Jumat, 09 Agustus 2013

DAWAMUDZ DZIKRI WA DAWAMUN UBUDIYAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : 'Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.' (QS 015 : 99)

Ini adalah sebuah doktrin para pengikut yang mulia Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), yang begitu piawai dalam menyampaikan setiap cabang dan tahapan didalam ilmu tasawuf. Dawamudz dzikri mudah dipahami dan kebanyakan para murid larut dalam mendawamkannya, paling tidak dilakukan sebanyak 15.000 kali dalam satu hari satu malam dengan menyebut kalimat Laa Ilahaa Illallaah atau Allah ... Allah ... Allah atau Huwa Allah, dengan menggunakan kaifiat atau cara-cara yang lazim didalam tarekatnya, dengan bersuara dan gerak ataupun tidak bersuara dan tidak bergerak, dan juga menggunakan teknik-teknik pernafasan. Termasuk didalamnya wirid-wirid khusus dan shalawat nabi,saw. Oleh karenanya dawamudz dzikri dapat dikatakan sebagai upaya untuk selalu ingat kepada Allah dalam setiap waktu dan keadaan sebagai tindak peribadatan yang berkualitas. Sebagaimana banyak hadist yang menyatakan keunggulan berdzikir. Dalam hal ini ‘perasaan’ akan kemapuan dalam melakukannya masih mendominasi ruang hatinya. Di dalam ilmu kesufian keadaan yang demikian disebut sebagai maqom ‘ibadat’. Persembahannya selalu diikuti oleh ‘rasa harap’ akan diperolehnya imbalan dari Allah. Sedangkan dawamun ubudiyah tidaklah semudah dawamudz dzikri, seorang murid pernah memohon penjelasan tentang hal tersebut kepada yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), lalu beliau berkata : ‘Dawamun ubudiyah adalah melakukan peribadatan yang berkualitas untuk memasuki hakikat atau musyahadah.’ Seolah-olah jawaban ini mempunyai arti yang sama antara mendawamkan dzikir dan mendawamkan ubudiyah yaitu melakukan tindak ‘peribadatan’ yang berkualitas. Padahal jika diteliti terdapat perbedaan yang sangat besar, memberi dengan berharap imbalan merupakan maqom ibadat, tentu berbeda derajatnya dengan memberi sebagai rasa syukur (maqom syukur), dan lebih berbeda lagi jika semua peribadannya tidak diakui sebagai kemampuannya, karena adanya kesadaran dan perasaan bahwa kemampuannya atas karunia dan kehendak Allah SWT (maqom ubudiyah). Oleh sebab itu ibadat merupakan upaya dan munculnya harapan akan imbalan sebuah ‘pengampunan’, merasa seolah-olah Allah SWT berada pada ‘tempat’ yang jauh (transenden), sedangkan ubudiyah adalah meninggalkan upayanya sendiri dan merasakan seolah-olah Allah itu dekat (imanen) bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri. Ibadat adalah bagi orang yang memiliki ‘ilmul yaqin’ sedangkan ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin’.

Sebagaimana sebuah ayat Al Qur'an diatas (QS 015:99) dapat ditakwilkan sebagai perintah untuk melakukan peribadatan sampai diperolehnya keyakinan, sedangkan keyakinan itu bertahap dimulai dari ilmul yaqin, lalu ainul yaqin dan kemudian haqqul yaqin. Oleh karenanya sebagian ulama ada yang menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah beribadah sampai datang ajal, adalah mempunyai makna yang sama, karena jika seseorang telah meninggalkan dunia fana ini, maka keyakinannya akan bergeser menaik menjadi ainul dan haqqul yaqin, karena hal-hal yang ghaib di alam dunia ini menjadi nyata. Tingkat keyakinan yang hanya bisa diperoleh dalam keadaan mati, niscaya dapat diperoleh oleh orang-orang yang masih hidup dan mempunyai tingkat spiritual yang tinggi.

Imam Qusyairi,qs., mengatakan bahwa ubudiyah adalah mengosongkan diri dari keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan mengakui kekayaan serta anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

Syaikh Ismail bin Nujayd,qs., mengatakan : ‘Tidak satu pun langkah dapat murni dijalan ubudiyah sampai seseorang melihat bahwa amal-amal baiknya adalah riya dan keadaan-keadaan ruhaninya (hal) adalah kepura-puraan.’

Imam Junayd,qs., berkata : ‘Ubudiyah adalah meninggalkan semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri pada hal-hal yang merupakan dasar kebebasan.’

Dikatakan orang yang bebas adalah yang telah keluar dari penjara dunia ini, dunia adalah sahabat jiwa, oleh sebab itu barang siapa telah mampu menundukkan jiwanya, maka dapat dikatakan sebagai orang yang keluar dari belenggu penjara dunia dan masuk dalam maqom kebebasan. Nah kebebasan akan sempurna manakala ubudiyah telah teraih.

Mudahnya begini, ibadat adalah upaya manusia dalam mengaktualisasikan ilmu syariat dengan cara yang benar, sedangkan ubudiyah adalah meninggalkan ikhtiarnya sendiri. Oleh karenanya dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah adalah mendawamkan dzikir pada setiap kesempatan (ibadat) dan mengukuhkuan sebuah rasa bahwa kemampuan dzikirnya bukan atas upayanya sendiri melainkan atas karunia dan kehendak Allah SWT.

Semoga Allah berkenan mengkaruniai keteguhan kepada kita semua didalam pelaksanaannya amiiin ... amiiin ... amiiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.