Selasa, 12 Maret 2013

TONGKAT KESADARAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Ada yang mengatakan bahwa ajaran agama bagaikan tongkat. Karena fungsi tongkat bagi orang buta adalah penunjuk jalan. Sebuah tongkat di tangan Nabiyullah Musa,as., menjadi sangat dinamis, bisa menghancurkan ego, melembutkan dan membangkitkan kesadaran. Tetapi jika dipegang oleh para ahli sihir Fir'aun terjadilah kekacauan.

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) dengan kebesaran jiwanya selalu menganggap para muridnya sebagai sahabat. Tetapi, para murid sering kali menyalah artikannya. Baru belajar sedikit, sudah mau berlari sebagaimana sang Syaikh. Mereka tidak sadar bahwa sang Syaikh justru tengah melangkah lamban, agar sang murid mampu memperhatikan dan menarik pelajaran darinya. Meskipun seorang murid sudah belajar di negeri Arab, hafal Al Qur’an, hidup dalam pesantren, keturunan ulama, dihadapan seorang Syaikh sama artinya seperti bayi yang baru lahir, seperti orang yang mati yang merasa hidup. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang muridnya : 'Para ulama Banten mengatakan sekiranya seseorang sudah banyak membaca kitab yang bernuansa Islami, hafal Al Qur'an dan Hadis, namun adab dihadapan Syaikhnya tidak baik, maka dia belum bertarekat, belum bertasawuf.'

Hadrat Maulana Jalalludin Rumi,ra., mengisahkan ada seorang sahabat Nabiyullah Isa,as., melihat tumpukan tulang. Dalam ketidak sadarannya, dia memohon kepada Sang Nabi,as., agar memberitahu cara untuk menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Nabi Isa,as., bersabda, ‘Untuk melakukan itu dibutuhkan jiwa yang bersih, lebih jernih daripada air hujan. Dan untuk membersihkan jiwa, untuk menjernihkan hati, dibutuhkan sekian banyak masa kehidupan. Kalaupun engkau memperoleh tongkat Nabi Musa,as., belum tentu engkau juga memperoleh kesadaran seorang Musa.' Sang murid bersikeras, ‘Kalau begitu, engkau saja yang menghidupkan kembali manusia ini.’

Sang murid tidak menyadari bahwa dirinya sakit dan tidak menyadari penyakitnya, bagaimana bisa ia menghidupkan orang yang sudah mati, sedangkan mnghidupkan dirinya saja tidak bisa. Dia tidak sadar kalau jiwanya sudah sekarat. Yang dia perhatikan malah tengkorak orang lain. Berarti, yang tidak sadar selalu mengurusi ketidaksadaran. Sebaliknya, yang sadar akan selalu mengurusi kesadaran. Yang bijak akan selalu mengurusi kebijakan. Yang baik akan selalu mengurusi kebaikan.

Karena didesak terus oleh muridnya, Nabi Isa,as., mengucapkan Asma Allah, ternyata tumpukan tulang itu bukanlah milik manusia, tetapi milik seekor singa yang buas. Begitu hidup kembali, dia menerjang si murid dan mencakarnya sampai tewas. Nabi Isa,as., menegur sang singa : ‘Mengapa engkau harus membunuh dia?' Sang singa menjawab : ‘Supaya yang mendengar tentang kejadian ini mengambil hikmahnya. Berada begitu dekat dengan Sumber Air Kehidupan Yang Jernih, malah masih saja mau bermain-main dengan air kotor. 'Allah ... Allah ... Allah' dia ucapkan dengan mulut, padahal jiwanya masih kafir. Jiwanya masih belum beriman! Nama Allah pun dia ucapkan untuk memperoleh imbalan untuk mendapatkan keuntungan duniawi, untuk mendapatkan ketenaran. Seperti seekor keledai yang mengangkat Al-Quran. Ada kitab suci di atas punggungnya, tetapi dia tidak mengetahui nilainya. Bagi dia Al-Qur'an atau beban lain sama saja. Dia mengangkatnya demi perut.’

Hadrat Maulana,ra., mengajak kita untuk bercermin diri, Jangan-jangan hubungan kita dengan sang guru selama ini tidak lebih baik daripada murid Nabi Isa.as., tadi. Jangan-jangan agama kita tak lebih dari sekadar alat dagangan, atau alat untuk memperoleh sanjungan dan kepopuleran. Jangan-jangan kita adalah para penyihir Fir’aun yang salah memegang tongkat.

Senin, 11 Maret 2013

ADAB

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Semua mengetahui bahwa tidak dibenarkan membaca surat yang panjang manakala menjadi Imam shalat, Rasulullah,saw., menyebutnya sebagai fitnah, karena jamaah yang shalat berbeda-beda kemampuan dan usianya. Para orang tua tidak mampu lagi berdiri berlama-lama, maka bila bacaannya terlalu panjang akan mengakibatkan keluh kesah dalam hatinya bukannya dzikir, oleh sebab itu disebut sebagai ‘fitnah’. jika pedang ilmu berada ditangan penjahat lebih berbahaya daripada pemabuk yang bersenjata. Orang jahat akan menyalahgunakan tahta. Terhadap merekalah perang suci diwajibkan untuk melucuti senjata mereka. Kita adalah penjahat yang sedang diperangi oleh seorang mursyid guna melucuti semua sifat-sifat jahat yang berada dalam diri kita.

Juga masyarakat Islam mengetahui bahwa ada sebuah riwayat yang mengatakan tidaklah dibolehkan meninggikan suara disaat ada Rasulullah,saw. Ini sama artinya menyalakan obor disiang hari bolong. Kita bisa membayangkan, jika mengeraskan suara saja tidak boleh apalagi berdoa dihadapan yang mulia Rasulullah,saw.

Dalam adab tarekat dikatakan dilarang duduk diatas sajadah dihadapan guru. Hal ini bermakna bahwa sajadah merupakan alas suci untuk melakukan peribadatan. Sajadah digunakan hanya untuk melakukan shalat, wiridan, membaca Al Qur’an atau bisa disebut sebagai tindak peribadatan bukan yang lain. Jika demikian guru adalah sejuta sajadah bagi sang murid, oleh sebab itu murid harus segera melipat sajadah dzahiran dan menggelar sajadah batinannya. Membuang jauh-jauh ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan mempersiapkan cawan kosong guna menerima air kehidupan dari seorang syaikh. Dikatakan bahwa tidak mengaminkan doa seorang syaikh atau waliyullah maka robohlah keimanannya. Oleh karenanya, jangan pernah meninggikan suara dihadapan syaikh, apalagi melantunkan doa-doa dihadapannya.

Jika Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengenakan topi merah, maka sang murid jangan sekali-kali memakainya. juga jika beliau memakai jubah jangan pernah sang murid memakainya juga. Sebagai tanda kepatuhan seorang murid, sebagai simbol bahwa sang murid adalah gelas kosong adalah dengan memakai topi hijau dan memakai gamis yang sederhana, bukan sama seperti guru. Sebuah riwayat mengatakan bahwa disaat Rasulullah,saw., dan Abu Bakar,ra., memasuki Madinah dan agar masyarakat segera mengetahui yang mana Rasulullah, maka segera Abu Bakar,ra., menanggalkan sesuatu yang dipakainya. Orang yang meniru-niru prilaku seorang syaikh, disindir oleh Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,ra., seperti burung beo yang botak lantaran menumpahkan minyak wangi milik tuannya, lalu tuannya menamparnya hingga botak. ia berhenti bicara sampai tuannya menduga karena shock. suatu ketika seorang sufi botak lewat ddidepan burung beo itu, tiba-tiba sang burung berkata kepada sang sufi : 'Wahai sufi, apakah engkau botak lantaran menumpahkan minyak wangi?' Sang sufi menjawab : 'Tidaklah sama orang-orang yang memakai pakaian ala sufi dengan seorang sufi, tidaklah sama bicaranya orang-orang yang mencontoh sufi dengan sufi, dan tidaklah sama doa orang yang mengaku sufi dengan seorang sufi.'

Tugas seorang murid adalah mengikat semua sifat hewaniyah, syaithoniyah dan jiwa rendah lainnya, agar cahaya ketawadhuan memancar dan mengejewantah dalam tindakan.

KEBIJAKSANAAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Cara-cara yang hebat telah dilakukan oleh para waliyullah di tanah jawa untuk menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Syaikh Maulana Malik Ibrahim,ra., atau disebut Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy mendakwahkan Islam di Jawa dengan mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Begitu juga dengan Sunan Bonang putra Sunan Ampel, banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ajarannya berintikan pada ‘Cinta’, persis sebagaimana yang diajarkan oleh Hadrat Jalalludin Rumi.ra. Agar cepat mengenai sasarannya, disampaikan melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Karya sastra berupa tembang tamsil (suluk), salah satunya adalah "Suluk Wijil". Banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Syaikh. Ibnu Arabi,ra., Syaikh. Fariduddin Attar,ra., Hadrat Maulana Jalalludin Rumi,ra., serta Hamzah Fansuri.ra. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental. Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. jelas sekali bahwa ajarannya adalah tentang konsep penyucian diri atau tasawuf. lima 'tombo ati' atau obat hati adalah membaca Al Qur'an dan maknanya, sholat malam, berkumpul dengan orang sholeh, puasa dan dzikir pada malam hari yang banyak. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbat (peneguhan).

Kebijaksanaan yang demikian dilakukan tentunya dengan kajian dan penglihatan spiritual yang begitu tajam. Karena budaya merupakan himpunan daripada adab-adab yang terpuji, oleh karenanya memang sangat tepat menyisipkan ajaran agama Islam didalam budaya yang saat itu sedang digandrungi oleh masyarakat. Meskipun bila di abad sekarang dilakukan akan banyak ulama zhahiran yang mengatakan bid’ah.

Di Bukhara dan Samarkand, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menerima beberapa kitab dan sejarah atau biografi atau manaqib para waliyullah yang berada disana dalam bahasa Rusia bukan bahasa Arab, meskipun kandungannya berisi inti ajaran agama Islam. Karena saat itu Uzbekistan belum lama lepas dari kekuasaan Uni Sovyet. Tujuannya jelas agar mudah dimengerti oleh masyarakatnya.

Di tanah jawa, para ulama menyampaikan pengetahuan agama dengan bahasa yang dimengerti oleh masayarakat, dan tidak melulu menggunakan bahasa Arab. Di zaman kini terbalik, suka atau tidak yang disampaikan dalam bahasa Arab, agar dianggap sebagai santri atau jebolan pesantren. Biografi Tuan Syaikh Abdul Qodir Al Jailani,qs, yang lahir di Iran dan hijrah ke Irak juga dibacakan dalam bahasa Arab. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menangkap keluhan para tamu yang hadir dalam acara Mawlid dengan mengatakan bahwa : ‘Mengerti atau tidak mengerti, mendengarkan manaqiban Sayyid Abdul Qodir Al Jailani,qs., dalam bahasa Arab akan mendapatkan fadhilah yang besar, akan berpahala yang besar.’
Orang yang mengikat egonya, akan memperoleh kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan menghasilkan keakraban dan penghurmatan. Sebaliknya orang yang mengedepankan egonya akan menutup kebijaksanaan, yang akan menghasilkan fitnah-fitnah. Belajar dari Sunan Gresik,ra., dan Sunan Bonang,ra., sungguh nyata bahwa dalam dakwah harus secara sederhana dan mengenai sasaran, oleh sebab itu agar masyarakat dapat memahami pengetahuan agama secara cepat, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah yang dapat dimengerti oleh masayarakat dan bukan dalam bahasa Arab, bahkan melalui perantara peleburan budaya, agar tujuan utamanya tercapai, yaitu mengakui bahwa tiada tuhan yang disembah kecuali Allah ‘Laa Ilaaha Illallaah.’

Peringatan Mawlid mempunyai makna yang begitu tinggi di hati masyarakat Tarekat. Ada yang memperingatinya secara sendiri-sendiri dan ada juga yang berkelompok. Masing-masing mempunyai cara yang berbeda-beda. Ada yang bangun malam lalu mendendangkan shalawat, ada yang berkelompok membaca syair-syair pujian dalam bentuk prosa. Pembacaan asrokol dirancang sedemikian rupa indahnya, waktu berdiripun singkat tetapi tidak mengurangi sedikitpun rasa hurmat kepada Nabi,saw. Di Sekolah Dasar melombakan seni tari dan membaca syair, para guru membacakan biografi Nabi Muhammad,saw. Caranya berbeda-beda tetapi tujuannya sama, menyambut hari datangnya cahaya keatas bumi ini. Konsumsi Sekolah Dasar berbeda dengan konsumsi Perguruan Tinggi, dibutuhkan kebijaksanaan agar tujuannya mengenai sasaran secara tepat.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bertanya kepada salah seorang muridnya selepas perayaan Mawlid : ‘Mengapa tidak membaca Asma ul-Husna dengan Jalla Jalaaluhu dan mengapa tidak membaca Silsilah Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah serta mengapa sebelum dzikir bersama acara sudah ditutup? Padahal hukumnya wajib bagi tarekat kita.’ Kebijaksanaan perlu dikedepankan, tidaklah tepat bila anak-anak Sekolah Dasar disuguhi menu makanan Perguruan Tinggi. Tidaklah bijaksana membawa-bawa ego didepan guru, kita semua adalah ‘menerima’ dari guru bukan ‘memberi’, satu-satunya yang boleh diberikan kepada guru adalah patuh lantaran hurmat, karena kepatuhan dan kehurmatan adalah dua tiang penopang cinta.

Semoga menjadikan renungan bersama.

Selasa, 05 Maret 2013

FAQIR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT mewahyukan kepada Nabiyullah Musa,as., : ‘Maukah engkau memperoleh pahala amal kebajikan yang setara dengan pahala seluruh umat manusia di Hari Kiamat?’ Nabi Musa,as., menjawab : ‘Ya.’ Allah SWT berfirman : ‘Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah bahwa orang-orang miskin punya pakaian.’

Hubungan antara sakit dan miskin nyaris sama derajatnya, karena disebut berdampingan dalam wahyu diatas. Didalamnya terdapat kualitas amal yang begitu tinggi, yang setara dengan pahala seluruh umat manusia. Sakit dan miskin mengantarkan manusia kedalam kesempurnaan tauhid, bentuknya sebuah paksaan agar manusia ingat kepada penciptanya dan maknanya adalah sebuah karunia yang besar. Dalam sakit, setelah berupaya dengan obat-obatan, terapi dan diet tetapi tak kunjung sembuh, maka hatinya secara perlahan akan bergerak kepada pelepasan harapannya kepada sarana-sarana tadi menuju kepada harapan kesembuhannya kepada Allah SWT saja. Begitu pula dalam derita kemiskinan harta benda, setelah berhenti dari harapannya kepada makhluk untuk memperoleh bantuan sandang dan pangan, maka harapannya tertuju hanya kepada Allah SWT saja. Oleh sebab itu, baik sakit maupun miskin mempunyai derajat yang tinggi menjadikan manusia merasa butuh Allah SWT saja. Kedua keadaan ini sebagai pembuktian bahwa Allah itu satu-satunya tempat bergantung, sebagaimana dikatakan dalam surat Al Ikhlas. Pantas saja bila Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang muridnya yang dalam keadaan sakit ketika melaksanakan ibadah haji bahwa Allah sedang membersihkannya dari noda-noda dosa.

Jika segala ciptaan menunyai bentuk dan makna, maka makna faqir dapat dikatakan sebagai perasaan hanya membutuhkan Allah saja, dan bentuk faqir adalah kemiskinan atau tidak mempunyai harta benda. Oleh karenanya, istilah ‘faqir miskin’ adalah sebuah penekanan bahwa meskipun tidak mempunyai harta benda tetapi tidak meminta-minta kepada makhluk melainkan hanya kepada Allah SWT saja. Sebagaimana orang sakit yang berhenti meminta kesembuhan dari dokter, kecuali hanya membutuhkan pertolongan Allah saja. Keduanya bergantung kepada Allah, meskipun mempunyai tanda yang berbeda, yang pertama derita karena kekurangan harta benda yang kedua derita karena sakit.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Kita adalah golongan orang yang faqir, tetapi bukan faqir kepada Allah SWT melainkan faqir terhadap dunia.’ Karena faqir adalah sebuah maqom yang tinggi, didalamnya ada sabar, qinaah dan keridhaan. Pantas saja jika Imam Hujwiri menempatkan bab faqir pada kitabnya yang masyhur itu, ‘Kasyful Mahjub’ setelah ilmu. Seorang salik berkata kepada salik yang lain, bahwa pengajian tarekat kita sudah lebih dari dua puluh tahun, tetapi ada kejadian yang menyentuh hati, dan bukan sekali saja terjadi, melainkan terjadi beberapa kali, yakni, jika seorang sahabat yang miskin jatuh sakit lalu beberapa hari kemudian wafat, sedikit sekali sahabat yang menjenguknya, padahal orang tersebut adalah sahabat senior dalam pengajian. Tetapi begitu ada keluarga dari sahabat yang kaya harta benda sakit lalu wafat, hampir seluruh sahabat pengajian hadir. Padahal Rasulullah,saw., bersabda : ‘Orang yang merendahkan diri dihadapan orang kaya dikarenakan kekayaanya, berarti dia telah kehilangan dua pertiga agamanya.’ Mengapa dua pertiga? Karena, orang yang merendahkan dirinya bisa dengan ucapan atau lidahnya lantaran nafs-nya meskipun hatinya melarangnya, oleh sebab itu dikatakan dua pertiga, tetapi jika hatinya juga menyetujuinya maka akan kehilangan seluruh agamanya. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum faqir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah SWT pada Hari Kebangkitan.’

Suatu ketika seorang salik sedang shalat Jum’at di salah satu Masjid di Sentul City, Bogor. Sang Khatib berkata : ‘Seorang sufi itu haruslah kaya harta benda, sehingga ia bisa berbagi kepada orang yang membutuhkan, jika seorang sufi itu miskin, maka ada unsur keterpaksaan dalam menjadi sufi.’ Setelah turun dari mimbar, ia melihat Syaikhuna (semoga Allah merahamatinya) sedang duduk dibarisan depan, sontak ia berkata : ‘Nah, kalau ini sufi beneran!’ Riwayat ini shahih, dan sungguh mengerikan, bagaimana seorang ulama yang kondang bisa berkata seperti itu, padahal ia tidak pernah hidup dalam dunia kesufian dan belum pernah merasakan menjadi sufi. Pendapatnya meleset dan jauh dari kebenaran. Karena sufi adalah orang-orang yang telah sampai kepada Allah SWT. Sedangkan orang-orang yang dalam perjalanan menuju tuhan adalah orang-orang yang bertasawuf atau dalam istilah kesufian disebut muthasowif. Sesungguhnya tidak ada kaitannya antara kekayaan dengan kemiskinan dalam menempuh jalan kesufian. Bisa saja orang-orang miskin menjadi sufi, begitu pula orang-orang kaya menjadi sufi, dan sejarah telah membuktikan hal yang demikian, terserah bagaimana Allah SWT memilihnya. Jika untuk menjadi sufi haruslah kaya terlebih dahulu, maka sama saja artinya bahwa sebuah tarekat tidak boleh diikuti oleh orang-orang miskin dan hanya orang-orang kaya yang berada didalamnya, sungguh ironis!

Yang mulia Rasulullah,saw., pernah berdoa : ‘Yaa Allah jadikan aku hidup miskin,dan jadikanlah aku mati miskin dan bangkitkan aku dari kematian ditengah-tengah orang-orang miskin.’

Nah, jika kata ‘miskin’ dalam hadis mulia diatas diartikan sebagai tidak mempunyai harta benda maka tidak seorangpun didunia ini yang mau melantunkan doa itu, karena hampir semua manusia takut menghadapi kemiskinan. ‘Miskin’ yang dimaksud adalah merasa butuh hanya kepada Allah SWT saja, sehingga dalam hidup, mati dan kebangkitan hanya membutuhkan Allah saja. Para syaikh sufi mengatakan bahwa kefaqiran adalah sebuah maqom yang tinggi, melibihi kesucian itu sendiri.