Rabu, 30 Juni 2010

CERMIN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Banyak orang berbicara menggunakan analogi bahwa ‘hati adalah cermin’, agar terlihat oleh orang lain bahwa dirinya orang yang arif, padahal yang berbicara maupun yang mendengar mempunyai persepsi yang berbeda-beda tentang maknanya, meskipun, keduanya memahami fungsi cermin pada umumnya, yakni untuk mengaca atau melihat dirinya sendiri. Fakta bahwa, seseorang bila selepas mandi (bersuci) selalu berada didepan cermin, untuk merapikan dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa, pensucian diri tidaklah pernah telepas daripada mengenal dirinya sendiri. Dikampung-kampung pun masih memegang tradisi meletakkan cermin dan sisir didekat tempat mengambil air wudlu dan bertuliskan ‘sudah rapikah anda?’ Maksudnya, agar bila seseorang berniat mensucikan batiniyahnya (menunaikan shalat), wajib merapikan lahiriyahnya terlebih dahulu. Syarat utama seseorang dapat melihat dirinya dalam cermin adalah adanya unsur cahaya, tanpa cahaya percuma ada cermin dan objeknya. Meskipun benda-benda menjadi tampak karena cahaya, namun esensi cahaya tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, Tuhan telah menganalogikan diri-Nya sebagai ‘Cahaya’ langit dan bumi, yang terbungkus oleh kaca, sebagaimana yang termaktub didalam Al Qur’an surat an-Nuur ayat 35. Sifat-sifat, perbuatan dan akibat-akibat perbuatan-Nya dapat dikenali, namun esensi-Nya tak satupun ciptaan dapat memahaminya.

Jadi fungsi cermin adalah sebagai alat bantu untuk melihat sesuatu yang tidak bisa secara langsung dilihat oleh kedua mata dengan bantuan ‘Cahaya’. Hal ini harus selalu tertanam di hati para pejalan, bahwasannya dibalik segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, baik yang lahir ataupun yang batin mestilah ada ‘Cahaya’ sebagai ensensi yang menampakkannya. Semakin meruncing mengapa dikatakan bahwa hati adalah cermin, yakni untuk melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh ‘mata hati’ secara langsung. Jadi terjelaskan, bahwa segala sesuatu yang tampak secara lahir sebagai analogi bagi sesuatu yang bathin, dan sesuatu yang bathin sebagai analogi bagi sesuatu yang rahasia, dan begitu seterusnya. Sesuatu yang lahir hanya mempunyai dimensi lebar, panjang, isi dan pasti berada pada ruang atau dapat dikatakan sebagai alam persepsi indera dan kesementaraan, sedangkan yang bathin mempunyai dimensi yang bertingkat-tingkat kehalusannya dan terbebaskan dari dimensi ruang dan waktu, sehingga tidak dapat dilihat oleh mata inderawi, melainkan oleh mata hati, para syaik sufi menyebutnya sebagai alam jiwa atau alam spiritual, alam yang tidak terbatas. Orang-orang yang dapat memahami analogi-analogi yang bertingkat-tingkat ini, adalah orang yang hatinya suci dari noda atau cerminya bersih. Sebagaimana orang yang berdiri dihadapan cermin yang bersih, akan dapat melihat dirinya sendiri dengan sempurna, berbeda bila cerminnya kotor, pantulan gambar yang diterimanya kabur dan sulit dikenali, sehingga meskipun buruk rupa, ia akan tetap merasa dirinya baik. Orang yang baik akan tetapi merasa buruk adalah orang yang arif, sedangkan orang yang buruk tetapi merasa baik adalah orang munafik. Penglihatan mata inderawi mudah tertipu sedangkan penglihatan mata hati tidak demikian. Murid yang makan sedikit dihadapan gurunya tetapi makan banyak dirumahnya adalah murid yang buruk, dibanding dengan murid yang makan banyak dihadapan gurunya namun sedikit dirumahnya. Yang pertama pamer kemunafikan dan yang kedua berpura-pura munafik.

Mengapa menjadi begitu pengting bagi seseorang untuk mempunyai hati yang suci atau cermin yang bersih? Karena seorang pejalan mesti selalu mengacu kepada sebuah hadist yang mengatakan bahwa : ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu, barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.’ Nah, terjelaskan sudah bahwa analogi-analogi dimaksud digunakan sebagai anak panah agar tepat menuju kepada sasarannya, yakni Tuhan Penguasa Semesta Alam, karena Tuhan telah berfirman pada hadist qudsi bahwa : ‘Kuntum kanzan makhfiyan, Aku adalah harta tersembunyi yang ingin diketahui, maka Aku ciptakan makhluk agar diketahui.’

Para syaikh sufi yang telah mengalami ‘penyaksian’ alam-alam ghaib, alam jiwa atau alam spiritual mencoba mentransformasikannya dalam bentuk analogi, agar dapat dipahami oleh murid-muridnya. Analogi yang digunakannya pun berbeda-beda bagi hal-hal yang bathin, namun mempunyai makna yang sama. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa : ‘Selain alam dunia, masih ada lagi 18.000 alam lainnya.’ Ada juga yang melihatnya secara vertical atau menurun (tanazul) menjadi empat tahapan, yang pertama adalah Alam al-Lahut (Alam Ketuhanan) merupakan alam dari manifestasi dari esensi Asma Allah, lalu Alam al-Jabarut (Alam Kemahakuasaan) merupakan manifestasi dari Sifat-Sifat-Nya, kemudian Alam al-Malakut (Alam Kekuasaan) merupakan manifestasi dari Perbuatan-Perbuata-Nya (af’al) dan Alam an-Nasut (Alam kemanusiaan) merupakan manifestasi dari akibat-akibat perbuatan-Nya. Oleh karenanya, m’iraj dapat dikatakan proses menaik dari alam terendah menuju alam tertinggi, lawan daripada proses menurun (tanazul). Demikian juga oleh para ulama terkemudian, membaginya menjadi tujuh proses menurun atau martabat tujuh, yakni Ahadiyah, Wahdahniyah, Wahidiyah, Alam Ruh/Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam dan Alam Insan. Proses menurun yang empat dan tujuh sepertinya terdapat perbedaan dari pengelompokannya, namun mempunyai makna yang sama, yang dimaksud dengan Ahadiyah sama dengan Alam Al Lahut, Wahdahniyah dan Wahidiyah sama dengan Alam al Jabarut, Alam Ruh/Arwah dan Alam Mitsal sama dengan Alam al-Malakut, dan Alam Ajsam dan Alam Insan sama dengan Alam an-Nasut. Untuk dapat memahami analogi-analogi yang pelik ini, agar menjadi mudah dipahami, seseorang dapat melakukannya melalui muroqobah (meditasi) khsusnya tentang ‘Ahadiyah’, yakni merenung terus menerus tentang sifat Ahad atau ayat ‘Qul Huwallahu Ahad’, atau berulang-ulang menyebut dengan hatinya sambil merasakan seakan-akan Allah hadir, menyaksikannya dari segala arah dan lebih dekat daripada urat lehernya, serta merasa bersama-sama dengannya dan meliputinya. Sehingga, bila hal ini dilakukan terus menerus, Allah akan menghibahkan sebuah rasa yang hakiki, bahwa Tuhan adalah satu-satunya wujud yang wajib ada. Dia benar-benar transenden, memiliki esensi ketuhanan yang tunggal, unik dan berdiri sendiri. Esensi ini mengandung dalam diri-Nya sifat-sifat kesempurnaan, dan mutlak bebas dari sifat-sifat ketidak sempurnaan. Tuhan ada secara abadi, tidak membutuhkan pujian atau pengakuan oleh yang lain, tidak dipengaruhi oleh keimanan orang yang beriman ataupun keingkaran orang yang kafir. Hakikat esensi Tuhan benar-benar sangat transenden, melampaui pemahaman dan imajinasi akal. Dengan demikian, deskripsi tentang esensi hanya bisa bersifat figurative, bukan definitive. Di alam ghaib dan alam nyata, tidak ada yang memiliki wujud sejati kecuali esensi, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan akibat-akibat Tuhan.

Berkhalwat adalah cara yang paling jitu guna membersihkan cermin diri, atau pencarian akan kesempurnaan diri, atau untuk sementara waktu mengasingkan diri dari masyarakat. Bentuk khalwat ini, yang juga acapkali dilakukan sendiri oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), atau bersama-sama dengan beberapa muridnya, meliputi pembersihan hati dari segala sesuatu selain Tuhan, mengikatkan diri kepada-Nya, sehingga bisa mencapai-Nya dan menjadi dekat dengan-Nya. Dengan berkhalwat, seorang salik niscaya berhasil mencapai kemajuan, melalui berbagai tahap yang disebutkan diatas, dan memperbaiki substansi halus dalam diri, hingga menjadi cermin yang sempurna bagi Tuhan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Tak seorang pun dapat mencapai tahap keindahan kepasrahan kecuali dengan berkhalwat, tanpa berkhalwat tidaklah ada artinya menempuh jalan kesufian ini.’ Khalwat ini sangat sulit bagi yang kali pertama mengikutinya, sebab pada tahap ini sang salik berperang melawan nafsu rendahnya (keluh kesah) dan syaithon. Sehingga tugas-tugasnya terbusanai oleh keluh kesah atau lemahnya jasmani dan niatnya. Mengingat begitu pentingnya berkhalwat ini, tidak mengherankan bila Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mencurahkan banyak perhatiannya kepada kaifiat dan syarat-syaratnya, dan beliau berkata sesaat sebelum memasuki ruang khalwat : ‘Jadikan dirimu seolah-seolah sedang menjemput kematian.’ Syarat-syarat utama dalam berkhalwat dan dilakukan secara terus menerus adalah : Mempunyai niat yang kuat, mengontrol indera-indera eksternal (jawarih), mempertahankan kondisi suci (thaharah), berpuasa, diam, mengulang kalimat ‘Laa Ilaaha Illallaah’ atau ismu Dzat ‘Allah … Allah …. Allah, menghapus pikiran-pikiran selain Tuhan, menghubungkan hati sepenuhnya kepada Syaikh (robithoh) dan berhenti mengajukan keberatan-keberatan pada Tuhan. Jika duduk, tidak boleh bersender apapun, tidur harus dalam keadaan sangat mengantuk, tidak boleh menggunakan bantal dan wajib menghadap kiblat, dalam hal makan dan minum di saat berbuka dan sahur wajib menggunakan tiga jari dan mengunyahnya sebanyak 33X serta tidak boleh terlepas dari berdzikir.

Khalwat merupakan proses batin yang melaluinya seseorang mengosongkan dirinya dari segala sesuatu selain Tuhan. Kamar yang digunakan luasnya hanya cukup bagi seseorang untuk shalat, dan jika memungkinkan tidak memiliki jendela sehingga cahaya matahari terhalang masuk kedalamnya. Untuk memaksimalkan pengaruh khalwat, tidak diperkenankan keluar kamar, kecuali untuk menjalankan fungsi-fungsi badan, memperbaharui kondisi kesucian, dan menjalankan ibadah shalat berjamaah.
Mempertahankan kondisi suci (thaharah), puasa dan diam juga merupakan kontrol atas indera eksternal dengan tujuan utama menundukkan hawa nafsu. Yakni, nafsu rendah, yang sama dengan substansi halus ruh hewani, yang merupakan sumber kejahatan. Jiwa rendah yang cenderung kepada kejahatan adalah sahabat syaithon. Jiwa ini terus menerus melawan kekuatan-kekuatan mulia ruh dan hati, dan pada saat yang sama ingin menaklukkan mereka dan menggunakannya untuk melayaninya. Meskipun seseorang dengan gigih melawannya, jiwa syahwat ini masih mempertahankan kecenderungan buruk yang berasal dari kekuatan-kekuatan rendah yang belum disucikan. Jiwa syahwat ini tidak akan rusak sebelum sang salik mencapai ‘peleburan diri’, tetapi sekadar terpotong-potong seihingga sifat jahatnya masih tetap ada. Hanya dalam kematian badan fisik terakhir ia dapat dimusnahkan. Para salik harus berhati-hati terhadap alasan ini, dan sadar akan kecenderungan terhadap keinginan-keinginan penguasa alam dunia selama mereka berkhalwat.

Mempertahankan kondisi suci terus-menerus merupakan tameng baja dalam tahap perjuangan melawan nafsu rendah dan syaithon. Bersuci (thaharah) merupakan cahaya besar yang mencerahkan kegelapan khalwat. Jika bersuci secara lahiriah berguna untuk membersihkan badan dari kotoran-kotoran fisik, bersuci secara batin meliputi penilikan hati yang penuh perhatian dan lisan sibuk dengan zikir, yang keduanya berperan untuk mensucikan diri dan melawan tabiat rendah. Seluruh pencarian spiritual dapat dilihat sebagai proses penyucian batin, yang disebut penyucian besar, yang sejajar dengan pencapaian tingkatan-tingkatan sepanjang jalan kesufian.
Kegiatan utama khalwat adalah melakukan dzikir, yang dengannya seseorang menyucikan diri hingga menjadi saksi sempurna Tuhan. Diam terus-menerus merupakan salah satu syarat berkhalwat, dan sangat berguna untuk menegasikan indera-indera luar dan melawan nafsu rendah. Satu-satunya kondisi dimana salik bisa menghentikan diam ini dan keluar dari kamar, adalah menanyakan kepada syaikh penjelasan tentang pengalaman spiritual yang tidak bisa dipahami sendiri. Meskipun demikian, sebaiknya ia mencoba dan mencari petunjuk syaikh secara mistis dalam kondisi spiritual. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata selepas selesai khalwat : ‘Salah satu kekurangan dalam berkhalwat adalah, kurangnya para salik melakukan ‘robithoh’, padahal untuk dapat mencapai kemajuan spiritual dalam berkhalwat, proses robithoh harus dilakukan secara terus menerus.’

Syarat berkhalwat berikutnya adalah lanjutan penghapusan seluruh pikiran yang baik ataupun yang buruk. Pekerjaan ini sangat sulit dilakukan, tindakan salik adalah ‘berupaya’ menghapusan pikiran-pikiran buruk, sedangkan ‘penghapusannya’ adalah perbuatan Tuhan. Oleh karena itu, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengajarkan cara yang jitu untuk mengatasinya, sehingga lama-kelamaan pikiran-pikiran akan tersirnakan, yakni, disaat berdzikir, mulut menyebut kalimat ‘Laa Ilaaha Illallaah’ secara bersamaan hati menyebut ‘Allah .. Allah … Allah … Allah’, lalu meningkat, baik kalimat thoyibah ataupun ismu Dzat, keduanya diucapkan oleh hati, sehingga konsentrasi seluruhnya terpusat oleh pekerjaan ini saja, tanpa memikirkan yang lain. Melakukan Kontrol atas pekerjaan ini, menjadi fundamental disaat berkhalwat, karena hasil yang maksimal atau yang diinginkan, tidak bisa disempurnakan tanpa menghapus pikiran-pikiran selain Tuhan. Seorang salik mesti mengakui syaikh sebagai penjelas visi dan peristiwa-peristiwa spiritual dan tidak boleh berusaha memahaminya sendiri. Semoga dengan berkhalwat, Allah SWT memulikannya di masa-masa selanjutnya dengan cahaya akal spiritual dan keadilan, sehingga dari cahaya akal spiritual ini, akan diperoleh kemampuan untuk memahami, dan dari cahaya keadilan memperoleh kekuatan untuk membedakan.