Kamis, 19 Maret 2020

IHSAN

Bismillaahir Rahmannir Rahiim

Hadis yang mulia baginda Rasulullah,saw, mengenai ihsan, bahwa :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Anta’budallaha ka’annaka taroohu, fainlam takuntaroohu fa'innnahu yarok, engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau”

Orang yang bertarekat akan memaknai muroqobah sebagai sebuah manhaj atau metode untuk memperoleh ihsan, padahal salah satu makna ihsan itu sendiri adalah muroqobah. Seorang ulama sufi mengatakan bahwa yang dapat melihat Tuhan hanyalah Tuhan sendiri, maka hadits diatas menggunakan kata seolah-olah melihat. Melihat bisa dilakukan dengan mata, pikiran dan ruhani. Jika seseorang minta pendapat atau pandangan dari orang lain terhadap sesuatu, maka yang dimaksud dengan pandangan adalah melihat dengan pikiran, sedangkan jika seseorang bermimpi melihat sesuatu berarti melihat dengan ruhaninya. Lebih jauh lagi ada ulama yang mengatakan bahwa melihat itu mempunyai makna yakin, misalnya ada kalimat ‘barang siapa yang melihat sebagian daripada saudara kamu melakukan kemungkaran,’ maka yang dimaksud dengan yang dilihat adalah kemungkaran, bahwa perbuatan mungkar itu dilihat dengan mata agama dengan keyakinan, yang maknanya adalah buruk. Begitu pula yang dimaksud dengan hadist “Anta’budallaha ka’annaka taroohu,” seolah-olah engkau melihat, adalah menyaksikan secara batin disertai keyakinan atu dalam istilah tasawuf disebut syuhud atau ma’rifat. Sedangkan makna “fainlam takuntaroohu fainnnahu yarok”, maka Allah melihatmu atau menyaksikanmu, seolah-olah ada perintah yang sangat halus, yaitu kalau engkau tidak melihat Allah, maka coba engkau yakini bahwa Allah melihatmu. Maka perintah yang halus itu diterjemahkan sebagai ‘muroqobah’ yang dilakukan dengan manhaj yang khusus. Sehingga ihsan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yang pertama berkenaan dengan ruqyatullah atau syuhud atau ma’rifat yaitu menyaksikan Allah dengan mata batin, sedangkan yang kedua adalah muraqabah yaitu merasa bahwa Allah melihatmu atau mengawasimu. Inilah dua keadaan yang menjadi tujuan para mutashowif, atau dapat dikatakan bahwa ihsan adalah tujuan tasawuf. Jika demikian muroqobah dapat diidentikkan sebagai ikhlas, yaitu melakukan sesuatu hanya untuk Allah saja bukan untuk yang lain. Untuk mepunyai keyakinan bahwa disetiap peribadatan merasa diawasi, bersama dan miliputi kita, tidaklah mudah, perlu latihan muroqobah secara istiqomah.

Dalam bahasa Arab kata ruqyah itu bisa diartikan sebagai visi, yaitu pandangan kedepan atau target yang perlu dicapai, dan visi itu selalu ada motifnya. Orang maksiat ada motifnya yaitu sifat buruk, ini yang mendorong dia berbuat, dan dia ingin mendapat kenikmatan dari maksiat. orang menuntut ilmu motifnya ingin mendapatkan pekerjaan, harta, tahta. Ulama mengatakan motif selain Allah itu, fana atau tidak kekal. Tetapi kalau motifnya kekal maka dia akan berbahagia yang disebut kebahagiaan abadi. Orang berbuat baik, orang memberi jika ingin dipuji ini motifnya fana, tetapi jika orang memberi adalah karena lahir dari sifat dermawan, ini motifnya baqo, kekal, karena sikap dermawan itu sifat Tuhan. Bagaimana menjalani hidup ini dan melakukan ibadah agar ruqyahtullah, agar visinya Tuhan? Maka kita mesti punya sifat ruhaniyah, robbaniyah, sifat Tuhan. Apabila orang melakukan sesuatu atas dasar karakter sifat mulia atau hati nurani, maka perbuatan itu lahir dari sifat ruhaninya itu. Ibadah shalat, puasa, zakat, haji adalah bentuk ketundukan, jika jiwanya tidak tunduk, maka ibadah yang dilakukannya hanya sebagai rutinitas saja, persis sama seperti yang dilakukannya sejak kecil, sebelum berakal, sebelum berilmu. Bila ibadah itu menjadi rutinitas, menjadi formalitas atau tradisi, maka secara agama belum ihsan, belum dilaksanakan secara sempurna. Dan apabila ibadah itu misinya Tuhan, visinya Tuhan atau dengan kata lain adalah motifnya adalah sifat mulia, akhlak mulia atau karakter jiwa yang luhur, maka ketika dia melakukan perintah agama dan perintah hidup ini mesti tujuannya adalah Tuhan, tanpa dipikir lagi. Misalnya seseorang punya sifat dermawan, apakah dia memberi dengan pikirannya, tentu tidak, sebagaimana orang punya sifat sayang pasti akan menyayang, sifat benci pasti akan membenci, kalau dia tidak punya sifat kasih tetapi jahirnya ingin mengasihi, pastilah ada motif lain di luar dirinya itu, motif itulah yang disebut motif fana.

Maka ruqyah yang mendorong untuk mampu melaksanakan ajaran atau perintah di dalam agama Islam, dan agama ini visinya adalah Tuhan, yang dilihat Tuhan, maka yang pertama perlu dipahami bahwasanya fiqih adalah Islam, tauhid itu adalah Iman dan maka tasawuf itu adalah ihsan, yaitu bagaimana menjadikan motif melaksanakan ibadah yang didasari iman adalah dengan sifat-sifat Robbaniyah, sifat-sifat Ketuhanan, karena tujuannya adalah Tuhan. Di dalam firman Allah yang Allah nyatakan sendiri ‘Syahidallahu annahu laa ilaaha illaa huwa,’ bahwa Allah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, kemudian Allah menyebut walmalaikatu yang kedua walulul’ilmi, ini pun satu pernyataan bahwa penyaksian Tuhan itu adalah dengan ruhani, malaikat adalah ruhani dan begitu pula orang-orang yang mempunyai ilmu, itu ma’rifat maskudnya. Motif yang baqo atau kekal itu apabila melakukan ibadah keluar dari sifat mulia yang Tuhan berikan ke dalam diri manusia, dan tujuannya adalah Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan ruqyatullah, syuhudullah, menyaksikan Allah, menatap Allah dengan tatapan batin dengan pandangan ruqyah. Jika tidak punya pandangan batin, maka akan melihat berdasarkan pandangan yang dia miliki. Didalam diri manusia ini ada yang bersifat materi, yaitu jasad dan disebut jahir, dan ada yang bersifat non materi yaitu ruhani yaitu batin. Ringkasnya jika orang beragama tanpa ihsan, maka pelaksanaan islam dan imannya hanya jasad, berarti materialistik, tidak sedikit orang berilmu dan beramal tapi tetap materialistik, motifnya ingin dihormati atau mencari harta dan tahta. Jika dengan rohani atau batin yang sempurna, yaitu memiliki sifat-sifat mulia-Nya yang disebut akhlak, maqomat, anwar, asror, hakikat atau apalah istilahnya dalam ilmu tasawuf, maka akan hidup berdasarkan keruhanian, ini yang didalam al Qur’an disebut sebagai robaniyah. Sifat Ini yang dapat menyaksikan Tuhan, maka difinisinya “Anta’budallaha ka’annaka taroohu, fainlam takuntaroohu fainnnahu yarok, engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau.” Orang robani jika dikasih musibah, dia menghadapi musibah dengan Tuhan, karena sabar itu adalah sifat anugerah Tuhan kedalam ruhani, maka dia menyaksikan dan merasakan bahwa kekuatan sabar lebih tinggi daripada musibah, jadi dihadapinya musibah dengan tenang, dan akan terlihat pergerakan musibah itu dengan baik, banyak pelajaran yang diambil karena memandangnya dengan tenang, menang, tidak kalah, itulah ihsan, itulah tasawuf.

Demikian semoga bermanfaat, wallahualam bisawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.