Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Allah SWT mewahyukan kepada Nabiyullah Musa,as., : ‘Maukah engkau memperoleh pahala amal kebajikan yang setara dengan pahala seluruh umat manusia di Hari Kiamat?’ Nabi Musa,as., menjawab : ‘Ya.’ Allah SWT berfirman : ‘Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah bahwa orang-orang miskin punya pakaian.’
Hubungan antara sakit dan miskin nyaris sama derajatnya, karena disebut berdampingan dalam wahyu diatas. Didalamnya terdapat kualitas amal yang begitu tinggi, yang setara dengan pahala seluruh umat manusia. Sakit dan miskin mengantarkan manusia kedalam kesempurnaan tauhid, bentuknya sebuah paksaan agar manusia ingat kepada penciptanya dan maknanya adalah sebuah karunia yang besar. Dalam sakit, setelah berupaya dengan obat-obatan, terapi dan diet tetapi tak kunjung sembuh, maka hatinya secara perlahan akan bergerak kepada pelepasan harapannya kepada sarana-sarana tadi menuju kepada harapan kesembuhannya kepada Allah SWT saja. Begitu pula dalam derita kemiskinan harta benda, setelah berhenti dari harapannya kepada makhluk untuk memperoleh bantuan sandang dan pangan, maka harapannya tertuju hanya kepada Allah SWT saja. Oleh sebab itu, baik sakit maupun miskin mempunyai derajat yang tinggi menjadikan manusia merasa butuh Allah SWT saja. Kedua keadaan ini sebagai pembuktian bahwa Allah itu satu-satunya tempat bergantung, sebagaimana dikatakan dalam surat Al Ikhlas. Pantas saja bila Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang muridnya yang dalam keadaan sakit ketika melaksanakan ibadah haji bahwa Allah sedang membersihkannya dari noda-noda dosa.
Jika segala ciptaan menunyai bentuk dan makna, maka makna faqir dapat dikatakan sebagai perasaan hanya membutuhkan Allah saja, dan bentuk faqir adalah kemiskinan atau tidak mempunyai harta benda. Oleh karenanya, istilah ‘faqir miskin’ adalah sebuah penekanan bahwa meskipun tidak mempunyai harta benda tetapi tidak meminta-minta kepada makhluk melainkan hanya kepada Allah SWT saja. Sebagaimana orang sakit yang berhenti meminta kesembuhan dari dokter, kecuali hanya membutuhkan pertolongan Allah saja. Keduanya bergantung kepada Allah, meskipun mempunyai tanda yang berbeda, yang pertama derita karena kekurangan harta benda yang kedua derita karena sakit.
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Kita adalah golongan orang yang faqir, tetapi bukan faqir kepada Allah SWT melainkan faqir terhadap dunia.’ Karena faqir adalah sebuah maqom yang tinggi, didalamnya ada sabar, qinaah dan keridhaan. Pantas saja jika Imam Hujwiri menempatkan bab faqir pada kitabnya yang masyhur itu, ‘Kasyful Mahjub’ setelah ilmu. Seorang salik berkata kepada salik yang lain, bahwa pengajian tarekat kita sudah lebih dari dua puluh tahun, tetapi ada kejadian yang menyentuh hati, dan bukan sekali saja terjadi, melainkan terjadi beberapa kali, yakni, jika seorang sahabat yang miskin jatuh sakit lalu beberapa hari kemudian wafat, sedikit sekali sahabat yang menjenguknya, padahal orang tersebut adalah sahabat senior dalam pengajian. Tetapi begitu ada keluarga dari sahabat yang kaya harta benda sakit lalu wafat, hampir seluruh sahabat pengajian hadir. Padahal Rasulullah,saw., bersabda : ‘Orang yang merendahkan diri dihadapan orang kaya dikarenakan kekayaanya, berarti dia telah kehilangan dua pertiga agamanya.’ Mengapa dua pertiga? Karena, orang yang merendahkan dirinya bisa dengan ucapan atau lidahnya lantaran nafs-nya meskipun hatinya melarangnya, oleh sebab itu dikatakan dua pertiga, tetapi jika hatinya juga menyetujuinya maka akan kehilangan seluruh agamanya. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum faqir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah SWT pada Hari Kebangkitan.’
Suatu ketika seorang salik sedang shalat Jum’at di salah satu Masjid di Sentul City, Bogor. Sang Khatib berkata : ‘Seorang sufi itu haruslah kaya harta benda, sehingga ia bisa berbagi kepada orang yang membutuhkan, jika seorang sufi itu miskin, maka ada unsur keterpaksaan dalam menjadi sufi.’ Setelah turun dari mimbar, ia melihat Syaikhuna (semoga Allah merahamatinya) sedang duduk dibarisan depan, sontak ia berkata : ‘Nah, kalau ini sufi beneran!’ Riwayat ini shahih, dan sungguh mengerikan, bagaimana seorang ulama yang kondang bisa berkata seperti itu, padahal ia tidak pernah hidup dalam dunia kesufian dan belum pernah merasakan menjadi sufi. Pendapatnya meleset dan jauh dari kebenaran. Karena sufi adalah orang-orang yang telah sampai kepada Allah SWT. Sedangkan orang-orang yang dalam perjalanan menuju tuhan adalah orang-orang yang bertasawuf atau dalam istilah kesufian disebut muthasowif. Sesungguhnya tidak ada kaitannya antara kekayaan dengan kemiskinan dalam menempuh jalan kesufian. Bisa saja orang-orang miskin menjadi sufi, begitu pula orang-orang kaya menjadi sufi, dan sejarah telah membuktikan hal yang demikian, terserah bagaimana Allah SWT memilihnya. Jika untuk menjadi sufi haruslah kaya terlebih dahulu, maka sama saja artinya bahwa sebuah tarekat tidak boleh diikuti oleh orang-orang miskin dan hanya orang-orang kaya yang berada didalamnya, sungguh ironis!
Yang mulia Rasulullah,saw., pernah berdoa : ‘Yaa Allah jadikan aku hidup miskin,dan jadikanlah aku mati miskin dan bangkitkan aku dari kematian ditengah-tengah orang-orang miskin.’
Nah, jika kata ‘miskin’ dalam hadis mulia diatas diartikan sebagai tidak mempunyai harta benda maka tidak seorangpun didunia ini yang mau melantunkan doa itu, karena hampir semua manusia takut menghadapi kemiskinan. ‘Miskin’ yang dimaksud adalah merasa butuh hanya kepada Allah SWT saja, sehingga dalam hidup, mati dan kebangkitan hanya membutuhkan Allah saja. Para syaikh sufi mengatakan bahwa kefaqiran adalah sebuah maqom yang tinggi, melibihi kesucian itu sendiri.
Selasa, 05 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.