Minggu, 28 April 2013

OBOR DI PAGI HARI

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sebuah riwayat mengatakan bahwa Imam Baqi Billah,qs., salah seorang pemimpin tarekat Naqsyabandiyah tatkala memimpin dzikir bersama berkata dihadapan murid-muridnya : ‘Aku adalah obor (penerang) bagi kalian, sedangkan dia (yang dimaksud adalah muridnya yang bernama Ahmad al Faruqi al Sirhidh) adalah matahari. Apa arti sebuah obor bila matahari telah terbit?’ Dan ucapan beliau terbukti, dikemudian hari muridnya itu menjadi seorang Imam besar dan dikagumi di dunia tasawuf khususnya dinegeri India dan Pakistan. Yang pada saat itu Islam bercampur dengan ajaran hindu, dan masyarakatnya senang mempercayai hal-hal yang mistis. Sultan Akbar penguasa dinasti Mughal di India, mengatakan bahwa ajaran yang pernah diturunkan oleh Rasulullah,saw., sudah usang dan perlu diganti dengan yang baru, dan sebagai gantinya ia mendorong munculnya ajaran yang sesuai dengan gagasannya sendiri. Oleh karenanya Syaikh Ahmad al Faruqi,qs., berdakwah sebagai pembaharu yang menegakkan syariat Islam dan mengajarkan tasawuf kepada murid-murid tertentu saja, meskipun dibawah tekanan yang hebat dari penguasa, oleh karena itu beliau mendapat gelar sebagai Mujadid (pembaharu) dan sebagai Imam Robbani atau pemimpin para sufi. Demikianlah contoh ketawadhuan, keberanian dan kegigihan yang niscaya dimiliki oleh seorang Syaikh, yang selalu memuji murid-muridnya dengan penuh rasa kasih sayang, menegakkan syariah dengan gagah berani dan menyucikan jiwa-jiwa yang tenggelam dilautan ilusi.

Imam Shahabudin Umar Suhrawardi,qs., penulis karya yang masyhur berjudul Awarif al Ma’arif mengisahkan sebuah cerita untuk menyindir orang-orang yang menganggap dirinya sebagai pembimbing ruhani tetapi tidak pernah hidup dalam lingkungan tarekat.

Konon, ada seekor burung yang tidak mempunyai tenaga untuk terbang, seperti ayam, ia berjalan saja di tanah, meskipun ia tahu bahwa ada burung lain yang bisa terbang. Pada suatu ketika, terjadilah, lewat berbagai keadaan, ada telur seekor burung yang bisa terbang, dierami olehnya.

Setelah sampai waktunya, telur itu pun menetas. Tentunya burung kecil itu masih mempunyai kemampuan untuk terbang yang selalu dimilikinya, bahkan ketika ia masih berada dalam telur. Kemampuan ini tidak disadari oleh orang tua angkatnya, tertutup oleh perasaan akan kehebatan dirinya. Si anak pun berkata kepada orang tua angkatnya, ‘Kapan aku akan terbang?’ Dan burung yang hanya bisa berjalan di tanah itu menjawab, ‘Tetaplah terus belajar terbang, seperti yang lain.’ Sebab burung itu tidak tahu bagaimana mengajarkan anak angkatnya itu terbang. Ia bahkan tidak tahu bagaimana menjatuhkannya dari sarang agar ia bisa belajar terbang.

Dan aneh bahwa burung kecil itu tidak mengetahui hal ini. Pengenalannya terhadap keadaan, terkacaukan oleh kenyataan bahwa ia merasa berterima kasih kepada orang tua angkatnya yang telah berjasa menetaskannya. ‘Tanpa jasanya,’ katanya pada diri sendiri, ‘tentu aku masih berada dalam penjara kulit telur.’Dan lagi, kadang-kadang ia bergumam pada diri sendiri, ‘Siapa pun yang bisa mengeramiku, tentu bisa juga mengajariku terbang. Pasti ini hanya soal waktu saja, atau karena usahaku yang tanpa bantuan, atau karena suatu kebijaksanaan agung, ya, pasti karena itu. Akan tiba waktunya, suatu hari nanti aku akan dibawa ke tahap berikutnya oleh ia yang telah membawaku sejauh ini.’

Kisah diatas sungguh menggelitik dan berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Imam Baqi Billah,qs., terhadap muridnya. Jika seorang syaikh dapat mengetahui keadaan spiritual murid-muridnya, bahkan dapat mencium bau harum seorang bayi yang mempunyai potensi menjadi seorang ulama agung, sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Baba as-Samasi,qs., terhadap kelahiran seorang bayi yang kemudian menjadi Syaikh Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi,qs., yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah tarekat naqsyabandiyah, sedangkan dalam kisah ini sang orang tua angkat tidak mengetahui potensi yang dimiliki oleh anak angkatnya itu. karena ia tidak mempunyai pandangan batin yang dalam dan tidak pernah mengasahnya, sebagaimana yang dimiliki oleh seorang syaikh dari akhli silsilah sebuah tarekat.

Wajar jika Imam Suhrawardi pada masa itu kira-kira di abad 13 tepatnya ditahun 1234 menulis kisah yang sederhana tetapi sarat dengan makna yang hebat. Karena pada saat itu banyak yang mengaku sebagai pembimbing ruhani tetapi tidak pernah mengenyam pendidikan tarekat dan tidak menyadari bahwa keberhasilan muridnya adalah keberhasilannya dan sebaliknya bahwa kegagalan murid adalah kegagalannya.

Para sahabat, kita bukanlah telur burung seperti riwayat diatas, melainkan telur ular, yang bilamana di erami oleh seekor burung, dan kemudian menetas, maka segera akan mematuknya, bukannya berterima kasih karena telah menetaskannya.

Ya Allah bimbinglah kami semua dan ampunilah dosa-dosa kami

Sabtu, 27 April 2013

DUSTA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Berkata jujur ketika merasa takut bahwa hal itu akan mencelakakan, merupakan tindakan yang bermanfaat bagi kemajuan spiritual. Dan berdusta manakala mengira akan menguntungkan, merupakan kerugian bagi perkembangan jiwa. Oleh karenanya kejujuran merupakan tiang penompang segala persoalan, dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan kesufian tercapai. Sebagaimana firman Allah SWT : ‘Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-Nabi, Para shiddiqiin (orang yang menetapi kejujuran), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.’ (QS 004 : 69)

Banyak hadis menyatakan bahwa dusta merupakan maksiat dan tidaksenonohan yang besar. Akibat lain dari kenistaan ini sangat keji dan melebihi dosanya itu sendiri. Jika seseorang sekali saja melakukan dusta dan kemudian terungkap. Ia akan jatuh dimata orang lain dan tak akan mampu memperbaikinya sampai akhir hayatnya, apalagi bila ia lancar berdusta. Belum lagi kerugian-kerugian secara spiritual dan balasan di Yaumil Akhir atas perbuatan dusta ini. Dikatakan oleh cucu-cucu Rasulullah,saw., bahwa dusta lebih buruk dari minuman keras dan melebihi riba dalam hal kejahatannya serta kehancuran bagi iman. Imam Ali Bin Musa Al Ridha,ra., putra dari Imam Musa Al Kazhim,ra., akhli silsilah dari Tarekat Qodiriyah berkata bahwa Rasulullah,saw., ditanya : ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi pengecut dan penakut?’ Beliau menjawab : ‘Ya.’ Kemudian mereka bertanya : ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi kikir?’ Beliau menjawab : ‘Ya.’ ‘Dapatkah dia menjadi pendusta?’ Beliau menjawab : ‘Tidak.’ Hadist ini sangat jelas untuk mengukur diri kita sendiri apakah gelar seorang mukmin berada ditangan kita.

Seorang syaikh yang mendapat gelar sebagai Lentera Dehli dari tarekat Chistiyah menulis sebuah kisah yang sangat menarik. Intinya adalah bahwa sesungguhnya manusia itu selalu mencari cara dan pembenaran atas sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya. Untuk mempertahankan ketergantungan qolbu manusia terhadap dirinya, dibuatnya sebuah ‘alasan’ agar tindakannya itu tidak tercela sama sekali, padahal ‘asalan’ yang dibuatnya itu adalah sebuah dusta. Karena khawatir populeritasnya diantara manusia akan lenyap. Dan ia senang bila jasanya kepada manusia dapat dilihat dan dibicarakan. Meskipun cara-caranya secara komersial dapat diterima, akan tetapi secara moral merupakan tindakan yang tercela.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengingatkan murid-muridnya agar janji, sumpah dan nazarnya dapat ditunaikan. Karena banyak murid agar dilihat sebagai murid yang baik mudah melantunkan sebuah janji atau nazar. Begitu hajatnya terpenuni, janji dan nazarnya tidak ditunaikan, mencari-cari alasan sebagimana kisah yang akan disampaikan dibawah ini. Dusta memang sebuah dosa yang sangat sulit dihindari, pesan pertama Rasulullah,saw., kepada sayyidina Ali,ra., adalah hal ini juga, yakni jangan berdusta. Karena sulitnya untuk tidak berdusta, Rasulullah,saw., lantas berdoa : ‘Ya Allah tolonglah dia.’

Suatu ketika seorang murid bertanya kepada Imam Junaid,ra., perihal apakah mungkin seorang ulama itu berzinah? Beliau tertunduk lama dan menjawab : ‘Hal itu adalah kehendak Allah SWT, akan tetapi seorang ulama tidak mungkin berdusta.’ Sebagaimana Al Qur’an mengatakan bahwa orang yang takut kepada Tuhan adalah para ulama, oleh sebab itu mustahil bagi seorang ulama melakukan dusta, meskipun niatnya baik.

Kisah yang masyhur itu mengatakan suatu saat ada seorang lelaki yang sedang gelisah, ia bersumpah bahwa jika masalah-masalahnya teratasi maka ia akan menjual rumahnya dan memberikan semua hasil penjualannya kepada fakir miskin.

Ketika semua masalahnya sudah selesai, ia menyadari bahwa sudah saatnya untuk menepati sumpahnya tersebut. Tetapi, hatinya menjadi galau, ia tak ingin menyumbangkan begitu banyak uang. Akalnya segera bekerja mencari jalan keluar dan mendapatkan cara yang jitu, yaitu rumah itu dijualnya seharga satu keping perak dengan syarat, pembeli harus membeli rumah itu beserta seekor kucing. Harga yang diajukannya untuk kucing itu adalah sepuluh ribu keping perak.

Seorang tuan membeli rumah dan kucing itu. Lelaki itu memberikan sekeping perak kepada orang miskin, dan mengantongi sepuluh ribu keping perak itu bagi dirinya sendiri.

Banyak orang memiliki pikiran yang seperti ini. Mereka berketetapan hati untuk mengamalkan suatu ajaran, tetapi mereka menafsirkan ajaran itu sesuai dengan keuntungan diri mereka sendiri. Selama mereka belum mengatasi kecendurungan tersebut dengan cara khusus, mereka tidak dapat belajar sesuatupun.

Kita lebih keji dari riwayat diatas, karena lancarnya berdusta sehingga rasa penyesalan setelah melakukannya tidak lagi singgah didalam dada ini. Jika demikian, adakah taubatnya? Karena syarat daripada taubat adalah daya sesal atau disebut sebagai nadam, sebagaimana sabda Rasulullah,saw., bahwa taubat itu adalah penyesalan (nadam).

Ya Allah tolonglah kami.

KETIKA ILMU SIRNA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,ra., mengatakan : ‘Telah menceritakan kepada kami Abul Mughirah telah menceritakan kepada kami Al Auza'i telah mengabarkan kepadaku Abdah bin Abi Lubabah dari Abdullah bin Umar dia berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memegang sebagian badanku lalu beliau bersabda: "Beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jadilah kamu di dunia ini seolah-seolah seperti orang asing, atau seorang musafir yang kehabisan bekal."

Berkenaan dengan hadist diatas, Syaikh Dzun Nun al Misri,ra., mengisahkan bahwa suatu hari nanti orang yang berpegang kepada tali agama akan dikatakan gila oleh kelompok modern yang bertuhankan dirinya sendiri. Sudah sejak lama Nabiyullah Khidir,as., guru dari Nabiyullah Musa,as., memberi peringatan kepada manusia dengan mengatakan bahwa pada hari tertentu nanti, semua air di bumi yang tidak disimpan secara khusus, akan lenyap. Sebagai gantinya, akan ada air baru yang membuat manusia yang meminumnya menjadi gila. Hanya ada satu orang yang memperhatikan nubuat tersebut. Ia menimba air dan menyimpannya di tempat aman, dan menunggu air berubah sesuai ucapan Guru Musa.as.

Pada hari yang ditentukan itu, sungai-sungai berhenti mengalir, sumur-sumur mengering. Orang yang mengindahkan peringatan itu, melihat penggenapannya, pergi ke tempat di mana ia menyimpan air dan minum dari sana.

Ketika dilihatnya dari tempatnya berada bahwa air terjun kembali mencurahkan air, orang ini pun kembali bergabung dengan orang-orang lain. Ia mendapati semua orang kini berpikir dan berbicara dengan cara yang sama sekali lain dari sebelumnya; dan mereka tidak ingat sesuatu hal pun, termasuk bahwa mereka telah diperingatkan sebelumnya. Ketika orang itu mencoba berbincang dengan mereka, ia sadar bahwa mereka pikir ia gila, dan mereka menunjukkan rasa benci dan kasihan, bukannya pengertian.

Semula orang itu tidak mau minum air yang baru. Setiap kali merasa haus, ia kembali ke tempat penyimpanannya dan minum airnya. Namun akhirnya, ia memutuskan untuk minum air yang baru karena tidak tahan menanggung kesepian hidup, berperilaku dan berpikir secara berbeda dari semua orang. Ia minum air yang baru itu, dan ia pun jadi sama dengan yang lain. Kemudian, ia lupa pernah mempunyai simpanan air khusus, dan sesamanya mulai menganggapnya secara ajaib telah waras dari sakit gila.

Pesan moral dari riwayat diatas adalah bahwa sungguh sangat sulit mempertahankan prinsip-prinsip agama dizaman yang seperti ini, tanpa hidayah, taufik dan inayah-Nya manusia akan minum air yang baru, atau pengetahuan yang modern, karena malu dikatakan asing atau ketinggalan zaman.

Ya Allah ampunilah kami semua ..................