Minggu, 31 Mei 2020

MAKNA DIBALIK BENTUK

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
eSHa 31/5/20

Wahyu atau Kitab-kitab Samawi diturunkan bertujuan untuk mendidik (tarbiyah) ruhani agar berfungsi sesuai dengan perannya. Ruh manusia dicipta langsung oleh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, maka sifat ruh itu penuh dengan segala kebaikan, tumpah ruah sifat-sifat yang mahmudah, katakan ‘serupa’ dengan pencipta-Nya. Karena ‘serupa’ maka ruh mengenal dan akrab dengan-Nya. Begitu Dia meniupkan ruh ini kedalam jasad manusia, sontak ruh itu terbungkus oleh kegelapan dunia, oleh karat-karat bekas nafsu dan bekas taat, dan pada akhirnya ruhani manusia terpenjara oleh nafsunya. Untuk menggali permata ruh ini, harus dimulai dari luar atau dari jasad atau jasmani yang tentunya menggunakan akal, maka perintah dan larangan-Nya dilakukan menggunakan akal terlebih dahulu, tanpa akal meskipun berwujud manusia tetapi sesungguhnya ia binatang. Oleh sebab itu, Kitab-kitab Samawi, khususnya Al Qur’an adalah sebuah kitab yang tidak hanya memerlukan akal pikiran untuk memahaminya tetapi juga terutama menggunakan ruhani. Maka sangat penting bahwa akal ini harus selalu diberi asupan pengetahuan tentang Tuhan secara terus menerus, bisa dari membaca kitab-kitab karya para AuliaAllah yang mudah ditemukan di toko buku, atau mendengarkan tausyiah dari para murobbi. Fungsi akal adalah bagaimana kita melakukan penalaran, melakukan proses pemahaman, memandang dan mengkritisi segala sesuatu. Sedangkan fungsi ruhani adalah untuk musyahadah atau menyaksikan Allah (syuhud). Kalau kita tidak menyaksikan Allah (syuhud) berarti ruh yang kita miliki itu sebenarnya dalam posisi nganggur, jadi kalau akal itu mengajarkan nalar, bersikap kritis dan ketajaman untuk membaca segala sesuatu, sementara ruh itu memiliki potensi untuk merasakan Allah (dzauq), untuk menyaksikan Allah (syuhud) sehingga akan menimbulkan kesan (wijdaan). Menyaksikan Allah itu bermula dari melihat makna dibalik segala peristiwa atau segala wujud, mata jasmani hanya mampu melihat warna, rupa dan bentuk, tetapi bashirah atau mata batin itu mampu melihat makna dibalik segala sesuatu. Nah, apakah makna segala sesuatu? Makna segala sesuatu adalah Allah, Allah lah yang berada di balik segala warna, rupa dan bentuk itu. Maka jika kita melihat warna, rupa dan bentuk lebih ‘tampak dominan' dibandingkan dengan makna, berarti masih minim penggunaan ruh kita untuk merasakan dan menyaksikan Allah. Padahal disetiap mendengar azan dan mendirikan sholat kita ini bersyahadat, bersyahadat (syuhud) itu sebenarnya kita bersaksi atau menyaksikan makna atau pelaku dibalik segala sesuatu itu yakni Allah, tetapi faktanya kita tidak melihat Allah, sehingga syahadat kita itu baru merupakan formalitas dan tidak betul-betul atau tidak mengantarkan kita untuk menyaksikan Allah lebih nyata dibandingkan makhluk-makhluk-Nya. Padahal syahadat adalah rukun Islam yang pertama, artinya tanpanya bentuk peribadatan yang lain tidak ada makna. Nabiyullah Adam,as, mendapatkan ampunan-Nya lantaran bersaksi dengan syahadat ini. Jadi hal ini sesungguhnya merupakan tuntutan spritual bagi kita, bagaimana syahadat itu ‘nyata’ bukan syahadat yang formal yang hafal di luar kepala yang dengan mudah kita ucapkan dengan lisan tanpa makna. Artinya, kita membaca syahadat belum mengalami syahadat, sebagaimana mengucapkan takbir belum menyaksikan Akbarnya Allah SWT. Inilah sebuah cakrawala rohani di mana kita mesti melampaui segala sesuatu dengan selalu memohon bimbingan-Nya agar ruh kita tercahayai kembali oleh Sinar Keagungan-Nya.

Tanda manusia hidup salah satunya adalah bernafas, karena sejak dini manusia itu bernafas, maka nafas dianggap biasa dan sepele, padahal nafas ini menjadi bermakna agung bagi para sufi, bagi orang-orang yang merasakan Allah. Karena sebenarnya pada setiap tarikan nafas yang masuk dan hembusan nafas yang keluar terjadi takdir Allah untuk kita, realisasi dari qodho, atau konsep-Nya yang keluar dari Ilmu-Nya atau sifat-sifat-Nya dizaman azali yang disebut qadar atau Perbuatan-Nya. Jika Allah ta'ala itu merealisasikan takdirnya, bukankah sesungguhnya takdir itu bersentuhan dengan diri kita secara terus menerus dan ketika takdir itu bersentuhan dengan diri kita, bukankah seharusnya kita merasakan-Nya? Bagaimana dengan kedipan mata, pendengaran telinga, setiap gerakan anggota badan dan detak jantung? Itu semua sebenarnya adalah momen dimana Allah menyentuh kita dengan takdir-Nya, tapi merasakah kita? Nah ini yang jadi persoalan, sehingga kemudian Allah itu dirasa ghaib, dirasa jauh, dirasa berada di antah berantah entah di mana, berarti belum connect (wushul) antara Allah yang menggerakkan takdir-Nya dengan diri kita, belum online, sehingga kita tidak merasakan Mahadekatnya Allah, tidak merasakan sesungguhnya Allah sedang mengoperasikan takdir-Nya untuk diri kita, nah rasa ini sebenarnya yang perlu kita asah, meskipun kita meyakini bahwa rasa (musyahadah atau ma’rifat) adalah hak Allah untuk memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa sebab, namun para syaikh sufi mengajarkan kepada kita untuk selalu berbaik sangka dan berupaya atau melatih merasakannya dengan selalu berdoa memohon kepada-Nya : ‘Ilaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin.’

Memangnya siapa yang mengatur setiap tarikan dan hembusan nafas, siapa yang membuka dan menutup mata dan siapa yang membuat kita mampu mengeluarkan kotoran atas makanan dan minuman yang kita konsumsi? Bila tidak, sebesar apa kita? Sesungguhnya Allah sedang memanjakan, menina bobokan dan mengurusi kita dengan penuh Kasih dan Sayang, namun kita tidak merasakannya atau tidak merasa diurus, sungguh ironis. Padahal kualitas peribadatan terletak pada praktek yang benar terhadap syariat dan yang utama adalah terletak pada sebuah rasa (musyahadah). Misalnya kita mengucap dan menulis buah ‘kurma’ tetapi kita tidak merasakannya, sama saja dengan hampa, apa artinya mengucap dzikir laa ilaaha illallaah tetapi ketunggalan-Nya tak kunjung dirasakan malah sibuk merasakan yang lain, nah kearah ini mestinya kita memproses rohani diri, biar tidak hampa, hampa dari kenikmatan yang Haqiqi, hampa dari kenikmatan yang sesungguhnya. Maka orang yang sudah merasakan Allah, itu merasakan kenikmatan luar biasa. Misalnya begini, kita sedang membaca perkara Allah mengelola kita, cobalah Jangan hanya dipahami tetapi diproses dirasa itu sendiri, kalau hati kita bersih, kalau fokus hidup kita Allah, kita akan bisa dianugerahi kemampuan oleh Allah ta'ala untuk bisa merasakan apa yang dipahami, sehingga apa yang dibaca dan dengarkan dapat dirasakan, sebab rasa yang seperti ini tidak bergantung kepada lidah jasmani, melainkan lidah ruhani, karena lidah ruhani itu memiliki kepekaan dan kecepatan yang luar biasa, berlipat-lipat kekuatannya dibandingkan dengan lidah jasmani. JIka kita ambil kue nastar lalu kita konsumsi maka lidah kita akan langsung merasakannya, maka lidah rohani kita pun mempunyai potensi untuk dapat merasakan secara langsung terhadap sesuatu yang kita baca, dengar dan pahami, tentu saja bagi rohani yang sudah terlatih untuk itu. Oleh karenanya kita perlu menyadari betapa bebalnya hati kita ini, ternyata apa-apa yang kita ketahui itu tak kunjung kita rasakan. Kita bisa bayangkan ibadah kita yang berupa shalat, puasa, zakat, haji dan dzikir, shalawat dan semacamnya yang sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun tanpa dapat merasakan ke-Maha-an Allah? Jadi untuk apa? Oleh karenanya kita harus medidik diri sehingga merasakan Allah itu betul-betul terealisir, ini yang harus serius dan fokus kesana, inilah tasawuf.

Sesungguhnya secara spiritual kita mewarisi rohaninya Nabi Adam,as, karena kita keturunannya, dan ruhani Nabi Adam,as, itu tak lain adalah bagian dari Nur Muhammad,saw, maka rebut kembali rohani kakek moyang kita itu, maka kita akan merasakan keilahiyan itu mengepung keseluruhan hidup kita. Jadi tidak ada satu pun yang berlalu pada diri kita, baik hembusan nafas keluar maupun tarikan nafas kecuali takdir Allah berlangsung pada diri kita. Oleh karenanya jika ihsan itu : ‘Anta'budallah ka annaka taraah, fa'illam takun taraah, fa'innahu yaraak, engkau bribadah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak bisa maka Dia melihatmu.’ Maka sebagai tanda laku sopan dan berterima kasih atau syukur kepada Allah kita barengi nafas dengan berdzikir, katakan dalam hati ‘Hu’ saat tarikan nafas dan ‘Allah’ saat hembusan nafas, lakukan terus menerus, jika lupa lalu Allah memberi ingatan, segera berdoa terlebih dahulu sebelum melakukannya : ‘‘Ilaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin.’ Hal ini sebenarnya merupakan latihan yang ampuh untuk merasakan Allah ta'ala, meskipun ketika nafas keluar atau masuk kita sedang berbahagia atau mungkin sedang menderita atau mungkin sedang mendapatkan kenikmatan atau mungkin sedang mendapatkan kepedihan dan lain semacamnya, yang jelas tidak ada satupun nafas keluar atau masuk yang Allah tidak menyentuh diri kita dengan takdir-Nya. Demikian pula juga dengan fenomena dan berlangsungnya alam semesta ini, senantiasa tersentuh oleh ke-Maha-an Allah, jadi Allah itu menyentuh diri kita, menyentuh alam semesta dan Allah tak pernah nganggur dan tidak ada apapun yang tak tersentuh oleh-Nya, nah ini yang perlu kita pertajam, kita asah batin kita agar menjadi sensitif secara spritual. Hadrat Maulana Rumi,qs, berkata : ‘Wahai kawan, engkau bilang engkau didera oleh dahaga, dicekik oleh rasa haus, sesungguhnya di sekitar dirimu bahkan pada dirimu ada air terjun melimpah ruah, bagaimana kau bilang bahwa itu dahaga?’ Dan para sufi berkata : ‘Coba tunjukkan kepadaku di mana atau apa yang bukan Allah.’

Semoga bermanfaat, Wallahualam bisawab.

Jumat, 29 Mei 2020

TAU - PAHAM - RASA ALLAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
eSHa 29/5/2020

Didalam kehidupan ini banyak orang yang membiarkan diri tidak menempuh proses untuk merasakan keberadaan Allah, ini disebut dengan tidak melakukan perjalanan (thariq atau thariqoh). Manusia mesti melakukan perjalanan rohani dari tidak merasakan dan tidak menyaksikan Allah menuju kepada merasa dan menyaksikan-Nya. Wahyu diturunkan untuk mendidik ruhani manusia agar mengenal-Nya. Oleh karena-nya jika tidak melakukan perjalanan di samudra rohani ini, maka sama artinya dengan tidak peduli dengan Wahyu Tuhan dan pasti disetiap saat akan fokus kepada sesuatu yang baru, artinya akan tertarik kepada sesuatu yang menyenangkan jiwa, berpindah dari kesenangan yang satu menuju kepada kesenangan yang lain dan tak kunjung tertarik kepada Allah Ta'ala, yang penting bagi orang seperti itu adalah mempunyai mainan baru. Kuota hidupnya hanya dipakai untuk games, whaatsup, facebook dan instagram, lama-kelamaan kuota hidupnya akan habis tanpa mengenal Allah tempat manusia kembali, jika tidak dimulai dari sekarang melakukan perjalanan rohani lalu kapan? Mau kemana manusia setelah mati?

Jika ma’rifat atau mengenal Allah itu adalah penyaksian (syuhud) atau perasaan (dzauq) dan diikuti oleh kesan (wijdaan), maka akal tidak akan mampu melakukannya, karena perasaan dan penyaksian serta kesan ada pada ruhani bukan jasmani. Meskipun demikian para murobbi atau orang yang dekat dengan Allah mengatakan bahwa pintu utama untuk ma’rifat adalah akal melalui pengetahuan dan pemahaman tentang Allah, khususnya tentang sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Oleh sebab itu Imam Asy’ari (873-935H) membuat pendekatan yang memudahkan akal guna mengenal Allah, yang dikenal sebagai sifat 20 yang terdiri dari 1 sifat Dzat yaitu wujud (Ada), 5 sifat salbiyah, 7 sifat ma’ani dan 7 sifat ma’nawiyah. Yang pertama adalah sifat Wujud (Ada) atau katakan Mutlak lawan daripada Wujud adalah Adam (tiada) atau nisbi. Artinya selain Wujud Allah itu tidak ada (adam) atau nisbi, menjadi ada karena diadakan oleh yang Ada. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin satu tindakan itu bisa terpisah dari yang bertindak dan bagaimana mungkin satu perbuatan itu terpisahkan dari orang yang berbuat, ini mesti merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin angin itu dipisahkan dari hembusannya, bagaimana mungkin langit dipisahkan dari warna birunya dan lain semacamnya, hal ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya, kita ini hasil dari kreasi Allah ta'ala, lalu bagaimana mungkin kita bisa terpisah dari Allah? Ombak Itu tidak mungkin berpisah dari lautan, meskipun ombak bukan lautan, maka kita ini bukan Tuhan tapi bagaimana mungkin kita terpisah dari Tuhan? Kita ini bukanlah apa-apa kecuali hasil dari kreasi Tuhan itu sendiri. Nah dengan demikian merasakan adanya kedekatan dengan Tuhan adalah melalui pintu pengetahuan dan pemahaman yang seperti ini. Meskipun ‘tau’ itu sangat jauh jaraknya dengan ‘rasa’, seolah-olah ada dinding pembatas sebesar alam semesta ini, karena Allah hanya bisa dikenal melalui pengetahuan (ilm) bukan dengan kebodohan (jahl). Jadi sebenarnya kita itu tidak pernah jauh dari Allah dan Allah tidak pernah jauh dari kita, namun kita tidak merasakannya. Persis ketika Maulana Rumi,qs, mengatakan bahwa ada ikan-ikan dilaut mencari pemimpinnya untuk mengantarkannya ke lautan.

Mungkinkah ada sesuatu yang bersemayam di luar wujud Allah? tidak mungkin, ini tidak bisa dibayangkan ada sesuatu yang tak tercakup oleh Allah, tidak mungkin ada, kalau ada sesuatu yang tidak tercakup oleh Allah berarti ada sesuatu yang lebih luas dibandingkan dengan Allah dan itu mustahil. Lebih tegas lagi, mungkinkah ada makhluk yang betul-betul bisa menciptakan dirinya sendiri? Inipun tidak mungkin, berarti keberadaan segala sesuatu itu pastilah Allah asal-usulnya, keberadaan segala sesuatu secara hakikat pastilah Allah Wujud-Nya. Nah disini letak pemahamannya, tinggal kita berikhtiar untuk bisa merasakannya, jadi ketika kita mengucap Allah Allah Allah usahakan adanya pemahaman bahwa Allah meliputi segala sesuatu, karena tidak ada apapun yang tidak diliputi oleh Allah, dan getarkan ke batin kita, setelah itu bersungguh-sungguhlah untuk bisa merasakan bahwa Allah itu meliputi segala sesuatu dan Allah lebih mengerti segala sesuatu ketimbang segala sesuatu itu tentang dirinya sendiri, Allah Allah Allah tidak ada sesuatupun yang tidak tersentuh oleh hadirat-Nya, ini kita kembangkan dari pemahaman akal menuju kepada kekuatan rasa, tentu saja karena segala diri kita diliputi oleh Allah, maka pemahaman kita pun pasti diliputi-Nya, sebagaimana rasa yang ada dalam diri kita pun pasti diliputi-Nya jua, dari mana lagi kalau tidak dari Hadirat-Nya, Allah berfirman : "Subhanaka, la ilma lana illa ma alamtana, innaka Antal Alimul Hakim" [QS 2:32] "Mahasuci Engkau, kami tidak mengetahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Mahatahu dan Maha Bijaksana." Maka setiap saat Allah menjadi Maha Guru atau Pendidik rohani bagi makhluk makhluk-Nya, untuk mengenal-Nya (ma’rifat).

Analoginya sudah sering kita dengar dalam istilah cermin, dikatakan semakin bersih cerminnya semakin bersih memantulkan secara penuh yang bercermin, sehingga yang bercermin melihat dirinya sendiri melalui cermin, seolah berhadap-hadapan, mana mungkin yang didalam cermin bergerak tanpa yang diluar cermin bergerak? Tidak mungkin dan mustahil. Adanya berhadap-hadapan dengan Allah itu juga mengandung pemahaman bahwa sebenarnya betulkah yang nisbi itu bisa berhadap-hadapan dengan yang Mutlak? Ini sesungguhnya menyimpan pesan kepada kita bahwa tidaklah yang nisbi itu berhadap-hadapan dengan yang Mutlak, kecuali jika yang nisbi itu diperankan sendiri oleh yang Mutlak, sehingga yang nisbi itu berkata : ‘Ya Allah akukah yang menghadapkan diriku kepada-Mu atau Engkau menghadap diri-Mu sendiri? Para syaikh sufi sering mengatakan : ‘Al abid wal ma’bud wahidun, yang menyembah dan yang disembah satu hakikatnya.’ Sebab tanpa peran Allah kepada sihamba itu, bagaimana mungkin bisa berhadap-hadapan, yang nisbi bisa ketemu yang Mutlak? Tidak mungkin, tidak masuk akal, kecuali yang nisbi ini diperangkan oleh yang Mutlak, maka yang terjadi adalah sesungguhnya yang Mutlak ini berhadap-hadapan dengan diri-Nya lewat sosok yang nisbi ini. Rasulullah saw bersabda : ’Ya Allah, sungguh aku tak sanggup untuk memujimu sebagaimana semestinya engkau dipuji,’ maksudnya mana mungkin yang tiada memuji yang Ada, yang nisbi memuji yang Mutlak? Kecuali yang Mutalk memuji diri-Nya sendiri lewat perantara yang nisbi. Maka kenisbiannya itu disingkirkan dike-Maha-an Allah ta'ala dan dalam konteks seperti ini Al Hallaj,qs, mengatakan ‘Ana Al Haqq, aku adalah Tuhan Yang Maha Benar’, hilang dimensi kenisbian Al Hallaj,qs, dan digantikan oleh kehadiran-Nya. Bertitik tolak dari ini, maka setiap melakukan aktivitas apapun dan tidak terkecuali dzikir adalah hanya Allah bukan yang lain, sehingga dzikir yang dilakukan oleh jasmani lama-kelamaan dilakukan oleh ruhani dan pada akhirnya akan merasakan bahwa pendzikir dan yang didzikiri adalah satu persis serperti cermin tadi.

Oleh karenanya, jikalau ada perasaan terpisah dalam diri kita dengan Allah, perasaan itu yang perlu diperbaiki, kalau kita merasakan bahwa kita terasing dari Allah, perasaan itu yang perlu kita luruskan, tidak ada apapun terasing di hadapan hadirat-Nya, kita ini bukan siapa-siapa selain realisasi dari kehendak-Nya, bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, selain bukti dari ke-Maha-an-Nya dan bukti itu tidak mungkin terpisah dari yang membuktikan. Imam Ibnu Arabi,qs, mempertegas lagi, berarti tidak ada rahmat Allah yang keluar dari Allah, yang betul-betul keluar itu tidak ada, seluruh Rahmat Allah ternyata dalam ruang lingkup Allah itu sendiri, tapi yang disebut ruang lingkup itu tidak terbatas, kalau ruang lingkup berkaitan dengan sebuah desa dengan pedesaan itu ada garis batasnya ada garis tepinya, tapi kalau kata-kata ruang lingkup itu disandarkan kepada Allah, itu tidak ada batasnya, tidak ada garis tepinya, ke-Maha luasan-Nya tak terkira-kira, seolah-olah kita ini berenang-renang di Samudera Raya ke-ilahiyan yang tak bertepi. Bagaimana Wujud tidak tunggal, segala-galanya itu dilingkupi oleh Allah dan lingkup Allah tak bertepi adanya. Sentuhlah segala sesuatu, pasti sesungguhnya secara hakikat kita menyentuh Allah. Segala sesuatu pada diri kita ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa kecuali Allah semata-mata. Jadi tidak mungkin sebuah ciptaan itu, itu terpisah dari pencipta-Nya, maka olah rasa itu wajib terus-menerus dilakukan, terutama olah rasa dalam kaitannya dengan adanya ‘Penyatuan dengan Allah’. Kita bukan Allah, tapi bisakah kita selain Allah? Tidak bisa, kalau kita selain Allah, terus apa iya kita berada di luar Allah, makin tidak mungkin. Jadi orang-orang terpilih itu kekuatan rasa keilahiyannya sungguh hebat, itu yang membedakan dengan kita, sama-sama dilingkupi oleh Allah tetapi mereka itu merasa terus menerus dalam kebersamaan dengan-Nya, sementara kita merasa terasing dari Allah, seolah-olah Allah itu berada di keghaiban-Nya dan kita tidak menyentuh ini, sehingga doa-doa seringkali terpanjat dalam keadaan kosong, dzikir-dzikir terucap dilisan kosong, seolah-olah Allah berada diantara antah berantah yang tak tersentuh oleh aktivitas ibadah kita. Apa mungkin ada setitik wujud yang betul-betul berada di luar ke Maha Wujudan Allah? tidak mungkin ada. Jadi kemana kita akan mencari Allah, jangan ke mana-mana, di mana kita berada di situ kita sesungguhnya berada pada kebersamaan dengan Allah, jangan membayangkan mencari kemana, karena Allah itu sesungguhnya meliputi segala sesuatu, tidak ada satupun partikel, tidak ada satupun entitas yang di situ kosong dari kehadiran Allah. Pertaruhan kita itu dikeyakinan dan rasa, jangan kosong, dan itu fokuskan pertama-tama lewat dzikir, bila tak kunjung merasakan, terus dzikir, atau apa saja yang kita baca, baca Alquran, bacaan sholawat dan wiridan dan apa saja untuk bisa mempertajam dan menghaluskan hati kita, lama-lama akan masuk ke dalam luasnya renungan, terus belajar merasakan kebersamaan dengan Allah dengan diri kita tanpa jeda, di mana-mana kita sesungguhnya senantiasa berada dalam Allah itu sendiri dan kita ditimang-timang dari waktu ke waktu, dimanjakan dari hari ke hari, terus dikirim kepada kita adanya karunia-karunia itu, dan tidak perlu jauh-jauh Allah mengirimnya karena kita juga berada di dalam hadirat-Nya itu sendiri, apa yang tidak mungkin sangat mungkin Tuhan kita Maha segala-galanya. Jadi kalau begitu akhirat bukan di mana-mana kecuali di sini juga, dan kita yang masih hidup di manakah kematian, tidak di mana-mana di sini juga, sebab apa yang disebut di mana yang kesannya jauh, itu sebenarnya tetap saja berada dalam ruang lingkup Allah ta'ala itu sendiri.

Semoga bermanfaat Wallahualam bisawab.