Senin, 29 November 2010

RAJA RIMBA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian pada Jum’at malam tanggal 19 Nopember 2010 tampak sepi, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bersama dengan keluarga tercintanya dan beberapa sahabat sedang menunaikan ibadah haji. Saat pegajian dimulai, hanya dihadiri oleh 8 orang murid saja. Memang demikian, setiap Hadrat Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) melakukan safar, pengajian tampak sepi. Ini pertanda bahwa banyak murid hanya mau beribadah manakala syaikh yang memimpin pengajian, tatkala terlihat oleh Syaikh saja. Bila demikian, akankah pekerjaan-pekerjaan tarekat yang mereka peroleh dari kasih sayang seorang syaikh, dikerjakan dengan baik dan istiqomah bila dirumah atau bila tidak terlihat oleh Syaikh? Berbeda dengan murid yang memiliki kesadaran, dalam keadaan apapun dan dimanapun ia berada, dengan atau tanpa syaikh, mereka tetap menghadiri kholaqoh dzikir dan mengerjakan pekerjaan tarekat, karena ia merasa bahwa syaikh selalu bersamanya dimanapun ia berada. Oleh karenanya, untuk memacu agar para murid selalu menghadiri kholaqoh dzikir Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Aku ada meskipun tiada.’ Bagi kebanyakan murid wejangan ini hanya menjadi slogan saja, mereka terjebak didalam bentuk dan bukan makna, sedangkan bagi murid tertentu tidaklah demikian, mereka hidup dalam robithoh, suka ataupun duka, sedih ataupun gembira, sakit atau sehat, Syaikhuna selalu bersamanya. Inilah pintu-pintu muroqobah, jendela-jendela ikhsan dan permadani musyahadah.

Pengajian tasawuf sarat dengan makna-makna dan bukan bentuk, orang yang hanya memperhatikan bentuk akan jauh dari kesadaran, hal ini berlaku sejak dahulu kala. Hadrat maulana Jalaluddin Rumi,ra., menyampaikan wejangan dalam bentuk syair-syair kepada murid-muridnya. Begitu pula Hadrat Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menyampaikannya dalam kalimat-kalimat yang mempunyai akar dan cabang pensucian diri yang tak terhingga. Agar para murid dapat mengasah kecerdasan spiritualnya, yang ia peroleh dari keteguhannya menjalankan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah. Tanpa melakukan praktik-praktik yang benar, mustahil seseorang dapat memahami syair-syair atau kalimat-kalimat yang keluar dari mulut yang diberkahi itu. Sampai sekarang pun banyak para ulama mencoba memaknai syair-syairnya yang tidak kurang dari 24.666 untai bait yang tersusun rapi didalam kitab Mastnawi. Bisa dibayangkan bila seorang salik hidup dimasa itu, semua makna-makna yang tersembunyi didalam syair yang magis, wajib untuk diketahui oleh semua murid, disamping diharuskan menghafalnya. Bagaimana Hadrat Maulana memperlakukan murid-muridnya itu, mirip dengan Syaikhuna memperlakukan sahabat-sahabatnya. Intinya, adalah berburu binatang-binatang ego yang ada pada diri murid-muridnya, agar sang murid dapat terbang menggapai kesucian diri dan selalu merasa dekat Sang Penciptanya. Selama keakuan masih bercokol didalam dada, maka seseorang akan tenggelam didalam bentuk dan jauh dari makna. Al hasil, adabnya buruk bagi makhluk lain, namun menganggapnya indah. Nah, bila sudah demikian, ia tertipu.

Bagaimana Hadrat Maulana,ra., bersikap terhadap murid-murid yang masih jauh dari kesadaran dan yang telah memperolehnya, tersirat didalam bentuk prosa ini : Seekor singa, serigala dan rubah begabung dan memutuskan untuk berburu bersama dan saling berbagi. Sesungguhnya, singa tidak membutuhkan bantuan mereka, tetapi karena ia adalah Raja Rimba maka ia pun menyetujui ‘keinginan’ binatang lainnya. Tidak lama kemudian, mereka berhasil memburu seekor sapi, domba dan kelinci. Tiba saatnya untuk membagi hasil buruan, serigala dan rubah mulai memikirkan cara pembagian. Sang singa berpura-pura tidak tahu, padahal ia bisa membaca pikiran mereka, dan ingin menguji niat mereka. Maka singa mempersilakan serigala untuk bersikap adil dan membagikan hasil buruan. Dengan sangat berhati-hati, serigala menanggapinya, dan berkata : ‘Tuanku, badanmu besar, begitu pula badan sapi jantan yang kita buru ini, maka engkaulah yang berhak atas sapi itu. Badanku tidak sebesar engkau, maka daging domba sudah cukup untukku. Rubah yang berbadan lebih kecil dari kita, seharusnya sudah puas dengan kelinci.


Para sahabat! tampak pembagian yang dilakukan oleh serigala cukup adil, namun dihadapan Raja Rimba, atau dihadapan seorang Syaikh tidaklah demikian, oleh karenanya kita simak lebih lanjut.

Singa menjawab : ‘Apa yang kau katakan, wahai serigala? Ini milikmu dan itu milikku, dari mana munculnya ‘aku’ dan ‘kamu’? lalu, diterjangnya serigala itu, dicakar, dirobek perutnya sampai mati.


Dalam pengajian tarekat, tindakan serigala jauh dari adab yang baik. Ini milikku, ini milikmu, rasa kepemilikan muncul dari ego atau keangkuhan. Karena kasih sayang seorang syaikh kepada muridnya, segera keangkuhan muridnya itu dicakar dan dirobek, agar mati egonya. Fana’u Syaikh tidak akan diperoleh, manakala seorang murid masih membedakan ‘aku’ dari ‘kamu’. Yang patut disadari bahwa pertimbangan Syaikhuna (semoga allah merahmatinya) menerima murid bukan lantaran kepandaiannya, bukan karena jabatan dan kecerdasannya, melainkan semata-mata karena kasih sayangnya.

Setelah membunuh serigala, singa bertanya kepada rubah : ‘Bagaimana pendapatmu? Bagaimana membagi hasil buruan ini?’ Rubah menjawab : ‘Tidak ada pendapat lain, kecuali satu, tidak bisa ada dua pendapat, Yang Mulia.’ Apa yang kau maksudkan, katakana! ‘Yang Mulia, sapi jantan yang gemuk itu untuk makan pagi baginda, kemudian, daging domba untuk makan siang baginda, dan menjelang malam jika baginda masih lapar, nikmatilah daging kelinci itu,’ Jawab si rubah. ‘Pendapatmu sungguh luar biasa, dari mana kau belajar cara membagi yang demikian adil itu?’ Rubah menjawab : ‘Saya belajar dari nasib serigala.’ ‘Engkau seorang murid yang baik, engkau mencintaiku, ambilah seluruh hasil buruan ini. Aku tidak membutuhkan apa-apa. Semuanya untukmu. Kamu pintar dan mampu belajar dari pengalaman orang lain.’ Rubah menjawab : ‘Kepintaran dan kemampuan saya untuk belajar tidak akan punya arti apa-apa, jika engkau memanggil saya sebelum serigala. Jawaban saya mungkin sama dengan serigala. Tetapi baginda memanggil saya setelah serigala. Apa yang terjadi ini, semata-mata belas kasih Yang Mulia.’


Melihat nasib serigala, rubah tidak lari. Dia berdiri tegar sambil menunggu giliran. Ketegaran dan keberanian ini adalah ciri khas seorang murid yang baik. ‘Tidak lari’ dan belajar dari kesalahan orang lain dan dari diri sendiri, seharusnya menjadi agenda utama seorang murid. Oleh karenanya, dalam memutuskan segala hal, biarlah seorang Syaikh yang menjatuhkan pilihannya, atau membagikan hasil buruan, tanpa para murid mengajukan pilihan atau saran-saran. Semoga makna dibalik bentuk tulisan ini dapat dipahami oleh kita semua. Semoga Allah SWT meneguhkan dan menyelamatkan kita semua dari jalan yang mendaki, licin dan berduri ini. Amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Rabu, 17 November 2010

QURBAN

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. (QS 108 : 2)

Bab ini ditulis bertepatan dengan hari raya qurban 1431 H, bagi orang yang bertasawuf, qurban tidak saja bermakna memotong seekor kambing yang terbaik, melainkan lebih jauh dari itu, yakni mengurbankan kecintaan kepada selain Allah SWT, khususnya kecintaan terhadap sesuatu yang mendominasi ruang hati ini, agar tauhid menjadi bersih, agar Allah mengkaruniai makna dari ‘Ahadiyah’ secara hakiki. Sebagaimana kisah Nabiyullah Ibrahim,as., yang begitu lama mendambakkan seorang putra dan dengan khusyu melantunkan doa-doa. Setelah dikaruniai seorang putra yang bernama Ismail, membuat hatinya berpaling, yang tadinya hanya terisi Allah SWT mulai berbagi, oleh karenanya Allah memerintahkan menyembelih putra tersayang ini, agar hatinya kembali murni, hanya mencintai Allah SWT saja. Nah, orang-orang yang mengikuti hakikat kisah ini, dengan jalan memerangi hawa nafsunya (mujahadah) pada setiap kesempatan, dalam istilah tasawuf disebut mutashowif. Oleh karenanya tidaklah berlebihan jika hari ini dapat juga dikatakan sebagai hari raya-nya para muthasowif.

Seorang salik bertanya kepada salik yang lain : ‘Kita sudah cukup lama mengikuti pengajian disini, apakah engkau merasakan sesuatu?’ ‘Ya’ jawab salik yang lain, ‘Aku merasa semakin tidak ada kemajuan dalam jerih payahku ini, jika dipuji aku merasa senang dan jika dikritik merasa tersinggung, dahulu pun sebelum mengaji aku merasakan hal yang sama.’ Dialog ini sungguh apik, seorang salik yang gigih dalam menjalankan pekerjaan tarekat lebih dari sepuluh tahun lamanya berkata seperti itu. Sepintas tampak sama keadaan sang salik sebelum dan sesudah mengikuti pengajian, padahal tidaklah demikian. ‘Kesadaran’ yang diperoleh bahwa dirinya merasa senang jika dipuji dan sebaliknya merasa tersinggung jika dikritik adalah karunia dari Allah yang sungguh besar. Tentunya diperoleh setelah berjuang dalam jangka waktu yang lama melawan keinginan diri dengan sekuat tenaga dan menjalankan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah, melalui kaifiat-kaifiat yang benar sesuai dengan bimbingan syaiknya, lalu jujur terhadap dirinya sendiri adalah pintu gerbang ma’rifat. Melihat dirinya semakin tidak berarti, adalah kemajuan yang luar biasa dalam menempuh jalan keruhanian, sebaliknya merasa dirinya hebat dan menunjukkan kepada orang lain dengan prilaku yang menjijikkan, bahwa ‘Aku’ adalah orang yang paling berbakat, ‘Aku’ adalah orang yang duduk disebelah kanan Syaikh, ‘Aku’ adalah yang memberikan tausyiah, ‘Aku’ yang memimpin pembacaan Asma ul Husna, ‘Aku’ yang duduk dekat pintu rubat Syaikh, ‘Aku’ yang memimpin doa, 'Aku' yang bertopi biru .. dan Aku .. Aku dan Aku, adalah sungguh memilukan hati. Semakin banyak ‘Aku’ maka semakin buruk pula tingkat keruhaniannya. ‘Aku’ adalah tebu dan fananya ‘Aku’ adalah gula, untuk membuat teh menjadi manis tidak perlu tebu melainkan gula. Seorang salik yang gagal dalam bertasawuf adalah tebu, sedangkan ia yang telah berhasil mengalahkan keakuan adalah gula. Mencuri hati seorang Syaikh dengan melanggar perintahnya untuk kepetingan dirinya adalah pencuri sejati, sedangkan taat kepada perintah Syaikh untuk menghalangi sahabat yang lain berdekat dengan Syaikhnya, adalah perampok. Tidak disadari, orang-orang yang demikian, meskipun secara lahiriyah berdekat dengan Syaikh, tetapi malah mengalami kemunduran yang luar biasa, karena egonya berkibar terus menerus. Sebagaimana ‘Yudas’ yang selalu mengikuti Nabiyullah Isa,as., namun ditakdirkan berkhianat, naudzubillah min dzalik. Karena sungguh jelas bahwa Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu membimbing murid-muridnya untuk selalu berperang melawan hawa nafsunya, mengalahkan egonya, artinya harus mengurbankan kepentingan dirinya demi kepentingan orang lain, guna kepentingan sahabatnya bukan dirinya! Inilah salah satu makna qurban bila diaplikasikan kepada kehidupan bertasawuf.

Kisah diatas juga pernah terjadi dalam lingkungan tarekat maulawiyah, sebagaimana yang dikisahkan oleh Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,r.a, yang dikisahkan secara elok dalam kitab mastnawi yang masyhur itu. Kisah itu bercerita tentang seekor keledai yang dikandangkan bersama seekor onta, keledai itu berkata : ‘Kepalaku selalu menunduk kebawah, kendati demikian, aku masih selalu jatuh. Sementara kepalamu tegak, dan pandanganmu lurus serta melihat keatas, tetapi engkau tidak pernah jatuh, apa sebabnya? Sang onta menjawab : ‘Dengan kepalaku tegak dan lurus aku bisa melihat jauh. Kalau ada lubang, aku bisa menghindarinya.’ Mendengar itu si keledai menangis, ‘Bimbinglah aku, tunjukkan kepadaku jalan yang lurus, sehingga aku tidak jatuh lagi.’ Sang onta menjawab : ‘Dengan mengakui kelemahan diri, kamu sudah terselamatkan. Berbahagialah sekarang, karena kamu sudah terbebaskan dari sesuatu yang jahat.’

Terbebaskan dari sesuatu yang jahat, apa gerangan yang jahat itu? Yakni keakuan atau ego! Tujuan utama bertasawuf adalah mengalahkan keakuan atau ego, hal ini tidak boleh terlupakan oleh para salik, bukan malah membangunnya. Sebagaimana sebuah hadis yang mengatakan bahwa : 'Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu, barang siapa mengenal dirinya (nafs-nya atau ego-nya), maka ia mengenal Tuhannya.' Bagi orang yang belum pernah mengalami manfaat berdekat dengan seorang syaikh, kisah diatas terdengar absurb, sedangkan bagi orang yang tercerahkan akan mempercayainya. Dalam kisah itu, baik keledai maupun onta tidak memiliki ‘free will’ atau kehendak bebas. Allah yang berkehendak mengandangkan secara bersama-sama antara onta dengan keledai, meskipun ada sekian banyak onta dan keledai ditempat lain. Keledai yang beruntung itu memperoleh ‘Kesadaran’ lantaran ia berdekat dengan onta, oleh sebab itu sungguh merupakan kerugian yang besar bilamana ada keledai atau makhluk yang lain yang berdekat dengan onta, namun tidak memperoleh kesadaran. Mursyid kita tercinta, Hadrat Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) telah menyampaikan begitu banyak wejangan kepada sekian banyak muridnya, lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa tidak semua murid mampu memahaminya? Lalu sudah sekian banyak murid yang hidup bersama-sama dengan Syaikh, lalu mengapa mereka tidak memperoleh kesadaran? Seorang mursyid bagaikan onta dan murid bagai keledai yang kelelahan memikul beban berat keinginan dan keterikatan tanpa ia menyadarinya.

Oleh karena itu bila Allah SWT menakdirkan seorang salik dapat berdekat dengan syaikh, maka gunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya guna memerangi egonya, menekan kepentingan dirinya, sebab disaat itu ada 'nuurun ala nuur' yang membias kedalam dada sang salik dan membantunya untuk berperang.

Kesadaran itu bagaikan mutiara, yang berada jauh didalam lautan yang dalam dan tertutup rapat oleh tiram. Tidaklah mungkin orang yang hanya bersantai di pantai akan memperolehnya, melainkan mesti berjuang dengan gigih dan bermodalkan ilmu. Seorang syaikh sufi mengatakan bahwa 'mereka yang mencari akan menemukan'. Oleh karenanya, tanpa seorang pemandu mustahil mutiara itu dapat ditemukan. Tentunya seorang pemandu yang pernah menemukan mutiara dimaksud, bukan pemandu yang hanya pandai membaca buku. Seorang pejalan (mutashowif) mesti mengambil pelajaran dari sebuah tiram, meskipun ia hidup dilautan, tidaklah perlu serakah mengambil begitu banyak air, melainkan dengan mengambil setetes air dan memanfaatkannya dengan benar, maka berubahlah pasir didalam perut menjadi mutiara. Tidak perlu merampok waktu yang mulia Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), tidak perlu mengajak beliau kesana kemari, tidak perlu menelpon berlama-lama, akan tetapi dengan patuh dan hurmat karena cinta, yakni dengan gigih menyelam pada setiap malam kedalam lima atau tujuh lathifah yang berada disekitar dada dan kepala, lalu menaklukan berbagai keinginan (keserakahan) dan keterikatan (kebanggaan), insya Allah seorang murid akan menemukan mutiara yang tidak ternilai harganya itu, yakni keasadaran. Tidaklah heran jika pada suatu ketika Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya)berkata bahwa : 'Tasawuf adalah kesadaran.' Mari para sahabat qurbakanlah keserakahan dan kebanggaan kita demi sebuah kesadaran.

Demikian semoga Allah mengasihi kita semua, Amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Selasa, 09 November 2010

GUNUNG

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Sewaktu bumi dihamparkan oleh malaikat atas perintah Allah, sang Malaikat berkata bahwa bumi bergetar, lalu Allah memerintahkan untuk menancapkan gunung, barulah bumi menjadi tenang. Gunung mempunyai posisi yang unik dalam penciptaan, demikian pula yang terdapat pada kisah Nabiyullah Musa,as., yang harus memilih gunung yang pantas sebagai tempat berpijak guna ‘berbicara’ dengan Allah, lalu gunung Sinai (thursin) menjadi pilihannya, gunung yang tampak paling rendah diantara gunung-gunung yang lain. Oleh sebab kisah ini, gunung Sinai dijadikan symbol sebagai kerendahan hati (tawadhu), dan semenjak saat itu lah Nabiyullah Musa,as., mendapatkan gelar Kallamullah (orang yang berbicara dengan Tuhan). Gunung Sinai atau kerendahan hati (tawadhu), menjadi tempat yang istimewa didalam Al Qur’an Nuur Kariim, terdapat sebuah ayat dimana Allah SWT bersumpah atas nama gunung Sinai ini.

Dalam dunia ke-sufi-an, gunung mempunyai makna yang khusus, Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga allah merahmatinya) sering mengatakan bahwa : ‘Gunung adalah sebagai lambang kewalian.’ oleh sebab itu, bukan tanpa arti orang-orang terdahulu memberikan gelar kepada raja yang dicintainya dengan sebutan Pakubumi, Mangkualam, atau Pakubuwono, yakni orang-orang yang ditunjuk oleh Allah sebagai gunung untuk menjaga alam sekitarnya atau wilayahnya agar tidak bergejolak, baik secara lahir maupun batin. Memang pantas para raja-raja terdahulu mendapatkan gelar yang demikian, karena disamping ia seorang raja, ia pun seorang yang alim, yang dalam kehidupannya terhampar kemewahan dan kemudahan, namun ia menolaknya dan hidup sederhana. Ia memerintah dengan adil menurut hukum syariat agama, oleh karenanya alam disekitarnya mendukung dan dengan sukarela memberikan apa yang ada padanya, tanah subur, sungai mengalir dengan air yang jernih dan ikan-ikan pun hidup beranak pinak dengan suka cita, udara pun bersih tanpa ada kandungan zat yang berbahaya. Mengapa bisa demikian? Karena Allah membuat rakyat pada waktu itu patuh dan hormat kepada rajanya, tidak ada protes, tidak ada demontrasi, tidak seperti negara demokrasi saat ini, yang dibangga-banggakan namun tanpa makna keadilan. Tidak ada seorang pun yang protes mengapa harus shalat lima waktu, berpuasa, membayar zakat, bershodaqoh dan memberi makan kaum miskin, ini sebuah contoh bahwa kebahagiaan itu mesti diawali dengan sebuah perintah yang harus ditaati tanpa protes sedikitpun meskipun pahit, laksana obat yang menyembuhkan. Para raja terdahulu pada umumnya mempunyai sahabat dan penasihat dalam kehidupan pribadi dan dalam memerintah, yakni seorang syaikh sufi, seorang mursyid. Dan ia pun mengamalkan segala perintah sang syaikh dengan melakukan riyadah dan mujahadah tingkat tinggi, sehingga ia pun memperoleh kewalian, dalam istilah tasawuf disebut kewalian kecil (wilayat sugro) atau kewalian besar (wilayat qubro) serta kewalian malaikat (wilayat malaikah). Sejarah telah mengatakan demikian, dimulai dari dinasti Umayyah, Abbasiyah, Saljuk, Mamluk, sampai Ottoman, dan juga Syaikh Salahudin Al Ayyubi sang penakluk perang salib, semuanya raja-raja atau sultan ini mempunyai penasihat seorang syaikh sufi, lalu mengapa para penguasa saat ini malu mengambil contoh sejarah ini, apakah lantaran mereka telah bertitel kesarjanaan, S3, Doktor atau yang lain? Ketahuilah gelar-gelar itu dibuat oleh manusia dan mereka yang membuat persyaratannya, tetapi gelar kewalian, hanya Allah semata yang menghibahkan. Lalu, atau memang Allah yang menghendaki demikian, bahwa para penguasa sekarang ini dijauhkan dari para syaikh sufi, dan didekatkan kepada kemewahan dan kebanggaan, agar gunung-gunung mengeluarkan isi perutnya?

Para murid tarekat yang sungguh-sungguh didalam riyadhah dan mujahadahnya biasa mendapatkan mimpi berada didalam istana, atau rumah yang letaknya diatas bukit atau gunung, hatinya merasa tenteram dan terlindungi, dirumah itu ia bersuci (berwudlu) dan mendirikan shalat, ada yang bersusah payah dan ada yang mudah, ini sebuah tanda bahwa sang murid akan terbebaskan dari ikatan-ikatan duniawi dan meningkat keadaan spiritualnya. Itulah bukti kasih saying dan keridhaan seorang Syaikh kepada muridnya yang Allah pun ridha kepadanya.

Orang yang waras akan merasa tenang saat memandang gunung, lalu ia memuji Tuhan, sebagaimana ia merasa tenang saat memandang keindahan keadaan spiritual (robithoh) seorang syaikh sufi, segala sesuatu menjadi hilang yang diingat hanya Allah semata.
Apapun perilaku gunung, diamnya, gerak dan letusannya pastilah memberikan manfaat kepada alam sekitarnya, meskipun orang awam akan menyebut 'bencana' bila gunung meletus. Bencana apa? Bukankah alam sekitarnya akan menjadi subur dikemudian hari? Bebatuan, pasir dan mineral lainnya juga bermanfaat bagi makhluk? Jadi jelas! orang yang jauh dari keridhaan Tuhan akan memandangnya sebagai bencana dan sebaliknya orang yang mendapatkan keridhaan Tuhan akan tertancap sebuah keyaqinan bahwa Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, semua yang diperbuatnya akan bermanfaat bagi ciptaannya. Akan tetapi hukum syariat mengatakan bahwa berbagi harta, tenaga dan pikiran bagi makhluk yang terkena dampak letusan adalah wajib hukumnya, inipun terhampar manfaat yang begitu tinggi bagi orang-orang yang hidup pada masa letusan dan dapat memahaminya.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita semua, amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Jumat, 29 Oktober 2010

DUNIA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian pada Jum’at malam tanggal 29 Oktober 2010 berkenaan dengan Zuhud, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Zuhud adalah hampa-nya hati dari dunia.’ Terkadang beliau mengatakan bahwa : ‘Zuhud adalah memusuhi dunia,’ Wejangan ini sungguh apik dan butuh penjelasan, karena tasawuf adalah ilmu tahapan. Yang pertama adalah akhir dari perjalanan zuhud sedangkan yang kedua adalah awal zuhud. Orang yang memusuhi dunia adalah orang yang sedang berperang (muthasowif) sedangkan orang yang hatinya hampa dari dunia adalah orang yang telah sampai (Sufi). Awal zuhud adalah perjuangan memusuhi kesenangan dan meninggalkan keinginan, sedangkan pada akhirnya berserah setelah jalan panjang perjuangan. Orang awam sering berpendapat bahwa dunia adalah harta benda, pendapat ini tidak salah namun tidak tepat, karena dunia adalah segala macam kehidupan yang dapat melalaikan seseorang dari Tuhan, merusak tauhid, yang didalamnya ada sesuatu yang dapat dilihat, dirasakan dan diraba, hakikatnya semual hal yang menyenangkan jiwa. Orang dari suku jawa sering mengatakan,berhati-hatilah terhadap harta, wanita dan tahta, tidak perlu dikejar-kejar, karena setiap manusia mesti mendapatkan bagiannya masing-masing dan tidak akan tertukar. Harta dan wanita dapat dilihat dan dirasa dan sungguh sangat jelas merupakan makanan favorit jiwa, sedangkan kedudukan atau jabatan atau tahta merupakan ujung daripada kebanggaan jiwa, karena ‘tahta’ bisa memicu dan membangunkan jiwa binatang buas pada diri seseorang, serta mengundang syaithon untuk memicunya, alhasil dengan banyak berangan-angan tentang tahta membuat manusia menjadi kalap dan mengejarnya tanpa menghiraukan norma-norma. Jika sudah demikian, syaithon menjadi pembimbingnya dengan cara terang-terangan dan juga tersembunyi (halus). Orang yang mabuk jabatan bagaikan serigala yang berbulu domba, ia berpura-pura menyelamatkan perusahaan atau negara padahal ia merampok. Jabatan atau tahta yang dimaksud disini bukan saja yang berkenaan dengan kedudukan pada swasta atau pemerintahan melainkan juga keagamaan. Didalam Al Qur’an terdapat banyak dijumpai kata dunia yang selalu dipadukan dengan akhirat, sedangkan bumi dengan langit, oleh karenanya dunia itu mencangkup bumi dan langit beserta isinya. Ada ayat Al Qur'an mengatakan bahwa dunia itu melalaikan, dunia itu hanyalah permainan belaka, dan ada juga dikatakan bahwa manusia harus mengambil bagiannya di dunia itu, maksudnya adalah sesuai peran kehidupannya. Jadi dunia ini melibatkan jawarih manusia dan juga jiwa. Nah membenci dunia letaknya ada pada jiwa, oleh karena itu orang yang kaya raya, mempunyai istri-istri yang cantik dan anak yang banyak boleh jadi ia seorang yang zuhud (zahid), dan sebaliknya orang yang tidak mempunyai harta benda malah sangat mencintai dunia (hubbud dunya). Oleh sebab itu ukuran zuhud bukan pada harta, wanita dan kedudukan, bukan pada dunia, melainkan pada keadaan jiwa ini, apakah ia selalu dalam keadaan meninggalkan kesenangan dan keinginan. Oleh karenanya didalam dunia kesufian zuhud pada awalnya adalah sebuah upaya memusuhi dunia dan pada akhirnya hampa-nya hati terhadap dunia, jadi jelas sekali tahapannya, bahwa memusuhi dunia adalah tindakan manusia sedangkan penghapusan dunia dari hati atau menjadi hampa adalah tindakan Tuhan, sehingga pada awalnya zuhud termasuk dalam kategori maqom dan pada akhirnya zuhud adalah ‘hal’, yakni sesuatu yang pada awalnya diupayakan dengan jalan riyadhah dan mujahadah atau dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, dan pada akhirnya merupakan keberserahan, sehingga Allah mengkaruniai musyahadah.

Hubungan antara dunia dengan jiwa begitu mesra, Syaikh Maulana Jalaluddin Rumi,ra., menuturkan kisah yang sangat apik dalam bentuk prosa, dalam kisah ini wanita melambangkan dunia, pohon pir melambangkan jiwa dan suami melambangkan ruh. Seorang wanita dalam perjalanan dengan suaminya bertemu dengan kekasih lamanya yang sedang duduk dibawah pohon pir, timbulah keinginannya untuk bercumbu dengannya. Wanita itu dapat berpikir dengan cepat dan berkata kepada sumainya : ‘Sayang, aku ingin memanjat pohon pir untuk mengambil buahnya.” Suaminya mengangguk tanda setuju, lalu ia memanjat dan sesampainya diatas ia berteriak kepada suaminya, ‘Sayang, apa yang sedang engkau lakukan?’ ‘Saya sedang tidak melakukan apa-apa.’ Jawab sang suami. ‘Jangan membohongi aku, engkau sedang bercumbuan dengan seorang wanita’ Teriak istrinya. Bercumbuan? Tidak! Tidak ada wanita dibawah sini. ‘Ya sudah aku akan turun dan membuktikannya sendiri.’ Setelah turun ia meminta suaminya memanjat pohon pir untuk mengambil buah yang tidak jadi diambilnya. Begitu sang suami berada diatas pohon, wanita itu mulai bercumbuan dengan pacarnya. Sang suami berang ‘Apa yang sedang engkau lakukan, mengapa engkau bercumbuan?’ ‘Bercumbuan? Tidak! Saya tidak bercumbuan, sepertinya berada diatas pohon itu menjadikan kita melihat yang bukan-bukan. Tadi, akupun demikian, melihat engkau sedang bercumbuan dengan seseorang, padahal engkau tidak melakukan apa-apa.’ Iya , .. ya Jawab sang suami.

Kisah diatas begitu hebat, dunia (wanita) dan pohon (jiwa) bersekongkol mengelabui sang suami (Ruh). Dwmikianlah yang terjadi pada setiap waktu didalam diri manusia, suami (ruh) selalu mengajak kepada kebaikan namun sang istri (jiwa) selalu membelotnya dan mengajak kepada kejahatan, dan Tuhan memang sengaja menciptakan sarananya, yakni dunia. Oleh sebab itu tanpa pertolongan Tuhan, manusia tidak akan mampu berjalan sesuai tuntunan agama, karena dunia dicipta memang demikian adanya yang selalu berselingkuh dengan jiwa.

Mencintai dunia mempunyai tingkatan-tingkatan, dari yang mudah dikenali sampai yang sangat sulit dikenali. Namun sungguh jelas, hampir semua orang mencintai dunia, terbiasa menikmati kesenangan dan terjebak kepada keinginan-keinginan, dari kalangan awam sampai dengan orang yang mengurus agama. Jadi bohong belaka orang yang mengaku zuhud, tetapi masih banyak keinginan dan menikmati kesenangan serta khawatir akan masa mendatang. Seorang salik mengiringi Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pergi haji dengan cara ifrad bukan tamattu, sang murid bertanya : ‘Mengapa kita harus ber-ifrad Syaikh bukan tamattu?’ Beliau menjawab : ‘Karena arti daripada tamattu adalah bersenang-senang. Pergi haji bukan untuk bersenang-senang melainkan meninggalkannya dan berlapar-lapar agar beroleh musyahadah.’ Nah, jika bukan seorang syaikh, sulit bagi seseorang bisa berhaji meskipun ia pergi haji, bila dihadapannya selalu ada fasilitas yang mewah dan makanan yang enak-enak. Orang yang hatinya telah hampa dari dunia (para syaikh sufi) tidak akan terpikat oleh hal-hal demikian, sedangkan orang yang sedang berjuang memusuhi dunia (mutashowif), kebanyakan bertekut lutut karenanya. Sebagai suri tauladan daripada zuhud adalah baginda Rasulullah,saw., meskipun hak ghonimahnya (rampasan perang) begitu besar, beliau,saw., tidak pernah menikmatinya dan selalu membagikan kepada umatnya yang membutuhkan, dan bahkan beliau,saw., selama hidupnya tidur diatas pelepah kurma dan makan seadanya saja, bukankah ini zuhud, yakni hampa-nya hati dari dunia?


Dunia memang sengaja diciptakan oleh-Nya untuk menjadi hijab, bila seseorang memusuhi dunia (zuhud), meninggalkan kesenangan dan menekan keinginan maka dunia terangkat dari hadapannya, yang ‘dilihat’ olehnya hanyalah Allah semata. Nah, orang yang demikian hatinya menjadi hampa terhadap dunia. Zuhudnya orang awam selalu dikaitkan dengan harta benda dan hal ini sangat mudah dikenali, sedangkan zuhudnya orang yang mengurus agama sulit dikenali, sebagai contoh bahwa ia selalu membicarakan agama dihadapan orang lain, akan tetapi didalam bicaranya itu selalu terkandung sesuatu harapan akan sanjungan-sanjungan, sehingga terjadilah proses pembentukan opini atau istilah sekarang disebut 'pencitraan' bahwa ia adalah orang yang zuhud, orang yang alim, orang yang mempunyai keadaan spiritual yang tinggi. Jadi ada harapan-harapan akan sanjungan, ada keinginan, bicaranya bukan untuk Allah tetapi untuk dirinya, inipun masuk dalam kategori mencintai dunia (hubbud dunya), namun sangatlah halus. Oleh sebab itu banyak para syaikh sufi, melawan atau berpuasa berbicara, serta 'bermusuhan' dengan murid-muridnya, dalam dunia kesufian disebut ‘samad’. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering memberikan isyarat-isyarat bahwa beliau akan melakukan samad ini dan berkata kepada seorang muridnya : ‘Bila waktu samad tiba, engkau kuizinkan boleh tinggal bersamaku.’ Sungguh merupakan kebahagiaan bila seorang murid dapat melayani syaikhnya yang sedang samad.

Kisah, Syaikh Sufyan ats Tsauri,ra., datang menjenguk Rabi’ah al Adawiyah,ra., : ‘Wahai Sufyan katakan sesuatu padaku.’ Jika saja engkau mau berdoa untuk kesembuhanmu, niscaya Allah mengabulkan, dan sakitmu pun akan hilang. Tidakkah engkau mengetahui siapa yang berkehendak atas penderitaanku ini? Bukankah Allah? Ya jawab Sufyan. Nah engkau mengetahuinya, namun mengapa engkau memintaku untuk memohon kepada-Nya apa yang bertentangan dengan kehendak-Nya? Tidaklah benar menentang kehendak Sahabat. Lalu apa yang engkau inginkan, wahai Rabi’ah? Tanya Sufyan. Sufyan, engkau adalah seorang yang terpelajar. Mengapa engkau berbicara seperti itu? Apa yang kau inginkan? Demi kemuliaan Allah, selama dua belas tahun aku mengidamkan kurma. Engkau pun tahu bahwa di Basrah, kurma berlimpah dan mudah didapat. Namun hingga saat ini aku belum memakan satu butir pun, karena aku adalah hamba-Nya, dan apa urusan hamba dengan keinginan? Jika aku ingin, namun Tuanku tidak ingin, ini adalah ketidaksetiaan. Untuk menjadi hamba Allah yang sejati, engkau seharusnya hanya menginginkan apa yang diinginkan-Nya. Jika Allah sendiri yang memberi, itu lain persoalan. Sufyan pun terdiam sejenak, kemudian ia berkata ‘Karena tak seorang pun dapat menilai keadaanmu, katakanlah sesuatu mengenai keadaanku.’ ‘Engkau adalah adalah orang yang baik, namun kenyataanya engkau mencintai dunia! Buktinya engkau cinta meriwayatkan hadis-hadis.’ Ya Allah pekik Sufyan, ridhalah kepadaku! Tidaklah engkau malu, tukas Rabi’ah, ‘memohon keridhaan yang engkau sendiri tidak ridha kepada-Nya?

Seorang ulama terkemuka di Basrah mengunjungi Rabi’ah,ra., ia duduk disisi bantal, ulama itu mulai mencaci maki dunia. ‘Anda sangat mencintai dunia!’ komentar Rabi’ah. ‘Jika ada tidak mencintai dunia, maka anda tidak akan begitu banyak menyebut-nyebutnya. Pembelilah yang selalu merendahkan nilai barang. Jika anda sudah putus hubungan dengan dunia, maka anda tidak akan menyebut-nyebutnya, pepatah mengatakan bahwa siapa yang mencintai sesuatu, ia akan sering menyebut-nyebutnya.’ Nah sekarang kita bisa melihat acara keagamaan yang sering muncul di tv, ada yang selalu menyebut-nyebut shodaqoh, harta benda, dan malah kalau sudah bicara agama seperti mabuk yang tidak dapat menyetop bicaranya.

Kisah diatas sungguh amat elok, dihadapan Rabi’ah,ra., ulama-ulama yang agung pun terlihat sisa kecintaannya terhadap dunia, meskipun para santrinya mengatakan bahwa mereka adalah zahid pada masanya, lalu bagaimana dengan kita para sahabat?

Semoga Allah mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita, amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Rabu, 29 September 2010

WAKTU (WAQT)

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Rasulullah,saw., bersabda : ‘Aku punya waktu (waqt) dengan Allah, dimana para malaikat atau para nabi tidak ada yang menandingiku.’

Istilah waqt (waktu) bagi orang-orang yang berjalan dalam kesucian (muthashowif) sangat masyhur, berbeda maknanya dengan isilah waktu pada umumnya. Sabda Rasulullah,saw., : 'Aku punya waktu (waqt)dengan Allah,' dijadikan rujukan oleh para syaikh sufi bahwa lamanya kebersamaan dengan Allah disebut waktu (waqt). Namun jika dilihat secara umum, waktu merupakan ukuran sesuatu yang tidak memiliki wujud nyata, melainkan hanya asumsi. Untuk menentukan waktu, tancapkan sebatang kayu diatas tanah secara tegak lurus, dan bayangannya diberi tanda. Jika bayangannya bergerak dan menghilang diwaktu gelap, lalu muncul kembali diwaktu terang dan jatuh persis ditempat yang sama, berarti telah berputar satu kali, maka putaran satu kali itu disebut satu hari. Terlihat seolah-olah waktu itu berputar, padahal tidak demikian, yang berputar adalah zaman sebagaimana sabda Rasulullah,saw., : ‘Zaman berputar sebagaimana keadaannya pada saat Allah menciptakannya.’ Dan : ‘Allah meciptakannya dalam bentuk lingkaran, dan waktu-waktu didalamnya ditentukan kadarnya.’

Bayangan kayu tadi berasal dari cahaya matahari, oleh karenanya alat bantu yang digunakan untuk menentukan waktu adalah matahari dan bumi. Matahari terbit dipagi hari, seolah-olah ia muncul dari balik tabir bumi. Tempat terbit matahari itu dinamakan masyriq (timur) dan terbitnya orbit tersebut dinamakan syuruq. Lalu bila diikuti gerakan matahari hingga ke pertengahannya, maka pertengahan tersebut dinamakan istiwa. Kemudian, matahari itu mulai turun dari istiwa-nya mengambil arah kanan, bukan arah kanan dari matahari. Awal gerakan menjauh dari istiwa, dinamakan zawal (tergelincir).

Kemudian, jika matahari itu terus bergerak hingga hilang. Proses hilangnya itu dinamakan ghurub (terbenam). Tempat dimana ia hilang dari pandangan dinamakan maghrib (barat) dan angkasa menjadi gelap. Lama terangnya angkasa dari tempat terbit matahari (masyriq) ketempat terbenamnya (maghrib) disebut siang (nahar). Sedangkan masa kegelapan sejak matahari terbenam hingga terbitnya kembali, dinamakan malam. Dengan demikian, hari merupakan gabungan malam dan siang. Jarak pergeseran antara tempat-tempat terbit matahari setiap hari itu disebut ekliptika. Begitulah seterusnya sehingga bisa ditentukan dengan asumsi-asumsi tadi yang disebut dengan hari, bulan dan tahun. Dengan demikian, jelas bahwa malam, siang, hari, bulan dan tahun inilah yang disebut waktu. Lalu dengan kemajuan teknologi waktu dibagi lagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang dinamakan jam, menit, detik dan seterusnya. Semua itu tidak memiliki wujud dalam entitasnya dan bersifat relative. Yang berwujud hanyalah entitas matahari dan bumi, bukan entitas waktu dan zaman. Sehingga terlihat dengan jelas bahwa zaman adalah perkara abstrak yang padanya waktu-waktu itu diasumsikan, Allah SWT berfirman : 'Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.' (QS 017 : 12)

Dalam dunia kesufian yang dimaksud dengan waktu adalah saat dimana seseorang merasa bersama dengan Tuhannya, persis sebagaimana yang dikatakan Sayyidina Ali,ra., bahwa : ‘Waktu adalah pedang.’ Karena fungsi pedang adalah untuk memotong, dan waqt memotong akar masa lalu dan masa mendatang serta menghapus dari hati perhatian tentang hari kemarin dan hari esok. Karena jika seseorang memikirkan masa lampau atau hari esok, ia akan ditabiri dari Tuhan, dan tabir adalah suatu penyimpangan yang besar. Seorang murid bercerita kepada gurunya, Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) bahwa ia mengalami keadaan dimana ia merasa berbahagia sepanjang hari, tanpa terpikirkan olehnya yang lain kecuali Allah SWT. Syaikh menjawab : ‘Alhamdulillah Semoga Allah selalu menghujani rahmat kepadamu dan sahabat beserta keluarga dengan Rahmaan dan Rahiim-Nya, semoga juga menaikkan darojat kita semua.’ Bisa dikatakan sang murid dalam keadaan mendapatkan atau dalam istilah tasawufnya disebut 'wajd' dan merasa berada dalam persatuan dengan Tuhan, manakala keadaan itu berakhir, ia tidak akan mampu meraihnya kembali, lalu ia bersedih karenanya. Oleh sebab persatuan dan keterpisahan dimaujudkan oleh Tuhan tanpa kehendak atau upayanya sendiri. Sebagaimana Yaqub,as., ia sedih lantaran keterpisahan dan menjadikannya buta, lalu persatuan membuat ia bahagia dan dapat melihat kembali. Dalam hal ini Yaqub,as., adalah pemilik waktu (waqt). Salah satu tanda kebersatuan adalah hilangnya kehendak, dan bilamana ia berkehendak kembali maka itu tanda ia dalam keadaan keterpisahan. Waqt adalah masa kebersatuan dengan-Nya, oleh karenanya waqt adalah sesuatu yang berada diluar lingkup usaha manusia. Meskipun demikian, Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) mendidik murid-muridnya yang terpilih, agar bila malam tiba, mewarnai jiwanya dengan menghadirkan rasa-rasa bahwa seolah-olah ia sedang merindukan dan mencintai-Nya (syauq wa mahabbah), merasa hening hanya ada dirinya dan Tuhan saja (da'im), merasa diawasi oleh-Nya dari semua arah (aqrobiyah), merasa senang dengan semua tindakan-Nya terhadap dirinya dan merasa bersama-sama serta diliput oleh-Nya (mai'yah). Nah tindakan menghadirkan rasa itu dinamakan ‘muroqobah’, dan bila sang murid mujur, ia akan merasakan kehadiran (hudhur) dan kebersamaaan (ma'i) dengan Tuhan, lamanya perolehan rasa-rasa inilah yang dinamakan waqt.

Hal terkadang turun menghias waqt, ini kondisi yang hebat yang dialami oleh seorang pejalan, dimana hal memperindah waqt, sebagaimana bintang menghias langit atau seperti ruh meliput badan, keduanya datang dari Allah SWT kepada orang yang dipilihnya. Bila mengalami keadaan yang demikian, rasa sedih dan gembira akan tersingkirkan dari dalam hati, baginya yang terlihat hanyalah Allah semata, sebagaimana Ibrahim,as., yang mengatakan : ‘Aku tidak suka pada mereka yang terbenam.’ Apa-apa yang dilihatnya hanyalah Wajah Allah semata, ciptaan hanyalah menjadi alat bantu dalam mewujudkan hal-nya. Jadi jelas sekali bahwa waqt adalah derajat dari para murid (yang menginginkan), sedangkan hal adalah sifat dari objek yang diinginkan (murad). Yang pertama menandakan seseorang bersama dengan dirinya sendiri dalam kesenangan waqt, sedangkan yang kedua dengan Tuhan dalam kelezatan hal.

Sabtu, 31 Juli 2010

KEBIJAKSANAAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian Jum’at malam menyinggung tentang kebijaksanaan Lukmanul Hakim,as., yang begitu hebatnya, khususnya tentang khauf (takut) dan raja (harap). Karena hal ini telah dibicarakan pada bagian terdahulu, maka kita simak saja sebuah kisah yang lain, yang tidak kalah bagusnya, yang dikutip dari kitab mastnawi karya Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,qs.: Gurunya sejak lama sudah mengetahui bahwa kesadaran muridnya yang satu ini jauh lebih unggul daripada kesadaran dirinya. Seringkali, sang guru pun menyuruhnya untuk berbicara didepan murid-murid yang lain disaat pengajian tiba, dan juga mengambil alih peran sebagai Syaikh atau sebagai Guru, manakala Sang Guru berada jauh diluar kota, dengan berkata : ‘Luqman, tempat ini sepantasnya engkau duduki, biarkan aku melayanimu.’

Tidak terpikirkan oleh Luqman,as., apalagi mengharapkan untuk menjadi seorang syaikh, apalagi guru, karena ia menyadari bahwa untuk memimpin dirinya sendiri tidaklah mudah, apalagi memimpin orang lain. Oleh karenanya, ia tetap memasang kewaspadaan yang tinggi dan tidak terkecoh, serta tidak tergoda oleh tawaran sang mursyid dan tetap melayaninya. Pada suatu hari, Sang Guru mendapatkan kiriman buah melon. Lalu dipotongnya sendiri buah itu, dan setiap potongan diberikannya kepada Luqman. Luqman pun memakannya, sambil memuji rasa buah itu, ‘Sungguh manis, seperti madu,’ sampai dia menghabiskan tujuh belas potong. Tinggalah sepotong lagi, maka timbul keinginan dalam diri Sang Guru untuk mencicipinya. Ketika dimasukkan kedalam mulutnya, dia baru tahu betapa asamnya buah itu. ‘luqman, buah se-asam ini engkau puji, dan engkau katakan bahwa manisnya seperti madu? Begitulah Sang Mursyid menegur muridnya. Luqman,as., menundukkan kepalanya dan berkata : ‘Maafkan aku guru, aku tidak ingin guru memakan melon yang asam itu, maka aku bermaksud menghabiskannya sendiri. Karena dalam kehidupan ini, sudah cukup banyak manisan yang kuperoleh dari tanganmu. Baru pertama kali ini, engkau memberikan buah yang asam, apakah aku harus menolaknya? Lagipula, buah yang asam itu sudah tersentuh oleh tanganmu yang manis, yang engkau potong dengan pisau kasih sayangmu. Tidak guru! Aku tidak akan pernah menolak pemberianmu.’

Inilah cinta, buah asam terasa manis karena cinta. Jarum usang berubah menjadi emas karena cinta. Jiwa yang kotor menjadi bersih juga karena cinta. Orang yang cacat kesadarannya tidak akan pernah merasakan manisnya cinta. Tidak pernah bisa membedakan apa yang disukai dan dibenci oleh yang dicinta. Mereka yang buta dari cinta, secara lahiriyah terlihat selalu bersama dengan yang dicinta, namun untuk melayani dirinya bukan melayani yang dicinta. Cinta hanyalah bagi orang-orang yang telah berhasil membunuh dirinya, yang hidup dalam diri yang dicinta. Untuk mengenal cinta dibutuhkan kesadaran yang tinggi. Dibutuhkan rahmat dari Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Jumat, 30 Juli 2010

YAQIN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : 'Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.' (QS 015 : 99)

Keyakinan merupakan buah dari menanam bibit kepatuhan. Selagi berupa bibit dan tanpa adanya pengetahuan (‘ilm) tentang pohon dan buahnya, seseorang belum yaqin apakah bibit yang akan ditanam akan tumbuh seperti pohon yang dimaksud dan menghasilkan buah yang diinginkan. Sebagaimana ayat diatas, adalah sebuah perintah untuk menyembah Tuhan sampai datang sebuah keyaqinan, bahwa yang disembah adalah Tuhan yang dimaksud. Jadi hubungan antara tindakan kepatuhan dan keyaqinan, seperti hubungan badan dengan ruh, menjadi hidup dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karenanya, pertolongan (tawfiq)dan petunjuk Tuhan (hidayah) menjadi faktor utama bagi seseorang untuk menuju kepatuhan, sedangkan perolehan keyaqinan adalah murni tindakan Tuhan. Jadi, mustahil mengenal Tuhan tanpa melalui tindak kepatuhan atas segala yang diperintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.

Dari keterangan diatas, dapat diketahui bahwa yang bisa membebaskan seseorang dari keraguan dan kegelisahan, adalah keyaqinan. Tanpa keyaqinan, bibit tidak akan ditanam. Pengetahuan (‘ilm) adalah keyaqinan kepada realitas objek yang diketahui. Oleh karenanya, bilamana pengetahuan diperoleh, yang tersembunyi menjadi seperti yang terlihat sesungguhnya. Maka, seseorang akan melihat pohon dan buahnya dikemudian hari, sebagaimana ia mengetahuinya melalui pengetahuan (‘ilm) saat sekarang. Jika tidak, maka, pengetahuannya tentang objek yang dimaksud keliru.

Sekarang dilihat dari perspektif yang berbeda, agar kita semua dapat memahami yang dimaksud dengan keyakinan di dunia kesufian. Jika ayat diatas merupakan perintah untuk menyembah Tuhan agar diperoleh keyaqinan, maka keyaqinan mempunyai tingkatan dan tahapan. Karena menyembah Tuhan diwajibkan bagi orang Islam selama ia hidup dan tidak gila, maka begitu pula keyaqinan yang akan ia peroleh berjenjang-jenjang pula.
Semua orang sepakat untuk tidak meragukan keberadaan matahari, karena tiga alasan, pertama, beroleh petunjuk oleh sebab kecemerlangan cahayanya dan dapat merasakan kehangatannya, dalam istilah tasawuf disebut dengan ‘ilm al-yaqin, sehingga ia diketahui, dibuktikan dan tampak jelas. Kedua, melihat wujud matahari, dan inilah yang disebut dengan ‘ayn al-yaqin. Ketiga, memancarkan cahaya mata dalam cahaya matahari, dan inilah yang disebut haqq al-yaqin, dengan demikian, penglihatan menjadi mata dan mata menjadi penglihatan. Jadi, dapat dianalogikan bahwa keyakinan ibarat pohon, akarnya adalah ‘ilm al-yaqin dan cabang-cabang dalam keyakinan adalah ‘ayn al-yaqin dan haqq al-yaqin. Nah, tanpa akar tidak mungkin ada cabang, demikian pula tanpa ‘ilm al-yaqin tidak akan ada ‘ayn al-yaqin dan haqq al-yaqin. Akar pada umumnya tersembunyi didalam tanah, sebagaimana cahaya hakikat yang tersembunyi dari sifat-sifat kemanusiaan. Begitu akar atau cahaya hakikat terungkapkan, melalui peniadaan sifat-sifat kemanusiaan, dengan melakukan tindak riyadhah dan mujahadah yang gigih, maka akan diperoleh ‘wajd’ dan dirinya diliputi oleh rasa kegembiraan, itulah yang disebut ‘ilm al-yaqin. Bukti keterungkapannya berupa ‘wajd’ atau keterpesonaan atau ekstase, dan bukan dengan bimbingan akal dan pengetahuan dari membaca dan mendengar saja. Begitu pula ‘ayn al-yaqin niscaya bisa diperoleh melalui perenungan (kontemplasi), sedangkan haqq al-yaqin melalui meditasi (muroqobah). Bimbingan akal dan pengetahuan dari membaca dan mendengar tidak akan pernah menimbulkan ‘rasa’. Sebagaimana orang yang percaya adanya matahari namun tidak pernah merasakan cahaya kehangatan dan kecemerlangannya, sehingga tidak menjadi petunjuk (huda) baginya.

Imam Hujwiri,ra., berkata bahwa yang dimaksud oleh kaum sufi dengan ‘ilm al-yaqin adalah pengetahuan tentang praktik keagamaan di dunia ini yang sesuai dengan perintah-perintah Tuhan. Dan yang mereka maksud dengan ‘ayn al-yaqin adalah pengetahuan tentang keadaan menjelang mati dan saat meninggalkan dunia ini. Sedang yang mereka maksud dengan haqq al-yaqin adalah pengetahuan intuitif tentang penglihatan (akan Allah) yang akan ditampakkan di surga, dan tentang sifat alamiahnya. Nah, ketiganya merupakan ‘pengetahuan’ yang dapat dirasakan oleh seseorang pada saat ini atas sesuatu yang bagi orang lain masih merupakan cita-citanya.

Oleh karenanya keimanan bisa saja melekat pada semua orang mukmin, akan tetapi keyaqinan hanya milik orang mukmin tertentu saja. Karena, ‘ilm al-yaqin adalah ilmu tentang ‘hal’, bukan apa yang bisa diketahui melalui bukti yang kuat saja. Kegelapan keraguan tidak bisa sekaligus dihilangkan, kecuali dengan terbitnya matahari hakikat. Allah SWT berfirman : 'Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin ('ilm al-yaqin), niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (QS 102 : 5-7)

Selasa, 13 Juli 2010

ADAB DI KHOLAQOH DZIKIR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Seorang salik berkata : “Syaikh sering memberikan perumpamaan kepada orang yang kepalanya dipenuhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari panca indera, namun tidak di-amal-kan, dengan sebutan ‘berat kedepan’ atau dalam bahasa sunda disebut ‘berat keharep’.” Ini sebuah contoh bahwa para salik begitu sangat mencintai syaikhnya, karena tanda cinta adalah mengingat dan menyebut-nyebut namanya secara terus menerus, menyitir pembicaraannya, meniru dan membicarakan perilakunya. Dijadikannya syaikh sebagai suri tauladan dalam mengarungi kehidupan ini. Mabuk cinta kepada syaiknya lebih hebat ketimbang mabuk yang lain. Mabuk mungkin saja bisa terjadi hanya beberapa saat, tetapi mabuk anggur cinta terjadi disetiap saat, disetiap tarikan nafas, jadi wajar saja bila Hakim Sanai mengatakan bahwa : ‘Dimana ada anggur yang memabukkan, beradalah selalu disana.’

Pengetahuan yang diperoleh lewat panca indra (jawarih) hanya menjadi beban, persis seperti seekor keledai yang mengangkat setumpuk buku, sangat berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh dari ‘pengamalan’, yang justru bisa meringankan beban, yang bisa membantu dan meningkatkan kesadaran dan membangkitkan rasa takut kepada Allah SWT. Pengetahuan yang tidak berasal dari pengamalan diri, tidak akan membebaskan dari keangkuhan dan keinginan yang tak kunjung habis, serta tidak akan menimbulkan rasa takut kepada Allah SWT. Sebagaimana cat air yang cepat luntur.

Sesaat sebelum dimulainya dzikir bersama, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu berkata : “Pada saat menyebut kalimat ‘Laa Ilaaha Illallaah’, lupakan yang lain dan hanya mengingat Dzat Allah semata.” Karena himbauan dari beliau ini selalu diucap, jadi mudah dilupakan, tidak dikaji makna terdalamnya, nyaris semua salik ingin cepat-cepat berdzikir, karena didalamnya ada irama dan nada yang menghentak jiwa, buktinya disaat menggerakan kepala, badan jadi turut serta bergerak, persis seperti orang yang sedang menikmati sajian jiwa. Akan tetapi meskipun mulutnya mengucap ‘Laa Ilaaha Illallaah’ namun pikirannya melayang entah kemana. Hal ini terjadi terus menerus, hampir disetiap kesempatan berdzikir. Padahal ucapannya merupakan ikrarnya kepada Allah, yakni, tidak ada yang lain kecuali Allah, termasuk menghapus pikiran yang lain, dan ingatannya hanya kepada Allah semata, jadi ikrarnya bohong belaka. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Paling tidak jawarihnya menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah,’ ini bukan pujian tetapi sindirian yang keras, karena himbauan untuk melupakan yang lain dan hanya mengingat Dzat Allah semata tidak dikerjakan. Jika yang dimaksud dengan berdzikir itu hanya menyebut-nyebut kalimat toyibah ini, maka anak-anak pun mampu melakukannya, tetapi jika memenuhi unsur sebagaimana yang mulia syaikh katakan sangat sulit dilakukan. Karena didalamnya anda tiga unsur yang harus dipenuhi, yang pertama menyebut, yang kedua melupakan dan yang ketiga mengingat, inilah kesempurnaan dzikir, inilah pintu makrifat. Barang siapa berdzikir dengan cara ini, niscaya Allah SWT akan menaburinya pengetahuan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kekuatan untuk mengabaikan hawa nafsu dengan segala keinginannya dan menghiasinya dengan akhlak dan adab yang baik menurut akal dan syariat. Hubungan antara murid dengan gurunya menjadi sangat hebat kedekatannya (fana'u syaikh), selayaknya gerbong dengan lokomotifnya, apa-apa yang terlihat oleh lokomotif terlihat juga oleh gerbongnya, ia ridho dibawa kemana saja oleh lokomotifnya, meskipun kadar penglihatan dan perasaan berbeda, tetapi ia berada pada jalur yang sama.

Melupakan pikiran-pikiran yang membelenggu jiwa adalah pekerjaan yang sangat sulit dilakukan, apalagi mengingat Dzat Allah semata, oleh karenanya ada hadist yang mengatakan bahwa : ‘Barang siapa menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah dengan ikhlas, maka surga baginya.’ Nabi,saw., juga bersabda : ‘Barang siapa meninggal dunia dalam kondisi meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah, niscaya ia masuk surga.’ Dalam riwayat lain : ‘Barang siapa meninggal dunia dalam kondisi bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, niscaya ia masuk surga.’ Makna kesaksian disini adalah pengetahuan disertai keyakinan. Nah, keyakinan diperoleh dari mengamalkan pengetahuan yang benar seacara istiqomah. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Keyakinan adalah keseluruhan iman.’

Seorang salik yang sadar akan hal ini, ia akan selalu memohon pertolongan dari Allah SWT agar kualitasnya dzikirnya ditingkatkan, lalu ia menghias dirinya dengan pakaian yang serba putih dan bersih, memakai wewangian, memakai sorban dan kopiah berwana hijau, mandi sunah sebelum memasuki kholaqoh dzikir, berwudlu yang sempurna, tidak bersender pada apapun, mengikatkan hati (robithoh) hanya kepada yang mulia Syaikhuna, dan memasang niat yang tulus, menghadiahkan seluruh fadhilahnya teruntuk kedua orang tua yang masih ada ataupun yang sudah tiada, mematuhi kaifiat yang benar dalam berdzikir. Khususnya disaat disebut nama-nama akhli silsilah, memasang rasa hurmat, karena mereka hadir. Tidak menyalami syaikh ketika dzikir sudah dimulai, dan tidak pula meletakkan minuman dan beras ditengah-tengahnya. Dimanapun diletakkan dan berharap memperoleh barokah dari kholaqoh dzikir niscaya akan sama. Setelah selesai berdzikir, ia pun tidak bersegera makan dan minum, karena dengan makan dan minum natija dzikirnya tidak akan terasakan. Ia akan segera meninggalkan rubat, karena Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) malu mengusir murid-muridnya.

Melupakan pikiran yang sedang berkecamuk meskipun sulit, namun bisa dilakukan, karena tidak mungkin seseorang secara bersamaan memikirkan dua hal yang berbeda, oleh karenanya, untuk menghapus pikiran adalah dengan memikirkan sesuatu yang lain. Seperti bila seseorang sedang memikirkan gunung, lalu dirubahnya memikirkan tentang lautan, maka gunung lenyap dalam pikiran dan lautan memenuhi relung pikirannya. Demikian pula dalam berdzikir, ingatannya harus diarahkan kepada sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas, tidak bermula. Sifat-sifat-Nya senantiasa ada dan tegak bersama-Nya. Tidak mungkin Dia ada tanpa sifat-Nya. Sebaliknya, tidak mungkin sifat-Nya ada tanpa Dzat-Nya. Seluruh sifat Allah adalah sifat ketuhanan dan tidak bisa dikatakan sebagai diri-Nya. Diri-Nya bukanlah sifat-sifat itu dan bukan pula selain-Nya. Allah SWT adalah Esa. Dia tegak berdiri sendiri. Dia tidak membutuhkan yang lain dengan sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat-Nya sejak azali tegak dengan-Nya dan tidak terhingga sesuai dengan sifat-Nya yang tak bermula dan tak terhingga. Dia wajib ada dengan sendirinya. Dia mustahil membutuhkan. Syaikh Ibn Athoillah,ra., berkata : ‘Tauhid adalah kesudahan paling mulia dan paling sempurna. Mengerti tauhid menambah kejelasan dan kesadaran bagi orang yang berzikir, sementara mengamalkan kosekuensi tauhid menambah petunjuk dan taufik bagi orang yang meniti jalan kepada-Nya.’

Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., berkata : ‘Janganlah puas dengan hanya mengulangi Nama-Nya. Jika pembebasan yang kau inginkan, minumlah dari cawan Dia. Cukup sudah engkau mengulangi Nama-Nya. Sekarang, temukan Sang Pemilik Nama. Jangan tertipu oleh bayangan bulan. Lihatlah bulan yang ada di atas. Cukup sudah membebani dirimu dengan pengetahuan dari luar. Padahal, pengetahuan para nabi ada didalam dirimu sendiri. Untuk memperolehnya, untuk mengalaminya, engkau tidak membutuhkan buku, melainkan guru.’ Nabi,saw., bersabda, : ‘Diantara umatku, ada yang bertabiat sama seperti aku. Jiwa mereka melihat aku dalam cahaya yang sama sebagaimana aku melihat mereka.’

Demikian mudah-mudahan bermanfaat bagi para sahabat.

Jumat, 09 Juli 2010

WARNA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Tulisan ini maupun yang terdahulu dan insya Allah yang akan datang, bila Allah mengkaruniakan kecerdasan, kesehatan jasmani dan rohani, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan bagi yang membutuhkannya saja, dan yang mendapatkan tawfik untuk meneladaninya, karena Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) telah memerintahkannya untuk menulis. Dengan ketawadhuan yang tak terkira, beliau sendirilah yang melakukan koreksi-koreksi terhadap naskah ini. Oleh sebab itu, semua tulisan ini dimulai dengan Basmallah, sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci al Qur’an, agar penulis dan pembacanya dihindarkan dari rasa bangga bila muncul pujian, rasa kesal bila muncul kritikan, dan agar memperoleh berkah darinya. Karena ilmu adalah cahaya apabila diamalkan dan memberikan cahaya pula kepada yang lain. Dan sebaliknya ilmu menjadi sia-sia bila tidak diamalkan, pemiliknya menjadi senang meracau dan membosakan bagi pendengarnya. Nah, tulisan ini adalah hasil dari mendengar, melihat dan khususnya dalam pengamalan-pengamalan ilmu yang dihibahkan oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), serta dalam pengawasannya secara terus menerus. Inti materi yang penting dalam naskah ini, adalah tentang proses pensucian manusia melalui perjuangan melawan keinginan-keingan diri (nafs), dengan cara dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, oleh karenanya disajikan secara berulang-ulang dan dalam sudut pandang yang berbeda-beda, namun mempunyai kesamaan makna, sebagaimana ayat-ayat dan cerita-cerita dalam al Qur’an juga demikian, agar selalu mudah diingat dan dimaknai oleh para pembaca.

Selepas pengajian pada Jum’at malam, seorang salik berkata kepada yang lain : ‘Tadi, disaat berdzikir, sepintas aku melihat warna kuning meliput diriku.’ Salik yang lain tidak mau kalah dan berkata : ‘Yaa warnanya kuning yang tiada taranya, tidak ada warna seperti itu di dunia ini, tidak ada bahasa untuk melukiskannya.’ Percakapan sejenis ini sering terdengar dalam pergaulan bertarekat, sesungguhnya percakapan itu ditunggangi harapan, yakni harapan ingin dianggap bahwa dirinya sudah berada pada maqom yang tinggi, padahal tidaklah demikian adanya. Semua terminologi dalam tasawuf yang dicetuskan oleh para masyaikh terdahulu, niscaya dapat diuraikan dan dapat dipahami, bila tidak sia-sialah tujuannya. Tujuan daripada dibuatnya terminologi itu adalah agar para penerusnya dapat memahami tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan spiritual yang dialami oleh mursyidnya. Dari yang disebut taubat, sabar, syukur, harap, takut, malu, waktu, ridha, sampai dengan istilah fana, baqo, da’im, aqrob, bersatu, melebur, kesemua terminology ini dapat diuraikan. Demikian pula tentang warna yang muncul didalam perjalanan spiritual, yang hakikatnya menunjukkan keadaan spiritual sang pejalan, bukan secara harfiah menjelaskan tentang warna-warninya. Keadaan yang demikian, tidak saja hinggap kepada murid yang baru, melainkan kepada murid lama sekalipun, karena kecerobohannya dan tidak memasang kewaspadaan dalam perjalanannya, penyakit hati ini memang sulit ditundukkan. Penghuni-penghuni sejati alam dunia ini, selalu beranggapan dirinya lebih baik dari orang lain, padahal mereka baru saja selepas mengaji, yang bertujuan untuk membersihkan hati dari kotoran-kotorannya, agar ia merasa makhluk yang hina, yang tidak lebih baik dari apapun, agar dirinya ‘fana’, sungguh ironis memang. Seorang salik yang baik, selalu sibuk menghias batinnya, bukan lahirnya dengan pakaian yang bagus-bagus atau hal lain, orang yang sibuk menghias batinnya, niscaya lupa menghias lahirnya, meskipun tidak ada larangan memakai sesuatu yang indah-indah, karena Allah itu Indah dan mencintai yang indah. Seorang syaikh yang agung berpakaian mewah disaat menjelang ajalnya, selebihnya dihari-hari lain ia berpakaian sederhana saja. Kisah-kisah diatas sangat menyedihkan, karena manusia dipandang lebih tinggi daripada semua entitas lain yang diciptakan. Binatang dan tumbuh-tumbuhan, maupun malaikat dan jin, tidak dianggap sempurna, karena mereka gagal menyatukan dalam diri mereka unsur-unsur wujud yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Kedudukan manusia yang mulia itu berasal dari komposisi unsur-unsur alam fisik dan alam spiritual, atau alam syahadah dan alam ghaib. Ini menyiratkan bahwa manusia merupakan gabungan dari seluruh tingkat manifestasi Tuhan, dan karena itu diciptakan menurut citra Tuhan sebagaimana disebutkan didalam sabda Nabi Muhammad,saw., : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut citra-Nya.’

Meskipun penciptaan Nabiyullah Adam,as., menurut citra-Nya yang sempurna, bukan berarti wujud manusia dikaruniai dengan sifat-sifat Tuhan, karena sifat Tuhan tidak bisa dibagi-bagi, ia maujud didalam esensi-Nya, tetapi hanya menganugerahkan atau menciptakannya didalam diri manusia sifat-sifat mulia. Sebagaimana sifat-sifat-Nya yang terpantul didalam cermin yang dihibahkan kepada manusia, yang mempunyai kemampuan memikul amanat suci yang terdiri atas pengetahuan tentang esensi Tuhan. Tubuh manusia bertindak sebagai batas, yang dengannya hakikat misteri yang lebih tinggi nan bercahaya, dibedakan dari unsur dan energi yang lebih rendah nan gelap. Dan yang lebih penting, tubuh manusia berperan sebagai tujuan dalam penyatuan dua kategori kekuatan ini. Agar manusia selalu berada pada dua entitas yang saling tarik menarik, inilah uniknya manusia itu. Meskipun, diawalnya manusia berada pada tingkat kesempurnaan dan berada pada alam yang tinggi, tiba-tiba ia harus berada pada tempat yang serendah-rendahnya, dan ia harus mendakinya kembali selama ia hidup di alam dunia ini. Nah dalam pendakian inilah, para pejalan berjumpa dengan warna-warni yang mewakili keberhasilannya dalam keteguhannya melakukan riyadhah dan mujahadah, yang dilihat bukan oleh mata inderawinya melainkan mata hatinya, dan di alam spiritual bukan alam syahadah. Sebagaimana orang-orang islam yang ingin mendekati Kabah, sebagian ada yang menyadarinya dan sebagian lagi tidak, bahwasannya mereka melalui pintu-pintu di Masjidil Haram yang ditandai dengan warna-warna yang berbeda-beda Allah SWT berfirman : 'Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya.' (QS 095 : 4-5)

Haruslah disadari bahwa, didalam diri manusia terdapat ‘potensi’ untuk mencapai kedudukan mulia sebagai pemikul amanat Tuhan, yang hanya bisa diaktualisasikan melakui proses praktik pensucian diri, atau praktik spiritual. Nah, praktik spiritual ini hanya bisa dijumpai didalam organisasi tarekat, khususnya tarekat yang mu’tabaroh. Oleh karenanya diperlukan seorang pembimbing ruhani, atau seorang guru mursyid untuk meraihnya, tanpanya, semua pencarian akan sia-sia. Dalam bentuk lahirnya, tubuh manusia sama dengan kategori hewan lainnya, sekalipun ia adalah anggota yang tertinggi dalam kelompok ini. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tubuh jasmani manusia tersusun atas empat unsur, tanah, air, api dan udara.’ Seorang syaikh juga mengatakan bahwa : ‘Manusia terdiri dari jiwa (tanah), hati (air), ruh (api) dan wujud (udara).' Oleh sebab itu, berdasarkan pembentukannya, manusia cenderung berperilaku seperti hewan, yang dikuasai oleh keinginan-keinginan diri. Dengan tiadanya cahaya spiritual, empat bagian unsur manusia itu, cenderung kepada wataknya masing-masing, jiwa dengan kehinaan dan kekesalan, hati kepada perhatian dan keinginan duniawi, wujud terdalam kepada hawa nafsu dan cinta diri, dan ruh kepada kesombongan. Dengan proses pensucian diri yang terus menerus dan dibawah bimbingan seorang mursyid, tubuh jasmani diberkahi oleh-Nya dengan cahaya spriritualitas, hal ini akan mengubah diri mereka kedalam bentuk yang sesuai dengan karateristik manusia yang salih, jiwa memperoleh kesucian sebagai ganti dari kehinaan, dan mengganti kekesalan dengan ketenangan, hati memperhatikan dirinya pada akhirat dan berkahnya, wujud terdalam menjadi pencinta Tuhan dan melakukan ibadah kepada-Nya, dan ruh menggantikan kesombongan dengan rahmat. Perubahan ini terjadi melalui perkembangan-perkembangan spiritual yang sistimatis atau bisa disebut maqom-maqom, yang penciptaannya di alam spiritual selaras dengan penciptaan tubuh manusia dialam fisik. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Bahwa unsur spiritual manusia, adalah terdiri dari tujuh tingkat yang sangat halus dan bertingkat-tingkat kehalusannya, yang disebut ‘lathifah’.’ Karena ia berada di dalam tubuh manusia atau dialam fisik, ia bercampur antara sifat-sifat kebaikan (mahmudah) dan keburukan (majmumah). Sifat majmumah ini seperti memegangi sayap untuk dapat berkembang dan terbang. Oleh karenanya untuk dapat terbang kealam ruhani, seseorang wajib berupaya meniadakan keburukannya, dengan cara-cara sesuai dengan bimbingan guru mursyid. Setiap substansi halus (lathifah) ini, secara progresif lebih sempurna menggambarkan proses aktualisasi kondisi tertinggi yang mungkin dapat dicapai manusia.

Cara-cara pembersihan sifat-sifat majmumah pada ketujuh lathifah adalah dengan dzikir ismu Dzat, yakni pada setiap lathifah ini menyebut Allah … Allah … Allah pada bilangan tertentu. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) setiap menijazahkan pekerjaan ini kepada murid-muridnya, selalu mengingatkan pentingnya mengkuti kaifiat yang benar, menghadirkan rasa-rasa tertentu dan memahami makna doa-doanya, bahkan untuk murid-murid tertentu diwajibkan melakukan muroqobah (meditasi) kepada ketujuh lathifah ini. Sehingga akan menghasilkan cahaya dzikir dalam dirinya, dan melihat berbagai warna sesuai dengan tingkat kemajuannya. Sewaktu ia melangkah maju melalui hierarki tujuh substansi halus, limpahan cahaya meningkat sebagaimana halnya kemurnian warnanya. Warna-warna dan visi-visi ini ditunjukkan oleh Tuhan kepadanya sesuai dengan firman-Nya : ‘Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.’ (QS 055 : 22) Mutiara adalah cahaya-cahaya misteri wujud yang sangat dalam yang didapat dari keberupayaannya menyelam kedasar samudera, sedang batu permata (marjan) diangkat dari dalam bumi atau laut yang rendah, merupakan api cinta hati. Nah, warna-warna itu akan berdatang kepada para pejalan, salah satunya bisa melalui mimpi, warna kuning ditampilkan dalam bentuk tanaman padi yang menguning, warna merah ditunjukkan dari buah delima atau api, warna putih dari salju atau awan atau kabut, warna hitam dari gelapnya malam dan warna hijau dari dedaunan atau hutan yang lebat. Kesemuanya ini mencerminkan kemajuan-kemajuan spiritual yang dengan mudah dapat dilihat oleh syaikhnya, oleh karenanya berhati-hatilah bila menceritakan mimpi-mimpi kepadanya, karena dengan ketajaman basirahnya akan dapat dikenali qualitas mipi itu, apalagi bila ada seorang salik yang mengarang atau menambah-nambahkan mimpinya.

Demikian juga, bila anggota-anggota badan terlena oleh kesenangan dan terkotori oleh keinginan-keinginan diri (nafs), ia akan melihat dalam mimpinya bara api atau lava yang menakutkan lagi menyala-nyala, dan hinggap sebuah rasa yang menggetarkan hati bahwa ia akan dilempar dan dibakar ditempat itu. Ia bisa juga melihat angin ribut, kilat, atau ombak besar yang bergulung, atau keadaan-keadaan berbahaya dan kegelapan yang dirasakan sangat mengerikan. Atau mimpi lain yang membuat hati kaku karena melihat air yang keruh dan kotor, atau jalan sempit dan gelap tanpa berujung, dan istana-istana yang runtuh dan penuh dengan sampah, setiap kali ia mencoba keluar dari keadaan ini, ia selalu gagal. Pada kondisi ini, akan Nampak dalam visinya binatang-binatang berbahaya seperti ular, kalajenking, singa, macan, beruang dan anjing muncul dan menyiksanya. Kodisi yang demikian itu akan sirna dengan sendirinya, bila riyadhah dan mujahadahnya menjadi semakin murni, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengatakan : ‘Bila diperoleh isyarat-isyarat dalam mimpi-mimpi yang menakutkan segera bershodaqoh.’ Intinya, memerangi hawa nafsu selama hidupnya, menafikan dari segala keinginan yang mengajak kepada kejahatan, meminimalkan menikmati sesuatu yang halal, agar sifat-sifatnya berubah menjadi sifat-sifat yang terpuji, sehingga gambaran atau mimpi-mimpi atau visi yang menakutkan dan menjijikkan seperti digambarkan diatas, ditransformasikan menjadi gambaran yang menyenangkan, seperti munculnya binatang yang langka dan menyenangkan hati seperti rusa dan burung-burung yang berwarna-warni serta bersuara indah. Jadilah ia warna-warna murni yang dipersonifikasikan, sehingga akhlaknya indah dan tindak tanduknya bermanfaat bagi makhluk lain di alam semesta ini.

Rabu, 30 Juni 2010

CERMIN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Banyak orang berbicara menggunakan analogi bahwa ‘hati adalah cermin’, agar terlihat oleh orang lain bahwa dirinya orang yang arif, padahal yang berbicara maupun yang mendengar mempunyai persepsi yang berbeda-beda tentang maknanya, meskipun, keduanya memahami fungsi cermin pada umumnya, yakni untuk mengaca atau melihat dirinya sendiri. Fakta bahwa, seseorang bila selepas mandi (bersuci) selalu berada didepan cermin, untuk merapikan dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa, pensucian diri tidaklah pernah telepas daripada mengenal dirinya sendiri. Dikampung-kampung pun masih memegang tradisi meletakkan cermin dan sisir didekat tempat mengambil air wudlu dan bertuliskan ‘sudah rapikah anda?’ Maksudnya, agar bila seseorang berniat mensucikan batiniyahnya (menunaikan shalat), wajib merapikan lahiriyahnya terlebih dahulu. Syarat utama seseorang dapat melihat dirinya dalam cermin adalah adanya unsur cahaya, tanpa cahaya percuma ada cermin dan objeknya. Meskipun benda-benda menjadi tampak karena cahaya, namun esensi cahaya tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, Tuhan telah menganalogikan diri-Nya sebagai ‘Cahaya’ langit dan bumi, yang terbungkus oleh kaca, sebagaimana yang termaktub didalam Al Qur’an surat an-Nuur ayat 35. Sifat-sifat, perbuatan dan akibat-akibat perbuatan-Nya dapat dikenali, namun esensi-Nya tak satupun ciptaan dapat memahaminya.

Jadi fungsi cermin adalah sebagai alat bantu untuk melihat sesuatu yang tidak bisa secara langsung dilihat oleh kedua mata dengan bantuan ‘Cahaya’. Hal ini harus selalu tertanam di hati para pejalan, bahwasannya dibalik segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, baik yang lahir ataupun yang batin mestilah ada ‘Cahaya’ sebagai ensensi yang menampakkannya. Semakin meruncing mengapa dikatakan bahwa hati adalah cermin, yakni untuk melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh ‘mata hati’ secara langsung. Jadi terjelaskan, bahwa segala sesuatu yang tampak secara lahir sebagai analogi bagi sesuatu yang bathin, dan sesuatu yang bathin sebagai analogi bagi sesuatu yang rahasia, dan begitu seterusnya. Sesuatu yang lahir hanya mempunyai dimensi lebar, panjang, isi dan pasti berada pada ruang atau dapat dikatakan sebagai alam persepsi indera dan kesementaraan, sedangkan yang bathin mempunyai dimensi yang bertingkat-tingkat kehalusannya dan terbebaskan dari dimensi ruang dan waktu, sehingga tidak dapat dilihat oleh mata inderawi, melainkan oleh mata hati, para syaik sufi menyebutnya sebagai alam jiwa atau alam spiritual, alam yang tidak terbatas. Orang-orang yang dapat memahami analogi-analogi yang bertingkat-tingkat ini, adalah orang yang hatinya suci dari noda atau cerminya bersih. Sebagaimana orang yang berdiri dihadapan cermin yang bersih, akan dapat melihat dirinya sendiri dengan sempurna, berbeda bila cerminnya kotor, pantulan gambar yang diterimanya kabur dan sulit dikenali, sehingga meskipun buruk rupa, ia akan tetap merasa dirinya baik. Orang yang baik akan tetapi merasa buruk adalah orang yang arif, sedangkan orang yang buruk tetapi merasa baik adalah orang munafik. Penglihatan mata inderawi mudah tertipu sedangkan penglihatan mata hati tidak demikian. Murid yang makan sedikit dihadapan gurunya tetapi makan banyak dirumahnya adalah murid yang buruk, dibanding dengan murid yang makan banyak dihadapan gurunya namun sedikit dirumahnya. Yang pertama pamer kemunafikan dan yang kedua berpura-pura munafik.

Mengapa menjadi begitu pengting bagi seseorang untuk mempunyai hati yang suci atau cermin yang bersih? Karena seorang pejalan mesti selalu mengacu kepada sebuah hadist yang mengatakan bahwa : ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu, barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.’ Nah, terjelaskan sudah bahwa analogi-analogi dimaksud digunakan sebagai anak panah agar tepat menuju kepada sasarannya, yakni Tuhan Penguasa Semesta Alam, karena Tuhan telah berfirman pada hadist qudsi bahwa : ‘Kuntum kanzan makhfiyan, Aku adalah harta tersembunyi yang ingin diketahui, maka Aku ciptakan makhluk agar diketahui.’

Para syaikh sufi yang telah mengalami ‘penyaksian’ alam-alam ghaib, alam jiwa atau alam spiritual mencoba mentransformasikannya dalam bentuk analogi, agar dapat dipahami oleh murid-muridnya. Analogi yang digunakannya pun berbeda-beda bagi hal-hal yang bathin, namun mempunyai makna yang sama. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa : ‘Selain alam dunia, masih ada lagi 18.000 alam lainnya.’ Ada juga yang melihatnya secara vertical atau menurun (tanazul) menjadi empat tahapan, yang pertama adalah Alam al-Lahut (Alam Ketuhanan) merupakan alam dari manifestasi dari esensi Asma Allah, lalu Alam al-Jabarut (Alam Kemahakuasaan) merupakan manifestasi dari Sifat-Sifat-Nya, kemudian Alam al-Malakut (Alam Kekuasaan) merupakan manifestasi dari Perbuatan-Perbuata-Nya (af’al) dan Alam an-Nasut (Alam kemanusiaan) merupakan manifestasi dari akibat-akibat perbuatan-Nya. Oleh karenanya, m’iraj dapat dikatakan proses menaik dari alam terendah menuju alam tertinggi, lawan daripada proses menurun (tanazul). Demikian juga oleh para ulama terkemudian, membaginya menjadi tujuh proses menurun atau martabat tujuh, yakni Ahadiyah, Wahdahniyah, Wahidiyah, Alam Ruh/Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam dan Alam Insan. Proses menurun yang empat dan tujuh sepertinya terdapat perbedaan dari pengelompokannya, namun mempunyai makna yang sama, yang dimaksud dengan Ahadiyah sama dengan Alam Al Lahut, Wahdahniyah dan Wahidiyah sama dengan Alam al Jabarut, Alam Ruh/Arwah dan Alam Mitsal sama dengan Alam al-Malakut, dan Alam Ajsam dan Alam Insan sama dengan Alam an-Nasut. Untuk dapat memahami analogi-analogi yang pelik ini, agar menjadi mudah dipahami, seseorang dapat melakukannya melalui muroqobah (meditasi) khsusnya tentang ‘Ahadiyah’, yakni merenung terus menerus tentang sifat Ahad atau ayat ‘Qul Huwallahu Ahad’, atau berulang-ulang menyebut dengan hatinya sambil merasakan seakan-akan Allah hadir, menyaksikannya dari segala arah dan lebih dekat daripada urat lehernya, serta merasa bersama-sama dengannya dan meliputinya. Sehingga, bila hal ini dilakukan terus menerus, Allah akan menghibahkan sebuah rasa yang hakiki, bahwa Tuhan adalah satu-satunya wujud yang wajib ada. Dia benar-benar transenden, memiliki esensi ketuhanan yang tunggal, unik dan berdiri sendiri. Esensi ini mengandung dalam diri-Nya sifat-sifat kesempurnaan, dan mutlak bebas dari sifat-sifat ketidak sempurnaan. Tuhan ada secara abadi, tidak membutuhkan pujian atau pengakuan oleh yang lain, tidak dipengaruhi oleh keimanan orang yang beriman ataupun keingkaran orang yang kafir. Hakikat esensi Tuhan benar-benar sangat transenden, melampaui pemahaman dan imajinasi akal. Dengan demikian, deskripsi tentang esensi hanya bisa bersifat figurative, bukan definitive. Di alam ghaib dan alam nyata, tidak ada yang memiliki wujud sejati kecuali esensi, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan akibat-akibat Tuhan.

Berkhalwat adalah cara yang paling jitu guna membersihkan cermin diri, atau pencarian akan kesempurnaan diri, atau untuk sementara waktu mengasingkan diri dari masyarakat. Bentuk khalwat ini, yang juga acapkali dilakukan sendiri oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), atau bersama-sama dengan beberapa muridnya, meliputi pembersihan hati dari segala sesuatu selain Tuhan, mengikatkan diri kepada-Nya, sehingga bisa mencapai-Nya dan menjadi dekat dengan-Nya. Dengan berkhalwat, seorang salik niscaya berhasil mencapai kemajuan, melalui berbagai tahap yang disebutkan diatas, dan memperbaiki substansi halus dalam diri, hingga menjadi cermin yang sempurna bagi Tuhan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Tak seorang pun dapat mencapai tahap keindahan kepasrahan kecuali dengan berkhalwat, tanpa berkhalwat tidaklah ada artinya menempuh jalan kesufian ini.’ Khalwat ini sangat sulit bagi yang kali pertama mengikutinya, sebab pada tahap ini sang salik berperang melawan nafsu rendahnya (keluh kesah) dan syaithon. Sehingga tugas-tugasnya terbusanai oleh keluh kesah atau lemahnya jasmani dan niatnya. Mengingat begitu pentingnya berkhalwat ini, tidak mengherankan bila Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mencurahkan banyak perhatiannya kepada kaifiat dan syarat-syaratnya, dan beliau berkata sesaat sebelum memasuki ruang khalwat : ‘Jadikan dirimu seolah-seolah sedang menjemput kematian.’ Syarat-syarat utama dalam berkhalwat dan dilakukan secara terus menerus adalah : Mempunyai niat yang kuat, mengontrol indera-indera eksternal (jawarih), mempertahankan kondisi suci (thaharah), berpuasa, diam, mengulang kalimat ‘Laa Ilaaha Illallaah’ atau ismu Dzat ‘Allah … Allah …. Allah, menghapus pikiran-pikiran selain Tuhan, menghubungkan hati sepenuhnya kepada Syaikh (robithoh) dan berhenti mengajukan keberatan-keberatan pada Tuhan. Jika duduk, tidak boleh bersender apapun, tidur harus dalam keadaan sangat mengantuk, tidak boleh menggunakan bantal dan wajib menghadap kiblat, dalam hal makan dan minum di saat berbuka dan sahur wajib menggunakan tiga jari dan mengunyahnya sebanyak 33X serta tidak boleh terlepas dari berdzikir.

Khalwat merupakan proses batin yang melaluinya seseorang mengosongkan dirinya dari segala sesuatu selain Tuhan. Kamar yang digunakan luasnya hanya cukup bagi seseorang untuk shalat, dan jika memungkinkan tidak memiliki jendela sehingga cahaya matahari terhalang masuk kedalamnya. Untuk memaksimalkan pengaruh khalwat, tidak diperkenankan keluar kamar, kecuali untuk menjalankan fungsi-fungsi badan, memperbaharui kondisi kesucian, dan menjalankan ibadah shalat berjamaah.
Mempertahankan kondisi suci (thaharah), puasa dan diam juga merupakan kontrol atas indera eksternal dengan tujuan utama menundukkan hawa nafsu. Yakni, nafsu rendah, yang sama dengan substansi halus ruh hewani, yang merupakan sumber kejahatan. Jiwa rendah yang cenderung kepada kejahatan adalah sahabat syaithon. Jiwa ini terus menerus melawan kekuatan-kekuatan mulia ruh dan hati, dan pada saat yang sama ingin menaklukkan mereka dan menggunakannya untuk melayaninya. Meskipun seseorang dengan gigih melawannya, jiwa syahwat ini masih mempertahankan kecenderungan buruk yang berasal dari kekuatan-kekuatan rendah yang belum disucikan. Jiwa syahwat ini tidak akan rusak sebelum sang salik mencapai ‘peleburan diri’, tetapi sekadar terpotong-potong seihingga sifat jahatnya masih tetap ada. Hanya dalam kematian badan fisik terakhir ia dapat dimusnahkan. Para salik harus berhati-hati terhadap alasan ini, dan sadar akan kecenderungan terhadap keinginan-keinginan penguasa alam dunia selama mereka berkhalwat.

Mempertahankan kondisi suci terus-menerus merupakan tameng baja dalam tahap perjuangan melawan nafsu rendah dan syaithon. Bersuci (thaharah) merupakan cahaya besar yang mencerahkan kegelapan khalwat. Jika bersuci secara lahiriah berguna untuk membersihkan badan dari kotoran-kotoran fisik, bersuci secara batin meliputi penilikan hati yang penuh perhatian dan lisan sibuk dengan zikir, yang keduanya berperan untuk mensucikan diri dan melawan tabiat rendah. Seluruh pencarian spiritual dapat dilihat sebagai proses penyucian batin, yang disebut penyucian besar, yang sejajar dengan pencapaian tingkatan-tingkatan sepanjang jalan kesufian.
Kegiatan utama khalwat adalah melakukan dzikir, yang dengannya seseorang menyucikan diri hingga menjadi saksi sempurna Tuhan. Diam terus-menerus merupakan salah satu syarat berkhalwat, dan sangat berguna untuk menegasikan indera-indera luar dan melawan nafsu rendah. Satu-satunya kondisi dimana salik bisa menghentikan diam ini dan keluar dari kamar, adalah menanyakan kepada syaikh penjelasan tentang pengalaman spiritual yang tidak bisa dipahami sendiri. Meskipun demikian, sebaiknya ia mencoba dan mencari petunjuk syaikh secara mistis dalam kondisi spiritual. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata selepas selesai khalwat : ‘Salah satu kekurangan dalam berkhalwat adalah, kurangnya para salik melakukan ‘robithoh’, padahal untuk dapat mencapai kemajuan spiritual dalam berkhalwat, proses robithoh harus dilakukan secara terus menerus.’

Syarat berkhalwat berikutnya adalah lanjutan penghapusan seluruh pikiran yang baik ataupun yang buruk. Pekerjaan ini sangat sulit dilakukan, tindakan salik adalah ‘berupaya’ menghapusan pikiran-pikiran buruk, sedangkan ‘penghapusannya’ adalah perbuatan Tuhan. Oleh karena itu, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengajarkan cara yang jitu untuk mengatasinya, sehingga lama-kelamaan pikiran-pikiran akan tersirnakan, yakni, disaat berdzikir, mulut menyebut kalimat ‘Laa Ilaaha Illallaah’ secara bersamaan hati menyebut ‘Allah .. Allah … Allah … Allah’, lalu meningkat, baik kalimat thoyibah ataupun ismu Dzat, keduanya diucapkan oleh hati, sehingga konsentrasi seluruhnya terpusat oleh pekerjaan ini saja, tanpa memikirkan yang lain. Melakukan Kontrol atas pekerjaan ini, menjadi fundamental disaat berkhalwat, karena hasil yang maksimal atau yang diinginkan, tidak bisa disempurnakan tanpa menghapus pikiran-pikiran selain Tuhan. Seorang salik mesti mengakui syaikh sebagai penjelas visi dan peristiwa-peristiwa spiritual dan tidak boleh berusaha memahaminya sendiri. Semoga dengan berkhalwat, Allah SWT memulikannya di masa-masa selanjutnya dengan cahaya akal spiritual dan keadilan, sehingga dari cahaya akal spiritual ini, akan diperoleh kemampuan untuk memahami, dan dari cahaya keadilan memperoleh kekuatan untuk membedakan.

Sabtu, 29 Mei 2010

DUA BELAS

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi.’ (QS 087 : 1)

Seorang salik menuturkan bahwa pada hari ini, Sabtu tanggal 29 Mei 2010, tepat usia yang mulia Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) genap 57 tahun, semoga Allah SWT memberkahi kehidupannya, memperpanjang umurnya, mengkaruniai kesehatan yang prima, mengangkat setinggi-tinggi derajat dan semoga silsilahnya bersambung sampai kepada akhir zaman nantinya, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin. Angka 57 mempunyai makna tersendiri, jika angka 5 dan 7 dijumlahkan menjadi 12, persis seperti jumlah huruf hijaiyah pada kalimat terbaik diatas bumi ini ‘Laa Ilaaha Illaallah’, yakni huruf lam sebanyak 5, alif sebanyak 5 dan huruf Ha besar sebanyak 2. Secara numerical Arab, huruf lam = 30, alif = 1 dan Ha besar = 5 sehingga jika dikalikan dengan banyaknya masing-masing huruf menjadi (lam = 30 X 5) + (alif = 1 X 5) + (Ha = 5 X 2) = 165, persis seperti jumlah ruas-ruas yang ada pada manusia. Oleh karena itu jumlah dzikir yang bersuara (dzikir jahr) dilakukan sebanyak 165 X banyaknya, agar kalimat ini selalu berada pada ruas-ruas itu, selalu bercampur dengan darah, otot-otot, syaraf-syaraf dan tulang-tulang, agar seluruh unsur-unsur yang ada pada manusia menyebut dan dapat memahami kalimat ini. Angka 1 dapat bermakna Ihsan, 6 adalah rukun Iman dan 5 adalah rukun Islam, jika angka 1 ditambah 6 dan ditambah 5 juga berjumlah 12. Ismu Dzat 'Allah', menurut urutan huruf hijaiyah adalah alif, lam, lam dan Ha atau sama dengan alif = 1, lam = 30, lam = 30 dan Ha = 5, jika dijumlahkan menjadi 66, dan 6 + 6 = 12. Nabi Muhammad Rasulullah,saw., lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun gajah, dan juga, jumlah huruf hijaiyah pada kalimat Muhammad Rasulullah adalah 12 pula. Karenanya, angka 12 mempunyai makna yang khusus bagi orang-orang yang bertarekat, karena disitu mengandung pengesaan atau pemurnian Tauhid, pembersihan hati dari fenomena dan hanya terpenuhi oleh yang Qodim saja, Huwal Awwalu Huwal Akhiru, persis seperti makna Laa Ilaaha Illaallah.

Begitu pula, hari ini tepat berusia 4 tahun semburan lumpur di Sidiarjo, Jawa Timur, Indonesia yang tak kunjung henti, yang memberikan arti bahwa lumpur adalah kegelapan atau kekotoran atau kemunafikan lawan daripada kesucian, yang tumbuh subur dinegeri tercinta ini. Seperti tumbuhnya raja-raja kecil yang baru, khususnya pada saat menjelang pesta demokrasi lima tahunan berlangsung. Raja-raja kecil ini hanya mementingkan kelompoknya, mengumpulkan dana rakyat yang demikian besar hanya untuk berperang memenangkan keinginannya, yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. Allah SWT telah menyindir kelompok ini sebagaimana firman-Nya : ‘ Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 045 : 23) Lumpur yang semakin banyak menyembur keatas permukaan bumi mencerminkan bahwa kemunafikan sedang tumbuh subur, sebaliknya kesucian semakin lama semakin lenyap dari bumi pertiwi ini. Oleh sebab itu, para ulama selalu melantunkan doa-doa agar semburan lumpur ini segera dapat berakhir, karena dikhawatirkan tanah disekitarnya akan turut tenggelam, yang akan membelah pulau jawa menjadi dua bagian, agar manusia-manusia yang berebut kekuasaan segera sadar, karena sudah semakin banyak rakyat menderita karenanya. Didalam doa-doanya juga terselip harapan akan munculnya pemimpin yang arif dan bijaksana, sebagaimana harapan akan munculnya sekuntum bunga teratai diatas lumpur di Sidoarjo.

Ayat Al Qur’an diatas ‘Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi’ tak pernah luput dibaca oleh Sayyidina Ali,ra., yang membuat para sahabatnya bertanya-tanya, apakah hanya hafal surat Al Qur'an ini saja? Beliau mengerti betul keadaan hati para sahabatnya dan menjawab : 'Jika kalian mengetahui makna kandungan surat Al 'Ala ini, niscaya kalian tidak akan pernah meninggalkannya untuk membacanya.' Dikemudian hari surat Al 'Ala ini selalu dibaca tatkala shalat Jum’at, shalat ‘Idul Fitri dan shalat ‘Idul adha merupakan sebuah perintah yang tegas untuk mensucikan nama Tuhan, bukan sekedar dibaca dan dimaknai saja. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana mensucikan nama Tuhan? Karena begitu banyak Nama-Nama Tuhan dan bagaimana caranya? Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Nama Tuhan yang paling tinggi adalah Allah.’ Dan oleh karena semua manusia dicipta dan ditempatkan di ‘Alam Nasut’ atau alam kemajemukan, atau alam sebab akibat, maka seseorang yang berkeinginan mensucikan Nama Tuhan, berkewajiban menghapus segala ingatan dan semua yang ada didalam hati kecuali Allah. Sebagaimana angka 12, satu mewakili Ke-Esa-an-Nya dan dua mewakili kemajemukan, sehingga jika angka dua dihapus yang ada hanya satu atu Dia saja. Maka Allah akan mengangkat ruhnya dari Alam Nasut ke Alam Malakut lalu ke Alam Jabarut, meskipun jasadnya berada di bumi ini bersama-sama orang banyak.

Allah SWT berfirman : ‘Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.’ (QS 072 : 18) Maksudnya adalah mesjid-mesjid hati adalah kepunyaan Allah dan tidak diperkenankan ada sesuatu didalamnya selain Allah.

Untuk menghapus kemajemukan dan menegaskan hanya Nama Allah saja, dibutuhkan penghapus dan sekaligus pemahat hati. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : “Kalimat yang mujarob untuk menghapus kemajemukan (nafy)dan mengukir (isbat)Allah saja didalam hati adalah ‘La Ilahaa Illallah’.” Dengan mengulang-ngulang kalimat thoyibah ini, maka akan terhapus segala sesuatu yang bukan tuhan dan terpahat Nama Tuhan Yang Maha Tinggi didalam hati, yakni 'Allah'. Karena Tuhan telah mengumpulkan semua rahmat dan kebajikan-Nya dalam kalimat thoyibah ini, dan siapa saja yang membacanya dengan tulus dan keyakinan yang benar akan tergolong kedalam orang-orang yang mesucikan nama Tuhan. Karenanya rumusan ini menjadi pondasi para syaikh sufi untuk mendidik murid-muridnya guna membersihkan lembaran batin dari debu dunia yang diciptakan, karena angin nafsu, agar ia dapat membaca semua kitab samawi dan juga kitab yang tidak diwahyukan, dan naik ke buku primodial yang tersimpan di Alam Kemahakuasaan di ‘dekat’ Tuhan. Orang-orang yang semacam itu akan berhasil dalam usahanya, dan syaithon tidak akan mampu menghalangi mereka dari jalan kesucian, maka genaplah sabda Rasulullah,saw., : ‘Siapa saja yang mengatakan Laa Ilaaha illaallah dengan ikhlas akan masuk surga.’

Kaifiatnya atau caranya, yang pertama dan wajib adalah harus baiat kepada seorang Syaikh, atau guru mursyid dari salah satu tarekat yang mutabaroh. Karena hukum baiat adalah sunah nabawiyah atau sunah kenabian. Selanjutnya pasrah kepada Syaikh, yakni kekercayaan yang penuh terhadap ajaran-ajarannya, tanpa sedikitpun menanyakan mengapa demikian, baik secara diam-diam atau secara terbuka. Kepatuhan kepada Syaikh harus total, sehingga sekiranya beliau memerintahkan agar melakukan tindakan-tindakan yang kelihatannya bertentangan dengan praktik-praktik sunah, maka harus dilaksanakan tanpa bertanya. Meninggalkan praktik-praktik sunah lebih baik ketimbang melaksanakannya karena keinginannya sendiri. Begitu juga, tindakan-tindakan asketik harus ditinggalkan, jika seseorang memang diperintah oleh seorang Syaikh. Keterikatan hati yang utuh dan mutlak kepada Syaikh, lebih sulit dibanding mengerjakan shalat malam dan berpuasa selama empat puluh hari berturut-turut lamanya. Seorang murid wajib menyadari bahwa tanpa pembimbing tujuannya mustahil dapat dicapai. Semakin tinggi kecintaan kepada Syaikhnya, semakin sering pula seorang murid mengalami pengalaman-pengalaman ruhani, kejelasan-kejelasan datang silih berganti, baik melalui mimpi-mimpi atau terjaga, yang bermanfaat bagi bertambahnya keyaqinan, yang pada akhirnya akan mempertinggi kualitas peribadatannya. Sebaliknya bila kecintaan kepada Syaikhnya memudar, maka menghilang pula pengalaman ruhaninya, lenyap pula isyarat-isyarat dalam mimpi-mipinya dan tingkat keyaqinannya memburuk, yang berakibat pada menurunnya kualitas peribadatannya. Pada kondisi ini, bila seorang murid tidak segera mendapatkan tawfiq, maka ia termasuk golongan orang-orang yang sangat merugi, karena menyia-nyiakan jalan lurus yang sudah terbentang didepan matanya, padahal ia selalu memohonnya pada setiap shalat tatkala membaca suratul Fatihah.

Tanda seseorang telah terbebaskan dari kemajemukan (pluralitas) adalah akhlaknya terpuji, ia dicintai semua makhluk yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Gerak gerik lahiriyahnya mempesona dan batinnya tidak pernah lalai dari mengingat Allah. Pilihannya telah sirna, yang mengejewantah adalah pilihan Tuhan baginya. Hatinya tidak pernah ada konflik bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah. Sebagaimana pohon yang tumbuh dan lebat buahnya, menanam adalah tindakan manusia yang disebut dengan riyadhah dan mujahadah, sedangkan buah adalah tindakan Tuhan yang disebut dengan musyahadah. Oleh sebab itu, mungkin saja musyahadah atau buah diperoleh tatkala belum terlalu lama menanam pohon, dan sebaliknya meskipun sudah menanam bertahun-tahun dan menyiraminya dengan pupuk kegagahan dalam beribadat, namun buah atau musyahadat tak kunjung tiba. Karena musyahadat adalah hak Allah SWT yang dikaruniakan kepada orang-orang yang dipilih-Nya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Setiap orang dicipta sesuai dengan kadarnya, beruntunglah orang-orang yang mempunyai bakat dan phisik yang kuat dalam menempuh jalan ini.' Wejangan ini selaras dengan firman Allah SWT : 'Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.' (QS 087 : 2 - 5) Sungguh beruntung bagi orang-orang yang ditakdirkan selalu masuk kedalam lingkaran orang-orang yang berdzikir, yang disebut kholaqoh dzikir yang didalamnya ada majlis ilmu dan sekaligus majlis dzikir, untuk berupaya memperoleh musyahadah, seperti rumput-rumput yang selalu berada dalam pemeliharan-Nya.

Setelah hati bersih dari keberanekaan (pluralitas) dan hanya Allah saja yang bersemayam, serta ruh telah meninggalkan Alam Nasut beranjak ke Alam Malakut, maka dzikir yang dibutuhkan adalah dzikir khafi, atau dzikir yang tidak berbunyi, atau disebut juga dengan dzikir lathaif, yakni menyebut ismudzat saja ‘Allah … Allah … Allah’ disetiap kesempatan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT : “Katakanlah ‘Allah’, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS 006 : 91) Tidak dibutuhkan penafyan lagi, karena telah terbebaskan dari kemajemukan atau kegandaan (pluralitas). Akan tetapi untuk menjaga keadaan ini dan mempertinggi kewaspadaan atas bias-bias kegelapan yang berada pada Alam Nasut ini, dzikir jahr tetap dikerjakan, meskipun ia telah mempunyai pangkat kewalian, meskipun isyarat-isyarat kejadian mendatan telah ia peroleh, maupun bahasa ruh telah terjelaskan. Begitulah wejangan yang mulia Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) tepat pada usianya yag ke 57 kepada seorang muridnya. Yaa Allah berkahilah kehidupannya, juga keluarga, sahabat dan murid-muridnya, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alaamin.

Selasa, 06 April 2010

PENENTANG DAN PENDUKUNGNYA TAK TERBILANG

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Jika disebut nama-nama seperti Abdul Mughits, Abul Muhr, Abu Abdullah, Mukhabbar maka orang jarang yang mengenalinya, tetapi begitu disebut nama Al Hallaj, maka orang-orang yang bertasawuf mengetahuinya, begitu pun masyarakat muslim pada umumnya, paling tidak mereka pernah mendengar nama itu. Begitu masyhurnya Al Hallaj sehingga ia mempunyai banyak nama, dan banyak tempat telah ia jelajahi, begitu pun banyak syaikh sufi agung telah beliau ziarahi. Guru yang pertama mendidiknya adalah Syaikh Sahl Ibnu At-Tustari,ra., lalu Syaikh Amr Ibnu Utsman,ra., dan Imam Junayd Al Bagdadi,ra. Semua guru-guru yang agung itu ditinggalkannya, dan ia hidup mengembara kebanyak negara, yang pada akhirnya ia wafat di Bagdad secara mengenaskan ditiang gantungan, tanpa tangan, kaki, hidung , mata, telinga dan kepala, lalu jasadnya dibakar dan abunya dibuang ke sungai Tigris. Beliau lahir sekitar tahun 244 H / 858 M didekat kota Al Baidha’ di Propinsi Fars, Iran dahulu disebut Parsia.

Seorang salik yang baru satu tahun mengikuti majelis Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) bertanya : ‘Wahai Syaikh, bagaimana menurut Syaikh tentang kematian Al Hallaj?’ Dijawab : ‘Menurut syariat ia pantas menerimanya.’ Lalu setelah tujuh tahun berlalu, sang salik bertanya kembali hal yang sama, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawab : ‘Meskipun secara syariat beliau pantas menerimanya, namun bila berdasarkan hukum suci hanya Allah sajalah yang mengetahuinya.’ Jawaban Syaikh bila dipandang secara lahir tampak berbeda, menunjukkan kematangan yang luar biasa didalam membimbing murid-muridnya. Kebijaksanaannya begitu luhur, seorang salik yang belum matang, cukup disuguhi anggur ruhani secukupnya saja, sehingga tidak pada tempatnya membicarakan tentang doktrin ‘kemabukkan’, setelah tumbuh ‘dewasa’ barulah Syaikh menjelaskan makna-makna dibalik riwayat yang menggemparkan dunia kesufian itu. Pendeknya Syaikh sepakat dengan tindakan yang diambil oleh Imam Junayd,ra., yang sebelumnya menolak enam surat berturut-turut dari khalifah Bagdad agar menyetujui fatwa hukuman mati, barulah setelah surat permohonan yang ketujuh, beliau menyetujuinya dan berkata : ‘Kami mengadili berdasarkan tampak lahir, sedangkan kebenaran batin hanya Allah-lah yang tahu.’

Banyak orang berpendapat bahwa Al Hallaj meninggalkan Imam Junayd,ra., faktanya tidaklah demikian, karena resep yang diberikan oleh Imam Junayd,ra., kepadanya adalah ‘diam dan pengasingan diri’. Hal ini membuktikan bahwa ia tidak dilarang atas dasar prinsip-prinsipnya melainkan atas dasar perilakunya. Oleh karenanya setelah beberapa tahun mengabdi kepada ‘gurunya’, ia melakukan perjalan ke Hijaz dan tinggal di Makkah. Setelah itu ia kembali ke Bagdad dan bergabung dengan sekelompok syaikh sufi menghadiri majelis Imam Junayd,ra. Disinilah ia berkata : ‘Wahai Syaikh, kemabukkan dan ketidak mabukkan adalah dua sifat manusia, dan manusia tertabiri dari Tuhannya selama sifat-sifatnya belum sirna.’ ‘Wahai putra Manshur, engkau keliru memahami kemabukkan dan ketidak mabukan. Yang pertama menunjukkan munculnya rasa rindu dan cinta yang berlebihan, sementara yang kedua menunjukkan kebaikan suasana ruhani seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan dan keduanya tidak bisa diperoleh dengan usaha manusia. Wahai putra Manshur, dalam kata-katamu kulihat banyak kebodohan dan kesia-siaan.’ Begitulah Imam Junayd,ra., menjawabnya. Nah menjadi terang, mengapa Al Hallaj pergi meninggalkan guru-gurunya terdahulu, atau tepatnya Allah membuatnya demikian adanya, disebabkan pandangan atau doktrinnya yang berlawan. Guru pertamanya mempunyai doktrin tentang riyadhah dan mujahadah guna memperoleh musyahadah, ini menunjukkan tentang kesadaran dalam berupaya atau ketidak mabukkan, demikian juga dengan doktrin Imam Junayd,ra. Sedangkan doktrinnya adalah kemabukkan sebagaimana doktrin yang dianut oleh Syaikh Abu Yazid Al Busthami,ra. Akan tetapi oleh murid-murid penerusnya digganti dengan doktrin 'hulul' yang ditentang oleh para syaikh sufi, sehingga mazhab ini diharamkan. Seorang sufi yang mabuk terkadang mengalami keadaan ekstase yang berat, lalu mengucapkan kata-kata yang seolah-olah syirik secara lahir namun murni secara tauhid, dalam istilah tasawuf disebut ‘syath’ seperti ‘Ana Al Haq’ ‘Akulah Kebenaran’. Lalu apakah sama derajat orang yang hampir setiap harinya berpuasa dan melakukan shalat sunat empat ratus rakaat pada setiap malamnya, berkata ‘Akulah Kebenaran’, dengan seorang raja dzalim yang mengatakan ‘Akulah Tuhan’ seperti Fir’aun?

Dikatakan bahwa jika setetes air jatuh kelautan, 'bersatu', dan air itu ditanya, siapakah engkau? tentu akan dijawab 'Aku adalah lautan', akan tetapi ketika ia melihat dirinya, ia akan berkata 'aku adalah air dan Engkau adalah lautan'. Demikian analogi tentang kebersatuan makhluk dengan Sang Kholik, bukan dzatnya, melainkan sifat-sifat dirinya yang sirna dan melebur dalam sifat-sifat Tuhannya.

Imam Syibli,ra., adalah murid kesayangan Imam Junayd,ra., dan sebagai penerus rantai emas dari majelisnya di usia 51 tahun. Bersahabat dengan Al Hallaj, dikenal sebagai syaikh yang eksentrik, orang awam karena iri menyeretnya ke rumah sakit jiwa. Beliau wafat pada tahun 334 H/846 M, 25 tahun setelah wafatnya Al Hallaj, atau 36 tahun setelah wafatnya Imam Junayd,ra. Sebelum memasuki kesufian, beliau adalah gubernur di Propinsi Dimavind, Irak. Pada saat itu, semua gubernur wajib mengenakan jubah kehormatan pemberian dari khalifah Bagdad. Ia melihat seorang gubernur Rayy menyeka mulut dan hidungnya dengan jubah kebesaran ini, tindakannya ini menyebabkan ia dipecat. Kejadian ini, membuat ia mundur dari jabatannya dan meninggalkan istana, lalu bergabung pada majelis Khair an Nassaj,ra., yang mengantarkannya kepada majelis Imam Junayd,ra. ‘Engkau dikenal sebagai akhli mutiara (hikmah), berilah aku satu atau juallah satu kepadaku.’ Imam Junayd,ra., menjawab : ‘Jika aku menjualnya padamu, engkau takkan mampu membayarnya. Namun jika aku memberikannya Cuma-Cuma kepadamu, engkau takkan menyadari nilainya karena mendapatkannya dengan begitu mudah. Lakukanlah apa yang telah aku lakukan. Benamkanlah dulu kepalamu di lautan, dan jika engkau mengunggu dengan sabar niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu.’ Inilah ciri khas dari Imam Junayd,ra., dalam mendidik murid-muridnya, yakni secara teguh menjalankan praktek ‘Khalwat dar anjuman’, yaitu merasa sendiri bersama Tuhannya ditengah-tengah keramaian orang. Berbeda dengan ‘khalwat’, yang mengasingkan diri untuk sementara waktu dari keramaian orang banyak, sehingga orang-orang tidak tercemari oleh sebab kejahilannya. Setelah kejadian ini, ia mematuhi semua perintah gurunya. Tahun pertama ia berjualan belerang, karena melibatkan jual beli dan mendatangkan kemasyhuran, maka satu tahun berikutnya ia menjadi pengemis dan luntang-lantung di Bagdad. Masih terasa sisa keakuannya, ia pulang ke Dimavind tempat ia pernah menjadi gubernur disana. Dari rumah kerumah ia datangi dan memohon maaf, tinggalah seorang yang pernah terdzalimi, namun tidak diketahui lagi keberadaannya, hal ini membuatnya gundah. Ia menyedekahkan seratus ribu dirham, namun tetap saja hatinya tidak tenang. Empat tahun berlalu, dan akhirnya ia kembali ke Bagdad dan mengadukannya kepada gurunya. ‘Masih ada sisa-sisa kesombongan dan kepongahan dalam dirimu, mengemislah setahun lagi.’ Kata Imam Junayd,ra. Perintah ini dipatuhinya, lalu ia mengemis dan semua yang didapat diserahkan kepada gurunya, lalu gurunya menyedekahkan semuanya untuk kaum miskin. Setelah setahun berlalu, sesuatu yang ditunggu-tunggu terjadi, ia diterima sebagai sahabat Imam Junayd,ra., dan diberikan kewajiban baru, yakni melayani sahabat-sahabat yang lain. Suatu hari Imam Junayd,ra., bertanya : ‘Bagaimana engkau memandang dirimu sekarang?’ Imam Syibli,ra., menjawab : ‘Aku memandang diriku sebagai makhluk-Nya yang paling tidak bernilai.’ ‘Kini keimananmu telah sempurna’ jawab Imam Junayd.ra.

Setiap harinya ia membagikan permen kepada anak-anak yang mau menyebut nama ‘Allah’, juga memberikan dirham dan dinar kepada siapapun yang melakukannya. Namun tiba-tiba, ia menghunus pedang dan berkata : ‘Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan kutebas kepalanya dengan pedang ini.’ Seseorang bertanya : ‘Sebelumnya engkau biasa memberikan permen dan emas. Namun mengapa sekarang engkau mengancam dengan pedang?’ Beliau menjawab : ‘Sebelum ini kukira mereka menyebut nama-Nya dengan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.’ Karena kelakuannya yang dianggap eksentrik, orang-orang awam membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa.

Kisah ini sangat menggugah hati, Imam Junayd,ra., telah menjatuhkan putusan tegas tentang hukuman kepada Al Hallaj, yang karena dalam keadaan kemabukkan yang sangat kepada Tuhannya berkata ‘Ana Al Haq’ ‘Akulah Kebenaran’, akan tetapi murid kesayangan justru menganut doktrin yang sama dengan Al Hallaj, perbedaannya terletak kepada dijaganya lidah Imam Syibli,ra., oleh Allah SWT untuk tidak pernah mengeluarkan kata-kata ‘syath’. Nah, keadaan murid-murid didalam tarekat juga demikian, ada yang mabuk dengan begitu meluap-luap terhadap Syaikhnya, ada pula yang biasa-bisa saja. Oleh sebab itu, 'pemaafan' dan 'toleransi' lebih diutamakan, karena bila anggur cinta telah bercampur dengan darah, maka dalam pandangannya tak ada yang lebih baik dari Syaikhnya, maka apabila dijumpai ada murid-murid yang tidak memasang adab, mendidihlah darah dan berdetak keras jantungnya.

Imam Syibli,ra., menceritakan bahwa suatu malam setelah kewafatan sahabatnaya itu, ia berjumpa dalam mimpinya dan bertanya : 'Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?' Al Hallaj menjawab : 'Mereka yang tahu bahwasannya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran. Allah merahmati kedua kelompok ini, keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.'

Inilah martir-martir Islam dalam dunia kesufian, yang ditentang oleh orang-orang Islam sendiri yang jumlahnya tak terhitung dan pendukungnya pun tak terbilang, dimulai sejak kewafatan beliau hingga kini dan insya Allah sampai dengan musnahnya dunia fana ini. Bandingkan dengan kita, yang pernah hidup setitik diantara masa panjang yang tercipta ini, lalu apakah cucu-cucu kita nanti masih mengingat dan menyebut nama kakek-nya yang telah wafat, sebagaimana orang-orang menyebut-nyebut nama Al Hallaj dan Imam Sybli,ra.? Oleh sebab itu wajar bila Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering terlihat meneteskan airmatanya tatkala berkata : ‘Syukur-syukur bila dikemudian hari masih ada seekor anjing yang mengencingi pusara kita.’