Minggu, 31 Mei 2020

MAKNA DIBALIK BENTUK

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
eSHa 31/5/20

Wahyu atau Kitab-kitab Samawi diturunkan bertujuan untuk mendidik (tarbiyah) ruhani agar berfungsi sesuai dengan perannya. Ruh manusia dicipta langsung oleh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, maka sifat ruh itu penuh dengan segala kebaikan, tumpah ruah sifat-sifat yang mahmudah, katakan ‘serupa’ dengan pencipta-Nya. Karena ‘serupa’ maka ruh mengenal dan akrab dengan-Nya. Begitu Dia meniupkan ruh ini kedalam jasad manusia, sontak ruh itu terbungkus oleh kegelapan dunia, oleh karat-karat bekas nafsu dan bekas taat, dan pada akhirnya ruhani manusia terpenjara oleh nafsunya. Untuk menggali permata ruh ini, harus dimulai dari luar atau dari jasad atau jasmani yang tentunya menggunakan akal, maka perintah dan larangan-Nya dilakukan menggunakan akal terlebih dahulu, tanpa akal meskipun berwujud manusia tetapi sesungguhnya ia binatang. Oleh sebab itu, Kitab-kitab Samawi, khususnya Al Qur’an adalah sebuah kitab yang tidak hanya memerlukan akal pikiran untuk memahaminya tetapi juga terutama menggunakan ruhani. Maka sangat penting bahwa akal ini harus selalu diberi asupan pengetahuan tentang Tuhan secara terus menerus, bisa dari membaca kitab-kitab karya para AuliaAllah yang mudah ditemukan di toko buku, atau mendengarkan tausyiah dari para murobbi. Fungsi akal adalah bagaimana kita melakukan penalaran, melakukan proses pemahaman, memandang dan mengkritisi segala sesuatu. Sedangkan fungsi ruhani adalah untuk musyahadah atau menyaksikan Allah (syuhud). Kalau kita tidak menyaksikan Allah (syuhud) berarti ruh yang kita miliki itu sebenarnya dalam posisi nganggur, jadi kalau akal itu mengajarkan nalar, bersikap kritis dan ketajaman untuk membaca segala sesuatu, sementara ruh itu memiliki potensi untuk merasakan Allah (dzauq), untuk menyaksikan Allah (syuhud) sehingga akan menimbulkan kesan (wijdaan). Menyaksikan Allah itu bermula dari melihat makna dibalik segala peristiwa atau segala wujud, mata jasmani hanya mampu melihat warna, rupa dan bentuk, tetapi bashirah atau mata batin itu mampu melihat makna dibalik segala sesuatu. Nah, apakah makna segala sesuatu? Makna segala sesuatu adalah Allah, Allah lah yang berada di balik segala warna, rupa dan bentuk itu. Maka jika kita melihat warna, rupa dan bentuk lebih ‘tampak dominan' dibandingkan dengan makna, berarti masih minim penggunaan ruh kita untuk merasakan dan menyaksikan Allah. Padahal disetiap mendengar azan dan mendirikan sholat kita ini bersyahadat, bersyahadat (syuhud) itu sebenarnya kita bersaksi atau menyaksikan makna atau pelaku dibalik segala sesuatu itu yakni Allah, tetapi faktanya kita tidak melihat Allah, sehingga syahadat kita itu baru merupakan formalitas dan tidak betul-betul atau tidak mengantarkan kita untuk menyaksikan Allah lebih nyata dibandingkan makhluk-makhluk-Nya. Padahal syahadat adalah rukun Islam yang pertama, artinya tanpanya bentuk peribadatan yang lain tidak ada makna. Nabiyullah Adam,as, mendapatkan ampunan-Nya lantaran bersaksi dengan syahadat ini. Jadi hal ini sesungguhnya merupakan tuntutan spritual bagi kita, bagaimana syahadat itu ‘nyata’ bukan syahadat yang formal yang hafal di luar kepala yang dengan mudah kita ucapkan dengan lisan tanpa makna. Artinya, kita membaca syahadat belum mengalami syahadat, sebagaimana mengucapkan takbir belum menyaksikan Akbarnya Allah SWT. Inilah sebuah cakrawala rohani di mana kita mesti melampaui segala sesuatu dengan selalu memohon bimbingan-Nya agar ruh kita tercahayai kembali oleh Sinar Keagungan-Nya.

Tanda manusia hidup salah satunya adalah bernafas, karena sejak dini manusia itu bernafas, maka nafas dianggap biasa dan sepele, padahal nafas ini menjadi bermakna agung bagi para sufi, bagi orang-orang yang merasakan Allah. Karena sebenarnya pada setiap tarikan nafas yang masuk dan hembusan nafas yang keluar terjadi takdir Allah untuk kita, realisasi dari qodho, atau konsep-Nya yang keluar dari Ilmu-Nya atau sifat-sifat-Nya dizaman azali yang disebut qadar atau Perbuatan-Nya. Jika Allah ta'ala itu merealisasikan takdirnya, bukankah sesungguhnya takdir itu bersentuhan dengan diri kita secara terus menerus dan ketika takdir itu bersentuhan dengan diri kita, bukankah seharusnya kita merasakan-Nya? Bagaimana dengan kedipan mata, pendengaran telinga, setiap gerakan anggota badan dan detak jantung? Itu semua sebenarnya adalah momen dimana Allah menyentuh kita dengan takdir-Nya, tapi merasakah kita? Nah ini yang jadi persoalan, sehingga kemudian Allah itu dirasa ghaib, dirasa jauh, dirasa berada di antah berantah entah di mana, berarti belum connect (wushul) antara Allah yang menggerakkan takdir-Nya dengan diri kita, belum online, sehingga kita tidak merasakan Mahadekatnya Allah, tidak merasakan sesungguhnya Allah sedang mengoperasikan takdir-Nya untuk diri kita, nah rasa ini sebenarnya yang perlu kita asah, meskipun kita meyakini bahwa rasa (musyahadah atau ma’rifat) adalah hak Allah untuk memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa sebab, namun para syaikh sufi mengajarkan kepada kita untuk selalu berbaik sangka dan berupaya atau melatih merasakannya dengan selalu berdoa memohon kepada-Nya : ‘Ilaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin.’

Memangnya siapa yang mengatur setiap tarikan dan hembusan nafas, siapa yang membuka dan menutup mata dan siapa yang membuat kita mampu mengeluarkan kotoran atas makanan dan minuman yang kita konsumsi? Bila tidak, sebesar apa kita? Sesungguhnya Allah sedang memanjakan, menina bobokan dan mengurusi kita dengan penuh Kasih dan Sayang, namun kita tidak merasakannya atau tidak merasa diurus, sungguh ironis. Padahal kualitas peribadatan terletak pada praktek yang benar terhadap syariat dan yang utama adalah terletak pada sebuah rasa (musyahadah). Misalnya kita mengucap dan menulis buah ‘kurma’ tetapi kita tidak merasakannya, sama saja dengan hampa, apa artinya mengucap dzikir laa ilaaha illallaah tetapi ketunggalan-Nya tak kunjung dirasakan malah sibuk merasakan yang lain, nah kearah ini mestinya kita memproses rohani diri, biar tidak hampa, hampa dari kenikmatan yang Haqiqi, hampa dari kenikmatan yang sesungguhnya. Maka orang yang sudah merasakan Allah, itu merasakan kenikmatan luar biasa. Misalnya begini, kita sedang membaca perkara Allah mengelola kita, cobalah Jangan hanya dipahami tetapi diproses dirasa itu sendiri, kalau hati kita bersih, kalau fokus hidup kita Allah, kita akan bisa dianugerahi kemampuan oleh Allah ta'ala untuk bisa merasakan apa yang dipahami, sehingga apa yang dibaca dan dengarkan dapat dirasakan, sebab rasa yang seperti ini tidak bergantung kepada lidah jasmani, melainkan lidah ruhani, karena lidah ruhani itu memiliki kepekaan dan kecepatan yang luar biasa, berlipat-lipat kekuatannya dibandingkan dengan lidah jasmani. JIka kita ambil kue nastar lalu kita konsumsi maka lidah kita akan langsung merasakannya, maka lidah rohani kita pun mempunyai potensi untuk dapat merasakan secara langsung terhadap sesuatu yang kita baca, dengar dan pahami, tentu saja bagi rohani yang sudah terlatih untuk itu. Oleh karenanya kita perlu menyadari betapa bebalnya hati kita ini, ternyata apa-apa yang kita ketahui itu tak kunjung kita rasakan. Kita bisa bayangkan ibadah kita yang berupa shalat, puasa, zakat, haji dan dzikir, shalawat dan semacamnya yang sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun tanpa dapat merasakan ke-Maha-an Allah? Jadi untuk apa? Oleh karenanya kita harus medidik diri sehingga merasakan Allah itu betul-betul terealisir, ini yang harus serius dan fokus kesana, inilah tasawuf.

Sesungguhnya secara spiritual kita mewarisi rohaninya Nabi Adam,as, karena kita keturunannya, dan ruhani Nabi Adam,as, itu tak lain adalah bagian dari Nur Muhammad,saw, maka rebut kembali rohani kakek moyang kita itu, maka kita akan merasakan keilahiyan itu mengepung keseluruhan hidup kita. Jadi tidak ada satu pun yang berlalu pada diri kita, baik hembusan nafas keluar maupun tarikan nafas kecuali takdir Allah berlangsung pada diri kita. Oleh karenanya jika ihsan itu : ‘Anta'budallah ka annaka taraah, fa'illam takun taraah, fa'innahu yaraak, engkau bribadah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak bisa maka Dia melihatmu.’ Maka sebagai tanda laku sopan dan berterima kasih atau syukur kepada Allah kita barengi nafas dengan berdzikir, katakan dalam hati ‘Hu’ saat tarikan nafas dan ‘Allah’ saat hembusan nafas, lakukan terus menerus, jika lupa lalu Allah memberi ingatan, segera berdoa terlebih dahulu sebelum melakukannya : ‘‘Ilaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin.’ Hal ini sebenarnya merupakan latihan yang ampuh untuk merasakan Allah ta'ala, meskipun ketika nafas keluar atau masuk kita sedang berbahagia atau mungkin sedang menderita atau mungkin sedang mendapatkan kenikmatan atau mungkin sedang mendapatkan kepedihan dan lain semacamnya, yang jelas tidak ada satupun nafas keluar atau masuk yang Allah tidak menyentuh diri kita dengan takdir-Nya. Demikian pula juga dengan fenomena dan berlangsungnya alam semesta ini, senantiasa tersentuh oleh ke-Maha-an Allah, jadi Allah itu menyentuh diri kita, menyentuh alam semesta dan Allah tak pernah nganggur dan tidak ada apapun yang tak tersentuh oleh-Nya, nah ini yang perlu kita pertajam, kita asah batin kita agar menjadi sensitif secara spritual. Hadrat Maulana Rumi,qs, berkata : ‘Wahai kawan, engkau bilang engkau didera oleh dahaga, dicekik oleh rasa haus, sesungguhnya di sekitar dirimu bahkan pada dirimu ada air terjun melimpah ruah, bagaimana kau bilang bahwa itu dahaga?’ Dan para sufi berkata : ‘Coba tunjukkan kepadaku di mana atau apa yang bukan Allah.’

Semoga bermanfaat, Wallahualam bisawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.