Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Dipenghujung bulan suci Ramadhon 1432 H ini, seorang salik bertanya kepada yang lain : ‘Tulislah tentang muroqobah, agar kami dapat menarik pelajaran darinya.’ Percakapan ini sungguh dalam maknanya, karena pekerjaan muroqobah bukan hal biasa, melainkan pekerjaan khusus bagi para mutashowif. Tentunya yang ditanya adalah hasil dari muroqobah bukan cara melakukannya, karena cara-caranya (kaifiat) tentu sama, namun pemahaman dari hasilnya yang berbeda-beda. Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan perumpamaan, sebagaimana Al Qur’an juga demikian dalam menjelaskan hal-hal yang rumit. Karena sejak dahulu, banyak para salik yang bertanya tentang hal yang sama : ‘Saya sudah wirid Malakandias tetapi tidak terjadi apa-apa.’ Ada juga yang berkata : ‘Aku sudah berdzikir lathif dengan menambahkan rasa-rasa, namun tidak merasakan sesuatu pun sebagaimana yang di ajarkan.’ Ternyata yang demikian itu, bukan saja terjadi dan dialami oleh para salik, melainkan dialami dan dirasakan juga oleh ikan-ikan dilautan, mereka selalu bertanya kepada pemimpinnya tentang lautan, tanpa menyadarinya bahwa mereka telah berada didalamnya. Nah, sekarang kita dapat memahami, mengapa Hadrat Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Taswuf adalah kesadaran, dan untuk membongkar keasadaran yang tersembunyi didalam diri seseorang, maka ia harus terus menerus mendawamkan dzikir dan ubudiyah.’
Tak henti-hentinya, sebagaimana hujan yang turun dari langit. Kasih sayangnya bak seekor kucing yang selalu menjilati anak-anaknya. Airmata kesedihannya sebanyak embun pagi yang menetes dari ujung dedaunan, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) melihat dengan jelas keadaan murid-muridnya, tanpa pandang bulu diperlakukannya semua murid seperti seorang bayi. Diberinya minum susu dari cawan kewalian, agar dikemudian hari menjadi siap meminum anggur dari cawan yang suci. Begitulah kasih sayang seorang Syaikh didalam mendidik murid-muridnya, agar disuatu kelak dapat memahami dan memasuki rahasia-rahasia dzikir dan ‘muroqobah’. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang murid : ‘Jarang sekali ada yang bertanya kepadaku tentang hal-hal yang berkenaan dengan dzikir dan muroqobah, kecuali pertanyaan seputar kesempitan dada didalam menghadapi kehidupan di dunia ini.’ Ironis memang, yang mulia Syaikhuna membimbing murid-muridnya cara-cara untuk mencapai puncak gunung, agar beroleh sebuah rasa ‘dekat’ dan dengan jelas dapat ‘memandang’ matahari, namun yang selalu ditanyakan hanya seputar masalah dunia saja, yakni, rizki, jodoh dan problema rumah tangga. Sehingga murid-murid yang dahaga akan anggur suci pengetahuan tasawuf, tidak mendapat apa yang dicari, melainkan arak dunia yang memabukkan.
Sekitar 11 tahun yang lalu, ketika tradisi tasawuf masih bersinar terang, hampir seluruh pembicaraannya berputar kepada pengetahuan kesufian, riwayat para masyaikh yang menggugah hati, sehingga murid-murid mudah mabuk akan suguhan anggur suci ini. Satu demi satu, sedikit demi sedikit, dengan bahasa yang mudah dipahami, Yang Mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjelaskan rahasia-rahasia dzikir dan muroqobah, malah terkadang menceritakan hasil dari pelaksanaannya. Saat itu, murid-murid terkagum-kagum namun tidak dapat sepenuhnya memahami, karena belum mengalami dan merasakannya. Peristiwa yang demikian ini adalah jantung didalam mengarungi kehidupan bertasawuf, agar disuatu kelak nanti, bilamana seorang murid yang pada gilirannya menjumpai dan merasakan hal-hal yang demikian, tanpa keraguan apapun, ia akan meyakini bahwa jalan yang dilaluinya adalah benar adanya. Oleh sebab itu, betapa peristiwa 11 tahun yang lalu itu sangat mahal dan tinggi nilainya serta sulit ditemukan dibelahan dunia manapun juga. Sajadah harapan yang tinggi telah dihamparkan kepada Allah SWT kiranya memperjalankan sisa umur ini selalu dalam keadaan mencari ilmu agama, dan menghindarkan dari membicarakan masalah dunia dan perongkosan kehidupan kepada Yang Mulia Syaikhuna. Semoga Allah SWT menghidupkan kembali tradisi jamuan anggur suci itu, agar kita semua mabuk kembali, agar rasa-rasa itu berdatang kembali, agar lentera yang telah padam ini dapat bersinar kembali sebagai penerang dan penuntun didalam perjalanan pendakian gunung yang tinggi itu. Semoga Allah SWT memasukkan kita semua kedalam benteng-Nya, dan barang siapa berada didalam benteng itu, maka ia akan terhindar dari himpitan dunia dan akhirat.
Agar para murid dapat memahami masalah-masalah yang rumit, khususnya muroqobah (meditasi) tentang kebersamaan Allah (Maiyah), maka diperintahkannya seluruh muridnya untuk menghafal dan memahami makna dari Surat An Nuur ayat 35 : 'Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS 24 : 35)'
Di alam dunia ini (alam syahadah), yang mudah dipahami oleh indrawi adalah bahwa yang bersama-sama dengan segala sesuatu adalah cahaya, karena tanpa kebersamaannya, benda-benda tidak akan tampak. Maka sungguh sangat jelas bahwa kata ‘cahaya’ pada ayat diatas adalah sebuah perumpamaan, dan hal ini akan lebih mudah dipahami manakala cahaya tersebut adalah cahaya lahiriyah. Seseorang bisa membayangkan ketika berada di kebun teh, maka akan disaksikan olehnya bahwa yang dominan adalah warna hijau dari daun teh yang menghampar dan warna biru dari langit yang luas, tanpa terpikirkan peran cahaya yang begitu besar berada dibalik itu semua. Padahal cahaya yang berasal dari matahari itulah yang membuat segala sesuatu tampak dan yang menyinari warna itu. Ketika matahari terbenam, semua menjadi gelap, barulah disadari betapa besar peran cahaya itu. Hanya karena bersatunya cahaya dan warna itu begitu kuat dan jelas, maka membuat cahaya itu sendiri tidak dapat dilihat.
Nah, itulah cahaya lahiriyah yang bisa dipahami dan dirasakan oleh inderawi dan menjadi lebih jelas makna cahaya itu. Jika dengan cahaya lahiriyah segala sesuatu terlihat oleh mata, maka dengan ‘Allah’ segala sesuatu akan tampak oleh mata hati (bashirah), sebab, Dia bersama dengan segala sesuatu (maiyah), tidak pernah terpisah dengan-Nya, dan hanya dengan Dia-lah segala sesuatu tampak. Cahaya lahiriyah akan lenyap bersamaan dengan terbenamnya matahari, sedangkan cahaya Illahi selalu hadir dan menyinari segala sesuatu dimana dan kapan saja, dan tak mungkin padam atau terbenam. Oleh karena itu perumpamaan ‘cahaya’ pada ayat diatas dapat dipahami sebagai cahaya yang dapat melihat dirinya sendiri dan menjadi penyebab yang lain menjadi tampak.
Kelompok dzahiran terperosok oleh pemikiran bahwa ‘cahaya bersama dengan segala sesuatu’ disamakan secara mentah dengan ‘Allah bersama dengan segala sesuatu’. Sehingga akan dapat menimbulkan pemahaman bahwa Allah menempati setiap ruang dan waktu. Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari penisbatan yang demikian. Maka dari itu, menjadi sangat penting bahwa pekerjaan muroqobah wajib diawasi secara terus menerus oleh seorang mursyid. Sungguh sangat beruntung bagi para salik yang memperoleh karunia dari Allah untuk dapat merasakan dan memahami masalah ini, karena dengan merasakan kebersamaan dengan Allah (maiyah), pada saat ‘muroqobah’, maka akan diperoleh sebuah ‘rasa’ bahwa esensi dirinya sesungguhnya adalah cahaya, yang hidup di alam ruhani atau alam spiritual, menerangi dirinya sendiri, alam syahadah disekitarnya, sahabat-sahabatnya, tetangganya, saudara-saudaranya, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang atau makhluk-makhluk lain, serta terjaga dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, pandangannya dapat melihat segala sesuatu sesuai pada tempatnya, ilmunya tiada tara tingginya. Keadaan ini sulit dilukiskan, karena setiap tindakannya bukan miliknya, ia tidak mempunyai kesadaran, inisiatif dan dirinya sendiri. Apabila seorang salik masih meronta dalam air, atau apabila ia masih berseru, ‘aku tenggelam!’, maka ia belum dapat dikatakan berada dalam keadaan bersama dengan Allah (maiyah). Dalam keadaan ini perasaan ‘dualitas’ menjadi sirna, munajatnya adalah ‘diam’ karena dirinya sudah mengingkari adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan. Ia akan menyerahkan dirinya seraya berseru ‘Tiada wujud kecuali wujud Tuhan’. Oleh karenanya tidak heran bilamana yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Siapa-siapa yang dapat mencapai muroqobah Ahadiyah dan Maiyah secara baik, maka ia telah memasuki awal daripada kewalian sugro.’
Analoginya demikian, yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pada masa muda sering bepergian ke Cimahi melalui jalur Puncak, seluruh detail dalam perjalanannya dirasakan dan dilihatnya, seperti jalan yang berkelok, menanjak dan menurun, cuaca yang dingin, tumbuh-tumbuhan disekitarnya, hambatan-hambatannya, tempat-tempat pemberhentian, dan masih banyak lagi. Lalu pengetahuan dan pengalaman yang demikian itu diberikan kepada sahabat-sahabatnya agar tidak tersesat bila bepergian ke Cimahi melalui jalur Puncak, sebagaimana beliau sering menyampaikan pengalaman dan rasa dari muroqobah. Nah jalur ke Cimahi melalui Puncak inilah yang disebut dengan tarekat, meskipun jalan menuju ke Cimahi lebih banyak dari detak jantung seluruh makhluk didunia ini. Maka wajar saja bila bermunculan banyak kelompok tarekat di dunia ini, karena pemimpinnya atau mursyidnya atau Syaikhnya telah ‘sampai’ kepada Tuhannya melalui jalannya masing-masing, yang tentunya sesuai dengan syariat Islam. Oleh sebab itu, bilamana seorang murid yang telah baiat mengalami hal-hal yang niscaya pernah dialami oleh Syaikhnya, maka seorang pembimbing mengerti betul, terapi apa yang mesti diberikan kepada sang murid, agar cepat sampai kepada tujuannya. Oleh karenanya, seorang Syaikh akan segera mengetahui bilamana muridnya berbohong tentang pengalaman didalam perjalannya, bayangkan bilamana seorang murid berkata : ‘Syaikh, saya melihat lautan didalam perjalanan ke Cimahi melalui Puncak.' Padahal jelas-jelas jalur itu tidak ada lautan sama sekali. Bagi murid-murid yang berdekat dengan Syaikh dan yang mau mencatat didalam hatinya tentang perkataan-perkataannya dan pengalaman Syaikhnya, akan segera mengetahui apakah pengalaman dan rasa yang diperoleh dalam perjalan itu benar adanya. Sebagaimana Syaikh sering berbicara mengenai Ahadiyah, Maiyah, Aqrobiyah dan perkejaan muroqobah lainnya, serta dzikir jahr dan lathif, serta bercerita tentang rasa-rasa dalam perjalanan, seperti syauq wa mahabbah, da’im, merasa diawasi, merasa senang dengan af’al Allah, merasa bersatu dan melebur. Dan juga sering menjelaskan tentang af’al dan sifat-sifat Allah SWT, Hakikat Asma Ul-Husna, Hakikat Muhamamdiyah, Hakikat Ahmadiyah, Hakikat Al Qur’an, Hakikat Ka’bah, Hakikat Cinta yang tulus, Hakikat bertapa hinanya manusia, Hakikat Shalat, Hakikat kenabian dan perihal ini diulang-ulang dalam setiap pertemuan, sebagaimana Al Qur’an juga mengulang-ngulang ayat dan riwayat-riwayat. Maka yang dibicarakan oleh Yang Mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) ini adalah segala rahasia sebagaimana perjalanan ke Cimahi melalui Puncak. Sehingga buah dari melaksanakan dzikir dan muroqobah adalah bilamana seorang salik merasakan dalam hatinya dan pemikirannya tetang hal-hal yang demikian itu. Yaa Allah berikanlah kepada kami ... berikanlah dan ampunilah kami.
Senin, 29 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.