Senin, 29 Agustus 2011

MAIYAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dipenghujung bulan suci Ramadhon 1432 H ini, seorang salik bertanya kepada yang lain : ‘Tulislah tentang muroqobah, agar kami dapat menarik pelajaran darinya.’ Percakapan ini sungguh dalam maknanya, karena pekerjaan muroqobah bukan hal biasa, melainkan pekerjaan khusus bagi para mutashowif. Tentunya yang ditanya adalah hasil dari muroqobah bukan cara melakukannya, karena cara-caranya (kaifiat) tentu sama, namun pemahaman dari hasilnya yang berbeda-beda. Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan perumpamaan, sebagaimana Al Qur’an juga demikian dalam menjelaskan hal-hal yang rumit. Karena sejak dahulu, banyak para salik yang bertanya tentang hal yang sama : ‘Saya sudah wirid Malakandias tetapi tidak terjadi apa-apa.’ Ada juga yang berkata : ‘Aku sudah berdzikir lathif dengan menambahkan rasa-rasa, namun tidak merasakan sesuatu pun sebagaimana yang di ajarkan.’ Ternyata yang demikian itu, bukan saja terjadi dan dialami oleh para salik, melainkan dialami dan dirasakan juga oleh ikan-ikan dilautan, mereka selalu bertanya kepada pemimpinnya tentang lautan, tanpa menyadarinya bahwa mereka telah berada didalamnya. Nah, sekarang kita dapat memahami, mengapa Hadrat Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Taswuf adalah kesadaran, dan untuk membongkar keasadaran yang tersembunyi didalam diri seseorang, maka ia harus terus menerus mendawamkan dzikir dan ubudiyah.’

Tak henti-hentinya, sebagaimana hujan yang turun dari langit. Kasih sayangnya bak seekor kucing yang selalu menjilati anak-anaknya. Airmata kesedihannya sebanyak embun pagi yang menetes dari ujung dedaunan, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) melihat dengan jelas keadaan murid-muridnya, tanpa pandang bulu diperlakukannya semua murid seperti seorang bayi. Diberinya minum susu dari cawan kewalian, agar dikemudian hari menjadi siap meminum anggur dari cawan yang suci. Begitulah kasih sayang seorang Syaikh didalam mendidik murid-muridnya, agar disuatu kelak dapat memahami dan memasuki rahasia-rahasia dzikir dan ‘muroqobah’. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang murid : ‘Jarang sekali ada yang bertanya kepadaku tentang hal-hal yang berkenaan dengan dzikir dan muroqobah, kecuali pertanyaan seputar kesempitan dada didalam menghadapi kehidupan di dunia ini.’ Ironis memang, yang mulia Syaikhuna membimbing murid-muridnya cara-cara untuk mencapai puncak gunung, agar beroleh sebuah rasa ‘dekat’ dan dengan jelas dapat ‘memandang’ matahari, namun yang selalu ditanyakan hanya seputar masalah dunia saja, yakni, rizki, jodoh dan problema rumah tangga. Sehingga murid-murid yang dahaga akan anggur suci pengetahuan tasawuf, tidak mendapat apa yang dicari, melainkan arak dunia yang memabukkan.

Sekitar 11 tahun yang lalu, ketika tradisi tasawuf masih bersinar terang, hampir seluruh pembicaraannya berputar kepada pengetahuan kesufian, riwayat para masyaikh yang menggugah hati, sehingga murid-murid mudah mabuk akan suguhan anggur suci ini. Satu demi satu, sedikit demi sedikit, dengan bahasa yang mudah dipahami, Yang Mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjelaskan rahasia-rahasia dzikir dan muroqobah, malah terkadang menceritakan hasil dari pelaksanaannya. Saat itu, murid-murid terkagum-kagum namun tidak dapat sepenuhnya memahami, karena belum mengalami dan merasakannya. Peristiwa yang demikian ini adalah jantung didalam mengarungi kehidupan bertasawuf, agar disuatu kelak nanti, bilamana seorang murid yang pada gilirannya menjumpai dan merasakan hal-hal yang demikian, tanpa keraguan apapun, ia akan meyakini bahwa jalan yang dilaluinya adalah benar adanya. Oleh sebab itu, betapa peristiwa 11 tahun yang lalu itu sangat mahal dan tinggi nilainya serta sulit ditemukan dibelahan dunia manapun juga. Sajadah harapan yang tinggi telah dihamparkan kepada Allah SWT kiranya memperjalankan sisa umur ini selalu dalam keadaan mencari ilmu agama, dan menghindarkan dari membicarakan masalah dunia dan perongkosan kehidupan kepada Yang Mulia Syaikhuna. Semoga Allah SWT menghidupkan kembali tradisi jamuan anggur suci itu, agar kita semua mabuk kembali, agar rasa-rasa itu berdatang kembali, agar lentera yang telah padam ini dapat bersinar kembali sebagai penerang dan penuntun didalam perjalanan pendakian gunung yang tinggi itu. Semoga Allah SWT memasukkan kita semua kedalam benteng-Nya, dan barang siapa berada didalam benteng itu, maka ia akan terhindar dari himpitan dunia dan akhirat.

Agar para murid dapat memahami masalah-masalah yang rumit, khususnya muroqobah (meditasi) tentang kebersamaan Allah (Maiyah), maka diperintahkannya seluruh muridnya untuk menghafal dan memahami makna dari Surat An Nuur ayat 35 : 'Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS 24 : 35)'

Di alam dunia ini (alam syahadah), yang mudah dipahami oleh indrawi adalah bahwa yang bersama-sama dengan segala sesuatu adalah cahaya, karena tanpa kebersamaannya, benda-benda tidak akan tampak. Maka sungguh sangat jelas bahwa kata ‘cahaya’ pada ayat diatas adalah sebuah perumpamaan, dan hal ini akan lebih mudah dipahami manakala cahaya tersebut adalah cahaya lahiriyah. Seseorang bisa membayangkan ketika berada di kebun teh, maka akan disaksikan olehnya bahwa yang dominan adalah warna hijau dari daun teh yang menghampar dan warna biru dari langit yang luas, tanpa terpikirkan peran cahaya yang begitu besar berada dibalik itu semua. Padahal cahaya yang berasal dari matahari itulah yang membuat segala sesuatu tampak dan yang menyinari warna itu. Ketika matahari terbenam, semua menjadi gelap, barulah disadari betapa besar peran cahaya itu. Hanya karena bersatunya cahaya dan warna itu begitu kuat dan jelas, maka membuat cahaya itu sendiri tidak dapat dilihat.

Nah, itulah cahaya lahiriyah yang bisa dipahami dan dirasakan oleh inderawi dan menjadi lebih jelas makna cahaya itu. Jika dengan cahaya lahiriyah segala sesuatu terlihat oleh mata, maka dengan ‘Allah’ segala sesuatu akan tampak oleh mata hati (bashirah), sebab, Dia bersama dengan segala sesuatu (maiyah), tidak pernah terpisah dengan-Nya, dan hanya dengan Dia-lah segala sesuatu tampak. Cahaya lahiriyah akan lenyap bersamaan dengan terbenamnya matahari, sedangkan cahaya Illahi selalu hadir dan menyinari segala sesuatu dimana dan kapan saja, dan tak mungkin padam atau terbenam. Oleh karena itu perumpamaan ‘cahaya’ pada ayat diatas dapat dipahami sebagai cahaya yang dapat melihat dirinya sendiri dan menjadi penyebab yang lain menjadi tampak.

Kelompok dzahiran terperosok oleh pemikiran bahwa ‘cahaya bersama dengan segala sesuatu’ disamakan secara mentah dengan ‘Allah bersama dengan segala sesuatu’. Sehingga akan dapat menimbulkan pemahaman bahwa Allah menempati setiap ruang dan waktu. Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari penisbatan yang demikian. Maka dari itu, menjadi sangat penting bahwa pekerjaan muroqobah wajib diawasi secara terus menerus oleh seorang mursyid. Sungguh sangat beruntung bagi para salik yang memperoleh karunia dari Allah untuk dapat merasakan dan memahami masalah ini, karena dengan merasakan kebersamaan dengan Allah (maiyah), pada saat ‘muroqobah’, maka akan diperoleh sebuah ‘rasa’ bahwa esensi dirinya sesungguhnya adalah cahaya, yang hidup di alam ruhani atau alam spiritual, menerangi dirinya sendiri, alam syahadah disekitarnya, sahabat-sahabatnya, tetangganya, saudara-saudaranya, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang atau makhluk-makhluk lain, serta terjaga dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, pandangannya dapat melihat segala sesuatu sesuai pada tempatnya, ilmunya tiada tara tingginya. Keadaan ini sulit dilukiskan, karena setiap tindakannya bukan miliknya, ia tidak mempunyai kesadaran, inisiatif dan dirinya sendiri. Apabila seorang salik masih meronta dalam air, atau apabila ia masih berseru, ‘aku tenggelam!’, maka ia belum dapat dikatakan berada dalam keadaan bersama dengan Allah (maiyah). Dalam keadaan ini perasaan ‘dualitas’ menjadi sirna, munajatnya adalah ‘diam’ karena dirinya sudah mengingkari adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan. Ia akan menyerahkan dirinya seraya berseru ‘Tiada wujud kecuali wujud Tuhan’. Oleh karenanya tidak heran bilamana yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Siapa-siapa yang dapat mencapai muroqobah Ahadiyah dan Maiyah secara baik, maka ia telah memasuki awal daripada kewalian sugro.’

Analoginya demikian, yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pada masa muda sering bepergian ke Cimahi melalui jalur Puncak, seluruh detail dalam perjalanannya dirasakan dan dilihatnya, seperti jalan yang berkelok, menanjak dan menurun, cuaca yang dingin, tumbuh-tumbuhan disekitarnya, hambatan-hambatannya, tempat-tempat pemberhentian, dan masih banyak lagi. Lalu pengetahuan dan pengalaman yang demikian itu diberikan kepada sahabat-sahabatnya agar tidak tersesat bila bepergian ke Cimahi melalui jalur Puncak, sebagaimana beliau sering menyampaikan pengalaman dan rasa dari muroqobah. Nah jalur ke Cimahi melalui Puncak inilah yang disebut dengan tarekat, meskipun jalan menuju ke Cimahi lebih banyak dari detak jantung seluruh makhluk didunia ini. Maka wajar saja bila bermunculan banyak kelompok tarekat di dunia ini, karena pemimpinnya atau mursyidnya atau Syaikhnya telah ‘sampai’ kepada Tuhannya melalui jalannya masing-masing, yang tentunya sesuai dengan syariat Islam. Oleh sebab itu, bilamana seorang murid yang telah baiat mengalami hal-hal yang niscaya pernah dialami oleh Syaikhnya, maka seorang pembimbing mengerti betul, terapi apa yang mesti diberikan kepada sang murid, agar cepat sampai kepada tujuannya. Oleh karenanya, seorang Syaikh akan segera mengetahui bilamana muridnya berbohong tentang pengalaman didalam perjalannya, bayangkan bilamana seorang murid berkata : ‘Syaikh, saya melihat lautan didalam perjalanan ke Cimahi melalui Puncak.' Padahal jelas-jelas jalur itu tidak ada lautan sama sekali. Bagi murid-murid yang berdekat dengan Syaikh dan yang mau mencatat didalam hatinya tentang perkataan-perkataannya dan pengalaman Syaikhnya, akan segera mengetahui apakah pengalaman dan rasa yang diperoleh dalam perjalan itu benar adanya. Sebagaimana Syaikh sering berbicara mengenai Ahadiyah, Maiyah, Aqrobiyah dan perkejaan muroqobah lainnya, serta dzikir jahr dan lathif, serta bercerita tentang rasa-rasa dalam perjalanan, seperti syauq wa mahabbah, da’im, merasa diawasi, merasa senang dengan af’al Allah, merasa bersatu dan melebur. Dan juga sering menjelaskan tentang af’al dan sifat-sifat Allah SWT, Hakikat Asma Ul-Husna, Hakikat Muhamamdiyah, Hakikat Ahmadiyah, Hakikat Al Qur’an, Hakikat Ka’bah, Hakikat Cinta yang tulus, Hakikat bertapa hinanya manusia, Hakikat Shalat, Hakikat kenabian dan perihal ini diulang-ulang dalam setiap pertemuan, sebagaimana Al Qur’an juga mengulang-ngulang ayat dan riwayat-riwayat. Maka yang dibicarakan oleh Yang Mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) ini adalah segala rahasia sebagaimana perjalanan ke Cimahi melalui Puncak. Sehingga buah dari melaksanakan dzikir dan muroqobah adalah bilamana seorang salik merasakan dalam hatinya dan pemikirannya tetang hal-hal yang demikian itu. Yaa Allah berikanlah kepada kami ... berikanlah dan ampunilah kami.

Rabu, 17 Agustus 2011

NAMA TERAGUNG ALLAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Bab ini masih berkenaan dengan adab, menjelang hari ke tujuh belas di bulan Ramadhon yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) memerintahkan murid-muridnya untuk melakukan dzikir ataqoh, yakni menyebut kalimat Laa Ilaaha Illallaah sebanyak 70.000. Setelah beberapa hari belangsung, banyak murid yang belum menyelesaikannya karena kesibukannya masing-masing. Di pihak lain, ada murid yang minta izin untuk melakukannya sampai dua dan tiga kali. Murid yang mendengar langsung dari Syaikhuna, ada yang berkata ‘sungguh hebat sahabat-sahabat yang mempunyai kemampuan seperti itu.’ Lalu Syaikhuna bertanya kepada seorang murid : ‘Apakah engkau sudah menyelesaikannya?’ ‘Alhamdulillah, belum Syaikh’ jawab sang murid.

Ada sebuah kisah, ketika Syaikh Dzunnun Al-Mishri,qs., mengunjungi seorang yang sakit dan dijumpainya sedang merintih, beliau berkata : ‘Tidaklah tulus dalam mencinta-Nya, orang yang tidak bersabar menghadapi pukulan-Nya.’ Orang yang sakit itu berkata : ‘Tidaklah tulus dalam mencinta-Nya, orang yang tidak menikmati pukulan-Nya.’

Kisah yang lain, pada tahun 304 H hidup seorang syaikh yang sangat tampan di Rayy, bernama Yusuf Ibnu al Husain,qs, beliau menceritakan pengalaman safarnya kepada murid-muridnya lantaran beliau pernah menolak dan lari ke desa lain tatkala ada seorang gadis putri dari pangeran Arab yang sekonyong-konyong menyerahkan diri kepelukannya. Dalam mimpinya, beliau bertemu dengan Nabiyullah Yusuf,as, yang mempesilakan menduduki singasana yang didudukinya selama ini dan berkata kepadanya : “Allah telah berkata kepadaku ‘Wahai Yusuf, lihatlah! Engkau adalah Yusuf yang menolak Zulaikha. Dia adalah Yusuf yang menolak putri Raja Arab dan melarikan diri.’” Kemudian Nabiyullah Yusuf,as., menambahkan : ‘Di setiap zaman ada seorang wali. Dan wali zaman ini adalah Dzunnun al Mishri. Dia telah dianugerahi nama Allah yang teragung. Temuilah dia.’ Saat terbangun, Syaikh Yusuf,qs., dipenuhi oleh rasa kerinduan, lalu bergegas pergi ke Mesir untuk menjumpainya. Saat tiba di masjidnya Syaikh Dzunnun,qs, beliau memberi salam lalu duduk. Setelah satu tahun, Syaikh Dzunnun,qs, bertanya : ‘Darimana asalmu wahai anak muda?’ ‘Dari Rayy,’ jawab Syaikh.Yusuf.qs. Itulah percakapan selama menunggu satu tahun, lalu setelah berselang setahun berikutnya Syaikh Dzunnun,qs, bertanya : ‘Apa tujuan kedatanganmu, wahai anak muda?’ ‘Untuk menemuimu,’ Jawab Syaikh.Yusuf,qs. Selama setahun berikutnya Syaikh Dzunnun kembali tidak berkata apa-apa, akhirnya kembali bertanya : ‘Apa keperluanmu?’ ‘Aku datang untuk memintamu mengajarkanku nama Allah yang teragung,’ Jawab Syaikh.Yusuf,qs. Lalu Syaikh.Dzunnun,qs, berkata : ‘Seberangilah sungai Nil. Disebuah tempat ada seorang tetua, berikan bejana ini padanya, dan ingatlah apa saja yang ia beritahukan kepadamu.’ Syaikh.Yusuf,qs., pun mengambil bejana itu lalu pergi, dalam perjalanan, godaan menyerang hatinya, ‘Apa ini, yang bergerak-gerak didalam bejana?’ lalu dibukanya bejana itu dan seekor tikus melompat keluar dan melarikan diri, beliau diliputi oleh kebingungan, antara melanjutkan perjalanan atau kembali ke Syaikh Dzunnun,qs. Akhirnya diputuskan untuk melanjutkan perjalanan, dan bertemu dengan tetua disana, sambil tersenyum sang tetua berkata : ‘Engkau bertanya kepada Dzunnun tentang nama Allah yang teragung?’ tanyanya. ‘Ya!’ jawab Syaikh.Yusuf.qs. ‘Dzunnun melihat ketidak kesabaranmu, dan memberimu seekor tikus.’ Kata sang tetua. ‘Mahamulia Allah! Engkau tak dapat menjaga seekor tikus, lalu, bagaimana mungkin engkau bisa menjaga nama-Nya yang teragung?’

Didalam Al Qur'an banyak kisah-kisah yang sangat elok, agar pembacanya bisa mengambil sari tauladan darinya. Begitu juga didalam dunia kesufian, kisah-kisah dapat menghidupkan hati yang membatu dan mencontohnya sebagai adab yang terpuji didalam membina pergaulan di pengajian tarekat, agar para salik dapat mengendalikan keinginan-keinginan (nafs) yang tampaknya baik, jika seorang Syaikh telah memperintahkan untuk membaca wirid ‘Hasbunallah wanikmal wakil’, tidak perlu murid bertanya ‘mengapa tidak ditambah dengan kalimat yang lain?’ dan jika Syaikh sudah memerintahkan melakukan dzikir ataqoh satu kali, hormati dan patuhi! dengan melaksanakan sebaik-baiknya dan tidak perlu meminta tambah atau kurang, karena seorang Syaikh sangat mengetahui manfaat memberi minum satu gelas susu, dua atau tiga gelas dan belum tentu baik untuk sang salik yang dua atau tiga, biarlah Syaikh yang memilihkannya, beliaulah yang mengetahui keadaan lahir dan batin para salik, oleh karena kepiawaiannya itulah beliau mendapat gelar Pembimbing Ruhani, patuhi dan hormati, sebagai tanda cinta kepadanya.

Demikian para sahabat, semoga Allah meridhoi kita semua.

Selasa, 16 Agustus 2011

ABU TURAB

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering membaca Al Fatihah dipersembahkan untuk Abu Turab,qs. Dalam dunia kesufian telah disepakati bahwa apa-apa yang dicintai oleh guru, maka murid pun wajib turut mencintainya, dan sebaliknya apa-apa yang dibenci oleh guru, maka murid pun wajib turut membencinya. Oleh karenanya mengetahui biografi dari Syaikh Abu Turab,qs., menjadi wajib hukumnya. Menurut sebuah kitab, nama lengkapnya adalah Abu Turab ‘Askar bin Al Husayn Al Nakhsyabi Al-Nasafi,qs., beliau adalah seorang Syaikh kepala di Khurasan, bersahabat dengan Syah Syuja Al Kirmani,qs., dan Syaikh Abu Hamzah Al Khurasani,qs. Murid beliau paling cemerlang adalah Syaikh Abu Shaleh Hamdun bin Ahmad bin ‘Umara Al Qashshar,qs. Beliau terkenal dengan kemurahan hatinya, kezuhudan dan kesalehannya. Beliau telah memperlihatkan banyak karomah dan mengalami penjelajahan menakjubkan yang tidak terbilang di padang pasir dan di tempat lainnya. Beliau salah seorang pengembara yang paling terpandang di kalangan kaum sufi dan biasa menyeberangi padang pasir yang sepenuhnya terlepas dari hal-hal keduniawian. Beliau meninggal di padang pasir Basrah. Setelah bertahun-tahun, jasadnya ditemukan telah mengering dan berdiri tegak dengan wajah menghadap Ka’bah, dengan sebuah ember didepannya dan sebuah tongkat ditangannya, dan binatang-binatang buas tidak berani menyentuhnya atau datang menghampirinya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata : ‘Makanan darwisy ialah apa yang dia dapati, dan pakaiannya ialah apa saja yang menutupi badannya, dan tempat tinggalnya ialah di mana saja dia berada.’ Yakni beliau tidak memilih-milih makanan, baju atau membuat sebuah rumah bagi dirinya.

Seluruh manusia diatas dunia ini dibuat sibuk oleh ke tiga hal ini, makanan, pakaian dan tempat tinggal. Segala daya dan upaya dikerahkan hanya untuk memilikinya, sejak kecil disekolahkan sampai memperoleh gelar kesarjaan hanya untuk memperloleh ketiga hal ini, segala sesuatu dijadikan sarana untuk memperolehnya, bahkan ‘Tuhan’ pun dijadikan sarana pula, karena banyak yang berdoa sebagai berikut : ‘Yaa Tuhan jadikan aku kaya,’ sarananya adalah Tuhan dan tujuannya adalah kaya. Oleh sebab itu, yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) membimbing murid-muridnya dengan selalu mengawali doa munajatnya dengan kalimat yang indah : ‘Illahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka, yaa Arhamaar Rohimiin,’ Yaa Allah engkaulah yang aku maksud, ridhoilah aku, karuniakan cinta hanya kepada-Mu dan sebenar-benar mengenal-Mu.’

Jumat, 12 Agustus 2011

BUAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sudah sejak hampir delapan bulan tulisan ini tidak di up-date karena kesibukan dunia, maka merugilah orang-orang yang terpenjara oleh kesibukan dunia ini, dan beruntunglah orang-orang yang terpenjara oleh kesibukan agama. Nabi,saw, bersabda : ‘Barangsiapa menghabiskan waktunya untuk Allah, maka Allah akan mencukupi beban rezekinya dari tempat yang tidak disangkanya. Dan barangsiapa menghabiskan waktunya untuk dunia, maka Allah akan mempercayakannya kepada dunia.’ Yaa Arhamaar Rohimiin, kasihanilah kami.

Kerinduan mencekik karena yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pergi berziarah ke Mekkah dan Madinah. Wajah, perilaku dan kata-katanya terbayang pada setiap saat. Beliau sering berkata bahwa ‘talenta’ merupakan faktor utama seseorang dapat mencapai derajat yang tinggi dalam alam kesucian. Sebagaimana pada olah raga tinju, jika seseorang tidak bertalenta, maka meskipun ia berlatih secara keras, ia hanya akan mencapai tahap bisa bertinju namun tidak berprestasi. Oleh karena itu tugas utama pembimbing adalah mencari bibit yang ‘bertalenta’, kemudian membina secara baik dan berkesinambungan, barulah akan muncul petinju yang hebat. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata, ‘Siapa-siapa yang aktif latifahnya (sesuatu yang halus didalam dirinya), maka akan cerdas akal spiritualnya, namun wajib memasang kewaspadaan yang tinggi agar tidak terperosok.’ Wejangan ini sungguh elok dan butuh penjelasan, murid yang berkesinambungan dalam mengerjakan perintah gurunya, hatinya menjadi semakin cemerlang, kecerdasannya menjadi tajam dalam memahami masalah agama, namun tidak boleh lengah, karena pada setiap terbongkarnya penyakit hati akan muncul penyakit hati yang lebih dasyat dan lebih sulit dikenali. Penyakit hati yang bernama ‘riya’ gugur, tetapi bendera ‘ujub’ berkibar, merasa orang yang paling pandai menguasai dirinya, merasa orang yang paling dekat dengan Syaikh, ia akan merasa takjub terhadap dirinya sendiri atas pekerjaan dzikir dan shalat malam serta natija-natijanya dan kagum terhadap firasatnya yang menjadi tajam. Bahkan ia menjadi panutan murid yang lain dan sering membuat rencana untuk mempertemukan para murid dengan yang mulia Syaikhuna. Karena merasa sebagai panutan, maka rencana-rencananya ini dianggap penting oleh dirinya sendiri. Nah, disinilah syaithon ikut bermain, bendera ‘ujub’ dikibarkan lebih tinggi, dibisikkan rasa khawatir dan was-was bila rencananya gagal. Hasilnya, ia berani menentang perkataan yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), meskipun di majlis dzikir sekalipun, naudzubillah mindzalik. Tanpa disadari ia telah terbelenggu oleh egonya, jerih payahnya selama ini menjadi sia-sia, kedudukannya (maqom-nya) terjun bebas, semoga Allah SWT mengasihi kita semua.

Murid tidak boleh lengah! patuh dan hormat adalah bukti cinta kepada Syaikh. Cinta adalah meleburnya sifat-sifat yang mencinta kedalam sifat-sifat yang dicinta, sebagaimana kayu ego yang habis terbakar oleh api cinta, tidak boleh ada sisa kayu ego, semua harus menjadi api, sehingga bila yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa 'Untuk menyambut bulan suci Ramadhon, maka pada hari jum’at depan tidak ada pengajian’, maka semua murid harus patuh, tanpa menentang sedikitpun, meskipun ia mempunyai segudang rencana yang baik menurut kadarnya. Murid yang menentang perkataan Syaikh, jauh dari kepatuhan dan hormat, meskipun ia menanam pohon riyadhah. Diriwayatkan oleh Anas Bin Malik,ra., bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah,saw., : ‘Wahai Rasulullah, siapakah diantara orang-orang beriman yang paling utama imannya?’ Beliau mejawab : ‘Yaitu mereka yang paling baik akhlaknya.’ Abu Bakar Al Kattany,ra., berkata : ‘Tasawuf adalah akhlak, barang siapa bertambah dalam akhlak berarti bertambah pula dalam alam kesucian.’

Buah dari ber-tarekat adalah akhlak yang mulia, bukan yang lain, oleh sebab itu Allah SWT memberikan pujian kepada Rasulullah,saw., karena ketinggian akhlaknya. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Dengan akhlak yang baik, seorang laki-laki benar-benar memperoleh derajat tertinggi di surga, padahal dia bukan akhli ibadah. Dan dengan akhlak yang buruk, seorang laki-laki benar-benar memperoleh tingkatan terendah dalam neraka, padahal dia adalah akhli ibadah.’ Pekerjaan-pekerjaan tarekat, seperti dzikir, muroqobah, shalat-shalat sunah, wirid (aurad) dan shodaqoh adalah sarana, bukan tujuan. Tujuannya adalah ‘Liqo Allah atau berdekat dengan Allah’, untuk dapat mencapai liqo Allah adalah dengan banyak melakukan amal shaleh dan tidak menyekutukan-Nya, sebagaimana yang disebutkan didalam Al Qur'anul Karim. Nah, para syaikh sufi sepakat bahwa yang dimaksud dengan amal sholeh dan tidak menyekutukan-Nya adalah dengan mengerjakan pekerjaan tarekat tadi, dalam dunia kesufian disebut riyadhah, dengan demikian Allah akan menghias hati dan melimpahkan ilmu yang tinggi serta mempercantik akhlak orang itu, ia menjadi bermanfaat bagi makhluk lain dimanapun ia berada. Ukurannya adalah kepentingan dan keinginan dirinya gugur, yang diutamakan hanyalah kepentingan guru dan sahabat-sahabatnya. Sedangkan tanda kemunduran akhlak adalah, selalu mengutamakan dirinya dibanding guru dan sahabatnya. Harta bendanya banyak tetapi merasa susah hidupnya dan selalu berpura-pura susah dihadapan sahabat dan gurunya. Jika sudah demikian, maka ini merupakan bukti bahwa pekerjaan tarekat yang ia kerjakan tidak berbuah, ia hanya memperoleh keletihan pisik, ia tidak mengerti bahwa pedang karunia Allah atas pekerjaan tarekat adalah untuk membasmi alang-alang keakuan (mujahadah), bukan merasa bangga (ujub). Bilamana membabat alang-alang keakuan dilakukan secara berkesinambungan maka maqom demi maqom akan diraihnya, niscaya 'hal' atau ‘musyahadah’ insya Allah akan diperolehnya. Oleh karena itu Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa 'talenta' menjadi faktor terpenting dalam alam kesucian.

Seorang ulama mengatakan bahwa mengutamakan orang lain (itsar) dan membantu orang lain adalah dua hal yang berbeda,yang pertama bila seseorang dalam keadaan membutuhkan, kemudian ia memberikan semua yang dimilikinya kepada orang lain, inilah yang dimaksud dengan akhlak mulia sebagai cerminan dari kelapangan jiwa dan kemampuan menanggung gangguan (tabah), sedangkan yang kedua bilamana seseorang dalam keadaan membutuhkan dan memberikan sebagian yang dimilikinya. Masih ingatkah ada sebuah khabar yang mengatakan bahwa seorang sahabat nabi,saw., menerima sebuah kepala kambing, karena ia melihat sahabat lain yang membutuhkan, maka ia memberikan semuanya, demikian seterusnya sahabat yang menerima memberikannya kepada sahabat yang lain, hingga sampai kepada sahabat yang pertama memberi. Para sahabat yang tercinta, kita berada dimana? Sekarang banyak masyarakat dalam keadaan sulit, marilah kita mengurangi porsi makan kita sebanyak satu, dua atau tiga suap untuk disedekahkan kepada mereka.

Imam Junayd,ra., pernah memuji murid dari Syaikh Abu Hafs Al Haddad,ra., karena begitu hebat akhlaknya, bukan karena banyak dzikir, shalat dan puasanya, namun yang utama adalah mujahadahnya, mengalahkah egonya, mementingkan keperluan sahabatnya, gurunya daripada dirinya. Imam Junayd,ra., berkata : ‘Sudah berapa ia menjadi muridmu?’ ‘Sepuluh tahun,’ jawab Abu Hafs. ‘Akhlaknya sempurna, ia benar-benar bermartabat, anak muda yang sungguh mengagumkan.’ Kata Imam Junayd. ‘Ya,’ ujar Abu Hafs. ‘Ia telah menghabiskan 17 ribu dinar uangnya untuk keperluan kami, dan telah meminjam 17 ribu dinar lagi juga untuk keperluan kami. Namun setelah semua itu, ia masih saja belum berani mengajukan satu pertanyaan pun kepadaku.’ Kisah ini sangat berbeda dengan keadaan kita, dizaman kini seorang murid terbiasa berani menelpon gurunya, padahal untuk kepentingan egonya, tidak peduli bahwa Syaikh sedang melakukan aktivitas yang tidak bisa diganggu. Banyak yang merasa bahwa dengan telah memberi sedikit sampah-sampah dunia, seolah-olah Syaikh sudah dimilikinya, bahkan berani memerintahnya! Naudzubillah mindzalik.

Demikian para sahabat, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita dan setiap waktu mempercantik akhlak kita semua, amiiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiiin.