Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Berkata jujur ketika merasa takut bahwa hal itu akan mencelakakan, merupakan tindakan yang bermanfaat bagi kemajuan spiritual. Dan berdusta manakala mengira akan menguntungkan, merupakan kerugian bagi perkembangan jiwa. Oleh karenanya kejujuran merupakan tiang penompang segala persoalan, dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan kesufian tercapai. Sebagaimana firman Allah SWT : ‘Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-Nabi, Para shiddiqiin (orang yang menetapi kejujuran), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.’ (QS 004 : 69)
Banyak hadis menyatakan bahwa dusta merupakan maksiat dan tidaksenonohan yang besar. Akibat lain dari kenistaan ini sangat keji dan melebihi dosanya itu sendiri. Jika seseorang sekali saja melakukan dusta dan kemudian terungkap. Ia akan jatuh dimata orang lain dan tak akan mampu memperbaikinya sampai akhir hayatnya, apalagi bila ia lancar berdusta. Belum lagi kerugian-kerugian secara spiritual dan balasan di Yaumil Akhir atas perbuatan dusta ini. Dikatakan oleh cucu-cucu Rasulullah,saw., bahwa dusta lebih buruk dari minuman keras dan melebihi riba dalam hal kejahatannya serta kehancuran bagi iman. Imam Ali Bin Musa Al Ridha,ra., putra dari Imam Musa Al Kazhim,ra., akhli silsilah dari Tarekat Qodiriyah berkata bahwa Rasulullah,saw., ditanya : ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi pengecut dan penakut?’ Beliau menjawab : ‘Ya.’ Kemudian mereka bertanya : ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi kikir?’ Beliau menjawab : ‘Ya.’ ‘Dapatkah dia menjadi pendusta?’ Beliau menjawab : ‘Tidak.’ Hadist ini sangat jelas untuk mengukur diri kita sendiri apakah gelar seorang mukmin berada ditangan kita.
Seorang syaikh yang mendapat gelar sebagai Lentera Dehli dari tarekat Chistiyah menulis sebuah kisah yang sangat menarik. Intinya adalah bahwa sesungguhnya manusia itu selalu mencari cara dan pembenaran atas sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya. Untuk mempertahankan ketergantungan qolbu manusia terhadap dirinya, dibuatnya sebuah ‘alasan’ agar tindakannya itu tidak tercela sama sekali, padahal ‘asalan’ yang dibuatnya itu adalah sebuah dusta. Karena khawatir populeritasnya diantara manusia akan lenyap. Dan ia senang bila jasanya kepada manusia dapat dilihat dan dibicarakan. Meskipun cara-caranya secara komersial dapat diterima, akan tetapi secara moral merupakan tindakan yang tercela.
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengingatkan murid-muridnya agar janji, sumpah dan nazarnya dapat ditunaikan. Karena banyak murid agar dilihat sebagai murid yang baik mudah melantunkan sebuah janji atau nazar. Begitu hajatnya terpenuni, janji dan nazarnya tidak ditunaikan, mencari-cari alasan sebagimana kisah yang akan disampaikan dibawah ini. Dusta memang sebuah dosa yang sangat sulit dihindari, pesan pertama Rasulullah,saw., kepada sayyidina Ali,ra., adalah hal ini juga, yakni jangan berdusta. Karena sulitnya untuk tidak berdusta, Rasulullah,saw., lantas berdoa : ‘Ya Allah tolonglah dia.’
Suatu ketika seorang murid bertanya kepada Imam Junaid,ra., perihal apakah mungkin seorang ulama itu berzinah? Beliau tertunduk lama dan menjawab : ‘Hal itu adalah kehendak Allah SWT, akan tetapi seorang ulama tidak mungkin berdusta.’ Sebagaimana Al Qur’an mengatakan bahwa orang yang takut kepada Tuhan adalah para ulama, oleh sebab itu mustahil bagi seorang ulama melakukan dusta, meskipun niatnya baik.
Kisah yang masyhur itu mengatakan suatu saat ada seorang lelaki yang sedang gelisah, ia bersumpah bahwa jika masalah-masalahnya teratasi maka ia akan menjual rumahnya dan memberikan semua hasil penjualannya kepada fakir miskin.
Ketika semua masalahnya sudah selesai, ia menyadari bahwa sudah saatnya untuk menepati sumpahnya tersebut. Tetapi, hatinya menjadi galau, ia tak ingin menyumbangkan begitu banyak uang. Akalnya segera bekerja mencari jalan keluar dan mendapatkan cara yang jitu, yaitu rumah itu dijualnya seharga satu keping perak dengan syarat, pembeli harus membeli rumah itu beserta seekor kucing. Harga yang diajukannya untuk kucing itu adalah sepuluh ribu keping perak.
Seorang tuan membeli rumah dan kucing itu. Lelaki itu memberikan sekeping perak kepada orang miskin, dan mengantongi sepuluh ribu keping perak itu bagi dirinya sendiri.
Banyak orang memiliki pikiran yang seperti ini. Mereka berketetapan hati untuk mengamalkan suatu ajaran, tetapi mereka menafsirkan ajaran itu sesuai dengan keuntungan diri mereka sendiri. Selama mereka belum mengatasi kecendurungan tersebut dengan cara khusus, mereka tidak dapat belajar sesuatupun.
Kita lebih keji dari riwayat diatas, karena lancarnya berdusta sehingga rasa penyesalan setelah melakukannya tidak lagi singgah didalam dada ini. Jika demikian, adakah taubatnya? Karena syarat daripada taubat adalah daya sesal atau disebut sebagai nadam, sebagaimana sabda Rasulullah,saw., bahwa taubat itu adalah penyesalan (nadam).
Ya Allah tolonglah kami.
Sabtu, 27 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.