Minggu, 19 Juli 2009

27 RAJAB - MI'RAJ

Bismillahir Rahmaanir Rahiim


Orang-orang yang menempuh jalan kesucian beranggapan bahwa malam 27 Rajab adalah malam yang istimewa, setara dengan malam ‘mawlid’, karena pengalaman mistik yang tertinggi terjadi pada 27 Rajab ini. Oleh karenanya mereka melakukan ritualnya masing-masing yang berkualitas tinggi dan berharap memperoleh pengalaman mistis, khususnya disaat melakukan dzikir lathif pada latifatul sirri dan muroqobahnya. Walaupun ‘harapan’ adalah hakikat ‘keinginan’, dan keinginan adalah hijab untuk memperoleh pengalaman mistis, namun harapan yang tinggi ini haruslah dimulai dan semakin lama akan sirna dengan sedirinya ketika didalam perjalanannya, karena Allah SWT akan menolong dan menunjukkan jalan-Nya bagi orang-orang yang melakukan riyadhah dan mujahadah, khususnya dimalam itu. Seperti para musafir yang berbekal air, ketika air minumnya habis dalam perjalanan, ia akan menemukan air kehidupan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bercerita : “Dimalam dua puluh tujuh Rajab, guruku Syaikh Nuurunnaum Suryadipraja.qs., berkata kepadaku : ‘Ini malam mi’raj mari kita banyak bekerja.’ Lalu beliau meninggalkan kami, bermaksud agar para murid pulang kerumah masing-masing dan bekerja sesuai dengan pekerjaan tarekatnya.”

Seorang salik menuturkan pengalamannya, setelah ia menyelesaikan pekerjaan tarekatnya ditambah dengan sholat-sholat sunah lalu ia berdoa : 'Yaa Allah dimalam 27Rajab ini, aku tidak meminta 'mi'raj seperti yang telah Engkau berikan kepada Kekasih-Mu yang mulia Rasulullah,saw. Karena aku tidak pantas mendapatkannya. Akan tetapi, teguhkan hatiku agar selalu berkhidmat kepada guruku, janganlah Engkau cabut rasa takdzim kepadanya, jangan Engkau kurangi sedikitpun rasa cinta kepadanya, tetapi tambahkan rasa cinta itu sebanyak air hujan keatas bumi ini, ilmu yang kuperoleh darinya jangan jadikan sebagai awan yang menutupi cahaya kewaliannya kedalam hatiku,sucikanlah aku dan ampuni segala dosa-dosaku, amiin Yaa Allah yang Maha Menerima doa-doa orang yang meminta.' Begitu doa itu selesai diucap, hp sang salik berdering, ternyata datangnya dari gurunya, dan gurunya berkata : 'Ini malam 27 Rajab, malam mi'raj, aku berada di Mesjid, mimpimu yang engkau sampaikan belum lama ini, mengisyaratkan pintu-pintu Dairatul Imkan yang boleh engkau masuki, lebih gigihlah dalam bekerja, semoga Allah berkenan denganmu.'Sang salik menangis sedih dan gembira bercampur, merasa doanya dijabah oleh Allah SWT, lalu dia berkata : 'Inilah mi'raj bagiku.'


Seseorang yang diutus sebagai Rahmat bagi seluruh alam, tentunya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Dia mengenakan pakaian kehormatan dari Sifat Rahmat. Lalu karena rahmat itu diberi bentuk, dia diturunkan ke dunia. Orang yang beriman karenanya dapat mempercayainya tanpa ragu-ragu, dia tahu bahwa Nabi Muhammad,saw., dapat menghidupkan hati yang mati dan melindungi mereka yang mencintainya. Bagaikan air dapat menyuburkan tanah yang tandus nan gersang dan dapat menghidupkan benih yang ditanam. Semua bentuk kehidupan di dunia ini bergantung kepada curah hujan yang tepat jumlahnya. Ketepatan ukuran untuk berlangsunya kehidupan ini digambarkan secara indah oleh Syaikh Ahmad at-Tijani,ra., dalam ‘shalawat fatih’ yang masyhur itu, yang barang siapa membacanya satu kali setara dengan enam puluh ribu shalawat lainnya. Para sufi terkemudian menemukan citra yang bagus sekali untuk menggambarkan sifat Nabi,saw., yang khusus ini, yaitu citra ‘awan rahmat’ atau ‘hujan rahmat’. Bahkan Syaikh Abdurahman aj-Jami,ra., telah memuji-muji awan rahmat ini sebagai yang mencurahkan hujan dari ‘langit kedermawanan’, yang telah memuaskan dahaga para kekasih yang kehausan. Tak heran, bila hujan turun disaat pengajian berlangsung, Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Mari kita bersyukur dengan membaca suratul Fatihah atas turunnya hujan rahmat ini.’

Belum cukup dengan penghargaan yang sedemikian tingginya itu, dan bertepatan pada masa yang penuh kesedihan, karena belum lama Nabi,saw., ditinggal wafat oleh istri yang dicintainya, Siti Khodijah,ra., dan seluruh penduduk Makkah yang kafir memboikotnya, sehingga banyak sahabat Nabi,saw., yang menderita kelaparan yang hebat, Allah SWT menghiburnya dengan memperjalankannya di malam hari ‘isra’ dan ‘mi’raj’ untuk diperlihatkan kepadanya tanda-tanda kebesaran-Nya, seperti yang tertuang didalam firman-Nya : ’Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.’ (QS 017 : 1)
Biografi awal mengisahkan bahwa malaikat Jibril,as., membawa Nabi Muhammad,saw., naik keatas punggung ‘Buraq’, lalu mengadakan perjalanan malam atau ‘isra’ ini, dalam perjalanannya ke masjidil Aqsha diperlihatkan keajaiban-keajaiban di langit dan di bumi. Nabi,saw., bertemu dengan nabi-nabi sebelumnya dan menjadi imam shalat disana. Lalu dari sini beliau mulai perjalanannya ke langit ‘mi’raj’.
Ibn Ishaq dalam sirah-nya menggambarkan bahwa seseorang yang dapat dipercaya telah meriwayatkan kepadaku dari Abu Said bahwa ia telah mendengar Nabi Muhammad,saw., berkata : ‘Setelah aku melakukan apa yang perlu dilakukan di masjidil Aqsha, aku dibawakan sebuah tangga (mi’raj), dan aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih indah lagi (selain itu). Itulah sesuatu yang menjadi pandangan orang-orang mati pada hari Kebangkitan. Sahabatku, Jibril,as., membuatku dapat memanjat sampai kami mencapai salah satu gerbang langit, yang disebut Gerbang Garda. Disana 1.200 malaikat bertindak sebagai pengawal.’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering bercerita bahwa : ‘Nabi Muhammad,saw., melihat nenek tua yang keriput disana, lalu Jibril,as., menjelaskan bahwa nenek itu adalah gambaran dunia yang telah tua.’ Oleh Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,ra., nenek tua yang keriput ini (wanita) sering dipakai dalam puisi cantiknya (masnawi) untuk memperlambangkan dunia ini, seperti salah satu syairnya berikut ini : ‘Pelacur tua dunia mencoba memikat anak muda, dan untuk menyembunyikan keriput dan wajahnya yang mengerikan, ia merobek-robek halaman-halaman Al Qur’an yang memberikan penerangan yang indah dan merekatkannya ke pipinya. Perempuan sundal yang mengerikan itu harus dihindari dengan teguh, karena ia melahap anaknya sendiri’. Dan memang demikian, karena Allah SWT berfirman didalam al Qur’an : ‘Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.’ (QS 057 : 20) Dunia digambarkan tidak saja bagi orang-orang yang mencari nafkah kehidupan untuk memperoleh kekayaan, akan tetapi juga, fitnah-fitnah berupa istri, anak, harta bermegah-megah, jabatan. Akan tetapi salah, bila seseorang harus menghindari dunia ini, karena manusia berada didalamnya, mau tidak mau sesuai dengan tuntunan agama ia harus berkeluarga, mempunyai keturunan dan mencari nafkah. Oleh karenanya, ada perbedaan pandangan oleh para sufi sehubungan dengan kekayaan dan kemiskinan, kelompok yang satu berpendapat bahwa kekayaan lebih baik daripada kemiskinan dan sebaliknya kelompok yang lain berpendapat kemiskinan lebih baik daripada kekayaan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Yang dipermasalahkan bukan kekayaan atau kemiskinannya, karena kaya dan miskin bagi seseorang adalah kehendak Allah SWT, melainkan keterikatan hati kepada kekayaan atau kemiskinan itu yang membuat ia lupa kepada Tuhannya, seseorang harus selalu melakukan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah untuk melonggarkan keterikatan ini.’

Banyak sekali ornamen-ornamen yang ditambahkan kedalam kisah mi’raj ini, khususnya dalam kalangan sufi. Sebuah legenda menarik, bahwa sufi agung Sayyid Abdul Qodir al Jailani,qs., mempunyai tempat yang lebih tinggi daripada Jibril,as. Dikisahkan bahwa ketika Rasulullah,saw., akan turun dari Buraq untuk ‘memasuki ruangan rahasia Hadirat Ilahi’, Jibril,as., sudah menarik diri, khawatir sayap-syapnya akan terbakar. Tetapi Sayyid Abdul Qodir al Jailani,qs., melangkah maju, beliau, ‘al Ghaust al Azham’ pemimpin persaudaraan sufi yang paling luas di duia muslim, yakni tarekat Qodiriyah, menyodorkan lehernya kepada nabi Muhammad,saw., untuk dijadikan tempat turun. Sebagai rasa terima kasih, Rasulullah,saw., menempatkan ‘kewalian’ suatu derajat yang sangat khusus, bila dia tampil di bumi ini sekitar lima abad kemudian, kakinya akan menginjak ‘leher setiap wali’. Dengan demikian ucapan yang terkenal dari Sayyid Abdul Qodir al Jailani,qs., ‘Kakiku berada diatas leher setaip wali,’ yang didengar oleh semua wali sezamannya, dengan manis dikaitkan dengan kehadirannya pada titik puncak perjalanan nabi Muhammad,saw., ke langit. Tradisi tarekat Maulawiyah juga demikian, menurut manaqib al Arifin, Nabi,saw., melihat sebuah gambar luar biasa (timsal) pada Tahta Ilahi. Itulah gambar Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,qs. Dan tidak mengherakan bahwa dalam tradisi Syiah, Ali bin Abi Thalib,ra., menyertai Nabi kedalam Hadirat Ilahi.

Perjalanan mi’raj ini juga dialami oleh para sufi, namun kadarnya yang berbeda, jika mi’raj dikatakan sebagai ‘maqom kedekatan’, maka para sufi mengalami kedekatan pula dalam kadar yang berbeda-beda. Untuk menghindari fitnah-fitnah dari kelompok dzahiran, para sufi menyederhanakan penyebutannya menjadi perjalanan ruhaniyah, atau penjelajahan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah bercerita bahwa beliau pernah mengalami perjalanan ruhani ke salah satu masjid di Bukhara, dan menerima topi sufi merah dari Hadrat Muhammad Bahaudin Syah Naqsyabandi,qs., dan mengimani shalat para sufi disana.

Kisah tentang mi’raj sering didengar secara rinci dan mudah ditemukan didalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama terkemudian, khususnya tentang perintah shalat dari 50 rakaat menjadi 5 rakaat. Yang mencerminkan bahwa teruntuk umat Muhammad,saw., dengan ibadah yang sedikit dapat memperoleh kemuliaan yang tinggi, karena kecintaan-Nya kepada Nabi Muhammad,saw., (Habibullah). Namun bukan itu saja, yang teramat khusus adalah hak Nabi,saw., sebagai perantara (wasilah) terlihat sebagai hasil utama ‘dialognya’ dengan Allah SWT. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : “Di Sidrah Al-Muntaha, terjadilah ‘dialog,’ bertaut-tautan antara Allah Ta’ala dengan kekasih-Nya, Rasulullah,saw. Tiada bahasa di atas dunia ini yang tepat untuk menggambarkan ‘persatuan’ itu. Nabi,saw., berkata : ‘Salam sejahtera penuh berkah, dan shalawat (rahmat) yang baik (semuanya) hanya milik Allah.’ Allah SWT : ‘Semoga salam sejahtera ditetapkan kepada engkau wahai Nabi, dan rahmat serta berkah (dari) Allah SWT.’ Nabi,saw., : ’Dan semoga pula salam sejahtera dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang saleh.’ Penghuni langit yang mendengar dialog itu berkata : ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.’ Lalu dijadikanlah “dialog langit” itu menjadi bacaan tahiyat akhir dalam Shalat. Para ulama ada yang berkata bahwa ‘perjalanan’ mi’raj dengan jasadnya ada pula yang mengatakan sebaiknya, yakni tanpa jasad dan hanya ruh-nya saja. Demikian pula ada yang berkata bahwa nabi Muhammad,saw., benar-benar melihat Allah SWT dengan kedua belah matanya yang diberkahi itu dan ada pula yang berkata melihat-Nya dengan ruhaninya saja. Kita tinggalkan perbedaan pandangan para ulama, kelompok Syaikh sufi telah mengistimewakan perjalanan ini, sesuai dengan firman Allah SWT : ‘Sedang Dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian Dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah Dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).’ (QS 053 : 7 – 9) Oleh karenanya para sufi berkeyakinan bahwa Nabi,saw., benar-benar telah ‘melihat’ Allah SWT dan ‘berdialog’ dengan-Nya. Akan tetapi istilah ‘melihat’ dan ‘berdialog’ harus diartikan secara spiritual, seperti istilah-istilah yang berlaku dalam dunia kesufian. Lalu ayat selanjutnya mengatakan : ‘Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.’ (QS 053 : 7) dan ‘Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.’ (QS 053 : 17) Misteri kata ‘tidak berpaling’ dan ‘tidak pula melampauinya’, diartikan oleh para sufi bahwa ketika dua alam diperlihatkan kepada Rasulllah,saw., beliau tidak memperhatikan apa pun. Beliau berada didalam persatuan, dan orang yang ‘dipersatukan’ tidak melihat ‘pemisahan’. Jiwanya terlepas dari rantai-rantai wujud fenomenal, dan ruhnya kehilangan kesadaran akan semua derajat dan maqom, dan kekuatan alamiahnya sirna, beliau mengatakan, bukan karena kehendaknya sendiri, tapi diilhami oleh kerinduan : ‘Wahai Allah, janganlah bahwa aku ke dunia penderitaan disana! Jangan campakkan aku dibawah kuasa tabiat alamiah dan hawa nafsu!’ Allah menjawab : ‘Inilah keputusan-Ku bahwa engkau harus kembali ke dunia untuk menegakkan hukum agama (syariat), supaya Aku bisa memberimu disitu apa yang Aku telah berikan kepadamu disini.’ Ketika kembali ke dunia ini, beliau biasa mengatakan keadaan saat beliau merasakan kerinduan kepada maqom yang tinggi itu : ‘Wahai Bilal, senangkanlah kami dengan azan.’ Maka baginya setiap kali shalat merupakan mi’raj dan kedekatan baru kepada Allah. Sehingga shalat diyakini oleh penempuh jalan kesucian (tasawuf) adalah ‘mi’raj’ karena didalamnya ditemukan jalan menuju Tuhan, dari awal hingga akhir, dan yang didalamnya maqom-maqom mereka ditampakkan. Taubat menggantikan Pensucian atau thaharoh/wudlu, kebergantungan pada pembimbing ruhani menggantikan kiblat, perjuangan melawan hawa nafsu (mujahadah) menggantikan berdiri dalam shalat, dan dzikir menggantikan bacaan al Qur’an, kerendahan hati menggantikan rukuk, pengenalan diri menggantikan sujud, keakraban (uns) menggantikan syahadat, dan pengunduran diri dari dunia serta terbebasnya dari belenggu maqom menggantikan salam.

Hikmah 'isra' dan 'mi'raj' ini adalah bahwa perjalanan dari masjidil Haram ke masjidil Aqsha dan lalu dari masjidil Aqsha menuju kelangit adalah perjalanan menunju ciptaan-ciptaan, Allah telah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya, namun begitu berada didalam 'hadirat Ilahi', maka semua bahasa untuk melukiskannya hancur berkeping-keping, dan jika dipaksakan akan merusak tauhid. karena terdapat kata-kata: 'Menuju, dekat, melihat, mendengar,' yang kesemuanya mempunyai demensi ruang dan waktu. Sedangkan Allah SWT diluar daripada itu semua. Oleh sebab itu wahyu yang memberitakan kejadian luar biasa ini turun dengan sangat hati-hati sekali. Perjalanan 'isra' secara jelas terlihat pada surat Al-Isra sedangkan perjalanan 'mi'raj' tersirat pada surat An-Najm.

Rabu, 15 Juli 2009

YANG MENJUAL KELEDAI TAMU MEREKA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.

Sebelum mengutip salah satu riwayat dalam kitab masnawi yang masyhur itu, mari kita membaca suratul Fatihah diperuntukkan bagi pemilik karya yang agung ini, Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,ra.

Dunia ini ibarat seorang nenek yang keriput, keindahannya nyaris punah seiring dengan tenggelamnya kesucian. Orang-orang yang percaya bahwa kesucian masih bisa diraih, berjuang keras dengan segenap kemampuannya untuk melawan keinginan dirinya (nafs). Agar dengan perjuangannya melawan dirinya sendiri itu (mujahadah), Allah SWT berkenan menjadikannya sebagai gunung-gunung diatas bumi ini, guna menopang bumi agar seimbang dan selaras. Sesungguhnya keindahan alam semesta ini sangat tergantung kepada ketinggian akhlak manusia, sebagai penghuninya, semakin tinggi akhlaknya semakin cantik pula alam semesta ini terhias, semakin senang ia melayani kebutuhan manusia untuk mempertahankan kehidupannya. Sumber kecantikan alam semesta yang terindah telah tiada sejak 1412 tahun yang lalu, kini tinggal generasi penerusnya yang percaya bahwa keindahan akhlak masih bisa digapai, dengan jalan memurnikan kesucian (tasawuf), namun kesucian tidak dapat diraih tanpa perjuangan yang gigih melawan keinginan diri (nafs). Perjuangan melawan keinginan diri pun tidak mungkin bisa dilakukan seorang diri, melainkan harus dibawah bimbingan seorang guru mursyid, dan guru mursyid hanya bisa dijumpai didalam zawiyah, didalam khonqah atau didalam rubat, yaitu tempat para salik melakukan suluk atau khalwat atau berpantang dari apapun kecuali Allah SWT. Kelompok-kelompok ini dibawah pimpinan seorang guru mursyid, yang dengan gigih menegakkan syariat Islam, menjalankan dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi, baik perintah yang wajib atau sunah dengan metoda-metoda atau cara-cara yang khas dan terbukti murni mengikuti kaifiat para masyaikh terdahulu yang sanadnya sambung menyambung sampai kepada Rasulullah,saw., dinamakan ‘Tarekat’.

Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,ra., pendiri tarekat Maulawiyah adalah salah satu gunung yang terindah di alam semesta ini, keadaan ruhani dan pengalaman mistiknya dituangkan secara ajaib dalam bentuk puisi dan kisah-kisah yang apik. Ada tiga kitab yang berhasil ditulis oleh penerusnya, yakni kitab Fihi Ma Fihi, Divani Tabrizi dan Masnawi. Untuk dapat memahami atau mendekati makna yang tersembunyi dibalik kata-kata yang indah dalam puisi ini, tidaklah mungkin dapat terambil dengan baik, bila tidak menempuh jalan yang sama, yaitu jalan kesucian. Banyak para orientalis barat mencoba menjabarkan makna dari kitab-kitab itu, namun nyaris berbelok dari makna yang tersembunyi dibalik puisi-puisi itu. Hanya orang-orang yang berada diatas gunung yang dapat dengan tepat menjelaskan keadaan puncak gunungnya, walaupun dengan bahasa-bahasa isyarat sekalipun, meskipun dengan perumpamaan yang jenaka atau istilah yang menggelitik. Semoga salah satu kisah dibawah ini bermanfaat bagi para sahabat yang dahaga akan tulisan para masyaikh terdahulu.

Seorang sufi pengembara singgah disalah satu tempat peristirahatan yang diperuntukkan bagi para sufi. Ditempat itu sudah ada beberapa sufi yang sangat miskin. Begitu melihat keledai milik sufi pengembara, mereka langsung membuat rencana untuk menjualnya. Bahkan, masih sempat-sempatnya mencari pembenaran dari pepatah para pujangga, yaitu : ‘Dalam keadaan lapar dan tidak ada pilihan lain, bangkai pun dapat dimakan.’ Kedatangan si pengembara mereka anggap sebagai berkah dari Tuhan. Begitulah, setelah si pengembara meninggalkan keledainya dalam kandang, mereka langsung membawanya keluar dan menjualnya. Lalu, uang yang mereka peroleh digunakan untuk membeli makanan dan barang-barang kebutuhan lainnya.
Sepanjang malam mereka berpesta, menari dan menyanyi. Si pengembara pun bergabung dengan mereka. Dia tidak tahu kalau keledainya sudah terjual dan dia juga tidak sadar jika para sufi yang dia datangi masih ‘lapar’. Mereka masih belum mencicipi ‘cinta’, sehingga perut mereka masih kosong dan masih membutuhkan ‘makanan duniawi’. Salah seorang dari mereka mulai menyanyi ‘Keledainya sudah tidak ada, keledainya sudah tidak ada.’ Kegembiraan mereka memang disebabkan oleh ‘terjualnya keledai milik pengembara’, sehingga malam itu mereka bisa berpesta. Si pengembara yang masih juga belum sadar bahwa yang sedang dinyanyikan adalah ‘keledainya’ malah ikut menyanyi, ‘Keledainya sudah tidak ada, keledainya sudah tidak ada ...’ Pesta berlangsung sampai larut malam. Kelelahan, akhirnya mereka berbaring dan tertidur. Esoknya, para sufi yang menjual keledai bangun lebih pagi dan dengan diam-diam meninggalkan tempat peristirahatan itu. Ketika si pengembara terjaga, dia kaget melihat tempat peristirahatan sudah kosong, sunyi, sepi. Tidak ada orang lain kecuali dirinya dan seorang petugas. Lebih kaget lagi, ketika dia menemukan kandang yang kosong – keledainya raib. Apa yang terjadi dengan keledaiku? Bukankah engkau petugas yang bertanggung jawab atas tempat ini? Si petugas menjawab : ‘lhoo, bukankah engkau yang menyuruh untuk menjualnya?’ ‘menjualnya? Keledaiku dijual? Jawab si pengembara ‘ya ..’ jawab si petugas. ‘Dan engkau membiarkan mereka menjual keledaiku? Kenapa engkau tidak memberitahuku? Kata si pengembara. ‘Aku memang ingin memberitahumu, tetapi begitu memasuki aula pertemuan, aku mendengar engkau bernyanyi, ‘keledainya sudah tidak ada, keledainya sudah tidak ada ...’. engkau pun ikut menyanyi bersama mereka. Aku pikir, engkau mengizinkan mereka untuk menjualnya.’ Begitulah jawab si penjaga. Mau bilang apa? Si sufi pengembara itu baru menyadari kesalahannya. Karena ikut-ikutan menyanyi, tanpa memahami apa yang mereka nyanyikan, dia kehilangan keledai.

Para sahabat tercinta, kisah diatas sarat dengan makna. Sufi Pengembara dalam kisah ini adalah seorang yang sudah mencapai kesadaran spiritual. Keledai pikirannya sudah dikandangkan dan dapat dikendalikannya dengan baik. Keledai dalam hal ini mewakili nafs, karena keledai hanya bersuara tatkala ia lapar dan birahi saja, persis seperti sifat-sifat yang dominan pada nafs itu. Allah SWT menghendaki sang Sufi Pengembara bersahabat dengan para munafik bertopeng sufi. Dan orang-orang munafik ini amat sangat pandai dan licik. Mereka dapat mengutip ayat-ayat suci dan hadist dengan baik untuk membenarkan kemunafikannya.
Orang-orang munafik ini tidak menyadari bahwa tugas mulia seorang Darvish adalah mencari pintu. Pintu yang dicari bukanlah pintu biasa, bukanlah pintu rumah, bukanlah rumah petinggi negara dan konglomerat, bukan pula pintu orang-orang kaya yang berduit banyak. Pintu yang mereka cari adalah ‘Pintu Bait Allah’. Dan Bait Allah yang sedang mereka cari bukanlah bangunan yang terbuat dari semen dan batu, melainkan terbuat dari ‘Cahaya Murni.’ Bait Allah yang mereka cari tidak berada diluar diri, tetapi didalam diri. Lewat ‘Pintu Rasa’, dan ‘Pintu Cinta’ mereka memasuki Bait Allah didalam diri. Bila seorang darvish ‘menari dan menyanyi’ itu sebuah tanda bahwa ia telah menemukan Bait Allah didalam dirinya. Menari dan menyanyinya para darvish berbeda dengan tarian dan nyanyian orang awam, ia tenggelam dalam cinta kasih yang tidak terhingga, sehingga tidak memerlukan lagi benda-benda ciptaan, dia lupa kepada keluarganya, anak-anak dan istri-istrinya, sahabat-sahabatnya, bahkan dirinyapun ia tidak ingat, oleh karenanya ia berputar dan berputar lagi semakin cepat dan semakin lama menjadi hilang. Seperti baling-baling pesawat terbang, tatkala ia diam maka benda-benda dibelakangnya akan terhalang dan tidak terlihat, begitu baling-baling ini berputar dan semakin cepat putarannya, maka benda-benda yang dibelakannya yang tadinya terhalang dan tidak terlihat menjadi terlihat, karena baling-baling itu menjadi ‘tiada’ atau ‘fana’. Sufi pengembara dalam kisah ini sesungguhnya seorang darvish yang bersahabat dengan para munafik yang berkedok darvish, bertopeng sufi. Sehingga keledai pikirannya yang sudah dikandangkannya dapat tercuri dan terjual, karena pergaulannya yang demikian itu dan memang Allah SWT menghendaki yang demikian, agar muncul sebuah rasa yang hakiki bahwa semakin lama bumi ini ditinggalkan oleh Rasulullah,saw., maka kesucian pun semakin jauh dan kesempurnaan tinggal sebuah nama. Oleh karenanya seorang darvish pun tidak boleh sudah merasa suci dan beristirahat dalam perjalanannya, tidak boleh puas oleh keadaannya, tidak boleh tangannya berada dibawah terus menerus, karena ada hadis yang mengatakan bahwa tangan yang diatas lebih baik daripada tangan yang dibawah. Hadis ini memuji orang-orang yang dermawan, begitu pula Rasulullah,saw., sesungguhnya tangan beliau tidak pernah berada dibawah, karena begitu beliau menerima sesuatu, seketika itu pula semuanya disalurkan kepada yang berhak menerimanya, begitu pula hak ghonimahnya (rampasan perang) tidak ada yang beliau nikmati, melainkan diserahkan untuk kemajuan Islam. Sehingga tangan beliau yang diberkahi itu selalu berada diatas, tanpa ada sedikitpun yang dimakannya, apalagi disimpannya, atau dibagikan kepada keluarganya, kecuali jika beliau yakin betul atas asal usul kehalalannya dan siapa yang memberinya. Oleh karenanya, pelepah kurma sebagai alas tidurnya tidak pernah berganti hingga akhir hayatnya, meskipun seluruh dunia ada dibawah kekuasaannya. Oleh karenanya seorang darvish selalu waspada, apakah ditangannya, pemberian dari orang lain yang berupa tembaga itu akan berubah menjadi emas atau bara api yang menyala-nyala. Akan bermanfaat bagi yang memberinya atau sebaliknya menjadikannya fitnah-fitnah. Lalu apakah didalam pengembaraannya masih terkandung kesenangan-kesenangan badaniyah, apakah didalam perjalanannya masih ada nyanyian dan tarian yang sia-sia.