Minggu, 25 Agustus 2013

CELAAN - MALAMAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian pada hari Jum’at tanggal 18 Syawal 1434 H berkenaan dengan sebuah mahzab yang menghindari sanjungan dan mencari celaan untuk kesejahteraan ruhaninya, karena mereka sadar dan jera bahwa pujian dari manusia akan menjadikan jiwanya terbelenggu oleh rasa kebanggaan. Bila kebanggaan diri telah mengakar kuat, maka hal ini merupakan noda atau tirai yang sangat sulit untuk disingkirkan. Sebagai contoh, Banyak orang yang kembali dari melakukan ibadah haji dan biasa dipanggil dengan sebutan ‘Pak Haji’, manakala sebutan itu tidak diucap oleh orang yang memanggilnya, maka jiwanya meronta dan memperlihatkan tanda tidak senang. Juga seorang pemimpin yang biasa dihormati dan dilayani oleh bawahannya, setelah masa pensiun tiba, kebanggaan akan penghormatan dan pelayanan yang kadung menempel kuat didalam jiwanya sulit sekali untuk dihilangkan (post power sindrome). Demikian juga berlaku kepada para ulama jahiran, yang kuat melakukan peribadatan lahiriyah, jika seseorang bersikap biasa-biasa saja terhadapnya dan tidak menghormatinya selayaknya orang lain menyanjungnya, maka ia bermuka masam.

Hanya sedikit orang yang menyadari akan bahaya ‘kebanggaan’ didalam perjalanan menuju Allah, yang disebabkan akan pujian dan penghormatan dari orang lain. Seseorang bila disanjung bisa saja muncul kebanggaan atau bagi yang ruhaniyahnya sudah baik akan biasa-biasa saja, tetapi tetap saja ia dihormati dan disanjung oleh orang-orang, Syaikh Abu Shalih Hamdun bin Ahmad bin Umara Al Qashar,qs., atau lebih akrab disebut sebagai Syaikh Hamdun bin Qashar,qs., beserta pengikutnya menggagas sebuah doktrin yang diberi nama ‘Celaan’ atau ‘Malamat’ dan pengikutnya disebut 'Malamatiyah'. Sebuah prinsip untuk merubah persepsi orang-orang yang dahulu hormat dan menyanjungnya menjadi mencelanya. Dipersiapkan jiwanya sedemikian rupa guna meninggalkan kesejahteraan dan menanggung kemalangan serta menyangkal kesenangan-kesenangan dan ikatan-ikatan pergaulannya dengan orang lain, dengan harapan agar keagungan Tuhan diungkapkan kepadanya, maka semakin ia terpisah dari khalayak ramai, ia semakin bersatu dengan Tuhan. Karena itu, kelompok ini tidak mempedulikan kesejahteraan, kesentausaan yang menjadi idaman penghuni dunia ini.

Sebuah riwayat mengatakan Syaikh Hamdun bin Qashar,qs., bertemu dengan seorang penyamun yang tersohor karena kemurahan hatinya, beliau bertanya kepadanya : ‘Wahai Nuh, apakah kemurahan hati itu?’ Dijawab : ‘Kupakai jubah bertambal dan bersikap yang sesuai dengan pakaian itu, supaya aku bisa menjadi seorang sufi dan menyingkiri dosa karena rasa maluku dihadapan Tuhan, tetapi engkau menanggalkan jubah bertambal supaya engkau tidak tertipu oleh manusia, dan agar manusia tidak tertipu olehmu, karena itu, kemurahan hatiku ialah melaksanakan secara resmi hukum keagamaan, sementara kemurahan hatimu ialah pelaksanaan secara ruhaniyah Kebenaran.’ Pembicaraan ini sungguh tinggi kandungan maknanya dan perlu penjelasan lebih lanjut. Yang pertama yag dilakukan oleh Nuh adalah secara istqomah melaksanakan kewajiban agama dan senantiasa tidak meninggalkan amal ibadah, dan tidak mempedulikan celaan orang terhadap dirinya sebagai tindakan memperhatikan urusannya sendiri. Sedangkan yang kedua, penghormatan kepada Syaikh Hamdun,qs., begitu tinggi yang dilakukan oleh orang banyak, sehingga hatinya cenderung kepada penghormatan yang diperolehnya, dia ingin membuat dirinya bebas dari mereka dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan, maka dia dengan sengaja melakukan tindakan tertentu, tetapi tidak melanggar hukum agama, agar orang-orang menjadi mencelanya dan menjauhinya, sehingga ia memperoleh ketenangan dalam perjalanan menuju Tuhannya.

Ada sebuah riwayat lain, bahwa ketika Syaikh Abu Yazid,qs., memasukai Rayy dalam perjalanannya dari Hijaz, masyarakat kota itu berbondong-bondong menemuinya untuk menunjukkan rasa hormat kepadanya. Perhatian mereka mengacaukan hatinya dan memalingkan pikiran-pikirannya dari Tuhan. Ketika dia sampai di pasar, dia mengeluarkan sepotong roti dari lengan bajunya dan mulai memakannya. Orang-orang yang tadi menyangjungnya menjadi pergi dan mencelanya, karena pada saat itu bulan Ramadhan. Syaikh berkata kepada seorang muridnya, ‘Engkau mengerti, begitu aku laksanakan satu hukum, mereka semua menolakku.’ Menjadi tidak wajib hukumnya berpuasa bagi orang yang safar atau sakit.

Orang yang diridhoi Tuhan, akan menjadi sasaran celaan orang, namun Tuhan melindungi hati mereka dari termakan oleh celaan itu. Tuhan menjaga pecinta-pecinta-Nya dari memandang kepada yang lain, supaya orang-orang tidak melihat keindahan keadaannya dan juga menjaga dari memandang keindahan dirinya sendiri, supaya tidak jatuh dalam kebanggaan diri dan kesombongan.

Jika mahzab ini melakukan tindakan ‘celaan’ agar orang lain tidak lagi memperhatikannya, maka yang mulia Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) juga mempunyai sebuah prinsip yang mirip dengan ‘celaan’ ini, yakni mencela dirinya sendiri atau menolak segala pengakuan bahwa dirinya adalah orang hebat yang dilakukan oleh bisikan jiwanya lantaran telah melakukan riyadhah dan mujahadah yang keras, tanpa harus meninggalkan pergaulan dengan orang banyak, dikenal dengan istilah ‘Khalwat Dar Anjuman, atau merasa sendiri ditengah keramaian.’

Ucapan dan perilaku seseorang dapat menunjukan pada tingkatan mana ia berada, apakah ia duduk tenang manakala celaan datang kepadanya, atau sebaliknya ia marah dan kesal dan bergembira manakala pujian dan perhormatan datang kepadanya, terutama dari orang-orang yang mempunyai kedudukan di dunia ini.

Jumat, 09 Agustus 2013

DAWAMUDZ DZIKRI WA DAWAMUN UBUDIYAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : 'Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.' (QS 015 : 99)

Ini adalah sebuah doktrin para pengikut yang mulia Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), yang begitu piawai dalam menyampaikan setiap cabang dan tahapan didalam ilmu tasawuf. Dawamudz dzikri mudah dipahami dan kebanyakan para murid larut dalam mendawamkannya, paling tidak dilakukan sebanyak 15.000 kali dalam satu hari satu malam dengan menyebut kalimat Laa Ilahaa Illallaah atau Allah ... Allah ... Allah atau Huwa Allah, dengan menggunakan kaifiat atau cara-cara yang lazim didalam tarekatnya, dengan bersuara dan gerak ataupun tidak bersuara dan tidak bergerak, dan juga menggunakan teknik-teknik pernafasan. Termasuk didalamnya wirid-wirid khusus dan shalawat nabi,saw. Oleh karenanya dawamudz dzikri dapat dikatakan sebagai upaya untuk selalu ingat kepada Allah dalam setiap waktu dan keadaan sebagai tindak peribadatan yang berkualitas. Sebagaimana banyak hadist yang menyatakan keunggulan berdzikir. Dalam hal ini ‘perasaan’ akan kemapuan dalam melakukannya masih mendominasi ruang hatinya. Di dalam ilmu kesufian keadaan yang demikian disebut sebagai maqom ‘ibadat’. Persembahannya selalu diikuti oleh ‘rasa harap’ akan diperolehnya imbalan dari Allah. Sedangkan dawamun ubudiyah tidaklah semudah dawamudz dzikri, seorang murid pernah memohon penjelasan tentang hal tersebut kepada yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), lalu beliau berkata : ‘Dawamun ubudiyah adalah melakukan peribadatan yang berkualitas untuk memasuki hakikat atau musyahadah.’ Seolah-olah jawaban ini mempunyai arti yang sama antara mendawamkan dzikir dan mendawamkan ubudiyah yaitu melakukan tindak ‘peribadatan’ yang berkualitas. Padahal jika diteliti terdapat perbedaan yang sangat besar, memberi dengan berharap imbalan merupakan maqom ibadat, tentu berbeda derajatnya dengan memberi sebagai rasa syukur (maqom syukur), dan lebih berbeda lagi jika semua peribadannya tidak diakui sebagai kemampuannya, karena adanya kesadaran dan perasaan bahwa kemampuannya atas karunia dan kehendak Allah SWT (maqom ubudiyah). Oleh sebab itu ibadat merupakan upaya dan munculnya harapan akan imbalan sebuah ‘pengampunan’, merasa seolah-olah Allah SWT berada pada ‘tempat’ yang jauh (transenden), sedangkan ubudiyah adalah meninggalkan upayanya sendiri dan merasakan seolah-olah Allah itu dekat (imanen) bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri. Ibadat adalah bagi orang yang memiliki ‘ilmul yaqin’ sedangkan ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin’.

Sebagaimana sebuah ayat Al Qur'an diatas (QS 015:99) dapat ditakwilkan sebagai perintah untuk melakukan peribadatan sampai diperolehnya keyakinan, sedangkan keyakinan itu bertahap dimulai dari ilmul yaqin, lalu ainul yaqin dan kemudian haqqul yaqin. Oleh karenanya sebagian ulama ada yang menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah beribadah sampai datang ajal, adalah mempunyai makna yang sama, karena jika seseorang telah meninggalkan dunia fana ini, maka keyakinannya akan bergeser menaik menjadi ainul dan haqqul yaqin, karena hal-hal yang ghaib di alam dunia ini menjadi nyata. Tingkat keyakinan yang hanya bisa diperoleh dalam keadaan mati, niscaya dapat diperoleh oleh orang-orang yang masih hidup dan mempunyai tingkat spiritual yang tinggi.

Imam Qusyairi,qs., mengatakan bahwa ubudiyah adalah mengosongkan diri dari keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan mengakui kekayaan serta anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

Syaikh Ismail bin Nujayd,qs., mengatakan : ‘Tidak satu pun langkah dapat murni dijalan ubudiyah sampai seseorang melihat bahwa amal-amal baiknya adalah riya dan keadaan-keadaan ruhaninya (hal) adalah kepura-puraan.’

Imam Junayd,qs., berkata : ‘Ubudiyah adalah meninggalkan semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri pada hal-hal yang merupakan dasar kebebasan.’

Dikatakan orang yang bebas adalah yang telah keluar dari penjara dunia ini, dunia adalah sahabat jiwa, oleh sebab itu barang siapa telah mampu menundukkan jiwanya, maka dapat dikatakan sebagai orang yang keluar dari belenggu penjara dunia dan masuk dalam maqom kebebasan. Nah kebebasan akan sempurna manakala ubudiyah telah teraih.

Mudahnya begini, ibadat adalah upaya manusia dalam mengaktualisasikan ilmu syariat dengan cara yang benar, sedangkan ubudiyah adalah meninggalkan ikhtiarnya sendiri. Oleh karenanya dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah adalah mendawamkan dzikir pada setiap kesempatan (ibadat) dan mengukuhkuan sebuah rasa bahwa kemampuan dzikirnya bukan atas upayanya sendiri melainkan atas karunia dan kehendak Allah SWT.

Semoga Allah berkenan mengkaruniai keteguhan kepada kita semua didalam pelaksanaannya amiiin ... amiiin ... amiiin.