dia melihat atau menyaksikan keagungan Allah, ketunggalan Allah. Nabi,saw, tidak pernah membenci Abu Jahal, meskipun Abu Jahal membencinya, semakin benci maka semakin cinta, karena Nabi,saw, tidak mempunyai sifat buruk melainkan sifat mulia, kebaikan, bagaimana mungkin yang keluar keburukan, padahal yang beliau punya semuanya adalah kebaikan. Kasyaf dicapai bukan dengan tipuan, berdandan dan bersikap secara jahir seperti seorang waliyullah, itupun menurut pemahamannya, pakaiannya, jenggotnya, tasbihnya dan majelisnya. Padahal fana, kasyaf dan madad tadi tidak dapat dicari dengan sebab, bukan dengan dzikir, bukan dengan muroqobah, bukan dengan amal apalagi dengan tipuan.

Seorang Aulia Allah ketika mereka ma’rifat atau mengenal Allah mengatakan ‘aroftu rabbi birabbi,’ aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Allah yang menganugerahkan akhlak, sifat maddad, atho ke dalam jiwa yang dipilihnya, tiba-tiba tumbuh didalam jiwa itu maqomat ruhiyah, sifat mahmudah, dan itu addalah sifat Allah, sifat itulah yang mengetahui Allah. Dia akan merasakan bahwa, dia mengenal Allah dengan anugerah Allah, hilang dianya, hilang akunya, maka sifat-sifat itulah yang menimbukan kasyaf, itulah yang dimaksud fana, ma’rifat atau syuhud. Allah menyaksikan diri-Nya dengan diri-Nya melalui ciptaan-Nya. Ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah kasyful ghaib, tersingkap yang ghaib, bukan mengetahui jin, bukan terlihat muridnya sedang di Baghdad, bukan bisa mendengar pembicaraan orang di Hongkong, atau bisa melihat jiwa orang, melainkan dia menyaksikan semua dari Allah. Bukan menjadi orang aneh, bukan menjadi orang lain, melainkan memperoleh kelembutan, karena dia melihat semua Allah yang berbuat, dia tak akan pernah berhadapan dengan selain Allah. Bagaimana bisa membenci orang? karena keburukan itu adalah jelmaan sifat Qohr Allah. Contoh sifat Qohr Allah adalah bisa jadi orang tidak menghendaki sesuatu tetapi Allah menghendaki-Nya, berarti dipaksa oleh Allah, siapa yang ingin mati, siapa yang ingin dosa, siapa yang ingin susah, siapa yang ingin sakit, tetapi Allah takdirkan kepada setiap orang, itulah makna Qohr Allah. Bukankah semua itu menunjukkan Keagungan dan Kehebatan Allah, oleh sebab itu para syaikh sufi tawasul kepada ahli maksiat, ‘Aku tawasul kepada sifat Qohr-Mu yang Engkau timpakan kepada hamba ini ampunkan dosanya.’ Seseorang masuk tarekat mesti banyak mempunyai ilmu, mesti tambah rajin untuk belajar aqidah dan syariah agar cepat sampai. Kasyaf tidak dapat dicari dengan sebab apapun, memang Allah memberi begitu saja, selain membuang atau meninggalkan semua selain Allah, berarti shiddqut tawajjuh, dzikir untuk shiddqut tawajjuh, mujahadah untuk shiddqut tawajjuh, khalwat, suluk untuk shiddqut tawajjuh, bukan sibuk dengan lafadz dzikir yang bermain-main di pikirannya, yang bermain-main di emosionalnya. Ketika orang sedang mengajarkan dzikir ismudzat ‘Allah’ misalnya dengan pengaturan nafas itu sebenarnya sedang membangun shiddqut tawajjuh, bukan untuk memperoleh warna warni, atau nur yang mengalir di dalam dirinya lalu timbul ma’rifat, kecuali membuang semua selain Allah, shiddqut tawajjuh, dan tidak menoleh kepada yang berdosa dan yang taat, hanya menoleh kepada Allah. Juga tidak dapat diraih oleh berbagai pengakuan, misalnya mengaku keturunan nabi, mengaku keturunan wali, mengaku bahwa gurunya datang dalam mimpi, mengaku mimpi bertemu Nabi Khidir, melainkan Allah ingin memberinya kepada orang yang shiddiq.

Barangsiapa yang menginginkan Allah, tanpa ada muqoddimah, tanpa ada rasa takut, tanpa ada hakikat tasawuf yang benar di dalam dirinya, yaitu betul-betul melepaskan diri dari makhluk, dan ingin Allah saja atau shiddqut tawajjuh maka harapannya akan menjadi sia-sia. Maka jadikan yang ada di depan hati, yang dipikirkan adalah mendapat istiqomah dan kesempurnaan ubudiyah, itu saja yang dipikir. Kemudian perbaiki istiqomah itu dengan mengikuti syariat, agar berpihak kepada kebenaran, kemudian memurnikan tujuan, memurnikan pandangan, membuang semuanya hanya Allah saja dengan meninggikan semangat, buang makhluk dengan himmah kepada Allah, dan selalu pautkan hati kepada Allah, itulah tasawuf.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.